4. Bagaikan hantu

1220 Kata
Nava duduk di depan kamarnya, tangannya memegang minuman sachet yang belum jadi ia seduh. "Ganteng, tapi nakutin, macem hantu aja," ucap Nava dengan kesal. Nava memilih duduk di depan kamarnya dulu sampai Raka pergi, barulah ia lebih leluasa untuk menggunakan dapur. Hingga Emi siap berangkat ke kampus, Nava masih duduk di depan kamarnya. "Duh, enak banget, sih. Duduk-duduk aja, yang lain pagi-pagi udah mandi, dingin, kamu enak, Mbak, kerja di rumah." Itu adalah kalimat yang sering Nava dengar, kalimat yang awalnya terdengar biasa, tetapi lama-lama membuat Nava merasa kesal. Apa yang dibilang orang-orang enak, ia merasakan banyak kesulitan di sana. Mengarang cerita yang bagus adalah pekerjaan yang tak mudah, ia memutar otaknya untuk bisa menghasilkan itu. Nava tersenyum. "Enak mbahmu," maki Nava dalam hati. Gadis itu malas menjelaskan apa pun pada orang yang tak akan mengerti apa yang ia rasakan saat ini. "Mbak mau apa? Mau buat energen?" tanya Emi lagi. Nava mengangguk. "Iya, aku mau buat ini. Tadi udah turun ke dapur, tapi ada anaknya Bu Lia. Aku takut, kemarin udah dibilang sama anaknya buat bawa alat makan sendiri. Dan alat makanku aku tinggal semua di kos yang lama, sekarang nggak punya apa-apa," sahut Nava apa adanya. Emi terkekeh. "Raka emang judes, Mbak. Tapi ganteng, kan? Udah, buat di kamarku aja. Tuh, ada pemanas air, ada cangkir juga. Pake aja, nih kunci kamarku, nanti dikunci ya kalo udah." Emi menyerahkan kunci kamarnya ke Nava, penulis novel itu tersenyum senang. "Kamu bener-bener penolongku, terima kasih." Nava berterima kasih dengan nada melebih-lebihkan. Emi tersenyum. "Apaan, sih? Lebay! Udah, ah, aku ngampus dulu. Bye!" "Bye-bye! Hati-hati!" pekik Nava dengan senyum lebar. Tak lama kemudian ia menuju balkon, untuk melihat kepergian Emi. Emi baru saja mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, memakai helm dan bersiap untuk pergi. "Hati-hati, Emi!" teriak Nava, gadis itu juga melambaikan tangannya. Emi membalas lambaian tangan itu, tepat ketika Raka juga baru saja keluar dari garasi dengan sepeda motornya. Nava yang melihat Raka langsung mundur dari balkon, menuju ke kamar Emi untuk menyeduh minuman sachet miliknya. "Udah kayak ngelihat hantu aja aku kalo liat dia," ucap Nava sambil mengendikkan bahunya. Raka dan Emi saling bertatapan beberapa saat. "Apa?" tanya Emi dengan suara pelan. "Berisik," jawab Raka dengan ketus. Emi menyeringai kesal. Nava mengaduk pelan pada gelas yang baru saja ia tuang dengan air panas. "Aku juga mau beli pemanas air begini, lah. Kalo mau buat apa-apa nggak perlu ke dapur, malesin banget ketemu hantu itu tiap saat." Setelah selesai mengaduk, Nava membawa gelas itu ke dalam kamarnya, kemudian kembali ke kamar Emi untuk menutup dan mengunci kamar itu. "Pokoknya apa aja mau aku beli, gimana caranya biar nggak perlu ketemu sama hantu itu." "Hantu? Eman ada hantu di mana?" tanya Dahlia yang tiba-tiba muncul di lantai kamar 2, membuat Nava terkejut. "Bu Lia?" "Kamu lihat hantu? Di mana?" tanya Dahlia lagi. Nava tersenyum. "Nggak mungkin kan aku bilang hantunya anak Ibu sendiri," ucap Nava dalam hati. "Ng-nggak ada, kok, Bu." Nava seperti orang gagap yang kesulitan berbicara. Dahlin mengerucutkan bibirnya. "Ya udah, ikut ibu turun ke bawah, yuk. Kita sarapan bareng." Nava cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Dahlia, benar-benar baik dan perhatian, penulis novel online itu merasa tersentuh. "Nggak usah malu, ibu sering ngajak yang lain makan juga, kok. Kenapa? Kamu takut sama Raka? Dia udah pergi kuliah." Nava tersenyum, ia kemudian mengangguk dan mengiyakan ajakan Dahlia. Gadis berusia 24 tahun itu mengaitkan tangannya ke lengan induk semangnya. "Ayo, Bu. Dengan senang hati saya akan membantu Ibu untuk menghabiskan makanan yang Ibu punya." Nava sudah melupakan begitu saja minuman yang baru saja ia seduh. Dahlia tertawa terbahak-bahak. Kedua wanita yang berbeda generasi itu lalu turun bersama. Ibunda Raka bercerita banyak hal sembari berjalan, salah