Seorang pria tinggi besar mengetuk kamarku dan membimbingku menuruni tangga. Rumah ini ternyata besar sekali, rumah bergaya klasik yang elegan. Dinding rumahnya dipenuhi lukisan lukisan orang orang zaman dulu, kurasa. Lampu-lampu kandelir pun menggantung di langit-langit. Apa dia bangsa serigala kaya?
Sebuah lengan merangkul pinggangku saat aku sedang mengelilingkan pandangan untuk meneliti rumah itu lebih jauh.
Itu dia. Mateku dan aku baru ingat aku belum tahu namanya.
Dia menggandengku menuju mobil yang terparkir didepan pintu rumahnya.
“Kita akan pulang?” tanyaku saat mobil mulai melaju meninggalkan kediamannya.
“Kau sudah berubah pikiran?” tanyanya sambil mengangkat alis nya yang melengkung sempurna.
“Tentu saja tidak.” Aku mengulum senyumku dan memfokuskan pandangan ke depan lalu dia memalingkan wajahku agar berhadapan dengannya.
“Karl, pria yang menjemputmu tadi, dia akan menjagamu selagi aku tidak ada disampingmu.”
“Jadi, aku pikir mate ku sekarang adalah Karl, begitu?” Aku menggodanya berusaha mencairkan suasana hatinya yang muram. Namun yang aku lihat dia malah semakin muram.
“Jangan main-main denganku, Kate.” Geramnya.
“Aku hanya bercanda. Mengapa kau sangat serius?”
Dia menatapku lama sambil mengerutkan keningnya, aku baru saja hendak mengalihkan pandanganku darinya saat tiba-tiba dia menahan daguku dan menempelkan bibirnya yang keras dan hangat di bibirku.
Oh, tidak.
Ciumannya menggetarkan dan membuatku membalas ciuman itu.
Dia menggerakkan bibirnya saat merasa aku memberikan respon positif dan menyelipkan lidahnya memaksa untuk membuka bibirku. Aku menyerah. Aku membuka bibirku untuknya dan ciuman ini terasa sangat memabukkan. Ini bukan ciuman pertamaku, namun ini ciuman pertama yang membuatku lemas. Setelah dia mengecap bibirku dengan puas dia pun melepaskan ku dan menatap mataku sambil tersenyum bangga.
Aku merasakan pipiku memanas. Pipiku pasti sangat merah sekarang. Dia merangkul pundakku dan menarikku mendekat. Ini lebih baik daripada dia menatap wajahku yang tidak ada bedanya dengan kepiting rebus.
Kami sudah cukup jauh dari rumahnya, melewati pohon pohon lebat di sepanjang jalan. Dan aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Aku mendongakkan wajahku dan melihat dia sudah kembali pada dirinya semula. Kaku dan tenang. Dia menunduk menatapku. “Ada apa?”
“Aku belum tahu namamu.”
“Xander.”
“Jadi darimana kau tahu namaku?”
“Aku tahu segalanya tentangmu dengan mudah.”
Aku mengerutkan keningku. Benarkah? Aku mengedikkan bahuku tak acuh dan kembali menyandarkan kepalaku di dadanya.
♥♥♥
“Kau dari mana saja sih? Aku menelponmu ratusan kali tapi ponselmu mati. Kau membuatku khawatir. Aku kira kau dimakan binatang buas dihutan utara.”
“Aku bahkan belum mencapai pintu tapi kau sudah berteriak padaku.”
“Aku sampai menelepon Gerard dan meminta teman-temannya untuk mencarimu. Aku takut kau..” Sang petasan, Lexy, menghentikan ocehannya seketika.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Xander berdiri tepat dibelakangku. Jadi dari sekian hal didunia ini, hanya Xander yang mampu membuat Lexy berhenti bicara. Ajaib.
“Lex, ini Xander. Xander, ini Lexy temanku.” Aku memperkenalkan mereka bergantian.
Xander mengulurkan tangannya lebih dulu yang langsung dibalas Lexy antusias. Lexy memandangku dengan tatapan curiga lalu tersenyum dengan penuh arti. Aku tahu apa yang ada dipikirannya. Lalu dia melenggang masuk setelah meminta ijin pada Xander. Meninggalkan kami berdua.
“Kau boleh pergi, aku baik baik saja disini lagipula aku punya penjaga sekarang.” Sindirku padanya.
“Aku tahu. Aku akan kembali nanti setelah urusanku selesai.” Dia mencium bibirku sekilas.
“Terserahlah.” Aku membalikkan badanku dan berjalan masuk ke rumah meninggalkan Xander yang masih di halaman rumahku
Saat aku masuk ke rumah aku melihat Lexy masih berada dibalik jendela.
“Dasar penguntit.”
Lexy berlari mendekatiku sambil tersenyum lebar. “Apa dia pacar barumu? Atau hanya pengagummu seperti yang lainnya?” Matanya berkilat jahil.
“Dia bukan siapa siapaku. Kau bisa tenangkan pikiranmu sekarang.”
“Tidak mungkin, dia menciummu tadi.”
“Semua pria dapat menciumku. Kau tahu itu.”
“Ya, aku tahu. Tapi kurasa yang ini berbeda. Kau harus cerita padaku. Aku sangat antusias mendengar petualangan cintamu yang satu ini.”
“Aku tidak yakin kau masih antusias jika aku menceritakannya padamu.” Aku mencium pipinya lalu pergi meninggalkannya dan bergegas memasuki kamarku.
Dia Werewolf, Lex. Kau pasti kaget dan berbalik ketakutan pada Xander. Aku tidak akan menceritakan ini pada siapapun. Bisikku dalam hati.
♥♥♥
“Kate, pelanggan setiamu menunggu disana.” Teriak Tom padaku.
Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tom. Henry, pelanggan bar ini selalu ingin minuman yang dibuat olehku. Dia tidak akan memesan apapun jika bukan aku yang meracik minumannya. Itu bukan masalah besar bagiku, aku tidak keberatan lagipula dia suka memberikan uang tip padaku.
Aku berjalan menuju ke arahnya.
“Seperti apa suasana hatimu malam ini?” Tanyaku sambil menyiapkan gelas untuk minumannya.
“Sedikit penat karena pekerjaanku, sayang.” Jawabnya dengan senyuman yang dapat menggoda setiap wanita disini, kecuali aku, tentu saja.
Oh, baiklah. Aku mungkin tergoda, tapi misiku selalu menang dan tidak ada satupun pria yang dapat mengubah niatku untuk tidak menjalin hubungan dengan siapapun.
Aku tertawa mendengar jawabannya dan berkata “Aku akan membuatkan minuman untuk suasana hatimu yang satu ini.”
Aku meracik minuman dari beberapa botol yang paling populer di bar ini. Henry bukan pelanggan yang menyulitkan. Dia mempercayakan minumannya padaku.
Segelas minuman hasil racikanku tersaji dihadapannya. Dia meneguk setengah isi dari gelas itu dan berkata “Kemampuan meracikmu bertambah lebih baik setiap harinya.”
Baru saja aku akan membalas perkataanya tiba-tiba Karl datang dan menepuk pundak Henry. “Maaf, tuan. Kau harus pindah ke tempat lain.”
“Apa?” Henry bertanya dengan kaget karena tiba tiba didatangi oleh pria seperti Karl.
“Aku ditugaskan untuk menjaga nona Kate. Jadi anda harus pindah ke kursi lain.”
“Apa maksudmu dengan ditugaskan? Dia seorang bartender disini. Tentu saja aku akan memesan minuman kepada seorang bartender. Apa kau gila?” Jawab Henry dengan sedikit emosi. Suasana hatinya ternyata memang sedikit buruk hari ini.
Bukan hanya Henry yang kaget, aku berkali lipat lebih kaget darinya. Namun tiba-tiba aku mengerti maksud ucapan Karl. Aku langsung mengambil tindakan.
“Karl, aku yang akan pergi. Henry tidak akan kemana–mana. Kau ikut denganku sebentar.”
Aku berjalan ke bagian belakang bar, menuju tempat sepi.
“Apa maksudnya itu?” aku menyilangkan kedua lenganku didepan d**a.
“Aku sungguh-sungguh diperintahkan untuk mencegah anda berdekatan dengan pria manapun lebih dari lima menit, nona.”
“Xander yang menyuruhmu?” aku bertanya sambil menyipitkan mataku.
Dia menganggukan kepalanya.
Tentu saja dia.
Siapa lagi yang berani melakukan itu padaku. Sialan.
Karl sangat ketat mengawasiku dari jauh. Jika terus seperti ini aku tidak akan bisa kabur dan pulang kerumahku untuk menghindari Xander.
Rasanya aku ingin memaki Karl, tapi aku tahu Karl hanya menjalankan perintahnya.
Aku menyerah dan melanjutkan pekerjaanku. Berhati hati untuk tidak bicara lebih dari 10 menit dengan semua pelangganku.
Beberapa orang mengernyitkan keningnya saat aku terburu buru meninggalkan mereka saat perbincangan seru sedang terjadi. Aku harus menahannya karena aku tidak ingin Karl membuat keributan dengan para pelangganku.
Pukul 12 lebih sedikit, Xander memasuki Bar. Aku dapat merasakannya saat dia berjalan dan memandangiku seolah olah disana hanya ada aku. Aku memalingkan wajahku dan berpura pura membereskan gelas-gelas yang sudah rapi.
Dia duduk didepanku.
Aku mendatanginya dan bertanya. “Ada minuman yang kau inginkan, tuan?”
“Aku datang kesini untuk menjemputmu.”
“Kemana?”
“Pulang.”
“Jam kerjaku sampai jam 2 malam. Aku tidak bisa pulang sekarang.”
“Aku sudah bicara pada atasanmu. Kau bisa pulang sekarang. Ayo.”
“Apa yang kau lakukan kali ini?”
“Tidak ada, hanya mengubah jam kerjamu. Pulang sekarang, sayang.”
Aku memutar mataku dan berbalik untuk mengambil tasku dibelakang bar. Lexy mengejutkanku dengan muncul tiba tiba dibelakangku dan bertanya kenapa Xander ada disini.
Aku hanya menjawab “Dia menjemputku, dan menyuruhku pulang.”
“Itu tidak apa-apa?” tanyanya bingung.
“Ya, aku baik baik saja.”
“Maksudku, kau kan tahu ini belum waktunya untuk kita pulang.”
“Ah, dia sudah bicara dengan Max. Jadi aku pikir tidak masalah. Apa kau bisa pulang sendirian, Lex?”
“Tentu saja. Kate, jangan lupa gunakan pengaman.” Lexy mengedipkan mata padaku.
Aku memukul bahunya. “Aku hanya akan pulang kerumah, bodoh.”
Lexy tertawa dengan sangat puas setelah menggodaku. Sialan. Rencanaku untuk bersembunyi dan kabur darinya gagal. Aku tidak mengantisipasi dia akan datang menjemputku lebih awal.