Hotel Santika Jakarta, ramai dengan manusia berseragam. Mereka adalah para aparat kepolisian yang hendak mengadakan syukuran untuk komisaris kepolisian yang baru saja naik jabatan. Orang tersebut Tito Nagara, ayah dari Bunga Dewi. Bunga mengenakan dres mewah yang dijahit oleh desainer profesional. Bagi Bunga, mendukung ayahnya dalam berkarir adalah kewajiban. Ia sangat bangga berada disana. Sosok yang paling ia sayang adalah ayahnya itu. Perhatiannya teralihkan saat ia dan Hasta saling berpandangan dalam diam. Pertemuan kali ini tak pernah direncanakan. Bukankah aneh? Bagaimana bisa?
“Terima kasih Pak Pradipto, saya harap kita bisa semakin erat.”seru Tito menyapa Pradipto, ayah Hasta. Hasta tersenyum menyapa orang itu.
Akhirnya, kedua bapak-bapak buncit itu bernyanyi di depan sebagai ungkapan kebahagiaan. Disisi lain. Ibu-ibu bhayangkari berkumpul dengan alasan silaturahmi. Tinggallah di sana Bunga dan Hasta yang saling menyimpan banyak pertanyaan.
Mereka sama-sama hendak berbincang disaat yang sama. “Lo duluan deh.”ucap Hasta mengalah.
“Ehm,,,,,, lo anak polisi?”
“Iya. I think, semua orang tahu itu. Dan lo, gue taunya lo anak pengusaha.”
“Ya, di sekolah sih begitu.”
“Jadi itu bohong?”
“Iya. Gue emang sengaja. Gue gak mau orang-orang tahu tentang itu.”
“Kenapa?”
“Gue terlalu sayang sama dia.”
“Hubungannya apa?”
“Dilihat dari jawaban lo, lo pasti gak dekat sama om.”seru Bunga. Ucapan itu membuat Hasta berkaca. Memang benar, dia gak suka kedua orang tuanya. Kalau saja ia sudah bekerja, ia ingin minggat. “Gue sedih liat bokap dapat hinaan terus. Gue udah sering pindah sekolah, dan saat teman-teman fake gue tahu tentang bokap, mereka pasti akan memberi hinaan dibalik candaan. I hate it.”
“Gue biasa aja tuh. Lo baper banget sih.”
“Kalau lo sayang sama orang, lo bakal tahu gimana yang gue rasain. Mungkin gue mau kasih contoh. Lo sama Anin kan sahabatan, gimana kalau Anin dihina orang. Lo pasti sakit hati kan?”
“Ehmmm..”seru Hasta mengiyakan.
“Lupain tentang gue. Lo gimana sama om? Kenapa lo sebenci itu sama dia?”
Hasta menggigit bibirnya. Perlukah ia bercerita banyak pada Bunga? Apakah Bunga dapat dipercaya untuk mengerti cerita-ceritanya?
“Gak cuma bapak, gue cuma benci sama mama.”ungkapnya sedih. “Selama gue hidup, mereka gak pernah peduli sama gue. Bapak cuma peduli kerjaan. Mama pedulinya sama pasien. Bahkan kalau gue sakit, mereka gak pernah sigap buat datang. Cuma Bi Ajeng yang ngurusin gue. Lo bisa tahu kan betapa teganya mereka jadi orang tua. Dan sekarang, saat mereka butuh gue, mereka memohon biar gue datang ke tempat ini. Sekedar menjaga imej di depan rekan kerjanya. Munafik.”
“Gue ngerti perasaan lo.”
“Jangan sok tahu.”
“Gue pernah diposisi itu.”
“Jangan ngarang”
“Lo cuma lagi dalam tahap itu. Lo hanya belum sadar betapa sayangnya mereka sama lo.”
“Kita beda kasus, jangan di sama-samain.”
“Terserah lo deh, entar juga lo sadar.”ucap Bunga mengalah. Ia berjalan meninggalkan Hasta yang masih emosi dan terbuai dengan ucapannya sendiri. Bunga kembali dengan botol alkohol di tangannya. Ia menarik tangan Hasta untuk meninggalkan keramaian itu. Para orang tua itu tak akan sadar kalau mereka tak disana.
Bunga duduk di sudut balkon yang gelap. Pemandangan kota Jakarta yang indah semakin memanjakan mata. Lampu jalan yang berkilau mempercantik nuansa kota itu. Bunga menyuruh Hasta duduk disampingnya. Mereka terdiam sejenak. Hasta sadar bahwa cukup banyak hal yang tidak ia tahu. Jakarta adalah kota yang ia benci. Ia benci berada disini dengan segala kemewahannya. Namun ternyata kota itu indah. Sangat indah jika dilihat dari lantai 10 gedung tinggi itu.
Bunga hendak meneguk alkohol yang ia bawa. Hingga tangan Hasta menghentikan perbuatannya. “Kita masih umur belasan, belum bisa minum beginian.”
“Ga apa-apa Has. Satu teguk aja. Gue gak bakal mabuk.”
“Terserah lo.”balas Hasta kesal. Ia benci cewek itu. Cewek yang kerjaannya mabuk dan menghabiskan uang orang tua.
“Lo coba juga dong.”seru Bunga sambil memberikan botolnya pada Hasta. Hasta menolak tapi tak berkuasa. Ia meletakkannya di lantai.
“Kadang kita perlu melawan arus Has. Biar bahagia sesaat.”
“Gue gak perlu melawan arus buat bahagia.”
“Pembohong. Di antara lo, Tama sama Anin, lo yang kelihatan paling gak bahagia. Ya, sama sih kayak gue.”curhatnya dengan mata yang semakin remang-remang. Efek dari alkohol itu cukup bereaksi.
“Kenapa lo gak bahagia?”
“Karena gue hidup sama ibu tiri.”ungkapnya dengan kepala menunduk. Sebuah pengakuan yang membuat Hasta bergidik ngeri. Masalahnya tak seberapa dibanding masalah Bunga. Frustasi membuatnya bingung dan langsung meneguk botol disampingnya. Dalam sekejap, ia mabuk. Pikirannya sudah melayang entah kemana.
Bunga menatap jalanan yang berwarna warni akibat lampu jalan. Ia tertawa kecil karena pikirannya. Ia melihat Hasta sudah menunduk. Bunga menyampingkan posisinya untuk menyadarkan Hasta. Ia memukul-mukul pundak cowok itu. Dan tiba-tiba, Hasta mendongakkan wajahnya. Ia membuka mata dan di depannya ada wajah Bunga. Mereka bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Hasta menatap cewek itu dalam waktu yang sangat lama. Bibir merah yang merekah dan wajah yang cantik. Tanpa dia sadari, ia memegang lehernya, menatapnya dalam dan menciumnya.
Ciuman itu membuat mata bunga terbelalak. Kesadarannya kembali normal. Bagi orang yang sering minum alkohol seperti dia, ini bukanlah hal yang sulit. Jantungnya berdebar kencang. Hasta terkapar dalam pelukannya. Andai cowok itu sadar, ia pasti bisa merasakan jantung yang detaknya beradu.
Bunga langsung berdiri dan kepala Hasta terjatuh ke lantai. Ia mondar mandir kebingungan. Saat ia melirik ke dalam gedung, orang tua Hasta sedang mencarinya. Bunga tak tahu harus bagaimana. Ia mengangkat badan Hasta dengan susah payah.
“Lah, dia kenapa?”tanya Pradipto heran.
“Maaf om. Hasta gak sengaja minum alkohol.”
“Kamu anak perempuannya Pak Tito kan?”
“Iya om, nama saya Bunga. Kebetulan satu sekolah sama Hasta. Jadi tadi ngobrol dulu.”
“Oh, kamu satu sekolah sama Hasta. Kok Hasta gak pernah cerita ya. Ya sudah, biar om yang papah dia. Makasih ya.”ucap Pak Pradipto ramah. Saat itu Hasta tak sadar juga. Ia terlelap dan tak tahu apa yang ia lakukan pada Bunga. Rasa alkohol di perutnya terus menguat.
“Sama-sama om.”balas Bunga tersenyum. Bunga celingak-celinguk karena pikiran yang tak tenang. Ada rasa senang yang bercampur dengan kebingungan disana.
Ia bimbang. Rasa penasaran menghantuinya. Kenapa Hasta melakukan itu? Apakah itu dari hati? Atau efek alkohol? Sejenak ia berharap, andai cowok itu memang melakukannya dari hati.
“Kamu kenapa nak?”tanya Tito sambil duduk disampingnya.
“Aku tadi gak sengaja minum alkohol pa. Aku boleh pulang duluan?”
“Hmm, beneran mau duluan?”
“Iya pa. Ga apa-apa kok. Aku ngantuk.”
“Kamu mau bareng sama mama aja?”
“Gak usah pa. Aku bareng Pak Andi aja.”
“Ya sudah. Papa telepon Andi ya. Kamu pulang sekarang aja. Besok kan sekolah juga.”
Bunga pulang dengan rasa yang tak biasa. Sulit mengungkapkannya, tapi ia semakin sadar kalau ia benar-benar suka pada Hasta. Tak ada yang bisa didustai oleh reaksi tubuhnya yang berlebihan. Semalaman ia tak bisa tidur dan bangun dengan mata menghitam bak mata panda.
*****
Jam bebas jadi ajang siswa mencari hiburan. Ada yang membawa gitar untuk bernyanyi di kelas. Walaupun tinggal menunggu pembagian raport, para pengurus kelas masih sibuk dengan perencanaan liburan kemah nanti. Para siswa tetap datang meskipun tak belajar demi bersihnya kolom absensi di raport nanti.
“Hasta!”panggil Tama dan Anin yang datang dari sisi lain. Hasta menoleh dan tersenyum. “Tumben lo datang telat.”lanjut Tama.
“Ah, kemarin gue pulang malam. Pusing gue.”ungkapnya.
“Pantesan. Gimana kemarin acaranya? Katanya lo ketemu Bunga.”
“Hmm, iya sih, gue ketemu.”
“Ternyata, si Tama sudah tahu kalau Bunga itu anak polisi. Dia aja tukang bohong.”seru Anin.
“Ya maaf, gue kan gak kepikiran mau cerita.”
“Udah yuk. Makan dulu ke kantin.”ajak Anin sambil menarik tangan dua cowok itu. Sebenarnya Hasta ingin menolak tapi rasanya lelah untuk berdebat dengan Anin.
Hasta berpikir keras atas apa yang terjadi kemarin. Saat ia bangun, ia sudah tidur diatas kasurnya. Ia hanya ingat saat Bunga menceritakan tentang ibu tirinya. Setelahnya ia lupa ingatan. Ia terus memukul-mukul kepalanya berharap ingatan itu kembali. “Gue tuh kayak lupa sesuatu deh.”ucapnya sambil berpikir keras.
“Lupa belajar kali lo.”ledek Tama.
“Iya Tam. Sekalinya gak belajar, langsung gatal-gatal dia.”seru Anin terkekeh. Manusia yang kerjanya belajar cenderung sakit jika tak punya tugas. Sama seperti orang tua yang selalu bekerja keras. Jika sudah tua nanti, ia akan tetap bekerja karena jika tidak ia akan merasa sakit. Unik sih, tapi kenyataan itu benar-benar ada.
“Sialan lo berdua.”balas Hasta jengkel.
Mereka menikmati sarapan dengan bubur ayam yang rasanya lezat. Tama dan Anin setipe, mereka suka bubur diaduk. Dan Hasta, cowok aneh itu malah doyan bubur tidak diaduk. Dia bilang, bubur diaduk itu menghancurkan tatanan indah dari makanan.
“Ahhh, enak banget gila. Bubur ayam paling enak sejagat.”seru Tama lega. Perut yang tadinya kosong melompong sudah terisi dengan baik.
Anin melahap dengan kepuasan tersendiri. Matanya tertuju pada Bunga yang sedang berjalan hendak mencari tempat. Ditangannya ada teh hangat. Anin menatap dua cowok di dekatnya itu. Ide cemerlang muncul.
“Bunga!!!”teriaknya kencang. Teriakan itu tak hanya membuat Bunga kaget, tapi Tama dan Hasta sampai melonjak. Bunga menoleh dan langsung terdiam melihat Hasta ada disana. Cowok itu menatapnya biasa. “Duduk disini aja. Pacar lo disini nih.”seru Anin kencang.
Bunga mendekat dengan langkah lambat. Baru kali ini ia tidak percaya diri. Ia masih kepikiran dengan kejadian kemarin. Ia duduk tepat di depan Hasta dan disamping Tama.
“Mau pesen bubur gak?”tanya Tama.
“Nggak usah, Tam.”balasnya singkat. Bunga tak seperti biasanya.
“Kalian yang romantis dong kalau pacaran.”ledek Anin.
“Entar gue ditabok guru BK lagi, An. Di sekolah dilarang mesra-mesraan. Lo gak tahu aja apa yang kita lakukan di luar sekolah.”
“Apa emang?”
“Ehmm, rahasia.”
“Bilang aja belum ngapa-ngapain. Gue tahu lo Tam, gak mungkin lo macem-macem sama cewek. Iya gak Has?”tanya Anin pada Hasta yang sibuk mengunyah makanannya. Pandangan cowok itu kini berpindah. Tapi ia tak menatap mata Bunga.
“Wong jelas, Tama kan cupu.”candanya sambil tertawa.
“Jangan percaya mereka ya, gue aslinya jantan kok.”seru Tama pada Bunga. Bunga hanya tersenyum kecil. “Tapi mata lo kenapa?”
Pertanyaan itu membuat Anin dan Hasta menatap cewek itu. Tak seperti hari biasa, dia tampak tak beres dengan mata yang menghitam. Anin menatap cewek itu tajam. Namun, perhatian Bunga selalu tertuju pada Hasta.
“Ah, gue,,,,,gue…………”
Hening.
“Gue gak bisa tidur kemarin. HA HA Ha.”
“Kepikiran lo pasti.”seru Anin sok tahu.
“Kepikiran apa?”tanya Hasta.
“Kepikiran nilai raport. Kalau nilai rendah pasti dimarahi kan?”seru Anin polos.
“Ya, bisa jadi sih.”balas Hasta.
“Gue ada obat mata. Entar gue kasih.”bisik Anin ditelinga Bunga. “Ayo buru, abisin!”teriaknya penuh semangat. Ia menikmatinya dengan lahap.
Setelah makan, mereka kembali ke kelas yang gaduh. Beberapa orang sedang bernyanyi dengan gitarnya. Suara para artis masa depan terdengar begitu indah. Mereka menonjolkan kemampuannya dengan pembagian suara yang memanjakan telinga. Dan lagi, saat Anin memperhatikan sekitar, ia melihat Debby menatap mereka sinis. Tapi tatapannya bukan tertuju pada Anin dan Hasta. Ia terlihat begitu kesal pada Tama. Anin sangat yakin dengan pengamatannya itu. Anin langsung mengambil obat mata di tasnya. Mata merah Bunga membuatnya tak tega. Entah apa yang terjadi pada cewek itu. Ia langsung rebahan di meja. Baru kali ini ia melihat Bunga bertingkah demikian. Apa benar, ia sedang galau karena pembagian raport besok? Mungkin saja orang tuanya seperti papanya Hasta. Otoriter dan menyeramkan.
“Bunga, ini!”serunya. Ucapan itu membuat Bunga bangun. “Pakai aja, soalnya mata lo merah banget.”
“Makasih Anin.”balasnya sambil tersenyum.
“Anytime.”balas Anin. Anin kembali ke tempat duduknya untuk mengobrol dengan Gena dan Trisna. Hari ini mereka akan belanja outfit untuk liburan dua hari lagi. Walaupun masih ada rasa yang mengganjal, apalagi bagi Anin. Anin bisa memastikan bahwa nilainya pasti sangat buruk semester ini. Dia sangat jarang belajar dan sering nonton drama korea. Dia hanya berdoa agar nilai Tama sebelas dua belas dengan nilainya. Sebagai tetangga, dia sering dibandingkan dengan Tama. Dibandingkan dengan orang lain itu sangat menyebalkan. Syukur Nya, Tama bukan anak yang pintar. Dia sedikit terbantu dengan kemampuan akademik cowok itu. Kalau semisal Tama pintar, dia akan jadi sosok yang menerima hinaan banyak. Tak hanya dari mamanya sendiri, tapi juga dari ibu-ibu tetangga yang mulutnya bercadang.
“Tebak, siapa yang bakal jadi juara umum?”tanya Trisna.
“Antara Debby atau Hasta. Itu doang.”balas Gena.
“Tapi ya, kalau gue lihat-lihat, Bunga itu lumayan pintar loh.”balas Trisna lagi.
“Lumayan doang. Dia jarang berpartisipasi. Jawabnya cuma kalau disuruh. Gak mungkin dia bisa menaklukkan Debby sama Hasta.”
“Iya juga sih.”seru Gena. “Lo lagi mikiran apa sih?”lanjutnya karena melihat Anin memandang ke depan tanpa reaksi.
“Ah,, hmmmm…...gue mau nanya.”
“Apa?”ucap Gena dan Trisna serempak.
“Orang kalau benci seseorang pasti ada alasan kan?”
“Ya pastilah.”
“Gak mungkin gara-gara sepele kan?”
“Anindya, benci itu bisa karena masalah kecil juga. Ada yang benci hanya karena iri. Bahkan ada yang membenci tanpa mengenali. Lihat tuh artis-artis. Dibenci sama orang-orang yang belum pernah mereka temui.”ucap Gena menjelaskan.
Anin manggut-manggut. Sejenak ia berpikir akan maksud Debby. Kenapa dia punya tatapan aneh pada Tama. Sejauh yang ia tahu, Debby tak pernah mengobrol dengan Debby. Terkecuali ketika ditempatkan sebagai anggota kelompok yang sama. Ia berniat untuk menanyakan langsung. Tapi itu hanyalah niat. Ada baiknya ia mencari tahu tentang Debby. Cewek yang juga tak pernah dekat dengannya.