satunya yaitu kebiasaan anak-anak kos di sana yang suka bangun siang. "Jadi cuma Emi yang suka bangun pagi, karena kuliah pagi?" tanya Nava. "Iya, yang lain tuh jarang ambil kelas pagi," jawab Dahlia dengan senyum lebar di wajahnya. Dahlia dan Nava akhirnya sampai di dapur, di sana sudah ada Fanya yang lebih dulu makan pagi. Janda cantik itu tersenyum pada Nava dengan mulut yang mengembang. Nava tersenyum dan mengangguk sesaat. "Pagi, Mbak." "Sini-sini, makan bareng." Fanya menepuk kursi di sebelahnya. Nava menurut, duduk di sebelah Fanya. "Yang lain masih tidur, Bu?" tanya Fanya pada ibunya. "Iya, belum ada tanda-tanda kehidupan," sahut Dahlia dengan nada bercanda. Nava dan Fanya tertawa bersama-sama. Ketiga wanita itu makan pagi dengan suasana bahagia. "Nav, kamu beneran penulis novel?" tanya Fanya setelah mendengar cerita dari ibunya. Nava mengangguk lemah. "Tapi jangan bilang-bilang, ya, Mbak. Aku cuma ngaku sama Ibu karena takut Ibu curiga kalo aku ngamar terus." "Kenapa? Kamu malu?" tanya Fanya. Nava mengangguk. "Pokoknya jangan bilang-bilang." "Nggak akan, bisa diusir kamu sama Raka dari sini," sahut Fanya. Nava membuka matanya lebar-lebar. Dahlia tersenyum. "Kamu tahu, ibu suka banget baca novel sekarang. Raka itu nggak suka." "Kenapa?" tanya Nava. Fanya tertawa lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Nava. Dahlia pun merasa malu untuk mejawab. "Jadi ...,-" ucap Fanya, ia berhenti sejenak, menelan semua makanan yang ada di mulutnya. "Ibu itu kalo udah baca novel, suka nangis-nangis sendiri. Ya kadang ketawa, tapi banyakan nangisnya, Raka nggak suka. Katanya ibu mirip pasien rumah sakit jiwa." Fanya mengaku dengan mata yang berlinang air mata, saking lucunya. Nava begitu terkejut. "Dia nggak tahu aku penulis aja udah sengak begitu sama aku. Apa kabar kalo dia tahu aku ini penulis?" batin gadis berambut panjang itu. "Saking keselnya, Raka sampe ngancem mau sita hape ibu," ucap Fanya lagi. "Emang Ibu baca novel siapa? Sampe nangis-nangis begitu?" tanya Nava. "BawangPutih. Ibu baca itu, semua tulisannya bagus-bagus, ibu menghayati banget sama semua tulisan dia." Dahlia mengaku. Mendengar pengakuan Dahlia, Nava mematung seketika. "Bentar, otak aku yang lemah ini kayak susah cerna. Raka nggak suka sama Ibu yang suka baca novel, karena Ibu suka nangis-nangis. Raka sampe ancem mau sita hape? Dan itu novel BawangPutih?" tanya Nava, Fanya dan Dahlia mengangguk bersamaan. Nava memejamkan matanya. "Cuma masalah alat makan aja dia udah mau makan aku tiap lihat aku. Apa kabar kalo dia tahu BawangPutih itu aku? Bisa diusir bener aku dari sini," batin Nava. Nava melipat kedua tangannya di atas meja, lalu menenggelamkan wajahnya di sana. "Kamu kenapa? Kami nggak akan bilang sama Raka kalo kamu nulis novel. Lagian bukan kamu yang Raka benci, dia bencinya sama BawangPutih." Fanya menjelaskan. Nava mengangkat kepalanya, menatap Fanya dengan mimik wajah memelas. "Dan aku BawangPutih itu," ucap Nava dalam hati. "Aku takut, dia bener-bener nakutin, matanya itu loh, kalo melotot kayak hantu," ucap Nava pada Fanya. Gadis itu terlalu polos, berkata jujur, menjelekkan adik kandung dari wanita yang kini ada di hadapannya. Untung saja sang kakak dan sang ibu mengerti dan tak masalah dengan apa yang ia katakan itu. Dahlia dan Fanya tertawa. "Ya memang begitu, dari dulu terkenal judes dia." "Jadi, yang kamu bilang hantu tadi, maksud kamu si Raka?" tanya Dahlia, Nava tersenyum kecut. "Habis anak Ibu yang satu ini bener-bener beda, serem, kayak hantu." Fanya dan Dahlia tertawa terbahak-bahak, sementara Nava merasa takut dan gugup, ia semakin bertekad untuk menutupi siapa dia sebenarnya. Tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara dirinya dan pria yang ia anggap sebagai hantu, Nava hanya ingin menghindari anak induk semangnya itu. Sekalipun memiliki wajah yang tampan, tetap saja ia tak ingin berhadapan dengan Raka jika pertemuan mereka hanya diisi dengan tatapan menakutkan dari Raka. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN