3. Sepertinya

1111 Kata
Sebenarnya Faisya masih merasa sangat penasaran dengan sosok Akbar–Ustadz yang menggantikan Gus Faris sementara waktu, sudah berkali-kali dia berusaha mengenyahkan pikiran tentang Akbar tetapi berkali-kali pula dia memikirkan hal itu. Rasanya sangat tidak mungkin jika secepat itu dia memiliki ketertarikan pada Akbar di awal pertemuan mereka, dia bukan Ica yang cepat sekali tertarik dengan Gus Faris. Inget Fai, lo lagi nungguin Kakak kesayangan lo. Lo enggak boleh jatuh cinta sama cowok lain, mungkin mereka hanya mirip aja kan? Dulu lo juga masih kecil jadinya enggak terlalu jelas ngingetnya. Batin Faisya berusaha menguatkan hatinya agar tak tergoda dengan wajah tampan seorang Ustadz Akbar. "Fai, lo kok belum siap-siap?" tanya Ic ketika melihat penampilan Faisya. "Gue lagi enggak shalat Ca, lo duluan aja gih sama Naila." Ica mengangguk paham. "Ya udah gue pergi ya? Babay Fai, selamat menikmati hari bersih-bersih ya." Faisya mendengus ketika Ica tertawa mengejeknya dengan tangan yang melambai. Tentu saja Faisya tidak akan lupa, memang di pesantren ini jika ada beberapa santri yang sedang tidak melaksanakan shalat dikarenakan tamu bulannya sedang datang maka akan diminta bersih-bersih area pesantren dan Faisya sangat membenci hal itu. Dia saja tidak pernah bersih-bersih ketika di rumah, masa di sini dia harus melakukannya? Awalnya dia pikir jika tamu bulanannya sedang datang maka dia bisa bersantai dan tidur sepuasnya, namun ternyata salah. Tahu begini enakan dia tidak dapat tamu bulanannya saja, benar-benar merepotkan. "Fai, kok kamu masih di sini? Ayo keluar. Itu teman-temanmu sudah mulai membersihkan taman pesantren," ucap Mbak Syifa membuat Faisya menoleh. "Iya Mbak." Faisya menurut, dia mulai berjalan menghampiri para santriwati lainnya sesekali menggerutu kesal. "Enggak betah deh gue di sini, tertib banget sih? Ngalah-ngalahin sekolah gue dulu kalau gini caranya. Lagian Bunda juga kenapa malah setuju aja coba dulu sama pendapat Ayah? Capek banget lagi ini, duh mana gue harus buang sampah ini ke dekat gerbang lagi. Jauh banget ah," gerutu Faisya sambil menatap serokan sampah yang ada ditangannya. "Gue enggak pernah tuh ngerjain beginian waktu di rumah, sekarang gue harus bersusah payah bersih-bersih kayak gini? Ah nasib-nasib, benar-benar buruk banget deh." Karena terus menggerutu dan menunduk, Faisya tak sadar jika di depannya ada seorang pria yang memakai koko putih dengan sarung hitamnya, lengkap dengan peci hitamnya. BRUKKKK "Aduhh!" Sampah yang ada di dalam serokan jatuh berhamburan juga Faisya yang terduduk di atas tanah, Faisya bersungut kesal. "Lo tuh kalo jalan pake mata dong! Asal nabrak orang aja!" Faisya langsung memaki orang yang tadi dia tabrak tanpa melihat kearah orang itu. "Bukannya yang menabrak saya itu kamu!?" Ucapan dengan suara galak itu membuat Faisya mendongak, gadis itu meneguk ludahnya susah payah ketika melihat siapa di depannya kini. Dia adalah Akbar, pria di hadapannya ini bersedekap d**a sambil menatap tajam penuh intimidasi ke arahnya. Hal itu benar-benar membuat bulu kuduknya meremang, pria di hadapannya sangat-sangat menyeramkan dengan mata melotot. Tapi tunggu sebentar ... Itu tatapannya kenapa mirip sekali dengan Kakaknya dulu ya? Tatapannya seperti itu waktu Faisya melakukan kesalahan. "Hei!" Faisya tersentak. "M-maaf Ustadz, saya tidak sengaja." Faisya langsung menundukkan wajahnya. "Lain kali kalau jalan hati-hati, bersihkan kekacauan yang kamu buat sendiri itu!" Akbar berbalik meninggalkan Faisya, namun begitu ingat dia kembali menatap kearah Faisya. "Oh iya, satu lagi. Jangan salahkan orang lain atas kesalahan yang kamu buat sendiri." Setelah mengatakan itu, Akbar pergi meninggalkan Faisya yang terdiam menatap kepergian pria yang membuat dia terpaku sejenak dengan pikirannya. "Astaga sampahnya!" Begitu ingat, Faisya langsung berteriak sambil menatap sampah yang dengan susah payah di bersihkan kini berserakan kembali. "Mulai lagi deh dari awal kalo gini," ucap Faisya kesal kemudian mau tak mau dia kembali memunguti sampah itu. Faisya baru saja selesai membuang sampah di tong sampah dekat gerbang pesantren, gadis itu mengusap peluhnya di dahi. Rasanya baru bekerja sedikit seperti ini saja sudah membuatnya sangat kelelahan, baru saja dia akan mendudukkan dirinya di sebuah bangku taman. Suara Mbak Syifa membuat dia kembali berdiri. "Fai!" panggil Mbak Syifa. "Ada apa Mbak?" tanyanya. "Sudah membuang sampahnya?" Faisya mengangguk. "Nah kalau begitu Mbak minta tolong kamu bantuin Mbak masak ya di dapur?" Mata Faisya membulat mendengarnya. "Tapi Fai enggak bisa masak Mbak," ujarnya. "Kalau enggak bisa ya harus belajar, yuk ah bantuin Mbak. Kamu enggak perlu buat bumbu kok, cukup bantuin Mbak sama anak lainnya membersihkan ikan lele." "Apa!? Ikan lele Mbak!?" Tak sadar Faisya berteriak. "Iya, udah lama kan di pesantren ini enggak makan ikan. Kebetulan sekali para santri putra tadi baru panen lele, nah mereka membaginya dengan kita. Yuk ah ikut Mbak ke dapur." Mbak Syifa menarik tangan Faisya agar mengikutinya ke dapur. Faisya menatap lele yang berada di dalam baskom dengan tatapan jijiknya, para santri yang bertugas membantunya sudah dari tadi sibuk membersihkan ikan lele. Berbeda dengan dirinya yang dari tadi hanya diam saja, menatap ikan berkumis itu sesekali berjengit kaget ketika ikan lele itu akan melompat keluar. Dia di rumah saja sangatlah anti dengan yang namanya membersihkan ikan, sekarang dia harus membersihkan banyaknya ikan lele ini? Rasa-rasanya Faisya ingin pulang saja. Jika Ica pandai memasak, maka Faisya sebaliknya. Gadis itu sangat pemalas, Bunda Aira terlalu memanjakan Faisya hingga apa-apa Bundanya lah yang mengerjakan semuanya. Hingga sekarang ketika keahlian itu dibutuhkan, gadis yang tidak bisa memasak itu akan merasa kelimpungan sama halnya dengan Faisya. "Fai, tolongin ini. Kapan selesainya kalau kamu hanya diam aja?" Ucapan salah satu santri berhijab biru itu membuat Faisya diam. "Iya deh iya." Akhirnya Faisya terpaksa membantu para santri itu. Sebelum mengambil salah satu ikan lele, dia menatap lele yang hanya diam itu. Dia pikir lelenya mungkin sudah mati, maka dari itu dia mencoba mengambil salah satu lele. Namun begitu mengambilnya, dia tersentak ketika si lele ternyata masih hidup. "Ahh lelenya terbang!" pekik Faisya yang menimbulkan gelak tawa dari mereka semua. "Mana ada lele terbang Fai, kamu ada-ada saja." Faisya bersungut mendengarnya. "Ih beneran, kalian enggak lihat itu lelenya tadi loncat? Dia mau terbang! Mau kabur! Udah ah aku bantu cuci lele yang udah mati aja. Serem ...." Menahan rasa gelinya, akhirnya Faisya membantu mencuci ikan lele yang sudah dibersihkan itu. Di lain tempat, tepatnya di langgar. Akbar tengah memperhatikan para santri yang tengah mengaji, dia menatap sekelilingnya namun tak mendapati gadis yang mencuri perhatiannya. Ke mana dia? Ah iya dia ingat, gadis itu kan tadi membersihkan taman. Itu berarti dia pasti tidak akan datang mengaji. "Ustadz ...." Lamunannya buyar begitu mendengar salah seorang santriwati memanggilnya. "Iya, ada apa?" tanyanya. "Boleh saya maju?" tanya santri itu. "Boleh, ayo silakan." Mengesampingkan pikirannya tentang gadis itu, Akbar mendengarkan bacaan santri-santri yang mulai bergantian maju agar dia bisa mendengar semua bacaan para santrinya. Rutinitasnya seperti biasa, tetapi dengan perasaan yang berbeda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN