BAB 6

1049 Kata
… Ayra dan Tarra …   … 2010 …                   Tarra memasuki kelas yang tampak sunyi dan hanya satu orang di sana. Satu orang yang memang selalu lebih dulu hadir dibandingkan dirinya. Tak jarang Tarra ingin menyendiri di kelas seperti halnya yang ia lakukan, namun selalu saja gagal. Seakan-akan wanita manis itu mengetahui niatnya yang berusaha menggagalkan segalanya.                 Tak ada senyuman penyambutan darinya. Ayra selalu saja membaca novel setiap hari dan melupakan dunia yang mengelilinginya. Termasuk saat Tarra melangkah di sampingnya dan duduk di satu kursi di belakang tubuh Ayra. Memandangnya dari samping lalu tersenyum tipis.                 Tak pernah berubah. Wajah manis itu selalu saja tampak serius saat kedua matanya mencoba mengeja kata demi kata di dalam novel tebal yang kini berada di kedua tangannya. Mencoba menikmati setiap kalimat yang nantinya akan membentuk kesimpulan di akhir cerita. Membawa sang pembaca untuk menikmati setiap alur yang sengaja dirangkai. Membawa pembaca untuk terjun langsung ke dalam dunia fiksi yang coba diukir sang penulis. Hingga terkadang sulit bagi pembaca untuk move on dari novel yang ia nikmati.                 Suasana pagi itu tampak cerah. Perlahan namun pasti, mentari di luar mulai menunjukkan kehebatannya dengan sinar menghangat. Menyinari bumi yang semula gelap dengan ditemani sinar rembulan. Menarik beberapa orang yang masih bermalas-malasan untuk bangkit dan mulai beraktifitas seperti biasa. Walau senin adalah satu hari yang untuk sebagian orang adalah membosankan. Tapi tidak untuk Tarra. Rasanya jika sabtu hadir, ia ingin sekali secepatnya bisa sampai di hari senin. Menikmati lekuk wajah Ayra yang hanya bisa ia nikmati dalam diam. Tanpa satu orangpun yang tahu. “Selalu berbeda setiap kali baca novel,” ucap Tarra yang langsung disambut Ayra dengan tatapannya dan wajah polosnya mengarah ke Tarra. “Bilang apa tadi?” tanyanya yang tampak memang tak dibuat-buat. Selalu saja. Ayra seakan membangun benteng tinggi setiap kali mata dan pikirannya berkonsentrasi ke novel yang menjadi pusatnya membaca. “Selalu diam setiap kali baca novel, biasanya ….” “Pecicilan gitu?” sambung Ayra sembari tertawa kecil yang juga disambut Tarra dengan tawa sekedarnya. Suasana kembali bungkam. Ayra menatap Tarra dengan senyuman tipis di bibirnya. Namun menghilang saat melihat lingkaran hitam terlukis di bawah mata Tarra. Menutup novelnya dan kembali menatap Tarra dengan senyuman yang semakin lebar di bibir. “Kalau aku ngajak kamu ke satu tempat, mau gak?” Pertanyaan Ayra berhasil kembali menarik tatapan Tarra terjurus padanya. Namun kali ini tatapannya seakan menyiratkan kebingungan yang luar biasa. Walau Ayra masih mencoba menarik senyuman di bibirnya sebisa mungkin. Tarra melangkah di belakang Ayra yang sudah lebih dulu berada di pinggir atap. Menyentuh tembok pembatas dan menikmati udara sejuk di pagi hari yang berdesir lembut. Tarra menghentikan langkahnya tepat di samping Ayra. Menatap ke seluruh gedung di area kampus yang dapat ia lihat. Baru kali ini ia di sini. Tak pernah terbayangkan atap gedung yang memang tertutup untuk semua orang itu, malah berhasil ia tembus bersama Ayra. Suara handphone berdering yang membuat Ayra membuka kedua matanya dan meraih handphone di dalam tas. Tarra melirik wanita manis di sampingnya yang tersenyum tipis saat melihatnya menatap ke dalam layar dan mematikan suara bising itu. Kembali memasukkan handphone ke dalam tas dan mengeluarkan kotak yang berisikan cokelat berwarna-warni. Mengeluarkannya dua butir, lalu memasukkannya ke dalam mulut. “Mau?” tanya Ayra yang langsung disambut gelengan kepala. Ayra yang paling tidak suka menerima penolakan, langsung mengeluarkan dua butir cokelat dan meletakkannya di telapak tangan Tarra. Menaik-naikkan alis matanya seakan meminta Tarra untuk mencoba santapan wajib baginya itu. Dengan berat hati, Tarra memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya sampai hancur lalu menelannya. “Cepat banget!” seru Ayra yang membuat Tarra mengerutkan kening. “Cokelat itu bukan makanan yang dinikmati dengan digigit sampai halus. Tapi dinikmati dengan diemut lama-lama, biar terasa.” Tarra tertawa mendengar kalimat Ayra, “Diemut itu bibir, bukan cokelat!” candanya yang langsung menarik pukulan pelan Ayra di bahunya. Keduanya kembali menikmati angin yang menyentuh pipi lembut. Sinar mentari yang mulai menghangatkan, semakin menambah deretan panjang ketenangan pagi itu. Tarra sendiri tak ingin banyak bicara dan bertanya kenapa Ayra bisa masuk ke atap gedung. Dia tidak ingin tahu bahkan dia tak peduli. Baginya saat ini, cukup bisa menikmati udara sesejuk ini ditambah tempat yang sunyi dan setinggi ini, membuatnya mampu tenang luar biasa. Jarang ia menemukan tempat seperti ini. Dan jika bukan karena Ayra, mungkin ia tak akan bisa merasakannya. Sesekali Tarra membuka matanya dan melirik Ayra yang masih berdiri di sampingnya dengan menatap langit dan tersenyum. Wanita aneh yang benar-benar aneh. Tak pernah ia temui wanita seaneh ini yang tersenyum menantang langit tanpa takut sinar mentari menusuk kedua matanya. Dan senyuman itu … begitu meneduhkan walau kedua matanya memilukan akibat genangan air yang enggan ia keluarkan. Kejadian pagi itu masih saja terniang di ingatan Tarra. Duduk di halaman belakang ditemani gemericik air dan gitar yang masih ia pangku tanpa ia mainkan. Tak pernah ia sangka sebelumnya, kalau Ayra yang terlihat ceria setiap saat, ternyata suka dengan tempat tenang seperti halnya dirinya. Namun yang membuatnya aneh, saat melihat Ayra tersenyum menatap langit dengan kedua bola mata tergenang air yang siap kapan saja jatuh membasahi pipi. Ada kesedihan di sana. Walau ia coba tutupi dengan senyuman di bibirnya. Ada rahasia yang ia pendam jauh di dasar hati. Sangat jauh hingga siapapun tak mampu menjangkaunya. Dan selama ini, ia menutupinya dengan tawa. Candaan bersama sahabatnya dan senyuman yang selalu berhasil membuatnya terlihat tegar tanpa masalah. “Nih makanannya, ngelamun aja kau, Bang!” Farel—sang adik—datang membawakan makan malam yang terbungkus kertas nasi. Meletakkannya di pangkuan Tarra yang membuatnya tersenyum tipis. Farel duduk di sampingnya, mulai membuka bungkusan nasi miliknya dan melahapnya tanpa menanti Tarra yang masih meletakkan gitar di sampingnya.                 “Gak keluar malam ini?” tanya Farel yang disambut Tarra dengan gelengan kepala. “Tumben!”                 “Sekali-sekali gak ada salahnya di rumah kan?” Tarra membuka bungkusan nasinya, meraih sendok yang dibawa Farel lalu mulai melahapnya. “Capek juga tiap malam keluar.”                 Farel tertawa di sela-sela lahapan makan malamnya. Menatap sang abang yang mulai menyantap nasi bungkus tanpa peduli dengan tawa meledeknya yang masih saja tergerai.                 “Ternyata anak malam bisa di rumah juga ya,” sindir Farel yang membuat Tarra tertawa kecil lalu kembali melanjutkan makan malam.                 Gemericik air seakan menjadi musik penenang bagi keduanya. Beberapa ikan berwarna-warni yang berenang dari sisi kolam yang satu ke sisi lainnya, seakan menjadi penghias kolam yang tak terlalu besar itu. Tempat ternyaman yang tak akan pernah berubah sejak dulu. Terutama untuk Tarra yang sangat suka ketenangan.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN