Aku terbangun saat merasakan Saga menciumi seluruh bagian wajah seraya menepuk-nepuk bookongku.
"Ndut bangun ih, gue udah masak tuh. Ayo makan, " ajaknya.
Aku menggeliat, lalu menatapnya yang kini tersenyum. "Ngantuk tau," keluhku.
Tentu saja aku capek banget setelah semalam bergumul di ranjang sama Saga. Enggak minum bluemoon aja stamina dia udah gila. Apalagi minum kaya gitu, habis aku dihajar beronde-ronde. Dari yang non pengaman sampai aku suruh dia pakai pengaman. Meskipun ini bukan masa subur tetap aja aku takut kalau Saga ke luar banyak di dalam.
"Nanti tidur lagi yang penting makan dulu. Aku udah masak dadar telur sama tumis sayur asam manis tuh."
Aku duduk memeluk selimut karena sampai saat ini belum berpakaian. Saga terkekeh, lihat aku yang lesu karena ulahnya. Ia duduk di sampingku, aku rebahkan kepala ke bahu Saga. Dia kecupi kening lalu membelai rambutku.
"Capek banget ya?"
"Capek tapi enak."
Jawabanku buat Saga ngakak, ia mengecupi lagi keningkku. "Buruan mandi sana, dari pada gue nepsong lagi nih?"
Ku dorong suamiku menjauh. "Ke luar ah, aku mandi dulu."
"Buruan ya, gue juga laper banget nih."
"Makan duluan aja sih."
"Enggak romantis ah, enggak mau. Buruan aku tunggu kamu ya."
Aku mengangguk kemudian Saga berjalan ke luar dari kamar. Aku juga bergegas untuk membersihkan diri agar bisa makan bersama Saga yang pasti juga udah lapar. Saga itu pinter di ranjang dan di dapur. Beda sama aku yang sama sekali enggak bisa masak kecuali yang instan-instan atau goreng-menggoreng. Saga sabar aku emosian. Pokoknya aku dan Saga itu perbedaan yang dipersatukaan. Enggak ada perbedaan dari kami setelah menikah, selain kami bisa saling memuaskan di ranjang.
Selesai mandi aku berjalan ke dapur, Saga sudah menunggu sambil mendengarkan musik dari ponsel. Ia segera melepaskan earphone setelah aku berjalan mendekat.Makanan sudah tersaji, aku duduk di sebelah Saga dan kami makan bersama.
"Ga, liburan mau ke rumah ibu?"
"Yakin kamu mau ke rumah ibu?"
Aku mengangguk, meskipun ibu Saga selalu beri sindiran akan banyak hal. Namun, bagaimana pun ia adalah ibu mertuaku, ibu dari suamiku. Tanpa ada ibu, mana bisa lahir cogan kaya Saga?
"Kita udah lama enggak ke Bogor nanti kita nginep aja sekalian refreshing," kataku.
"Kita jalan siang atau sore ini, terus pulang besok."
"Aku libur sampai minggu. Enggak apa apa kalau kita nginep dua malam."
"Sabtu kita ke rumah papi kita nginep di sana. Kamu udah lama juga enggak ke rumah papi sama mami kamu. "
Aku mengangguk, senang sih karena Saga memang selalu bisa bersikap dewasa seperti ini. Saga itu istimewa. Saat aku salah ya dia marah ke aku, kalau ibu mertuaku salah ya dia ngomong sih ke ibunya. Seperti tentang ketidakbisaanku masak, yang Saga maklum. Saga bilang kalau dia mencari istri bukan koki. Meski sesungguhnya aku juga ingin bisa menyenangkan suamiku dengan memasak.
Pernah suatu kali aku berniat memasak sayur sop berbekal gugel, malah jadinya hancur berantakan. Rasanya manis bukan asin, padahal aku kayanya cuma masukin gula setengah sendok teh seperti di video. Katanya gula bisa untuk menggantikan micin memberi rasa gurih. Yang ada malah kaya masak air gula.
Selesai makan aku bersiap membereskan baju secukupnya lalu aku menunggu Saga kembali dari studio. Masih ada yang harus diselesaikan katanya. Meski ia mengajak aku ikut, aku memilih beristirahat di rumah. Bogor dingin, aku enggak tau apa yang bisa Saga lakuin nanti selama kami ke bogor.
Sedih sih hidup begini, apalagi aku enggak punya teman. Kalau kata orang lain, mereka merasa sedih karena lama-lama teman berkurang. Aku? mau sedih gimana? Dari dulu memang enggak punya teman. Aku cengeng sejak kecil, dikatain sedikit nangis, diledek nangis, aku dibully dikatain gendut. Ya, padahal emang gendut. Itu duku sekarang sih bodo amat lah.
Untung aku punya otak yang enggak malu-maluin seperti badanku ini. Ya, teman datang cuma buat nyontek dan cari jawaban. Aku putuskan ikut akselerasi naik dari tingkat sepuluh ke dua belas. Di sana aku ketemu Saga, kita satu kelas. Jangan tanya awalnya gimana. Saga sama aja kaya yang lain, ngatain aku dan sebagainya. Kami duduk sebangku dan aku hampir enggak pernah ngomong sama Saga. Ya ngapain juga pikirku.
Suatu hari Saga sampai buka suara kalau ia merasa seperti duduk sama batu. Saga mulai ajak aku ngobrol, enggak tau ada angin apa sampai dia nembak aku duluan tanpa ada kejadian spesial. Saga bilang penasaran pacaran sama batu. Aku terima Saga, bukan karena aku suka sama Saga. Tapi, aku penasaran rasanya pacaran. Dan akhirnya Saga bukan cuma jadi pacar, tapi juga jadi sahabat, jadi kang ojek dan banyak lagi. Saga segalanya dan aku juga berharap bisa jadi segalanya buat saga.
Sudah pukul dua siang aku bisa mendengar suara klakson mobil suamiku yang kini membuka pagar. Aku ada di lantai dua jadi tak mendengar ia masuk. Segera berjalan turun setelah aku mematikan lampu kamar.
"Udah siap?"
Aku mengangguk. Kami segera berangkat tak lama perjalanan ke Bogor dan kami tiba sore hari. Ibu suda ada di teras bersama Kak Indie dan anaknya Alea. Saga anak bungsu gagal, waktu ia berusia tujuh belas tahun ibu hamil dan lahir Sinta. Saga punya dua kakak perempuan dan dua-duanya sudah menikah. Kak Eri punya dua anak laki-laki tapi kini tinggal di semarang bersama sang suami. Kak Indie punya satu anak perempuan yang kini berusia dua tahun, dan si bungsu Sinta yang kin berusia 15 tahun.
Saga memarkir mobil dan kami segera turun dan berjalan menghampiri ibu. aku mencium tangan ibu setelah ia selesai memeluk dan mengsecupi wajah saga.
"Sehat kamu Res?'
"Alhamdulilah sehat Bu. Ibu sehat kan semuanya?"
"Alhamdulilah. Udah isi kamu?" Ia bertanya seraya melirik ke arah perutku.
Aku tersenyum kecut lalu menggeleng. "belum Bu." jawabku.
Sebenernya, aku pingin jawab udah isi sama masakan buatan Saga. Tapi, takut di getok ibu. Ibu orangnya serius beda banget sama Saga.
"Bu masuk aja yuk. Saga, bawa cake kesukaan ibu nih." Saga mengalihkan ibu dari pertanyaan yang ia ajukan.
"Kalian udah cek kan?" Namun sia-sia ibu masih mencecar dengan pertanyaan.
"Sehat Bu," jawabku tak berkutik. Mau jawab apa? Memang aku yang meminta menunda kehamilan dan ini sudah masuk tahun ke empat pernikahan kami. Meski ada sedikit rasa bersalah hanya saja, memang aku belum bisa memiliki anak saat ini.
Kami berjalan masuk Kak Indie menepuk-nepuk punggungku seolah mengatakan sabar. Sedangkan dalam hati kau meminta maaaf karena Kak Indie mungkin berpikir jika ini adalah takdir Tuhan yang belum memberikan aku keturunan. Alea tersenyum padaku, anak itu cantik sekali. Mengenakan naju terusan berwarna kuning, dengan rambut panjang yang diikat dua.
"Alea cantik bnaget,' ku sapa keponakanku itu. Lalu ku gendong Alea. "Udah gede banget kamu."
"Iya masa kecil terus Ante Res," Kak Indie menjawab dengan terkekeh.
Kami di ruang makan, Saga sibuk menyajikan makanan yang ia bawa dari jakarta. Aneka kue kesukaan ibu, lapis legit di toko langganan ibu. Aku berjalan mendekat masih sambil menggendong Alea. Saga menatap, lalu tersenyum dia suka saat aku bermain sama anak-anak.
"Sinta mana Bu?" tanyaku.
"Masih sekolah dia. Katanya ada kerja kelompok."
"Mbak Alea bisa di ajak jala enggak sih?" Saga bertanya.
Kak Indie berjalan dari arah dapur membawa namoan berisi teh yang sepertinya sudah disiapkan. "Bisa, bawain aja s**u sama pampers. Tapi, tadi udah pup sih. Aman kok kalau Lea diajak jalan. Mau jemput Sinta?"
Saga mengangguk. " Mau jemput Sinta, seneng banget dia pasti."
"Istirahat aja dulu Sinta pulang sore."
Siang ini kami bersama menikmati kue dan teh buatan Kak Indie. Meski ibu masih telihat acuh padaku tapi, ini lebih baik. Awal pernikahan aku bahkan merasa jadi menantu yang tak diharapan. Aku sering mondar mandir Bogor hanya untuk membawakan makanan untuk ibu. Dan yang aku tau kalau ibu memang tak merestui Saga yang berpacaran denganku sejak SMA. Dulu mantan Saga cantik banget namanya Yuma. sayang Saga akhirnya malah kepelaminan sama cewek gwndut kaya aku, Ya, gimana Saga kan cintanya sama aku?
***
komennya boleh Kaka.
(◕ᴗ◕✿)