… 2014 …
Motor berwarna biru melesat tajam di jalanan sunyi. Seakan ingin membelah udara yang menggepul jadi satu di kegelapan malam. Beberapa motor besar lainnya juga melesat menyusulnya. Mencoba mengejar mencapai garis finish lebih dulu. Udara dingin menusuk tulang seakan tak mereka pedulikan. Demi hadiah yang cukup menggiurkan, membuat mereka melupakan segalanya, termasuk nyawa yang hanya ada satu dan tak ada lagi cadangan jika terjadi apa-apa.
Nominal uang yang dijanjikan seakan menjadi penyemangat bagi beberapa orang yang mempertaruhkan nyawa di jalanan. Tak peduli keselamatan. Tak peduli nyawa melayang. Semua dilakukan demi satu hal yang melekat erat sulit dilepaskan … hobby.
Kegemaran yang menakutkan bagi sebagian orang, tak membuat mereka merelakan dan melepaskan kegemaran yang satu itu. Kegelisahan, kebosanan, bahkan seluruh masalah yang dihadapi, lenyap seketika saat beberapa lintasan yang menjadi penghentak emosi, berhasil dilewati. Udara yang menampar tubuh, seakan menjadi angin sejuk bersahabat.
Semua orang yang menanti di garis finish, berteriak keras saat sebuah motor tampak melesat menuju garis. Melewatinya lalu berhenti tak jauh dari garis yang telah ditentukan. Membuka helm dan tersenyum ke semua orang yang hadir mengerumuninya sekedar memberi selamat. Tampak ekspresi puas di raut wajahnya. Senyumannya mengembang lebar, membuat kedua matanya menyipit sedikit dari ukuran aslinya.
“Gila, keren banget kau!” seru seorang lelaki sembari memeluknya yang sudah menuruni mobil. Menjitak kepalanya yang langsung disambut Darrel dengan rintihan kecil namun sesaat kemudian kembali tertawa.
“Bro, ini uangnya!!!” seru yang satunya lagi dengan kepala plontos dan hidung mancungnya. Darrel meraih beberapa lembar uang di tangan Vino, menatapnya penuh kebinar-binaran di kedua matanya lalu kembali tersenyum lebar.
“Selamat ya!” Sebuah suara membuat Darrel menurunkan kedua tangannya yang masih menggenggam erat lembaran uang hasil kerja kerasnya. Memberikannya kembali ke tangan Vino, lalu melangkah mendekati seorang lelaki yang berpakaian persis sepertinya. Jaket kulit berwarna hitam dengan rambut cepak semakin membuat semua orang yakin bahwa ia juga pembalap, sama seperti Darrel.
Darrel tersenyum ramah, lalu membalas uluran tangan lelaki di hadapannya yangs udah sejak tadi mengulurkan tangan. Pelukan tanda persahabatan pun langsung dilakukan keduanya. Pujian demi pujian dari lawannya itu, terdengar begitu menyenangkan di telinga kanannya. Melepaskan pelukan lalu memukul pelan lengan lawannya yang bernama Zaky.
“Kau juga hebat, Bro!” puji Darrel. “Kalau aja tadi aku gak konsentrasi sedikit saja, pasti kau yang menang.”
“Gak mungkin,” ucap Zaki sembari memainkan jari telunjukkan seakan mengisyaratkan ketidakmungkinan. “Sejak kapan sih aku bisa ngalahi pembalap hebat kayak kau, Bro!”
Darrel tertawa mendengarnya. Kembali memukul ZAki pelan lalu melambaikan tangannya saat Zaki melangkah pergi meninggalkannya dan berkumpul dengan sahabatnya yang lain. Vino sendiri langsung mendekati Darrel sedangkan Wira sendiri langsung menyenggol lengan Darrel dan memainkan bibirnya seakan ingin mengarahkan Darrel ke satu hal tepat di belakangnya.
Darrel terdiam. Tersenyum tipis lalu melangkah mendekati seorang wanita dengan rambut-rambut tipis menutupi keningnya. Menatapnya tenang yang tampak ada garis-garis ketakutan di wajahnya. Kedua matanya menebal akibat air yang siap kapan saja melesat membasahi kedua pipi. Bibirnya yang berwarna merah muda akibat pewarna bibir, tampak bergetar menahan tangis. Belum sempat Darrel mengucapkan sepatah katapun, secara tiba-tiba wanita tersebut memeluknya erat. Meneteskan air mata dan mencoba menetralkan kembali napasnya yang memburu akibat isakan tangis.
“Aku takut saat kamu balapan tadi,” ucapnya sembari melepaskan pelukan dan menatap Darrel penuh kekhawatiran.
“Tapi aku keren kan?” tanya Darrel dengan senyuman kembali terlukis di bibirnya. Wanita itu tersenyum sembari menganggukkan kepala lalu kembali memeluknya. Yang membuat Darrel menghela napas panjang.
“Kenapa harus kembali ke dunia ini lagi sih, Rel?” tanyanya yang seketika menghadirkan garis-garis kesedihan di wajah Darrel. Kedua matanya menatap lurus ke depan seakan mengenang satu kejadian yang membuatnya harus kembali ke dunia yang sempat ia tinggalkan. Memeluk erat tubuh wanita yang masih memeluknya erat walau kini, pikirannya melayang jauh ke satu kejadian yang menimpanya tanpa perasaan.
***
Pagi kembali menjelang seperti biasa. Darrel yang baru saja keluar dari kamar mandi, terlihat santai dengan baju berbahan kaos merah dengan celana loreng-loreng pendek selutut. Mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk berwarna biru, lalu melangkah mendekati cermin yang terpajang tepat di samping jendela kamar.
Darrel menghentikan gerakan tangannya mengeringkan rambut. Menatap dirinya di cermin dengan ekspresi ketakutan bercampur amarah. Rambutnya yang mulai panjang, masih enggan untuk ia rapikan seperti dulu. Kedua matanya beradu dengan pantulan di cermin. Tak ada senyuman, tak ada tarikan kebahagiaan di sana. Darrel seakan mendapati dirinya hancur lebur bersama dunia masa lalu yang berhasil ia lewati. Walau belum sepenuhnya.
Tangan kanannya bergerak ragu menyentuh cermin. Meraba pantulannya walau yang terasa hanya dingin di ujung jemari. Kedua matanya berkaca-kaca. Dia seakan menemukan sosok yang begitu ia rindukan. Bahkan sangat-sangat ia rindukan. Pantulan yang sempat ia benci bukan main itu, kini begitu ia rindukan. Hampir belasan tahun ia tak lagi melihatnya bahkan berusaha melupakannya. Perbuatan yang ia lakukan, membuatnya tak bisa mengampuni walau berulang kali ia sudah meminta maaf.
“Bang!” Sebuah seruan menghentikan lamunan Darrel dan membalikkan tubuhnya menatap seorang wanita bertubuh langsing dan berambut pendek sebahu berdiri di dekat pintu. Darrel mencoba mengatur napasnya yang semula tak beraturan. Mencoba tersenyum, walau masih terlihat terpaksa untuk ia ukir di bibirnya.
“Jangan lihat lagi kalau gak sanggup.” Kalimatnya menyentakkan diri Darrel yang berusaha menutupi segalanya. Wanita yang berusia beberapa tahun di bawah Darrel itu pun melangkah semakin masuk ke dalam kamar. Berhenti tepat di hadapan Darrel dan tersenyum menenangkan. Persis seperti sang ibu yang selalu membuatnya tenang dan ingin pulang.
“Yumna gak ingin melihat abang kembali tersiksa hanya karena masa lalu. Semua sudah berakhir dan kita tutup sama-sama masa lalu itu.”
Darrel menghela napas panjang, membelai lembut rambut Yumna dan mencoba membalas senyuman yang masih hadir di bibir sang adik. Yumna memeluknya. Begitu erat hingga terasa jelas kasih sayang yang diumbarnya sejak dulu. Darrel membalasnya dan berulang kali mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Yumna.
“Kita pulang yuk, Bang. Yumna kangen mama.” Kalimatnya membuat Darrel memutar bola matanya. Rasa enggan tampak di wajahnya. Pulang sama dengan kembali mengenang masa-masa kelam di kota penuh cerita. Dia masih enggan jika kebencian itu kembali menyeruak di dadanya. Dia belum siap. Dia butuh waktu beberapa tahun lagi untuk mengubur lebih dalam semua kenangan memilukan itu.
“Sudah dua tahun, Bang. Sudah saatnya abang pulang. Asal Yumna pulang tanpa abang, mama terus-terusan nanyain abang. Pulang ya?”
Darrel mempererat pelukannya. Meletakkan dagunya di puncak kepala Yumna sembari menginggat sosok lembut yang hampir dua tahun tak ia kunjungi itu. Sosok yang begitu mencintainya dengan sepenuh hati. Sosok yang selalu membelai lembut kepalanya dengan jemarinya yang lentik. Dan sosok lembut yang selalu ia banggakan akan posisinya sebagai ibu dalam hidupnya.
Darrel bukan membenci wanita yang kini berusia lima puluh tahun itu. dia sama sekali tidak menaruh kebencian di hatinya. Hanya saat, kejadian beberapa tahun lalulah yang membuatnya takut untuk kembali pulang dan menetap di kampung halamannya. Berulang kali ia mencoba untuk menetap lebih lama di sana, namun bukan ketenangan yang ia dapatkan melainkan sekelebat kenangan pahit yang ingin ia lupakan. Perlakuan kasar dan tak peduli itu, rasanya selalu membayanginya. Seruan setengah membentak yang masih terngiang begitu jelas di kedua telinga. Bahkan beberapa adegan pemukulan yang kerap terjadi, membuat Darrel tak sabar untuk pergi meninggalkan rumah tempatnya bernaung sejak kecil.
“Bang, mau kan?” Pertanyaan Yumna yang diiringi melepaskan pelukannya dari Darrel pun, membuat Darrel menatap enggan ke arahnya. Duduk di pinggir tempat tidur, sembari menutup wajahnya denga kedua tangan.
“Ajak aja mama kemari, entar biar abang yang jemput di bandara.”
“Mama gak mau, dia mau kita pulang ke sana.”
“Tapi bang belum siap, Dek.”
“Mau sampai kapan?” Pertanyaan Yumna yang sulit untuk dijawabn Darrel yang kini memilih berdiri dan mendekati jendela kamar. Menatap hujan yang terus membasahi tanah dan benda-benda lain di atasnya. Mencoba memberikan hawa dingin, namun sama sekali tak mampu dirasakan Darrel yang kini menghangat karena emosi.
Yumna sendiri yang masih berdiri di belakang Darrel, tanpa sengaja melirik ke sebuah tasbih dengan butiran biru di atas meja Darrel. Tasbih yang dihiasi nama Darrel diujung tasbih sebelum ikatan kuat yang sengaja dibuat agar tak terlepas. Butiran putih juga menghiasi tasbih seakan menjadi penanda hitungan di setiap angka tiga puluh tiga. Dan sebagai akhir dari butiran tasbih sebelum akhirnya dihiasi dengan mainan huruf yang tersusun menjadi nama Darrel. Yumna meraihnya dan menatap takjub ke tasbih yang kini ia genggam.
“Apa abang masih mengingatnya?” Pertanyaan Yumna menarik tatapan Darrel untuk terarah padanya. Menatap kaget lalu sesaat kemudian menundukkan kepala. Membalikkan kembali tubuhnya dan menatap hujan yang masih turun dengan derasnya di luar. Membayangkan seraut wajah yang hampir dua tahun tak terlihat di kedua mata. Entah di mana dan entah gimana kabarnya saat ini.