07 - Awal Perjodohan

2053 Kata
1 tahun lalu. Luna gelisah, di dalam kamar, gadis itu mondar-mandir layaknya setrika. Malam itu adalah pertemuan keluarganya dan Gama. Ya, setelah banyak konflik yang terjadi, akhirnya Luna mau dijodohkan dengan pria dewasa anak dari teman kakeknya. Gama Pranadipta. Pria yang biasa Luna panggil dengan sebutan Om. Biasanya saat keluarganya dan keluarga Pranadipta mengadakan pertemuan meski hanya sekadar makan malam, Luna tak akan segugup dan segelisah ini. Tapi masalahnya, makan malam dan pertemuan ini tidak biasa. Ini tentang perjodohan konyol antara kakek dan temannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah dari pria yang ia sebut Om tadi. "Luna tahu Om Gama pinter, Om Gama juga ganteng, udah mapan, tapi ...," Luna menggigit kukunya, "tapi Om Gama itu dingin banget, cuek, Luna sedikit takut sama dia. Terus apa jadinya kalo kita menikah? Lagian kakek ada-ada aja kenapa harus jodohin Sama Luna, sih? Udah tahu Luna masih kuliah. Masa harus nikah muda? Apalagi sama Om Gama. Umur kita juga jauh beda." Seperti orang gila, Luna berbicara sendiri. Entahlah, ia hanya mengungkapkan isi hatinya saja. Ia kesal, bingung, dan gelisah. "Om Gama kenapa terima perjodohan ini? Kan Om Gama bisa tolak. Setidaknya kalau Luna nggak bisa tolak, Om Gama yang tolak." Ocehnya lagi. Asik dengan kegelisahannya, pintu kamar Luna terketuk. Gadis itu terkesiap. "Lun, keluarga Pranadipta sudah datang. Kamu udah 'kan siap-siapnya?" Suara Alya—Mama Luna menginterupsi. "B—bentar, Ma. Masih pasang jepit." Dalih Luna. "Kalau sudah buruan turun, ya, Lun. Yang lain sudah berkumpul. Jangan buat menunggu." "Iya, Ma." Seru Luna. Sekali lagi, Luna melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di depan cermin berdiri. Ia mengoreksi dirinya sendiri dari atas sampai bawah. Rambutnya sudah ia catok membuat indah bergelombang, polesan make up tipis juga sudah mempercantik wajahnya, serta dress selutut model sabrina, memamerkan d**a serta klavikula cantiknya. Hal itu semakin membuat indah tubuh gadis itu. Tak lupa, heels warna senada membuat tinggi gadis itu bertambah. Dirasa ia sudah siap, Luna menarik napas kemudian mengembuskannya. Berulang kali ia lakukan hal tersebut untuk mengurangi kegugupan yang ada. Langkah anggun Luna menuruni tangga, membuatnya tampak seperti tuan putri yang baru saja turun dari tangga kastil. Orang pertama yang menyadari bahwa Luna hendak bergabung dengan mereka di ruang tamu adalah Bagas Pranadipta, ayah Gama yang kebetulan duduk menghadap tangga utama rumah tersebut. "Itu Luna sudah datang." Ujar Bagas kepada semua orang yang awalnya saling berbincang. Kakek, Mama, dan Papa Luna yang duduk membelakangi tangga sampai memutar tubuhnya untuk melihat Luna. Sedangkan Gama yang hanya duduk diam seraya menunduk langsung mendongak untuk melihat Luna juga. Setahun Gama tidak bertemu Luna, terakhir mereka bertemu saat Gama masih berada di Indonesia. Setelah itu ia harus mengurusi kerjaan di kantor cabang luar negeri. Selama setahun itu Luna banyak berubah. Dan Gama terpesona akan kecantikan gadis manja itu. Seperti putri dalam dongeng, Luna yang memang cantik, semakin cantik malam itu. Mata Luna bersitatap dengan Gama, butuh waktu lima detik untuk Luna kembali memanglingkan wajahnya. Gama memperhatikannya sudah seperti elang yang siap menerkam kelinci. Membuat Luna takut setengah mati. Pikiran negatif juga mulai berdatangan. Apa Om Gama gak suka sama keputusan aku? Gimana kalo Om Gama juga nggak bisa tolak perjodohan ini dan berharap aku yang tolak? Om Gama tatap Luna tajam banget. Luna takut. Gumam Luna dalam hati. Luna menyalimi tangan Bagas Pranadipta dengan mencium punggung tangannya sopan, serta menyalimi Gama setelahnya dengan gugup. Hanya bersalaman saja tangan Luna seperti dibungkus tangan lebar Gama. Ini aneh, Luna semakin gugup dan takut. "Luna cantik banget malam ini." Puji Bagas. "Terima kasih, Kek." "Sini duduk," suruh Bagas menepuk tempat di sebelahnya setelah bergeser agar Luna duduk di antara dirinya dan Gama. Luna menggigit bibir bawahnya takut-takut. Kenapa ia harus duduk di samping Gama? Kenapa tidak di kursi kosong sebelah mamanya saja? Ah! Luna semakin dibuat mati kutu berada di sana. Tatapan Gama padanya juga masih sama tajamnya. Ragu, Luna duduk di tempat yang Bagas suruh. Ia terlihat sangat kecil duduk di samping Gama. Jantungnya tak berhenti berdetak sangat cepat. "Mereka cocok sekali ya, bersama." Ujar Bagas. Ucapan itu membuat Luna dan Gama kompak saling menoleh satu sama lain. Dan kembali kompak saat keduanya berdehem bersamaan. Luna memainkan jarinya, saling terpaut satu sama lain. Mama dan papanya hanya diam, keduanya seperti pasrah saja karena ini keputusan orang tua mereka yang memang dari dulu ingin ada hubungan keluarga. Bukan rahasia umum lagi kalau keluarga Candrawinata dan Pranadipta bersahabat, bahkan dua perusahaan mereka juga kerja sama. Bagas—papa Gama, serta Darma—kakek Luna ini bersahabat sejak mereka kecil. Mereka berdua memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi orang sukses. Mereka juga berjanji satu sama lain untuk menjadi keluarga suatu saat nanti. Ya, korban dari kisah persahabatan mereka adalah Gama dan Luna. Yang terpaksa harus menikah untuk memenuhi janji itu, serta memenuhi keinginan orang tersayang mereka. Meski di awal banyak sekali konflik yang terjadi. "Jadi kapan pernikahan mereka dilakukan? Lebih cepat lebih baik." Ujar Bagas. "Betul sekali." Kini Darma menimpali. "Eum, Pa, Om. Kalian bicarakan saja enaknya bagaimana. Saya boleh ajak Luna ke taman belakang?" tanya Gama membuat Luna semakin gugup tak karuan. "Tentu boleh, sana Luna ikut calon suami kamu." Ujar Darma. "T—tapi, Kek. Luna ...." "Nggak ada tapi tapi. Sana." Ujar Darma sekali lagi. Berat sekali kaki Luna untuk melangkah mengekori Gama. Luna takut. Namun tangan Gama menggenggam tangan Luna, menariknya untuk segera ikut. Hal itu membuat jantung Luna semakin menggila. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang menggenggam tangannya sehangat ini *** Di taman belakang, Gama hanya diam seraya memperhatikan kolam renang dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku. Gama berdehem berkali-kali. Melirik Luna yang masih terdiam di belakangnya. "Sini, Lun." Ujar Gama lembut. Luna ragu, perlahan ia melangkah dan berdiri di samping Gama. "Kamu gugup?" tanya Gama. Luna mengangguk, gadis itu masih menunduk seraya memperhatikan kakinya yang terbalut heels berwarna peach yang sangat cantik di kakinya. "Kamu menerima perjodohan ini?" tanya Gama. Refleks, Luna melirik Gama seraya mendongak. Meski ia sudah mengenakan heels setinggi lima sentimeter, tinggi Gama masih jauh. Pria itu sangat tinggi untuk ukuran tubuhnya yang hanya 160 cm. "Om Gama gak suka ya dijodohin sama Luna?" tanya Luna balik. "Nggak suka? Nggak juga, sih. Cuma saya heran aja kenapa kamu mau dijodohin sama saya. Kamu tahu umur kita terpaut jauh. Lagi, apa kamu nggak punya cowok? Kenapa mau dijodohin sama pria dewasa seperti saya? Yang kamu pasti tahu saya orangnya membosankan. Nggak seperti remaja sekarang." "Luna mau nurut sama kakek. Kasihan juga papa yang jadi sindiran terus gara-gara mama keras kepala nikah sama papa padahal kakek udah jodohin mama sama sepupu Om Gama. Luna mau bikin keluarga Luna seneng, dan Luna yakin Om Gama orang baik. Luna nggak butuh apa-apa, yang penting Om Gama baik sama Luna itu udah lebih dari cukup buat Luna." Jelas Luna. Gama tersenyum, pria itu mengusap lembut puncak kepala Luna layaknya om kepada keponakannya. "Kamu nggak punya cowok? Saya paling tidak suka milik saya diganggu. Saya cukup agresif, Lun. Saat kamu menjadi istri saya, itu tandanya kamu milik saya. Dan dari dulu saya tidak pernah bisa berbagi milik saya dengan orang lain." "Luna nggak pernah pacaran, Om. Luna juga belum pernah suka sama cowok. Yang Luna suka itu cuma Anrez." "Siapa Anrez?" "Penyanyi terkenal, yang ganteng, yang suaranya bagus." "Halu?" "Ih, Om Gama jangan ngeledek." Gama tertawa renyah. "Jadi kamu nggak terpaksa nikah sama saya?" "Ya terpaksa, tapi nggak terpaksa juga. Ribet, Om. Intinya gitu." Luna melirik Gama, dari samping hidung Gama yang mancung itu menonjol, memang Gama tampan, Luna tak bisa memungkiri hal itu. "Kalo Om Gama?" tanya Luna. "Saya kenapa?" "Om Gama pasti terpaksa 'kan nikah sama Luna? Pasti banyak perempuan yang naksir Om Gama, dan karena kakek Luna dan papa Om Gama, Om jadi nggak bisa menikahi perempuan yang Om mau dan malah menikah sama Luna. Om pasti benci Luna? Iya, kan?" Kali ini dahi Gama mengerut mendengar penuturan Luna. Bagaimana bisa Gama membenci Luna yang menurutnya menggemaskan? Ya meski dia terbilang muda dan menyebalkan karena cerewet, tapi Gama bukan orang yang benci tanpa alasan. Dan sejauh ini tidak ada alasan kenapa Gama harus membenci Luna meski dipaksa menikahinya. "Lun, atas dasar apa saya benci kamu? Nggak ada." Ujar Gama. "Jadi Om Gama nggak benci Luna?" "Nggak, Lun." Senyum manis terukir di bibir Luna. Gadis itu senang Gama tidak membencinya. Padahal pikiran Luna sedari tadi takut tanpa sebab, salah satunya takut Gama membencinya seperti di film-film yang ia tonton atau novel perjodohan yang ia baca. “Om Gama nggak punya pacar?” tanya Luna mengembalikan pertanyaan Gama. “Saya sibuk kerja, nggak sempet pacaran. Di umur saya ini, saya nggak cari pacar, tapi istri.” “Jadi aman, kan?” “Aman apa?” “Luna nggak punya pacar, Om Gama juga nggak punya pacar. Jadi kita aman nikah, nggak ada yang marah.” Lagi-lagi Gama dibuat gemas. Luna, gadis yang cantik, tapi sayangnya jika mereka menikah, Gama harus benar-benar menunggu Luna dewasa untuk bisa menyentuhnya. Gama masih waras untuk tidak menyentuh gadis lugu tak tahu apa-apa itu. Dan mungkin itu yang menjadi beban pikirannya saat tidak punya pilihan lain menerima perjodohan ini. Luna melangkah maju, gadis itu duduk di tepi kolam renang, tak lupa melepas heels-nya lebih dulu sebelum menyelupkan kedua kakinya. Melihat itu membuat Gama ikut menyusul Luna, ia membuka sepatu kulitnya, melipat ke atas ujung celana bahannya sebelum duduk di samping Luna dengan menyelupkan kedua kakinya ke dalam kolam renang. Mereka berdua cukup lama saling terdiam seraya menatap bintang yang bertaburan. “Kamu kuliah semester berapa, Lun?” “Baru semester dua.” “Masih kecil banget.” Luna mengangguk menyetujui, ya, untuk ukuran pria dewasa seperti Gama Pranadipta, Luna hanya seorang gadis kecil. “Kalo kita menikah, Luna ikut Om Gama?” tanya Luna dengan polosnya. “Iyalah, sudah menjadi kewajiban seorang perempuan yang sudah menikah untuk ikut dengan suaminya, tinggal dengan suaminya. Hal itu lumrah.” “Om.” “Hm?” “Om Gama mau janji untuk baik ke Luna, kan? Setelah menikah, Om Gama harus baik sama Luna seperti sekarang. Om Gama nggak boleh galak-galak sama Luna. Om mau janji?” “Tergantung kamu.” “Kok tergantung Luna?” “Kalo kamu nakal, saya bakal marahin. Kalo kamu nurut, untuk apa saya marahin? Saya masih waras, Lun. Dan perlu kamu tahu, saya nggak galak. Emang muka saya galak ya?” tanya Gama. “Iya, muka Om Gama galak banget. Luna takut sama Om Gama.” “Nggak perlu takut. Saya orangnya simple, selama kamu patuh, selama kamu bisa bersikap baik sama saya, saya juga akan melakukan hal yang sama. Bahkan saya bisa memperlakukan kamu lebih baik. Tapi kalo kamu nakal, saya bisa galak. Saya nggak suka perempuan pembantah.” “Kalo itu Om Gama tenang aja, Luna orangnya nurut, kok.” “Bagus kalo gitu. Saya suka perempuan penurut.” Luna menggerakkan kakinya yang terendam, iseng ia bertanya lagi. “Kalo Luna jadi istri Om Gama, Luna harus ngapain? Luna nggak bisa masak, Luna juga selalu bangun kesiangan, Om Gama nggak masalah?” “Untuk saat ini saya maklumi karena kamu masih belum sepenuhnya dewasa. Tapi nanti, kamu harus bisa masak, harus bisa melayani saya sebagai seorang suami. Saya tidak memaksa, hanya saja, saya harap kamu bisa bertanggung jawab sebagai seorang istri.” “Terus kalo Luna jadi istri Om Gama, uang jajan Luna Om Gama yang tanggung, kan?” “Iyalah, kamu sepenuhnya tanggung jawab saya.” Senyum terselubung terukir, Luna sudah membayangkan bahwa uang jajannya akan bertambah jika ia menjadi istri Gama. Mama dan papanya cukup pelit kepada Luna, tidak seperti kakeknya. Luna yakin sekali Gama akan memberi uang jajan lebih. “Luna matre, Om. Pokoknya setelah jadi istri Om Gama, Luna mau uang jajan Luna nambah.” “Berapa emang?” “Sebulan sepuluh juta. Biasanya Luna cuma dikasih tiga juta doang sama mama.” “Naiknya tinggi banget? Emang uang sepuluh juta sebulan dibuat jajan apa?” “Ih Om Gama nggak mau naikin uang jajan Luna?” “Iya saya naikkan.” Mata Luna terbelalak tidak percaya. “Serius, Om?!” “Iya, Lun.” “Luna semakin nggak nyesel nikah sama Om Gama.” Gama menjulurkan tangannya di hadapan Luna. “Kenapa, Om?” “Tanda kita sepakat untuk tidak menyesal menerima perjodohan ini. Saya tahu kehidupan pernikahan itu tidak mudah. Tapi saya harap kamu bisa bekerja sama membangun keluarga kita. Kamu setuju?” Luna menerima jabatan tangan Gama, “Luna setuju. Oh iya, Luna harap Om Gama nggak nyesel juga terima Luna sebagai istri Om. Luna sadar kalau Luna masih belum bisa dewasa, masih belum bisa menjadi istri yang baik. Tapi sebisa mungkin Luna akan berusaha menjadi istri yang baik buat Om Gama. Om Gama setuju?” Gama mengangguk. “Jaga Luna ya, Om? Luna percaya Om Gama bisa gantiin posisi mama, papa, dan kakek buat jagain Luna.” Lagi Gama mengangguk. Tanpa mereka sadari, mereka sudah diperhatikan sejak tadi oleh dua keluarga yang tampak senang terutama kakek Luna dan papa Gama. Mereka semua lega, Gama maupun Luna tidak keberatan dengan perjodohan ini. - To be continue -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN