4. Berdebar-debar

1852 Kata
Akhirnya Faisya bisa merasa lega karena ia telah suci dari hadas besar yang memang sering dialami oleh para perempuan dalam satu bulan sekali. Jadinya ia tidak perlu lagi melakukan pekerjaan yang sangat tidak ia sukai, ia saja sangat jarang melakukan pekerjaan berat semacam itu saat di rumah. Kini di pesantren ia malah melakukan hal-hal yang sangat tidak ia sukai, memdengan cara lain. Bundanya sangat memanjakannya saat di rumah, tidak pernah memintanya untuk membantu sehingga akhirnya ia menjadi seperti ini. Sama sekali tidak bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah. Di pesantren ini, semuanya sudah berubah. Tidak ada lagi manja-manjaan, yang ada mereka harus dipaksa mandiri meskipun sebenarnya tidak biasa. Di sini mau pergi ke mana pun selalu dibatasi, harus meminta izin kepada mbak kepala kamar. Itupun harus memberikan alasan yang jelas, jika tidak jelas atau hanya ingin main-main di luar maka akan dilarang pergi. Benar-benar menyebalkan baginya dan Ica yang sudah terbiasa bebas sejak lama, bahkan dulu mereka cukup bebas ke manapun yang mereka mau meskipun terkadang sedikit ada batasan dan larangan. Kalau masih di rumah, mereka yang boring dan ingin pergi sangat mudah sekali, tinggal kabur dari rumah, lalu pergi jalan-jalan, kembali ke rumah lagi dengan tampang penuh sesal dan minta maaf maka semuanya akan beres. Namun, saat di sini? Jangankan bisa kabur, menginjakkan kaki di luar sejenak saja tanpa izin rasanya sangat mustahil. "Fai! Ayo berangkat! Lo kok dari tadi ngelamun mulu sih?" tanya Ica sebal pada Fai yang sedari tadi hanya diam termenung. Entah apa yang tengah gadis itu pikirkan. "E-eh, iya, Ca!" Fai tersadar, gadis itu mengambil Al-Qur'an di atas lemari kemudian menghampiri Ica yang ternyata sedari tadi menunggu di depan pintu kamar mereka bersama Naila. Setelah melihat penampilannya lewat pantulan cermin dan ia merasa kalau dandannya sudah rapi, Fai menghampiri Ica dan Naila. Ica menggerutu sebal karena Faisya sangat lelet sekali, berbeda dengan Naila yang sedari tadi hanya diam dan tersenyum melihat kekesalan Ica yang menurutnya begitu lucu. "Sabar kali, Ca, lo kok nggak sabaran banget sih?" gerutu Faisya ketika Ica menarik tangannya dan Naila agar segera berjalan meninggalkan kamar mereka. "Bukan gue yang nggak sabaran, tapi lo yang lelet! Ini semua santri pasti udah pada di langgar, lo aja yang dari tadi ngelamun nggak jelas. Bukannya cepat siap-siap juga, awas kalau sampai kita telat dan dihukum. Gue nggak akan maafin lo, ya, Fai," ucap Ica menatap Faisya kesal. "Kayak nggak biasa aja dihukum, biasanya juga sering," balas Faisya sambil melepaskan tangan Ica yang sedari tadi menariknya. "Pegal gue, jangan tarik-tarik ah! Kayak kambing aja gue," ucapnya sambil mengusap tangannya yang sedikit memerah. "Lo kalo nggak gue tarik pasti jalannya lembek, lagian lo lebay banget sih? Cuma ditarik doang juga tangannya. Kemarin-kemarin aja lo nggak protes bantuin santri lain nyuci si lele yang kata lo ikannya terbang." Ica sengaja meledek Faisya hingga membuat gadis itu mendengkus ketika diingatkan lagi dengan kegiatannya tanpa mengaji waktu sedang ada tamu bulanan. "Nggak usah diingetin lagi masalah yang itu, malu gue diketawain banyak orang waktu itu." Ica terbahak mendengarnya, hal itu dianggap Faisya kalau Ica hari ini sengaja meledeknya. "Lagian lo aneh, ikan mana ada yang bisa terbang kayak burung? Kecuali ikan terbang, itu pun nggak selama burung yang pada dasarnya memang hewan yang bisa terbang," ledek Ica sangat puas sekali melihat wajah kesal Faisya. "Gus Faris kayaknya nggak bakal mau deh sama lo yang nyebelin ini, Ca. Udah petakilan, ilmu agamanya dikit, ngeselin lagi. Gus Faris itu 'kan anak kyai, udah pasti dia juga nyarinya santri yang berprestasi. Kayak si Nadia itu, suaranya pas ngaji bagus, adem banget, orangnya kalem nggak lenjeh, mana baik hati lagi. Tipe-tipe idaman semua laki-laki termasuk Gus Faris 'kan?" Faisya sengaja membawa-bawa nama Gus Faris dalam obrolan mereka karena ia tahu kalau Ica ini paling lemah jika ia sudah membahas Gus Faris, kelemahan Ica adalah si Pak Ustad ganteng yang sayang dingin dan ketusnya minta ampun. Kalau Ustad Akbar juga ganteng, tetapi sayang dia galak. Eh? Tadi ia 'kan hanya membahas Gus Faris, mengapa malah nyambungnya ke Ustad Akbar? Faisya menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya ada yang tidak beres dengan hatinya. "Enak aja! Gue itu pintar masak, baik hati, nggak sombong terus suara gue juga nggak kalah bagus dari si Nadia itu! Udah jelas-jelas kalau gue yang idamannya Pak Ustad, lo kalau ngomong jangan ngeselin gitu dong, Fai." Ica sangat sensitif sekali jika sudah menyangkut Pak Ustad gantengnya itu, bagi Ica tidak ada perempuan yang sempurna di dunia ini termasuk dirinya dan ia ingin Pak Ustad ganteng itulah yang menyempurnakan ketidaksempurnaannya. Mengingat Pak Ustad gantengnya itu membuat Ica tersenyum sendiri, ah tak sabar menunggu kepulangan ustad tampan itu agar ia bisa melihat dan mengaguminya sampai puas. "Tapi bacaan tajwid lo nggak se-fashih Naila yang juara qori' nasional 'kan?" tanya Faisya membuat Ica terdiam. "Tau ah! Nggak usah bahas cewek lain di depan gue, Fai! Bikin minder aja!" ujar Ica sebal. "Sejak kapan Ica yang pedenya selangit ini jadi minder?" ledek Faisya dengan tatapan mengejek. "Síalan lo, Fai! Andai aja gue punya senjata buat balas ledakan lo!" Fai hanya tertawa puas, senang bisa balas meledek Ica. "Sayangnya lo sama sekali nggak bisa bales gue karena gue ini jomlo terhormat yang nggak mikirin tentang laki-laki dulu," ucap Faisya dengan penuh percaya diri. "Suatu saat nanti gue yakin akan ada cowok yang bisa bikin hati lo berdebar-debar, gue yakin itu!" Ica sangat menggebu-gebu ketika mengatakannya, ia ingin balas meledek Faisya yang sudah berani-beraninya membandingkannya dengan seorang gadis yang memang sebagus itu akhlak serta prestasinya. Apalah ia yang hanya remahan keripik yang rasanya asin karena garam tertumpuk di sana, tetapi ia tetap optimis untuk mendapatkan cinta Pak Ustad tampan kesayangannya itu. "Itu ada Ustad Akbar yang sebentar lagi mau masuk ke langgar, kalau kita terus ada di sini bisa-bisa kita telat." Naila yang sedari tadi diam pun akhirnya buka suara ketika melihat Ustad Akbar yang tengah berjalan menuju pintu masuk langgar. "Eh iya! Aduh, ayo buruan kita lari!" teriak Ica panik. Ia tidak mau dihukum oleh ustad galak itu, kalau Pak Ustad tampannya yang menghukum sih Ica tidak masalah hehehe. Ketiga gadis itu berlari menuju pintu langgar, bertepatan dengan Ustad Akbar yang juga tengah berjalan santai ke sana. Hingga akhirnya ketiga gadis itu dapat bernapas dengan lega ketika mereka tiba di depan pintu tepat waktu. "Ehem!" Ustad Akbar berdehem ketika melihat keberadaan tiga gadis yang nyaris saja terlambat datang. "Eh, ada Ustad Akbar. Assalamualaikum, Ustad." Ica menyengir, gadis itu menyalami tangan sang ustad diikuti oleh Faisya dan Naila. "Waalaikumsalam." Ustad Akbar menatap ketiga gadis di hadapannya dengan datar. "Kalian beruntung datang tepat waktu karena saya tidak akan mentolerir siapa saja yang terlambat hari ini," ucap Ustad Akbar dingin membuat Ica menyengir kaku. Sedangkan Faisya menundukkan kepalanya, agak merasa salah tingkah ketika mata tajam Ustad Akbar mengarah padanya. "Hehehe, alhamdulilah, Ustad. Kalau begitu kami masuk dulu, ya. Assalamualaikum." Ica, Faisya dan Naila pamit untuk memasuki langgar. "Waalaikumsalam, dasar tiga gadis itu." Ustad Akbar menggelengkan kepalanya, pria dewasa itu langsung memasuki langgar. "Assalamualaikum semuanya ...." sapa Ustad Akbar pada seluruh santri yang ada di langgar ini. "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Ustad!" Mereka membalas salam Ustadz tampan itu dengan kompak. "Fai, gue kok nggak pernah lihat Ustad Akbar senyum, ya? Wajahnya serem banget gitu. Lempeng, datar, kayak judes dan galak gitu nggak sih?" tanya Ica pada Faisya. "Ya mana gue tahu, Ca. Lo bisa nanya langsung sama beliau, kenapa beliau nggak pernah senyum," jawab Faisya membuat Ica mengerucutkan bibirnya. "Namanya gue cari mati kalau sampai nanya langsung ke orangnya, Fai, lo kalau nggak tahu jawabannya mending bilang aja. Jangan ngasih saran yang bikin orang terkena serangan jantung mendadak," ujar Ica. "Gue nggak tahu jawabannya." Kesal, Ica mencubit lengan Faisya. "Aush, sakit, Ca! Kebangetan banget lo." Faisya mengusap lengannya yang habis dicubit oleh Ica. "Salahnya lo ngeselin, telat banget lo jawabnya!" "Saya harap bagi yang tidak berkepentingan berbicara harap diam!" Ustad menatap Ica dan Faisya tajam membuat kedua gadis itu seketika langsung diam, mereka saling tatap sambil mengobrol dalam hati, saling menyalahkan satu sama lain. "Baiklah karena hari ini jadwalnya kita belajar ilmu tajwid, sekarang kita mulai pelajaran hari ini dengan membaca bismillah." Ustad Akbar kini kembali menatap santrinya satu persatu. "Bismillahirrahmanirrahim." Ustad Akbar berdiri, tepatnya ia berjalan menuju papan tulis. Ia mulai menuliskan sesuatu dengan spidol di papan tulis, di sana tertulis 'Hukum Bacaan Tajwid Q.S Al-Ikhlas.' Lafal-lafal Arab mulai dituliskan oleh Ustad Akbar, yaitu surah Al-Ikhlas dari ayat satu sampai empat. "Kita akan mulai materi tajwid hari ini yaitu bacaan tajwid surah Al-Ikhlas. Dimulai dari ayat pertama, ada yang tahu bacaan tajwid yang terdapat dalam ayat satu ini apa saja?" tanya Ustad Akbar. Kompak semuanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ustad Akbar, mereka semua belum sampai pada pembelajaran di mana hukum bacaan tajwid pada juz tiga puluh. Yang ada dibuku catatan mereka beberapa macam tajwid dengan contohnya. Ustad Akbar melingkari ayat satu yang terkandung hukum tajwid. "Jika tidak ada yang tahu, maka saya akan menjelaskannya. Baik pada ayat satu itu berbunyi qul huwallahu ahad, kata 'huwallahu' memiliki hukum bacaan tajwid berupa lam jalalah tafkhim karena ada fatkhah bertemu dengan lafadz Allah. Cara membacanya ditebalkan. Sedangkan pada kata 'ahad' memiliki hukum bacaan tajwid yaitu qalqalah kubro. Alasannya karena ada huruf 'dal' yang berada di akhir kalimat. Cara membacanya membentuk huruf 'dal' dengan jelas." Para santri mulai menuliskan apa yang Ustad Akbar jelaskan di buku catatan mereka, semua ini mereka lakukan takut-takut kalau Ustad Akbar menanyakan kembali apa yang sudah dijelaskan. "Sampai sini apakah sudah paham dengan hukum bacaan tajwid pada surah Al-Ikhlas ayat satu?" tanya Ustad Akbar setelah semua santri sudah berhenti mencatat. "Paham, Ustad!" jawab mereka semua saling menganggukkan kepalanya. "Baik, kalau begitu saya akan lanjutkan menjelaskan hukum tajwid pada ayat dua sampai empat." Ustad Akbar kembali melingkari ayat-ayat surah Al-Ikhlas dengan spidol di papan tulis. "Pada ayat kedua berbunyi ...." Ustad Akbar mulai menjelaskan semua hukum bacaan tajwid yang terkandung itu sampai selesai. "Faisya, kamu silakan maju!" Faisyal tersentak ketika Ustad Akbar memanggil namanya dan memintanya maju. Faisya melirik ke arah Ica dan Naila, gadis itu meneguk ludahnya susah payah kemudian berdiri, berjalan menghampiri Ustad Akbar yang berdiri di dekat papan tulis. Gugup, itulah yang Faisya rasakan saat ini, apalagi tatapan Ustad Akbar yang semakin menambah rasa gugupnya. "A-ada apa, Ustad?" tanya Faisya dengan suara bergetar. "Tolong hapuskan itu!" Ustad Akbar menunjuk papan tulis yang telah penuh dengan tinta. "B-baik, Ustad." Faisya bernapas lega, ia pikir tadi ia akan diminta melakukan apa. Ternyata menghapus papan tulis. Gadis itu menghapus papan tulis itu dengan penghapus yang ada di atas meja kecil dengan pelan, Faisya tersentak ketika tiba-tiba saja ia merasa ada seseorang tepat di belakang tubuhnya. Tubuhnya seakan kaku tidak bisa bergerak, ia juga ragu ingin membalikkan badannya. Hingga ia melihat ada sebuah tangan yang terulur untuk mengambil alih penghapus yang tengah ia pegang. "Kamu itu sebenarnya bisa dimintai tolong tidak? Menghapus papan tulis saja lama sekali," ucap Ustad Akbar kemudian menjauhkan tubuhnya dari Faisya. "Sana! Kamu boleh duduk kembali!" Faisya mengangguk, ia langsung pergi untuk duduk kembali di tempatnya. Faisya memegangi dadanya yang berdebar, perasaan apakah ini? Tidak mungkin 'kan kalau dia ... tidak. Faisya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak boleh memikirkan hal semacam itu. Fokusnya hanya satu yaitu segera pergi dari pesantren ini bersama Ica.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN