Kurang lebih sudah satu bulan lamanya Faisya dan Ica berada di pesantren, kegiatan mereka hanya itu-itu saja dan hal itu membuat mereka bosan. Mungkin bagi Faisya, tetapi tidak dengan Ica. Yang Faisya tahu, sepupunya itu sangat tergila-gila pada Gus Faris–Ustadz mereka mengaji. Tak mengherankan jika Ica sampai tergila-gila, Faisya mengakui kalau Gue Faris itu memang tampan, ditambah ilmu agamanya yang luar biasa itu membuat para santriwati pastinya kagum dan suka pada sosoknya termasuk Ica tetapi tidak dengan dirinya. Entah kenapa hatinya sudah terpaku pada seseorang yang dulu sempat singgah di masa kecilnya, siapa lagi kalau bukan Kakak masa lalunya itu? Aih mengingat hal itu dia kembali tersenyum miris. Kira-kira sedang apa ya Kakaknya itu?
"Fai!" Faisya tersentak ketika bahunya ditepuk cukup keras.
"Eh?"
"Ayo buru kita berangkat, nanti Pak Ustadz ganteng marah loh sama kita. Gue enggak mau ya terlambat lagi, takutnya nanti citra gue buruk di mata Pak Ustadz." Belum sempat Faisya menjawab, Ica sudah terlebih dahulu menarik tangannya hingga dia berdiri.
"Pelan-pelan dong Ca, enggak sabaran banget sih." Faisya menyentak tangan Ica dengan kesal.
"Ya habisnya lo dari tadi ngelamun mulu, ngelamunin apa sih? Ayo ah ntar ceritanya. Kita harus ke langgar dulu," ujar Ica yang kini dengan seenaknya kembali menarik tangan Faisya. Sedangkan tadi Naila sudah berangkat terlebih dahulu, karena gadis itu hari ini bertugas membersihkan langgar bersama santriwati lainnya. Jadi dia harus berangkat lebih dulu dari yang lainnya.
"Tuh mana Gus Faris? Enggak ada kan? Dia belum datang tuh," ujar Faisya kesal ketika mereka sampai tetapi tidak melihat keberadaan Gus Faris.
"Sakit tau lengan gue dari tadi lo tarik terus," sungut Faisya kesal yang di balas cengiran oleh Ica.
"Ya maaf kali Fai, gue enggak sengaja." Faisya hanya mendengus kesal.
"Eh Nai, Pak Ustadz ganteng gue ke mana ya? Kok tumben belum datang. Biasanya kan dia datangnya cepat," tanya Ica ketika Naila duduk di sampingnya.
"Hari ini bukan Gus Faris yang mengajar, tetapi Ustadz Akbar." Naila menjawab sambil tersenyum.
"Yaah gue kecewa dong." Bahu Ica langsung lemas begitu mendengar jawaban Naila.
Faisya dan Naila hanya tersenyum menatap Ica, mereka sangat tahu sekali sesuka apa Ica dengan Gus Faris. Kadang Faisya masih heran, kenapa Ica yang biasanya cuek bebek begini tiba-tiba jadi agresif begitu mendekati Gus Faris. Benar-benar ya sepupunya ini memang ajaib, mungkin yang dekat dengan Ica dulu hanya seorang laki-laki yang kini entah pergi ke mana.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, perkenalkan nama saya Akbar. Saya salah satu Ustadz di sini, untuk hari ini dan beberapa hari ke depan saya akan menggantikan Gus Faris yang sedang ada urusan penting untuk mengajari kalian." Kompak, Ica, Faisya dan Naila langsung menoleh ketika mendengar suara berat yang menyapa indra pendengaran mereka.
"Nah itu dia Ustadz Akbar," ujar Naila sambil tersenyum.
Faisya menatap pria yang kini memakai baju koko berwarna coklat s**u dengan peci hitam serta sarung berwarna coklat tua itu tanpa berkedip, dia seperti pernah melihat wajah pria itu secara sepintas. Tetapi di mana ya? Dia seperti mengenali wajah itu, tetapi dia lupa kapan. Ah iya kenapa wajah itu mirip sekali dengan seseorang itu ya? Lamunannya buyar ketika Ica menyenggol lengannya.
"Lo kenapa Fai?" tanya Ica membuat Faisya mengerjap.
"Ah gue enggak apa-apa kok Ca," balas Faisya sambil tersenyum walau di dalam hatinya kini ada perasaan aneh.
Sepanjang Ustadz Akbar menjelaskan tentang materi bacaan Al-Qur'an, Faisya tidak mengalihkan pandangannya sama sekali dari wajah Ustadz Akbar. Gadis itu seakan sedang meneliti wajah pria dewasa itu yang sepertinya mirip dengan orang yang dia kenal, meskipun sudah lama berlalu dan dia waktu itu masih sangat kecil. Tetapi ingatannya jelas saja tajam, dia mengingat segala kenangan indah itu. Juga kenangan di mana orang itu pergi meninggalkannya.
"Faisya, apa kamu mendengar penjelasan saya?" Akbar menegur seorang gadis bernama Faisya ketika dia melihat gadis itu sepertinya hanya menatapnya sambil melamun, dia memang sedikit mengenal nama santri-santri di sini karena sebelum dia menerangkan mereka sudah memperkenalkan nama mereka masing-masing.
"Fai! Lo diajak ngomong tuh sama Ustadz Akbar," tegur Ica sambil menyenggol lengan Faisya membuat si empunya kini tersadar.
"Ah iya Ustadz?" Faisya jelas tergagap ketika mendapat tatapan begitu intens dari Akbar.
"Kamu mendengarkan penjelasan saya tidak tadi!?" tanya Akbar tegas membuat Faisya kini gelagapan.
"D-dengar kok Ustadz," jawab Faisya pelan.
"Untuk kali ini kamu saya maafkan, tetapi untuk pertemuan berikutnya jika kamu masih melamun maka tidak ada toleransi lagi untuk kamu! Ini juga peringatan bagi santri yang lainnya, kalian semua mengerti!?" Perkataan galak dari pria yang dipanggil orang-orang dengan sebutan Ustadz berhasil membuat Faisya dan yang lainnya menelan ludah secara kasar.
"Mengerti Ustadz!" balas semuanya kompak.
Akbar menghela napasnya sejenak, dia melirik sekilas kearah Faisya yang tengah menunduk kemudian kembali menjelaskan materi yang sebelumnya dia tunda karena memergoki Faisya yang sedang melamun. Ketika dia tengah menerangkan materi itu lagi, sesekali pula dia menatap kearah Faisya yang dia pergoki tengah mencuri pandang pula kearahnya. Akbar merasa wajah dan nama itu tak asing baginya, atau benarkah itu dia? Akbar akan mencari jawaban itu nanti. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyelesaikan materi yang tertunda.
"Baiklah di sini saya akan menjelaskan tentang hukum bacaan mim sukun, sebelumnya saya tanya apakah ada yang tahu Idzhar Syafawi itu apa?" tanya Akbar yang dibalas gelengan kepala dari semua santri, tentu saja mereka belum tahu karena kebanyakan di sini adalah santri baru atau terkadang ada yang tahu tetapi tidak berani berucap? Entahlah dia pun tak tahu menahu akan hal itu.
"Idzhar Syafawi itu adalah bagian dari ilmu tajwid yang terjadi ketika huruf hijaiyah mim sukun (مْ) bertemu semua huruf hijaiyah selain mim dan ba'. Idzhar berati terang (jelas) atau tak berdengung, Syafawi berarti bibir, sebab huruf hijaiyyah mim makhrajul hurufnya yaitu bertemunya bibir dibagian bawah dan bibir bagian atas. Dalam istilah yang ada didalam ilmu tajwid, idzhar syafawi yaitu melafalkan huruf-huruf hijaiyah yang bertemu dengan huruf mim sukun dengan terang dan jelas, dan ini tidak disertai dengan berdengung (ghunnah). Dan dalam idzhar syafawi bisa terjadi dalam satu kalimat ataupun diluar kalimat yang terpisah, ada yang kurang paham dengan penjelasan saya?" Kompak para santri menggeleng dan membuat Akbar menghela napasnya.
"Sebenarnya kalian itu paham atau tidak dengan penjelasan saya? Kenapa yang saya dapatkan hanya anggukkan ataupun gelengan kepala saja? Jika ada yang belum jelas bisa bertanya pada saya, saya enggak akan menggigit orang yang bertanya kok." Sebenarnya Akbar sedikit bercanda diujung kalimatnya, namun nada suaranya terdengar serius di telinga para santri sehingga mereka semua hanya diam.
Naila dengan ragu mengangkat tangannya, dia sebenarnya dari tadi sudah ingin bertanya tetapi dia yang pendiam takut jika kena marah. Maka dengan mengumpulkan keberanian, dia mengangkat tangannya hingga Ustadz muda itu menatap kearahnya bersamaan dengan semua santri yang mungkin heran dengan keberaniannya bertanya pada Ustadz yang terkenal galak di antara para Ustadz lainnya.
"Ustadz bolehkah saya bertanya?" tanya Naila.
"Tentu saja boleh, itu yang saya inginkan. Ada santri yang ingin bertanya jika belum paham dengan penjelasan saya."
"Kan Ustadz sudah menjelaskan pengertiannya, bolehkah saya meminta contoh salah satu ayatnya?" tanya Naila.
"Baiklah seperti pertanyaan Naila tadi maka saya akan memberikan contohnya, tolong perhatikan papan tulis ini baik-baik semuanya." Akbar mulai menggoreskan spidol di atas papan tulis berwarna putih itu dengan tulisan ayat Al-Qur'an.
"Contohnya, qul na‘am wa antum. Huruf mim bertemu dengan huruf wa' jadi dibacanya jelas. Naila paham?" Naila mengangguk hingga Akbar kembali melanjutkan penjelasannya.
***
Ada sedikit ilmu yang author selipkan, moga bermanfaat ya^_^