Izinkan aku membuktikan Inilah ksesungguhan rasa
Izinkan aku menyayangimu
*Iwan Fals—Izinkan Aku Menyayangimu*
... 2014 ...
Adam mulai putus asa. Harapannya akan Naya yang tidak lagi memandangnya sebelah mata, semuanya masih tetap tak ada kemajuan. Hadiah ulang tahun yang diberikannya dengan sedikit kejutan, malah masih membuat Naya dingin padanya. Padahal, perjuangannya untuk hadir tengah malah dan berdiri di bawah jendela kamarnya yang tereltak di lantai dua dan diguyur hujan, baginya sudah cukup membuat Naya berhenti menyakitinya. Namun ternyata nihil. Naya hanya sekedar mengucapkan terima kasih dengan menemui Adam di bawah hujan. Menerima bunga dan hadiah lalu sekedar mengajak Adam masuk ke dalam untuk berteduh.
Adam berusaha menahan. Menarik tangan Naya hingga membuat wanita itu berhenti melangkah. Mencoba menetralkan perasaan dan meminta Naya untuk sekali saja memahami perasaannya kali ini. namun Naya malah tersenyum dan melepaskan tangannya secara perlahan. Menatap Adam yang masih mengharapkan jawaban tulus tentang niatnya untuk memulai semua dari awal.
“Tidak semua cinta bisa dipaksakan. Ada kalanya, waktu bermain di dalamnya. Ada kalanya memang cinta itu tak mau hadir. Dan hingga saat ini, aku tidak tahu hatiku memilih yang mana. Maaf.” Naya berlalu meninggalkan Adam yang masih berdiri di bawah hujan. Memandangi wanita itu masuk ke dalam setelah melewati Asty yang berdiri di teras rumah. Tanpa sesaat berhenti sekedar melihatnya.
Adam menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Menatap langit kamar lalu menarik tatapannya ke jendela besar di samping kirinya. Menikmati hujan malam itu yang masih menemaninya dalam rasa sakit. Jam dinding kini menunjukkan pukul tiga pagi. Sudah satu jam ia tiba di rumah. Namun bayangan tentang antusiasnya menyiapkan segalanya untuk membuat Naya menepikan hatinya, tak juga hilang. Semua sudah dipersiapkan sedemikian rupa hingga Adam meminta izin untuk pulang lebih awal dari rumah sakit tempatnya bekerja. Berusaha menyiapkan bunga marah putih beberapa ikat, dan menyusunnya berbentuk love di halaman rumah Naya saat hari menjelang malam. menyiapkan hadiah boneka beruang besar dengan dibungkus plastik transparan dan mempersiapkan pakaian terbaik agar terlihat rapi di hadapan Naya. Semua itu kini sia-sia.
Rasanya saat ini Adam ingin menangis. Namun, air mata seakan tak mengizinkannya untuk hadir melemahkan diri. Semua selesai sudah. Harapan agar bisa merasakan hidup bersama Naya, lenyap seketika. Naya masih saja enggan untuk memberitahukannya satu alasan kuat hingga membuatnya menolak cinta darinya. Naya seakan masih ingin menyimpan segalanya rapat-rapat. Bahkan saat Adam bertanya pada ASty pun, jawaban pasti tak ia dapatkan.
“TAnte juga tidak tahu apa yang terjadi pada Naya. Dia menutup diri dari semua lelaki saat ia masih duduk di bangku S1.”
Adam beranjak dari tempat tidur. Mendekati jendela dan menyentuh permukaan jendela seakan ingin kembali merasakan sentuhan air hujan malam itu. Perlahan, Adam membuka pintu kaca yang menghubungkan dengan balkon. Melangkah keluar dan membiarkan tubuhnya kembali diguyur hujan. Berharap hujan mampu melunturkan segala sakit yang melekat di hatinya.
Adam melangkah lemah di lorong rumah sakit. Wajahnya pucat dan berulang kali ia bersin-bersin sampai membuat beberapa suster yang lewat, sejenak berhenti menanyakan keadaannya. Namun dengan senyuman, Adam mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.
Adam membuka pintu ruangannya. Duduk di belakang kursi kekuasaannya dan mencoba memeriksa beberapa data pasien yang hari ini sudah mendaftar untuk ia periksa. Berharap tidak lebih dari lima orang namun sayang, pasien yang baru mendaftar pagi ini bahkan sudah mencapai sepuluh orang. Adam menghela napas panjang, menggelengkan kepala sembari memijatnya sebentar. Lalu mengalihkan tatapannya ke pintu saat suara ketukan hadir mengusiknya.
Suster Lena masuk ke dalam dengan pakaian serba putih dan jilbab yang menutupi kepalanya. Sudah dua tahun dia memutuskan untuk berhijab, dan Adam sempat membayangkan Ayra akan lebih cantik jika memakainya juga. Namun, bayangan itu sirna setelah kejadian tadi malam. secara tidak langsung Naya menolaknya. Dan hal itu membuatnya harus memupuskan segalanya.
“Bisa pasiennya masuk sekarang, Dokter?” tanya Suster Lena sopan.
“Boleh.”
Suster Lena kembali keluar. Adam sendiri langsung membereskan peralatannya dan menanti seorang pasien yang menurut data dia adalah pasien pertama yang mendaftar. Mencoba melupakan rasa sakit di kepalanya dan mulai tersenyum saat seorang wanita hadir dengan seorang anak yang kira-kira berusia sepuluh tahunan. Duduk di hadapan Adam dan mulai menceritakan segala keluhan yang sang anak derita.
Naya menanti Adam. Entah kenapa sore ini dia membutuhkan seseorang untuk sekedar menemaninya berjalan-jalan di mall. Naya menantinya dis ebuah café di dalam mall. Menyeruput minuman lemojn tea yang masih dingin, lalu kembali mengarahkan tatapan ke jam di tangannya. Hampir setengah jam Adam telat. Namun Naya mengerti kondisi Adam yang baru bisa keluar dari rumah sakit tepat jam lima sore. Dan jalan dari rumah sakit Mata Bunda tempat Adam bekerja, cukup memakan waktu satu jaman.
Akhirnya yang ditunggu pun tiba. Dengan napas naik turun tak karuan, Adam duduk di hadapan Naya. Meminta maaf berulang kali yang langsung dibalas Naya dengan senyuman.
“KAmu sakit?” tanya Naya yang membuat Adam menggelengkan kepala. “Tapi kamu pucat, Dam!”
“Aku hanya kelelahan. Tadi banyak pasien.”
Naya masih tak yakin dengan jawaban Adam. Ada perasaan aneh di hatinya yang membuat Naya harus menyentuh kening Adam. Merasakan hawa tubuhnya yang panas dan membuatnya terperanjat kaget. Sementara Adam sendiri yang tak menyangka menerima perlakuan Naya, hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Mendengarkan semua kalimat khawatir Naya yang seakan menjadi obat penyembuh luka.
“Kamu peduliin aku, Nay?” pertanyaan Adam membuat Naya terdiam. “APa itu berarti kamu ….”
“Darrel!” seru Naya tiba-tiba yang membuat Adam menghentikan kalimatnya. Mengarahkan tatapan ke mana Naya menujukan matanya. Tepat di belakangnya. Seorang lelaki masuk ke dalam café dnegan digandeng seorang wanita cantik di sampingnya. Darrel yang menangkap sosok Naya di kedua matanya, langsung terhenti. Kerinduan tampak jelas di kedua matanya sedangkan Naya sendiri terlihat memilukan dengan bendungan air di kedua matanya. Wanita di sampingnya yang juga melihat ke Naya, malah langsung mempererat gandenganya dan mendekati Naya sembari menarik Darrel yang semua enggan mendekat.
“Hai, Nay. Udah lama kita gak ketemu ya.” Suara Airin yang menyapanya membuat Naya berdiri dan tersenyum. Mencoba tersenyum walau hatinya perih luar biasa. Adam sendiri pun ikut berdiri walau eprasan bingung hadir menyapanya.
“Ini siapa, pacar kamu??” Naya mencoba membantah, namun Airin malah menarik tangan Adam untuk berkenalan dengannya. “Aku Airin, pacar dari sahabatnya Naya.”
“Ayo kita pergi, Rin!” ajak Darrel yang sudah tidak kuat lagi melihat wajah sedih Naya yang terus menatapnya.
“Apaan sih, Sayang. Aku masih belum kenalan sama pacarnya Naya!”
“AKu mau kita pergi sekarang!” bentak Darrel yang langsung menarik tangan airin.
“Tunggu!” teriak Naya yang spontan membuat Darrel berhenti melangkah. Berbalik dan menatap Naya yang melangkah mendekatinya dan berhenti tepat di depannya. Tersenyum walau masih terasa menyakitkan untuk diterima Darrel.
“Mumpung kalian berdua di sini, aku mau ngasi tahu sesuatu.” Naya melihat kea rah Adam. “Aku yang ngasih tahu atau kamu, Dam?”
Adam yang tidak tahu apa-apa, hanya mengerutkan keningnya. Menatap Naya bingung yang kini kembali mengarahkan tatapan ke Darrel di hadapannya. Mencoba tetap tenang walau sebenarnya dengan melihat Darrel yang kini hadir d haapannya, membuatnya sakit bukan main. Ingin rasanya ia memberitahu Darrel bahwa ia merindukannya. Namun sulit. Keadaan kali ini tak lagi mendukung. Naya menghela naaps panjang. Menundukkan kepala mencoba menahan tangis lalu kembali menaatap Darrel yang masih melihatnya penuh kerinduan.
“Aku dan Adam akan … menikah setengah tahun dari sekarang.”
Terlihat jelas wajah kaget Darrel ketika itu. air mata pun jatuh dari kedua mata Naya secara bergantian walau senyuman masih tergaris di bibirnya. Ucapan dengan nada bergetar itu, sontak membuat Darrel melepaskan genggamannya di tangan Airin yang membuat Airin menatap tangannya tak percaya. Darrel mengarahkan jemarinya menyentuh kedua pipi Naya. Menghapus air matanya sembari menggelengkan kepala.
“Kamu bohong kan? Sejak dulu mata kamu gak bisa membohongiku, Nay.”
“Sejak kapan aku berbohong. Bukankah dari dulu aku selalu jujur?” Naya menurunka kedua tangan Darrel yang masih menyentuh pipinya. “Kalian datang ya.”
Naya membalikkan tubuhnya. Melangkah mendekati Adam secara perlahan sembari menangis pilu tak kuasa menahans egalanya. Taka da suara tangis yang keluar. Hanya air mata yang mampu dilihat Adam dengan kedua matanya hingga wanita itu berhenti di hadapannya dan menatapnya pilu. Air mata yang masih mengalir dari kedua matanya, membuat Adam mengangkat kedua tangannya dan berniat menghapusnya. Namun secapat mungkin Naya menggenggam tangannya dan menggelengkan kepalas eakan tak mengizinkannya melakukan itu.
“Dam, masih ada kan kesempatan itu untukku?” bisiknya yang membuat Adam tak kuasa mendengarnya dan langsung memeluknya walau semua orang mengarahkan tatapan kepadanya. Naya menangis pilu di pelukan Adam dan sekuat mungkin menahan agar suara isakannya tak keluar dari bibirnya.
“Aku mencintaimu, Adam,” ucap Naya setelah beberapa kali mencoba menguatkan diri agar tak terdengar nada bergetar dari suaranya. Dia ingin Darrel mendengarnya walau sebenarnya semua itu ia lakukan dengan hati yang terluka. Perih dan tak terobati. Darrel sendiri hanya mampu berdiri terpaku melihat segalanya hingga tangan Airin menariknya dan mengajaknya pergi keluar dari café.