Ke-5

1341 Kata
Dan di sini aku sore ini duduk di kursi penumpang sibuk makan cireng isi ayam pedas yang aku beli di depan sekolah Sinta. Sementara gantian Saga yang memangku Alea. Rasanya sudah lebih dari sepuluh menit kami menunggu Sinta. Namun, ia belum juga ke selesai dengan kegiatannya. Saga kemudian ke luar mobil masih dengan menggendong Alea. Aku bisa melihat Sinta berlari dam memeluk Saga. Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil. Sementara sinta duduk di belakag sambil memangku Alea. "Mbak reres," Sinta menyapa kemudian mencium tanghanku. "Kok lama amat Sin?" "Kerja kelompok sama ada latihan PMR Mbak jadi lama." "Rajinnya, ikut PMR segala." "Rajin adek gue, emang Lo males dulu." Saga meledek sambil sibuk memakai sabuk pengaman. "Gue males aja Lo cinta. Gimana rajin?" Sergahku diikuti kekehan dari suamiku. Setelah menjemput Sinta, kami berempat mampir ke sebuah mall. Sekedar berjalan-jalan, makan, sedikit berbelanja dan menghibur Sinta yang lama tak bertemu sang Kakak. sinta itu mirip sekali dengan Saga ramah dan ceria. Sikap Saga dan Sinta mirip dengan mendiang ayah mertuaku. Beliau meninggal saat Sinta berusia dua tahun. Jadi bisa di katakan kalau Sinta satu-satunya yang tak banyak mendapatkan perhatian dari sang ayah, dan aku yakin itu yang jadi alasan Saga begitu menyayangi Sinta dan buat ia begitu memanjakan adik bungsunya itu. Malam hari kami berdua rebah di kamar Sinta. Di kamar ini ada beberapa barang milik Saga, meja kayu yang dulu Saga sering gunakan untuk belajar juga lemari kayu besar yang kini jadi lemari pakaian Sinta. Dulu suamiku tinggal di Jakarta di rumah dinas ayah. Aku sempat bertemu beliau beberapa kali. Hanya saja, ayah sudah sakit saat itu. Ayah mertuaku begitu humoris berbanding terbalik dengan ibu. Jika biasanya yang ada dalam gambaran adalah seorang prajurit galak dan tegas tapi, ayah mertuaku begitu baik dan humoris juga bertutur kata dengan lembut. Namun, tetap saja aku bisa menemukan ketegasan di sana. Ayah berpulang saat aku kuliah, saat aku dan Saga berjauhan. Aku tak bisa bayangkan betapa hancurnya Saga saat itu. Aku ingin kembali ke Jakarta tapi, Saga melarang. Memang saat itu aku tengah ujian. Aku juga sengaja ambil banyak kelas sekaligus agar bisa memangkas waktu kuliah. Agar bisa bertemu dengan Saga lebih cepat. Ya Saga memang terlihat kuat. Tak ada yang tau kalau ia menangis saat aku kembali. Satu tahun setelah kepergian ayah. Saga bilang ia berusaha tak menangis tapi, ia merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Melihatku waktu itu buat pertahanannya runtuh. Aku biarkan ia menangis, aku ingin bisa jadi sandarannya. Malam ini ia sibuk menatap posnsel. Tumben banget dia senyam -senyum sendiri. aku mendekat kemudian merebahkan kepala ke bahu Saga. "Ngapain sih senyum-senyum ?" Ia menunjukkan ponsel miliknya. Ada fotoku dan Saga yang sedang menggendong Alea di tangan kanannya, kemudian tangan kirinya menggandeng tanganku. Ada juga foto saat aku, Saga dan Alea tertawa bersama di restoran tadi. aku tau ini pasti Sinta yang mlakukannya. "Lihat deh, satu kata buat foto ini, sempurna." ucapnya begitu bahagia. "Kamu, aku dan anak kita nanti. Aku bakal bikin dia bahagia karena punya ayah seperti aku. Dia pasti juga bahagia punya mama kaya kamu." Aku tau saga memilkiki harapan terbesar untuk memiliki momongan. Dan setiap ia membicarakan ini aku tak bisa menjawab apapun selain diam. Ia menarikku dalam pelukkannya. "Aku berusaha untuk bersikap seperti yang dibilang orang-orang laki-laki modern yang bisa memaklumi wanitanya kalau enggak mau hamil atau semacamnya. Ya tapi, berat ... Enggak munafik harapan lain pernikahan ini selain aku ingin memiliki kamu seutuhnya. Ya untuk memiliki keturunan." Aku mengerti dan itu wajar sekali. "Ga, gini, saat aku punya anak nanti. Aku ingin saat itu udah enggak kerja. Aku ingin punya waktu sepenuhnya buat anak aku. Aku enggak mau dia akhirnya kaya aku yang cuma diasuh sama pengasuh. Kaya, buat apa gitu dilahirin kalau akhirnya dia hidup sama pengasuh. Dan lagi kamu tau 'kan? Aku baru aja naik jabatan." Saga mengangguk. Ia coba mengerti. maaf kalau sampai saat ini aku masih sangat egois. *** Pagi hari aku terbangun dengan bagian tubuh yang lumayan sakit. Benar dugaanku, Saga mana bisa nahan napsunya. Yang buat badanku sakit karena tempat tidur Sinta ada di bawah dan sepertinya lemak tubuh ku enggak cukup tebal untuk buat diriku lebih nyaman. Aku segera mandi setelah bangun. Lalu bergegas membantu ibu yang sudah ada di dapur. Langit masih sangat gelap, Kak Indie dan Ibu sudah sibuk buat sarapan. "Reres bantuin ya Bu?" Ibu mengangguk saja. Aku ambil bawang merah lalu mengupas kulitnya. "Pahi-pagi keramas Res?" tanya Kak Indie yang lebih terdengar seperti ledekan. Aku terkekeh. "Biasa adenya Kak Indie pelakunya." "Kalau rajin nyatu gitu, harusnya bisa cepat isi. Udah empat tahun kalian nikah. Masa belum isi juga." Ujar ibu. 'Iya, Bu. Maaf." Jujur aku merasa bersalah setiap kali pembahasan tentang anak terlontar. "Res." Aku menoleh melihat Saga yang baru selesai mandi. "Beresin dulu baju-baju. Ada masalah di studio kita pulang." Aku melirik Saga. Aku tau ini caranya melindungiku dari pertanyaan-pertanyaan ibu. Hanya saja, aku tak ingin Saga terkesan memusuhi ibu. "Brian telepon alat mixing eror. Jadi harus balik." Saga menatapku, memintaku segera melakukan apa yang ia katakan tadi. Tentu saja aku menurut dan segera beranjak ke kamar. Aku membereskan semua pakaian milik kami. Dan segera melaju ke Jakarta. Sepanjang jalan suamiku sibuk dengan sambungan teleponnya bersama Brian. Sebenarnya alat mixing utama itu sudah beberapa kali rusak. "Beli aja yang baru Ga." Ia menoleh sesaat. "Ini pasti ada kabel yang enggak bener sih. Semua itu masih oke kok." Ia kemudian kembali berbicara dengan Brian. Tak lama Saga mematikan panggilan dan masuk ke sebuah restoran cepat saji. Kami belum sarapan segera kembali ke Jakarta setelah pakaian rapi. "Sarapan dulu ya, laper aku." Aku mengangguk dan kami melangkah ke dalam setelah suamiku memarkirkan mobil. Kami memesan sarapan lalu mencari tempat duduk paling nyaman. Kami memilih duduk di luar smoking area. Saga mau menikmati angin katanya. "Omongan ibu enggak usah terlalu di ambil hati. Aku udah maksa kamu mikir masalah anak semalaman. Ibu juga ngomong kaya gitu lagi. Aku enggak mau kamu sakit Gara-gara kebanyakan mikir masalah ini." Saga dalam mode serius. Aku paling takut jawab omongan Saga kalau dia seperti ini. Tangannya bergerak mengacak rambutku. "Love you." "Love you more." Jawabku. "Ga, sebenernya aku ngerasa ibu kasih jarak banget ke aku. Dulu dia masih suka suruh aku ini dan itu. Sekarang malah cuek banget. Jujur aku ngerasa enggak dianggep. Lebih enak kalau ibu suruh aku ini itu. Aku ngerasa dianggap anak." Saga melirikku sekilas lalu meneguk lemon tea miliknya. "Bukan dia enggak anggap kamu sayang. Di sana ada Mbak Indie. Jadi kerjaan udah ke-handle." Aku tau ini caranya buat aku merasa lebih baik dan tak merasa bersalah. Sungguh Saga itu suami yang luar biasa untukku. Entah apa jadinya aku kalau enggak ketemu Saga dulu. "Kita langsung ke rumah mami ya. Kamu telepon mami dulu ada di mana." "Katanya mau ke studio?" "Brian udah chat aku, katanya udah bener cuma ada kabel yang kendor." Aku mengangguk dan kami segera menyantap sarapan yang telah dipesan. Mami dan papi sebenarnya masih ada di kawasan Jakarta. Hanya saja karena aku bekerja dan kadang malas datang ke rumah lalu tak ada seorang pun selain Mbok Yah, ibu asuhku. Sejak berusia dua puluh tahun ia menjagaku sampai kini usianya empat puluh delapan tahun. Aku lebih dekat dengan Mbok dibandingkan kedua orang tuaku. Tak ada yang tau kalau aku anak yang cukup berada. Yang ambil raport dulu ya Mbok Yah. Mungkin dulu teman-temanku berpikir sama seperti Saga. Kalau aku masuk ke sekolah itu karena beasiswa. Aku juga lebih suka naik angkutan umum dulu. Sampai akhirnya pacaran sama Saga dan dia yang jadi tukang antar jemput. Dulu Saga ngira aku tinggal di rumah majikan. Sialan sih, tapi lucu banget. Tapi, emang dulu aku dekil sebelum kenal yang namanya suntik putih, skincare dan perawatan kulit. Dan dia syok setelah aku bilang yang sebenarnya. Saga malu dan dia sempat putusin aku. Padahal papi enggak pernah masalah sama siapapun pacarku. Yang penting tanggung jawab kata papi. Dan Saga buktikan itu. Saga cuma lulusan SMA yang kini jadi aranger musik yang lumayan terkenal. Keren kan suami aku? *** . . . . Cek cek siapa aja yang baca nih?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN