Sebuah pengumuman berhasil menghipnotis semua orang. Anak baru yang pindah beberapa bulan lalu itu telah berhasil mengambil juara umum. Bunga Dewi, cewek cantik yang dianggap tak punya kemampuan akademik. Ia berhasil mendapat ranking 1 umum, disusul Debby dan Hasta. Semua orang terkejut karena selama ini Bunga tak pernah unjuk gigi. Dalam artian, dia tak pernah show off di depan guru-guru.
“Selamat ya. Ternyata lo pintar banget.”sapa Hasta pada Bunga yang memegang piala di tangannya. Dia hanya diam dan tak peduli. Ia berjalan ke barisannya. Hasta kebingungan. Ada ada dengan cewek itu. Kenapa dia jadi sangat cuek?
“Selamat pacar aku…”goda Tama sambil merangkul Bunga. Bunga tersenyum ceria seperti biasanya. Hasta melihat itu semua. Ada sesuatu yang janggal. Ia masih kepikiran pada malam itu. Saat pagi tiba, ia sengaja menelepon bapaknya yang sedang bekerja. Hanya untuk menanyakan apa yang terjadi padanya malam itu. Pradipto menceritakan detail bahwa ia mabuk.
“Sabar ya Has, lo punya musuh baru.”ledek Anin. Anin tahu sekali kalau Hasta tipe pejuang yang akan berusaha keras untuk jadi nomor satu. Hal itu sudah terjadi selama setahun. Ia dan Debby saling bersinggungan dalam merebut posisi itu. Mereka saling bergantian untuk bisa jadi yang pertama. Namun siapa sangka, ada orang baru yang datang.
“Itulah namanya hidup. Dibanding gue, Debby kelihatan lebih depresi.”ungkapnya. Debby memang terlihat kesal atas semua itu.
“Syukurlah kalau begitu…”
“Kok bersyukur?”
“Artinya, lo gak terlalu ambisius lagi Has. Sedikit berkurang lah dari biasanya.”
“Ngomong-ngomong, Bunga kenapa ya?”
“Kenapa?”
“Ah, gak jadi. Kayaknya cuma perasaan gue doang.”
Guru melanjutkan pengumumannya untuk kelas 12. Ia menjelaskan beberapa hal penting untuk diketahui. Terlebih akan libur untuk waktu yang cukup lama. Tama berakting seperti biasanya. Semua memperhatikan mereka berdua. Mereka akan masuk dalam daftar goals couple. Ketua kelas berencana untuk membuat pertunjukan luar biasa pada acara kemah besok. Ide-ide brilian muncul begitu saja memenuhi pikirannya.
“Bunga, kenapa gak pernah cerita ke gue sih.”
“Cerita apa?”
“Kalau lo itu pintar.”
“Jadi sekarang pakai ‘lo-gue’ nih?”
“Ehmm, gue pakai ‘aku-kamu’ cuma kalau ada Anin sama Hasta biar mereka gak curiga.”bisiknya perlahan. Bunga tertawa. Hatinya sedikit terobati dengan adanya Tama. Walau hidupnya tak pernah tenang karena fanbase ada dimana-mana. Si Ganteng Maut itu masih sangat populer di kalangan adik dan kakak kelas. Mereka selalu membicarakan Tama baik di dunia nyata ataupun di sosial media.
“Emang kalau gue kasih tahu, ada untungnya buat lo?”
“Gak ada sih. Punya teman pintar itu gak berguna buat orang kayak gue yang malas belajar. Tapi kalau lo ngasih tahu, gue gak akan syok kayak sekarang.”
“Dasar lawak lo, Tam. Ah ya, abis ini gue mau langsung pulang. Kalau ada pengumuman jangan lupa kasih tahu gue.”
“Emang mau kemana? Buru-buru amat.”
“Penting pokoknya. Kalau gak pergi, gue bisa dibacok sama orang rumah.”ucap Bunga bercanda sambil tersenyum manis.
“Tapi lo ikut liburan besok kan? Awas aja kalau gak datang, gue jemput lo pakai motor.”
“Gue usahain. Ya udah, see you!”ucapnya sambil bergegas ke pintu gerbang sekolah. Dia benar-benar kesal pada dirinya sendiri. Dia juga tidak tahan berhadapan dengan Hasta. Cowok yang bahkan lupa atas perlakuannya sendiri. Bunga sampai susah tidur dan dengan seenaknya dia lupa.
Tama menyusul Anin dan Hasta yang berdiri di belakang. “Mau kemana kita?”tanyanya dengan riang.
“Pacar lo mana?”tanya Anin sambil mencari ke belakang Tama.
“Udah pulang.”
“Kenapa? Parah banget, jelas-jelas dia ngeprank satu kelas. Bisa-bisanya pintar tapi gak bilang-bilang.”seru Anin kesal.
“Ehmm, dia gak enak badan.”seru Tama ngasal. Itu cuma alasan agar tidak ada pertanyaan lain.
“Sakit apa?”tanya Hasta. Pertanyaan yang membuat batin Tama goyah. Sudah berapa banyak kebohongan yang ia lontarkan hari ini.
“Gak parah kok, cumaa……. demam panggung. Iya, demam panggung karena harus maju ke depan menerima hadiah.”seru Tama sambil mengalihkan perhatian dua temannya itu. “Mending kita ke kelas untuk dengerin pengumuman dari ketua kelas.”ajaknya kemudian. Anin mengikutinya dengan kesal. “Ayo Has, bengong bae.”lanjutnya.
Hasta mengikuti dari belakang. Ada apa dengan Bunga? Kenapa dia bersikap aneh? Mungkinkah Hasta melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan? Dulu Bunga bersikap biasa saja, bahkan saat dia belum mengenal Hasta dengan baik. Sekarang, malah bertingkah seakan tidak pernah kenal.
“Ha ha ha, nilai kita gak ada bedanya Tam. Sama-sama busuk.”ungkap Anin.
“Selalu aja bahagia kalau nilai gue busuk. Jahat lo, An.”
“Ya pasti, inilah yang disebut senasib sepenanggungan.”
“Gue gak diajak nih?”tanya Hasta.
“Gak!!”ucap mereka serempak. Mereka tertawa merenungi nasibnya sendiri. Dan saat kebahagiaan itu sudah berada dipuncak gunung, seseorang berteriak dengan tegas. Debby.
“Bisa gak sih, gak usah berisik? Annoying banget tahu. Jangan gara-gara famous jadi semena-mena. Harusnya sadar diri!”teriak nya keras. Semua orang diam. Debby mengarah pada tiga manusia itu. Nyatanya, hampir semua penghuni kelas sibuk sendiri. Bukannya mendukung sifat Debby, orang-orang malah berbisik tentang dia.
“Lebay banget sih.”
“Suaranya lebih annoying.”
“Dia lagi down karena ditikung Bunga.”
“Emosinya gak bisa dikontrol.”
"Iya, pasti syok karena posisinya diambil alih sama anak baru."
Begitulah ucapan dari orang-orang dalam menanggapi Debby. Tak ada yang mendukungnya kecuali teman-teman dekatnya. Ia kesal dan memukul meja dengan keras. Semuanya kembali hening karena ketua kelas memberikan aba-aba untuk beberapa hal penting yang harus dibawa besok.
*****
Bus wisata terparkir di depan sekolah. Daerah itu sepi karena memang sudah tiba hari libur. Tak ada lagi siswa berseragam yang berlalu-lalang. Berpenampilan tak biasa, membuat semua orang takjub pada temannya sendiri. Mereka terlihat berbeda dari biasanya. Outfit kece badai mendukung penampilan itu. Apalagi cewek-cewek yang sengaja berdandan dari rumah. Sudah di dapat kesimpulan kalau tak ada cewek yang tak cantik.
“Udah gue bilang kan, kita belum telat kok.”ucap Tama kesal. Dia dipaksa buru-buru hanya karena kepanikan Anin.
“Tapi kalau telat, gue bunuh lo.”seru Anin.
“Dasar cewek!”
Ternyata oh ternyata, orang yang menunggu masih sangat sedikit. Trisna dan Gena saja belum datang. Tama langsung duduk di pinggiran jalan. Ia merasa gerah dengan matahari yang baru saja bersinar terik. Rasanya ingin mandi lagi karena sudah semakin gerah.
Anin mengenakan kaos oblong dan celana jeans. Rambutnya yang panjang terikat dalam ikat rambut. Tak lupa ia mengenakan topi untuk melindungi kepala dan wajahnya dari sengatan sinar matahari. Anin melongo karena tak tahu harus apa. Datang terlalu cepat ternyata sangat membosankan.
“Anin!!”sapa Trisna yang baru saja tiba diantar seseorang.
“Tris, wow, you look amazing!”
“Sok iye.”
“Ah, ini abang gue An.”ucapnya memperkenalkan orang yang mengantarkannya. Cowok itu membuka helmnya. “Hai cantik….”godanya.
“Apa sih bang, nge godain teman aku. Udah sana pergi.”
“Masa abang bilang jelek sih. Ya udah, kalian hati-hati ya. Kalau kemana-mana harus bareng-bareng. Jangan sendirian.”
“Iye bawel. Udah sana.”
“Sorry ya An, abang gue emang rada genit.”
“Ga apa-apa. Dia bercanda doang. Gue malah iri, pasti seru punya abang.”
“Seru apaan. Menyebalkan.”
Rasa iri pada sesuatu yang tak dimiliki membuat lupa akan apa yang dimiliki. Bukti bahwa manusia memang tak pernah puas. Hari demi hari akan selalu mencari lebih. Begitulah Anin an Trisna. Anin benci dengan Winda dan merindukan sosok kakak laki-laki. Apalagi di rumahnya saat ini hanya tinggal tiga perempuan. Tak ada sosok lelaki yang bisa diandalkan. Untung Nya masih ada keluarganya Tama. Mereka bisa saling membantu.
Hasta tiba dengan ketampanannya yang mencuat. Kapan lagi lihat Hasta pakai baju bebas? Dia jauh lebih populer dibanding Tama dalam lingkup kelas 11 IPA 1. Tinggi badannya tak berbeda jauh dibandingkan Tama, hanya saja Tama lebih tinggi sedikit.
“Hey Has, lo gak bawa buku kan?”
“Anjir, kalau lo gimana? Lo gak bawa kegantengan lo yang maut itu?”
“Hahaha, itu mah akan selalu menempel di wajah gue.”
“Najis. Anin mana?”
“Ke toilet sama Trisna. Hebohnya luar biasa tuh anak.”
Ketua kelas bersiap untuk mengarahkan semua orang. Sudah cukup banyak yang berkumpul dan tak terasa sebentar lagi mereka akan segera berangkat. Hasta mencari sosok Bunga tapi tak ketemu. Ia ingin bertanya pada Tama tapi ia tahan. Bukankah aneh jika ia bertanya? Apalagi, Bunga itu pacarnya Tama. Walau mereka terlihat seperti tidak berpacaran. Mereka bertingkah seolah teman biasa. Tapi tetap saja, mereka terikat status satu sama lain.
“Bunga gak jadi ikut?”tanyanya pada Tama yang sibuk main Mobile Legend di smartphone miliknya.
“Ohh, Bunga…. Hah? Emang dia belum datang?”
“Dasar g****k. Kenapa jadi gue yang ngingetin sih.”
“Has, Has, tolong tanyain dong. Gue lagi main nih, sayang banget kalau skip.”
“Tapi,,,,”
“Gak ada tapi-tapian. Bentar ya, gue cari nomornya. Nah catat ya……”
Nomor tersebut sudah tercatat di ponsel Hasta. Ia berpikir ribuan kali untuk menyimpan nomor itu. Dan saat ia hendak menekan panggilan, cewek yang ia cari itu datang. Rambutnya di curly dan terurai. Atasan berwarna biru muda dan celana kulot hitam. Tak lupa ia pakai kacamata untuk memperindah tampilannya. Kehadirannya menjadi pusat perhatian. Cewek fashionable yang cantik dan lebih parahnya lagi, pintar.
“Yes, menang!”teriak Tama. Dan ia melihat Bunga sedang berjalan menuju ke arah berkumpulnya teman-teman yang lain. “Has, udah datang tuh. Gak usah ditelpon.”
“Bunga, my baby sweetie.”seru Tama. Semua orang langsung enek mendengar rayuan itu. Siapa yang tidak kesal melihat tingkah Tama yang menyebalkan itu.
“Ah, Hai Tam.”ucapnya enggan. “Jangan bertingkah kayak gitu. Jijik tahu.”bisiknya di telinga Tama. Tama langsung manyun. Padahal ia juga cuma akting, tapi kenapa rasanya sangat kesal.
“Gais, gais…. dengerin ya.”ucap ketua kelas dengan suara lantang. “Perjalanan kita kira-kira 1.5 jam. Sampai disana, kita akan langsung pasang kemah. Tolong semua kerjasamanya.”lanjutnya lagi.
Pak sopir segera bersiap di tempatnya. Semua orang masuk ke dalam mobil dengan temannya masing-masing. Perjalanan itu sangat menyenangkan diiringi musik yang berasal dari gitar. Selain itu, suara beberapa orang dari mereka sangat bagus. Rasanya tenang sekali. Apalagi saat bis itu sudah sampai di area yang penuh pepohonan, ah, rasanya menyegarkan. Seakan jiwa-jiwa yang gersang disirami air yang menyegarkan.
Bunga dan Anin sebangku karena memang mereka tak punya pasangan. Tama dengan Hasta, Gena dengan Trisna. Anin harus rela dengan siapa saja yang tersisa. Dan orang itu adalah Bunga. Ia kira hari itu akan menyenangkan, namun mood Bunga tak seperti biasa. Ia hanya melihat ke arah jalanan dan tak menggubris lawakan Anin dan teman-temannya. Anin tak tahu harus mencari bahan obrolan apalagi. Mungkin dia memang butuh waktu sementara. Bisa saja ada masalah keluarga.
Sebuah pesan dari Hasta, “An, bisa tukar tempat duduk gak? Ada yang mau gue omongin sama Bunga.”
Anin menoleh ke belakang. Hmm, rasanya duduk di sana tak buruk juga. Anin segera beranjak.
“Mau ngomong apa?”bisik nya di telinga Hasta.
“Entar gue kasih tahu.”balas Hasta sambil berjalan ke depan. Ia duduk tepat di samping Bunga. Dan saat itu, Trisna dan Gena mengikuti Anin ke kursi belakang untuk bernyanyi bersama yang lain. Jadi, hanya ada Bunga dan Hasta yang ada dibangku tengah.
“Bunga,,,,,”
“Eh, lo kenapa duduk di sini?”
“Lo kenapa sih? Kenapa lo menghindar?”
“Gue gak ngerasa menghindar.”
“Apa gue ada salah?”
“Mending lo balik sana. Suruh Anin duduk di sini lagi.”bentak nya kesal.
“Oke, fine.”ucapnya pasrah. Hasta berjalan kembali ke belakang.
“Udahan?”tanya Anin. Hasta mengangguk. “Nggak, ngak, lo duduk disana aja. Si Ganteng Maut di samping gue ini harus dikasih pelajaran. Gue mau nyiksa dia, gak boleh lewat sampai dia kencing celana. Lo duduk disana aja.”seru Anin sambil menahan kakinya agar Tama tidak bisa lewat. Tama mengumbar aibnya yang tidak bisa mengendarai sepeda di depan teman-temannya. Semuanya menertawainya dan itu mengesalkan.
Hasta tertawa hebat. Dasar anak berdua itu. Dari dulu mereka selalu punya masalah. Sebenarnya Tama lah si pembuat masalah dan Anin selalu meladeni itu semua. Hasta terpaksa kembali duduk disamping Bunga. Sudah tidak ada tempat duduk tersisa.
“Bukan kuasa gue ya, gue disuruh ke sini sama Anin.”ucapnya sebelum Bunga protes. Bunga hanya mendengus dan menempelkan headset di telinganya. Ia tidak mau mendengar apapun yang keluar dari mulut Hasta. Ia kembali menatap jalanan yang semakin sepi. Mereka akan segera tiba di tempat tujuannya.
Hasta sesekali melirik. Dia masih penasaran, kenapa Bunga semarah itu? Apa yang ia lakukan padanya? Andaikan ingatannya bisa pulih, ia akan bersyukur ribuan kali. Dengan niat untuk mencari tahu, Hasta harus terus mendekati Bunga. Bagaimanapun caranya, ia harus tahu apa yang terjadi. Ia mengambil kabel headset yang disebelah kiri. Bunga menatap tajam cowok itu.
“Lo dengerin lagu apa sih? Gue mau dengar juga.”ucapnya sambil menempelkan pada telinganya.
“Gak boleh.”ucap nya tegas sambil berusaha meraih kabel headset itu lagi. Tangan Hasta menghentikannya. Ia memegang tangan Bunga. Dan Bunga terdiam.
“Kenapa gak boleh?”lanjutnya. Bunga tak tahu harus menjawab apa.
“Terserah.”lanjutnya. Dia memalingkan wajahnya dari cowok itu. Hasta tersenyum karena merasa sudah menang. Setidaknya ia bisa berbicara walau tidak akan dijawab. Sebuah lagu dari One Direction terdengar merdu. Ternyata selera musiknya cukup bagus.
“Ternyata lo sepintar itu ya. Gue benar-benar gak nyangka. Ternyata, sebagai manusia, kita gak bisa melihat orang lain dari tampilannya. Tak semua yang tampilannya culun itu pintar. Begitupun yang tampilannya bak cabe-cabean.”
“Maksud lo, gue cabe-cabean?”
“Weits, gak gitu. Itu cuma istilah.”
Bunga kembali diam dan memalingkan wajahnya. “Dan kalau misalnya orang lain punya kesalahan, ada baiknya diomongin baik-baik. Dikasih tahu, dia sebenarnya ada salah apa. Jangan didiamkan. Gak enak tahu. Dia gak tahu salahnya apa, eh malah dimusuhi.”lanjutnya.
“Harusnya lo sadar, apa yang lo lakuin sama gue. Jangan menghakimi orang yang benci sama lo, lo yang harus introspeksi diri.”ucapnya tegas. “Kembalikan headset gue.”lanjutnya dan ia terus menatap jalanan. Hatinya sakit. Ia tidak tahu harus bagaimana. Rasanya ingin menangis. Kesal tapi tak tersampaikan. Ia memakai kacamatanya untuk menutupi matanya yang sendu itu.