BAB 26

1097 Kata
… Ayra dan Tarra …    … 2012 …                   “Naya.” Sebuah suara memudarkan ingatan itu dari ingatannya. Menatap ke sosok lelaki yang membuatnya harus menanti selama satu jam di bukit rumput. Lelaki itu tersenyum dan duduk di sampingnya. “Sorry ya.”                 “Ngapain manggil namaku dengan nama itu?” tanya Naya kaget, lantas sedetik kemudian berubah kesal.                 “Ayra Lanaya Utari, itu nama kamu, kan?” tanyanya yang tersenyum nakal. “Emangnya kamu aja yang boleh manggil aku dengan nama pribadi. Aku juga dong.” Dia memperlebar senyumannya, mengusap kepala Ayra sesaat lantas kembali menatap lurus ke depan.                   Ayra tertawa mendengarnya. Kelegaan hadir di dalam diri Tarra saat melihatnya tertawa begitu lebar. Semula dia cukup takut mendekati Ayra yang tampak kesal akibat keterlambatannya. Seharusnya dia menghubungi Ayra sejak awal, namun sayangnya Airin yang masih menghubunginya membuatnya sulit menghubungi Ayra.                   Ayra menatap ke langit luas. Duduk bersama Tarra yang kini berbaring di atas rumput sembari menutup kedua matanya. Menikmati desiran angin, melepas segala kepenatan yang hampir memenuhi d**a. Rasa sakit dan sesak yang masih tersisa di dadanya, entah karena apa. Yang pasti Tarra merasa, dadanya tidak enak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dan sulit dia lepaskan. Tarra menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan yang membuat Ayra melirik ke arahnya.                 Beberapa kali Ayra meliriknya. Menggigit bibir bagian bawah seakan ingin mengatakan sesuatu tapi enggan untuk ke luar dari bibirnya. Kembali menatap ke langit sembari menghela napas panjang. Rasanya sulit. Ayra benar-benar tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun untuk sekedar memulai pembicaran serius dengannya. Dia takut, entah takut karena apa. Yang pasti, Ayra benar-benar ingin mengajak Tarra untuk berbicara kali ini.                 “Nay, ada yang aku ingin ceritain soal hidupku ke kamu,” ucap Tarra tba-tiba yang tampak lega mendengar Tarra lebih dulu memulai pembicaran. Tarra memulai memecah kesunyian. Duduk di samping Ayra yang kini mengarahkan tatapan kepadanya.                 “Kamu itu … mengingatkanku pada seseorang,” lanjut Tarra perlahan yang malah membuat Ayra tersenyum tipis.                 “Dinda?” tebak Ayra yang memang sudah tahu sejak awal, namun rasanya dia selalu ingin Tarra duluanlah yang memulai pembahasan ini.                 Tarra mengangguk pelan sembari menghela napas panjang, “Dinda itu pacarku. Lebih tepatnya mantan. Aku bertemu dengannya saat aku duduk di bangku SMA. Sifatnya hampir sama denganmu, kekonyolan dan keceriaanya yang membuatku jatuh cinta. Dan aku baru tahu saat kami baru berpacaran satu bulan kalau dia … mengidap penyakit kanker,” cerita Tarra dengan nada suara menyedihkan. Kesedihan di hatinya yang selalu dia simpan dalam diam, kini ke luar dengan sendirinya. Dan sedikit banyaknya, dia mulai merasa lega bukan main.                   Ayra menelan ludahnya. Mencoba membayangkan penyakit ganas itu bergelantungan dalam tubuh. Menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat hingga semakin lama semakin menipiskan waktu untuk bernapas seperti biasa.                 “Dia meninggal saat aku kelas dua SMA. Padahal, dia berjanji tidak pernah meninggalkanku,” lanjut Tarra lagi seolah tidak membiarkan Ayra untuk membalas ceritanya. Ayra mengarahkan tatapannya ke Tarra yang kini sudah membuka kedua matanya dan menatap lurus ke langit. Ada kesedihan terpancar di kedua matanya yang berhasil ditangkap Ayra. Kesedihan yang teramat sangat, yang selalu dia pendam seorang diri.                   “Semua manusia pasti pergi, Rel.” Hanya kalimat itu yang bisa Ayra ucapkan. Dia bingung, harus menenangkannya dan ikut bersedih dengannya, atau berusaha tegar agar Tarra tidak semakin hanyut dalam kesedihan.                 “Iya, tapi ini terlalu cepat. Aku pernah merasakan kehilangan saat SMP, dan aku tidak pernah membayangkan akan merasakannya kembali.”  Tarra teringat kembali kejadian itu. Kejadian saat sang ayah meninggal dunia.                 Ayra menundukkan kepala. Mencoba kembali mengingat kisah pahit dalam hidupnya yang tak satu orang pun tahu. Sosok penenang dan pelindung itu menghilang selamanya tanpa ingat pulang.                 “Aku juga pernah merasakan hal itu, Rel.” Tarra mengalihkan pandangan tak percaya ke Ayra yang masih menundukkan kepala. “Abangku meninggal dengan tragis saat aku SMP. Seorang abang yang layaknya seperti pacar, sahabat dan pelindung malah tega meninggalkanku sendirian. Dan karena kepergiannyalah, kebahagiaan dalam hidupku menghilang. Mama menceraikan papa hanya karena menganggap kecelakaan yang menimpa abang karena dirinya. Dan semenjak itulah, aku tinggal berdua dengan mama.” Ayra menunduk sedih. Mencoba tetap baik-baik saja dia depan Tarra dengan menyembunyikan wajahnya. Dia tidak ingin sebenarnya membagikan kesedihan itu pada siapa pun, termasuk tentang Tarra. Namun rasanya sulit. Hatinya bergejolak ingin memberitahu Tarra segalanya.                 Tarra menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Tarra merasa, dia tidak sendirian. Ayra berada di dekatnya dengan jalan cerita yang juga sama, tentang kehilangan. Dan hal itu membuat Tarra merasa, bahwa bukan hanya dia yang selama ini menyimpan duka teramat dalam di hatinya, tapi juga Ayra. Kehilangan seolah menjadi momok paling menakutkan untuknya dan Ayra, hingga membuat bekas luka itu tak mudah hilang dari hatinya.                 “Kehilangan memang sering terjadi merusak segalanya, Nay,” lanjut Tarra. “Ayahku sebenarnya bukan sosok yang selalu ada buat isteri dan ketiga anaknya. Dia selalu sibuk bekerja pagi siang dan malam. Namun, kecelakaannya membuat hatiku sakit.” Tarra mencoba tersenyum, mencoba tetap kuat agar Ayra tidak semakin sedih karenanya. “Andai saja aku bertemu dengan keluarga yang membunuh ayah, mungkin aku hanya ingin bilang kalau aku berterima kasih karena telah menyadarkanku pentingnya arti ayah di dekatku. Andai saja hal itu tidak terjadi, mungkin sampai saat ini aku bakalan terus membencinya,” ucap Tarra sembari memperlebar senyumannya.                   “Ayah kamu dibunuh?” tanya Ayra kaget bukan main. Dia benar-benar tidak percaya dengan cerita Tarra perihal kematian sang ayah yang terlalu memiriskan hatinya. Tarra menggelengkan kepala yang membuat Ayra tampak semakin penasaran. Menatap Tarra dengan tatapan bingung sedangkan lelaki di sampingnya itu malah mengarahkan tatapan ke langit.                 “Dia ditabrak oleh anak berusia tujuh belas tahun dan mobil mereka terbakar. Kejadian itu terjadi di tahun 2002. Saat aku SMP,” jawab Tarra dengan tenangnya.                 Ayra seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Semua perkataan Tarra seakan menghentikan detakan jantungnya seketika. Napasnya memburu tak karuan hingga membuat Tarra mengalihkan tatapannya ke Ayra yang kini menatap lurus ke depan dengan ekspresi kaget. Berulang kali Tarra memanggilnya, namun Ayra seakan tak mempedulikannya panggilan itu.                 “Kamu tahu siapa nama anak remaja yang membunuh ayah kamu itu. Rel?” tanya Ayra tanpa menatap Tarra yang saat itu mengangguk pelan.                 “Gino … Gino Andrianto. Aku tak akan pernah melupakannya.”                 Betapa kagetnya Ayra mendengar satu nama itu disebutkan. Air matanya menetes membasahi pipi kanannya saat tatapannya kembali terarah ke Tarra. Ekspresi kaget pun tampak jelas di wajah Tarra saat mendapati air mata melesat membasahi pipi Ayra.                 “Gino Andrianto … dia abangku yang meninggal saat aku SMP, Rel,” ucapnya yang langsung disambut angin semilir menyakitkan tulang yang dirasakan Tarra dan Ayra tanpa bisa melawan dan mengusirnya pergi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN