Udara yang menyegarkan sangat terasa. Pohon rindang yang berjejer memanjakan mata. Orang kota kalau ke hutan itu pasti norak. Banyak yang mengabadikan moment dengan memotret berbagai hal. Cukup banyak stok untuk diupload di i********: nanti.
“Udahan foto-fotonya, bentar lagi malam. Siapin api dulu.”seru ketua kelas. Lama-lama kesel juga melihat cewek-cewek yang hobi foto-foto. Kalau cuma tiga puluh menit sih gak masalah, mereka menghabiskan waktu untuk hal itu satu jam lebih. Keterlaluan.
“Beberapa orang tolong cari kayu. Tanpa kayu tak ada api.”
“Kalau gak ada korek, gak ada api.”
“Iya, terserah lo aja. Pokoknya sekarang siapkan semuanya. Keburu malam.”
Tama jadi penceramah dadakan di tengah-tengah kumpulan cowok. Ia menceritakan tentang proses pengelolaan tanaman yang baik. Punya orang tua berlatar belakang perkebunan, Tama punya banyak pengetahuan yang bisa dibagikan. Semua mendengarkannya dengan baik hingga ketua kelas berteriak keras dan menyuruh mereka bubar. Tak boleh ada perkumpulan di dalam perkumpulan. Tama sedikit kesal, padahal dia sudah berada di ujung cerita.
“Ini masker wajah yang gue beli kemarin. Bagus banget, bikin muka segar.”seru Gena. Ia memberikan satu untuk Anin dan Trisna.
“Woah, entar gue coba kalau gak males. Thanks ya Gen.”seru Anin.
“Dasar, wajah itu harus dirawat An. Jangan malas dong. Entar kalau tua, wajah kita masih tetap muda.”ucap Trisna mengomentari.
Tak berapa lama beberapa orang datang ke kemah tempat mereka. Dia adalah Debby. Cewek itu berkacak pinggang dan sinis. “Tolong ya, jangan cuma main. Bantuin yang lain dong.”serunya.
“Santai dong. Kita juga baru aja kelar beres-beres.”ucap Trisna kesal.
“Jangan ramean. Bisa bagi tugas, ada yang nyari kayu juga.”celotehnya. Ia langsung pergi setelah selesai mengatakan itu. Anin, Trisna dan Gena saling berpandangan. Mereka semakin yakin ada yang salah di diri Debby. Entah apa tujuannya, ia sangat berniat untuk mengadakan permusuhan.
Anin memutuskan untuk membantu mencari kayu. Sedang Trisna dan Gena sibuk membereskan bahan makanan untuk dimasak. Anin mencari-cari seseorang untuk dijadikan teman pergi. Dia tidak mau tersesat sendirian. Untung aja ada Tama dan Hasta yang sedang mengobrol.
“Tam, Has, ayo cari kayu.”
“Sudah banyak yang pergi kok. Gue malas.”ucap Tama blak-blakan. Anin memperhatikan sekitar dan Debby sedang melihatnya. Aduh, sangat menyebalkan.
“Ayo gue temenin.”seru Hasta mengajak.
“Eh, masa gue sendiri. Gue ikut juga.”ucap Tama mengalah. Ia menyusul Hasta dan Anin yang berjalan menuju hutan. Untuk mendapatkan kayu kering, jarak yang ditempuh tak terlalu jauh. Hal paling menyebalkan adalah membawanya ke tempat kemah. Berat cuy.
“Anin, lo kenapa sih? Tadi buru-buru banget.”tanya Hasta.
“Gue dilihat Debby. Lo tahu gak, kayaknya Debby benci sama kita.”
“Mulai deh, sifat cewek dimana-mana sama. Suka ngomongin orang.”seru Tama kesal.
“Ini beneran Tam. Terutama lo, dia benci sama lo.”
“Udah deh, gak usah halusinasi. Ngobrol aja sama dia gue gak pernah, An. Kalau dia benci, si Hasta tuh yang paling tepat.”balas Tama cuek. Jelas saja, Hasta dan Debby sudah saingan sejak dulu. Jika diibaratkan, mereka musuhan sudah selama itu. Walau awalnya memang karena persaingan akademik, tapi bisa saja seiring waktu berubah perlahan.
“Benar juga kata lo Tam,”seru Hasta mengomentari.
“Terserah ya. Intinya gue udah ngasih tahu. Tatapan dia ke lo tuh beda,,,”
“Jangan-jangan dia suka sama Tama.”seru Hasta sambil terkekeh.
“Itu lebih gak mungkin.”jelas Anin.
“Kenapa gak mungkin?”tanya Hasta kepo.
“Ah, pokoknya gitu deh. Bingung gue ngejelasinnya.”
Tama tak peduli dengan ucapan itu. Hingga akhirnya malam tiba. Sebuah acara truth or sing tiba. Sebuah acara anak muda yang harus memilih menjawab pertanyaan atau menyanyikan sebuah lagu. Bagi mereka yang memiliki suara bagus, menyanyi adalah pilihan tepat. Namun jika suaranya fals dan cempreng, akan sangat memalukan jika memilih itu. Semua orang berkumpul melingkar. Ada yang bersemangat dan ada yang gemetar ketakutan. Ada saja orang yang malu mengungkapkan kebenaran tentang dirinya.
Penentuan giliran dilakukan secara acak. Tinggal menunggu takdir yang datang. Beberapa orang sudah ditanyakan, hingga tiba giliran Tama, Si Ganteng Maut. Dia akan menerima pertanyaan dari orang yang ingin bertanya. Munculnya pertanyaan pertama dari Trisna. Tama langsung menatapnya tajam.
“Pernah gak, lo suka sama Anin?”tanyanya blak-blakan. Semua orang langsung heboh. Persahabatan antara cowok dan cewek itu bukan hal nyata. Bagaimana bisa mereka yang dari kecil bersama tak pernah terperangkap oleh rasa?
“Truth dong, suara lo kan jelek.”
“Truth please! Jangan jadi pengecut.”
“Parah yang nanya. Jelas-jelas ada Bunga disini.”
“Eits, it’s fine for me. Kan pertanyaannya pernah suka. Bukan berarti sekarang lagi suka.”seru Bunga menengahi. Dalam hatinya, Bunga juga ingin tahu perasaan Tama yang sebenarnya. Hubungan pura-pura mereka juga akan berakhir nantinya. Setidaknya ia tahu sedikit tentang kebenaran perasaan cowok itu.
Begitulah komentar teman-teman yang ada disana. Tama sendiri bingung dan berusaha menjaga ekspresi.
“Okey, gue bakal jawab.”
“Yeay!!”teriak beberapa orang termasuk Trisna.
“Sebenarnya, gue…………. pernah suka. Tapi sebagai teman.”ucapnya kemudian. “Kan pertanyaannya gitu kan? Suka doang kan?”lanjutnya sambil tersenyum. Pertanyaan ambigu itu pasti punya jawaban. Semua orang kecewa, apalagi Trisna yang sangat berharap.
Anin hanya kalem. Tidak tahu kenapa, ia sedikit kecewa dengan jawaban itu. Hanya saja, ia tertawa mengikuti arus yang dibuat oleh Tama. Dalam hati kecilnya, ada sesuatu yang bertindak tak wajar. Ia sendiri bingung.
“Okey, lanjut ya.”seru pemimpin acara itu. Jagung bakar dibagikan untuk pelengkap malam yang bertabur bintang itu. Rasanya lezat karena baru saja matang. TIbalah giliran Debby. Dan dengan sigap, Anin mengangkat tangannya untuk bertanya. Ia hanya ingin membuktikan pada dua temannya itu, bahwa apa yang ia katakan tadi bukan tanpa alasan. Tapi yang dipilih malah orang lain.
“Kesan lo tentang orang-orang di kelas kita?”ucapnya. Pertanyaan biasa itu tak membuat Anin tertarik. Ia tak ada kesempatan untuk bertanya lagi.
“Gue bakal jawab, sebenarnya kelas kita ini seru. Cuman ada saja beberapa orang yang tak tahu batasan. Ada baiknya kita saling pengertian biar gak ada rasa sakit hati untuk satu sama lain.”ucapnya.
Anin, Trisna dan Gena saling pandang. Apakah mereka adalah orang yang dibicarakan? Tetap saja, menebak-nebak tak akan memberi solusi. Kegiatan itu berakhir hingga pukul 8 malam. Setelahnya adalah acara bebas. Anak introvert dan pemalas biasanya langsung tidur. Bagi yang suka begadang, memilih untuk gitaran sampai pagi.
“Gue gak habis pikir. Apa yang diomongin Debby itu kita?”tanya Gena penasaran. Mereka bertiga memilih untuk rebahan.
“Biarin aja lah. Gue udah gak peduli.”balas Trisna sambil maskeran. Ia mengajak Anin untuk memakai masker yang dikasih Gena malam itu juga.
“Mending kita nonton film yang sudah di download kemarin. Sambil nunggu ngantuk.”ajak Anin.
Waktu berjalan. Dan tak terasa sudah malam. Sayup-sayup suara berisik sudah tak terdengar lagi. Konser tunggal yang sedari tadi terdengar sudah berubah jadi keheningan. Rasanya sudah tak ada lagi yang terjaga. Semua orang sudah tidur di tempatnya masing-masing. Anin tiba-tiba terbangun tepat pukul 12 malam. Ia mengucek-ucek matanya. Rasanya mau pipis. Ia berusaha membangunkan Trisna dan Gena untuk menemaninya pipis. Mereka tak kunjung terbangung. Dikarenakan sudah tidak tahan lagi, Anin memutuskan untuk mengajak Tama atau Hasta. Ya, setidaknya ia punya teman daripada sendirian. Apalagi sudah segelap ini.
Ia berjalan menuju kemah dimana kedua temannya itu tidur. Saat hampir sampai, ia melihat Tama dan Debby sedang mengobrol tepat di depan kemah itu. Entah karena apa, Anin bersembunyi. Ia takut kehadirannya membuat dua orang itu merasa tak nyaman. Dan sudah seharusnya mereka menyelesaikan masalah itu. Tak baik jika Debby terus-terusan membenci Tama.
Tak berapa lama, mereka berdua malah berjalan ke arah hutan. Dan Anin mengikuti dengan sendirinya. Antara bodoh atau memang polos. Ia mengintip dari balik pohon besar. Untung saja dia bawa ponsel sebagai penerang jalan. Dia ingin menjaga suara agar tidak ketahuan.
“Jadi lo mau ngomong apa? Jangan bilang lo mau ngungkapin perasaan.”ucap Tama.
“Lo gak pernah sadar diri ya? Lo tau gak sih, lo itu udah jahat sama banyak orang.”jawab Debby dengan emosi yang mulai meninggi. Sedangkan Anin sibuk mengorek kupingnya agar bisa mendengar dengan baik.
“Gue ga tahu maksud lo apa.”
“Berapa banyak makanan yang lo kasih ke anak-anak? Apa lo gak pernah menghargai orang-orang yang ngasih lo bunga dan coklat?”
“Ohh, gara-gara itu. Gue gak paham apa yang lo pikirin. Gue nerima pemberian mereka gara-gara gue gak tega. Dan rasanya lebih baik ngasih ke teman-teman daripada gue buang.”
“Gak tega, huh, ada aja orang yang malah lo tolak.”
“Selama ini gue selalu menerima. Gue gak setega itu untuk menolak pemberian orang.”
“Omong kosong. Gara-gara lo ada yang nangis tiap hari.”
“Gue gak ngerti sumpah. Gue mau balik aja.”
“Tunggu dulu, Tam. Lihat ini.”ucapnya sambil menunjukkan foto di layar ponselnya.”
“Siapa itu?”
“Adik kelas yang sering ngasih lo coklat sama bunga. Tapi lo malah ngasih itu ke teman-teman. Dan yang lebih parah, beberapa minggu lalu, lo udah gak nerima pemberian dia. Dia berusaha keras ngasih ke lo. Dan asal lo tahu, dia adik gue.”
Tama terdiam. Ada rasa bersalah di dalam dirinya. Dia teringat akan orang dalam foto itu. Ah ya, dia itu adik kelas yang pemberiannya ditolak Tama karena ia sudah punya pacar. Ya, itu ide nya Anin sih. “Gue minta maaf Deb. Tapi beneran, gue gak ada maksud apa-apa.”
“Lo benar-benar gak tahu diri!”ucapnya sambil mendorong badan Tama dengan kuat. Akhirnya, cowok itu jatuh ke dalam jurang yang lumayan curam. Debby kaget bukan main. Sedang Anin langsung datang sambil berteriak.
“Tama!!!”teriaknya tapi tak ada jawaban. “Apa yang lo lakuin Deb?”ucapnya kesal sambil memukul badan Debby. Debby membalasnya dengan pukulan juga. Dan akhirnya, Anin ikut terjatuh. Debby berteriak keras. Ia tidak sengaja. Ini semua bukan yang ia inginkan. Ia ketakutan dan berteriak kencang. Dan akhirnya teman-teman terbangun. Semua orang datang untuk melihat apa yang terjadi. Saat tahu apa yang terjadi, cewek-cewek menangis. Kepanikan menghantui pikiran mereka.
“Guys, tolong kembali ke kemah. Biar kita nyari mereka besok aja.”seru ketua kelas pasrah. Mereka sudah berteriak dalam waktu dua jam tapi tak ada jawaban. Sepertinya jurang itu sangat dalam. Jika dicari dalam keadaan gelap akan sulit. Tangisan lirih masih terdengar dari mereka.
“Mereka pasti baik-baik aja kok. Jangan pernah berpikir yang enggak-enggak.”lanjut ketua kelas. Semua kembali ke kemah meskipun tak bisa tidur. Bunga bahkan tak berselera untuk berbaring. Ia duduk di dekat perapian yang sudah padam.
Hasta garuk-garuk kepala saking bingungnya. Beberapa anak cowok masih berjaga agar tak ada kejadian seperti ini lagi. Tak ada yang tahu apa yang membuat Debby bertemu dengan Tama disana. Cewek itu tak mau buka mulut. Ia hanya menangis. Dan Bunga tahu kalau tangisan itu adalah bentuk kebahagiaan.
Hasta duduk di samping cewek itu. Bunga yang tadinya mau merokok, langsung mengurungkan niatnya. Ia mengembalikan rokok itu ke dalam sakunya. Kenapa juga Hasta duduk disitu? Sangat membuat tidak nyaman. Bunga selalu teringat akan ciuman yang ia terima dari cowok tidak tahu diri itu.
“Apa lo tahu sesuatu antara Tama sama Debby?”tanyanya.
“Engga.”
“Masih marah?”
Tak ada jawaban.
“Tadi siang, Anin bilang kalau Debby itu gak suka sama Tama. Tapi gue gak tahu harus bereaksi gimana.”ucapnya. “Tinggal nunggu besok, gue harap mereka baik-baik aja.”
Bunga hendak beranjak. Ia gak mau melihat Hasta lebih lama. Ia masih kesal. Dan saat itu terjadi, Hasta menahan tangannya. Badan Bunga langsung kembali duduk. Hasta memegangnya sangat kuat hingga cewek itu tak bisa melepaskan diri.
“Lepasin gak?”
“Gak bakal. Sampai lo kasih tahu gue, kenapa lo marah gak jelas kayak gini.”
“Marah gak jelas? Lo gak ingat apa yang lo lakuin sama gue waktu itu? Dan setelah lo lakuin itu, lo lupa. Enak banget ya jadi lo.”
“Masalahnya, gue gak tahu. Bukan keinginan gue, gue lupa.”
“Terserah. Lepasin tangan gue!”
“Jelasin dulu, Bunga.”rengeknya lembut.
“Gue bakal ngasih tahu. Tapi gak bisa sekarang. Lo gak lihat, Tama sama Anin hilang.”
“Ya udah. Tapi jangan menghindar dari gue.”
Bunga mengangguk pasrah. Hasta langsung melepaskan tangan itu. Bunga hendak pergi meninggalkan cowok menyebalkan itu. “Jangan merokok, entar ada yang lihat.”seru Hasta kemudian. Bunga menoleh heran. Bagaimana bisa dia tahu? Apakah Tama yang ngasih tahu?
“Gue pernah liat lo di ngerokok di sekolah.”lanjutnya menjelaskan. Bunga sedikit lega atas jawaban itu. Setidaknya kepercayaan pada Tama tidak hilang begitu saja. Bunga langsung kembali ke kemah untuk tidur. Meskipun ia tahu bahwa ia pasti tidak akan bisa tidur. Cowok yang baru saja ia temui itu sangat mengganggu pikirannya. Benci dan cinta menyerangnya dalam waktu yang bersamaan.
Hasta terus menatap langit yang semakin gelap. Ia benar-benar khawatir tentang keberadaan Anin dan Tama. Rasanya sesak hingga tak bisa berpikir jernih. Andaikan ia terbangun, ia pasti sempat mengubah apa yang terjadi. Ia tidak tahu harus bagaimana selain menunggu pagi. Menunggu datangnya sinar matahari untuk melakukan pencarian lebih lanjut. Saat pikirannya semakin kacau dan tak bisa tenang, sebuah SMS membuatnya kaget. Tempat itu memang memiliki sedikit sinyal karena tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk.
“Has, gue sama Tama baik-baik saja. Kami jatuh sampai aliran sungai yang kita lewati kemarin. Tolong bawa obat luka ya, tapi entar aja kalau udah terang.”
Hasta melonjak kaget saking bahagianya. Ia ingin memberi tahu semua orang tapi mereka sudah terlelap. Ia sangat lega. Saat hendak menelpon balik, sudah tidak ada sinyal. Kelegaan itu membuatnya tidur sesaat sebelum matahari menunjukkan cahayanya.