Nava kembali ke kamarnya setelah makan pagi bersama Dahlia dan Fanya. Sesampainya di kamar, gadis itu baru saja ingat kalau ia sudah menyeduh minuman sachet. "Ah, udah dingin."
Nava menyeringai, merasa kesal pada dirinya sendiri. Gadis itu memukul kepalanya, beberapa kali.
"Dasar beg0! Beg0!"
Nava membanting tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya. "Aku udah bayar satu tahun, gimana kalo tuh hantu usir aku?"
Nava memejamkan matanya beberapa saat, lalu matanya terbuka lebar.
"Raka? Raka Raka Raka, aku kok kayak nggak asing sama nama itu." Nava merasa seperti sudah biasa mendengar nama Raka.
"Apa aku punya temen yang namanya Raka?"
Nava kemudian mencari ponselnya, mencoba mencari-cari nama Raka di dalam kontak ponselnya. "Nggak ada. Mungkin aku salah inget aja."
Nava duduk, melihat ke arah jendela, tak banyak yang bisa ia lihat, tetapi ia senang karena kondisi rumah kos itu cukup sepi.
"Kenapa rasanya aku nggak asing banget sama nama Raka? Nama pembaca? Atau ...,-" Nava mencoba mengingat-ingat siapa Raka, masih membuatnya merasa kesal karena tak kunjung mengingatnya.
"Oh, yang kirim email!" Nava akhirnya mengingat siapa Raka.
Gadis itu lalu mengecek kotak surat elektronik miliknya. Jempolnya bergelar pelan, matanya mencari-cari nama Raka dengan teliti. Cukup lama mencari, Nava akhirnya menemukan nama Raka yang ternyata pernah mengiriminya pesan melalui surat elektronik beberapa kali.
Nava kemudian membaca lagi pesan-pesan yang pernah ia abaikan itu.
Dear, Author.
Perkenalkan saya Raka, nama lengkap saya Raka Suherman. Saya mau memberi masukan kepada Anda selaku penulis yang saat ini sedang naik daun. Mohon pertimbangkan kembali tulisan Anda, jangan terlalu banyak adegan yang membuat pembaca menangis. Bukannya membaca novel itu tujuannya untuk hiburan? Oleh sebab itu, tolong perbanyak adegan lucu atau setidaknya adegan romantisnya saja.
Itu adalah surat pertama dari Raka, dikirim sekitar 6 bulan yang lalu. Surat kedua dikirim 1 bulan kemudian.
Dear, Author.
Saya mohon sekali lagi, perbanyaklah menulis adegan lucu atau romantis. Jangan mengutamakan adegan menyedihkan.
Lalu, surat ketiga datang 1 bulan kemudian setelah surat kedua.
Dear, Author.
Sekali lagi saya minta, saya mohon, menulislah sewajarnya.
Lalu, surat terakhir yang Raka kirim, yaitu sekitar 2 bulan yang lalu.
Dear, Author.
Lakukan apa pun yang kamu mau, jika terkena karma, jangan tanya kamu salah apa.
Nava menganga, tak menyangka kalau ternyata ia pernah menerima pesan-pesan dari Raka. Kala itu, ia selalu mengabaikan pesan yang masuk, baik melalui surat elektronik atau media sosial. Gadis itu tak pernah mempermasalahkan atau merasa kesal pada pesan-pesan yang berkomentar buruk atau bahkan memakinya. Sebagai penulis novel yang memiliki banyak karya dengan jam terbang yang lumayan lama, tentu saja Nava sudah sering mendapatkan banyak komentar. Ia tak pernah ambil pusing, karena dibandingkan dengan komentar buruk, ia lebih banyak menerima komentar baik, banyak orang memujinya dan mendukungnya.
Namun, kini ia tak bisa mengabaikan pesan dari Raka itu karena Raka adalah anak induk semangnya.
"Kenapa aku nggak sadar waktu Bu Lia bilang Raka. Raka Raka Raka, argh, dari mana dia tahu emailku?" Nava menjambak rambunya, menangis dengan suaranya saja karena kenyataannya ia tak benar-benar menangis.
"Dasar beg0!!!"
Pesan yang pernah ia abaikan, seolah memiliki kekuatan supranatural.
"Yaaah, dia sampe bilang aku bakal kena karma. Segitunya ya dia benci sama aku? Lagian Bu Lia kenapa harus baca novel-novelku, sih? Kayak nggak ada penulis lain aja." Nava merengek seperti anak kecil.
"Argh, bod0 amat. Raka kan bencinya sama BawangPutih," ucap Nava mencoba menyemangati dirinya sendiri.
"Tapi dia juga benci Nava yang pake peralatan makan punya ibunya," ucap Nava lagi dengan menangis.
"Kenapa aku bisa nyangkut di rumah kos ini, sih? Gini amat hidupku, mana udah bayar setahun, kan nggak mungkin aku minta lagi duitnya? Aku bisa aja bayar sebulan, kenapa aku bayar setahun?"
Nava kemudian memilih untuk membersihkan kamarnya, merapikan lagi kamarnya yang menurutnya masih kurang pas di hatinya.
Gadis itu kemudian melakukan pekerjaannya, yaitu menulis novel. Namun, karena ia masih saja memikirkan surat dari Raka, ia tak bisa fokus merangkai kata-kata.
"Argh, udah kayak diteror hantu aja kalo begini."
Suara riuh mulai terdengar, itu adalah teman-teman kos Nava.
"Mereka udah bangun? Bener kata Bu Lia, kalo udah bangun, kos udah mirip pasar aja."
Nava memilih menutup pintunya, ia ingin fokus menulis.
"Kenalannya kapan-kapan aja, aku lagi nggak mood," ucap Nava dalam hati.
Suara riuh itu tak bertahan lama karena hampir semua penghuni rumah kos itu harus masuk kuliah. Nava tersenyum ketika mendengar keluh kesah mereka karena tugas kuliah yang menumpuk.
"Jadi kangen kuliah, tapi nggak mau kuliah lagi. Pusing memang," ucapnya. Gadis itu kembali menatap layar laptop miliknya, suara musik lagu-lagu Korea terdengar pelan. Nava memang menjadi salah satu penggemar K-Pop walaupun tak sefanatik anak muda K-Popers lainnya.
Emi akhirnya pulang.
Emi memenuhi janjinya mengajak Nava untuk makan bersama.
"Tapi aku udah makan tadi, diajakin Bu Lia makan." Nava mengaku dengan jujur.
"Ya udah, aku aja yang makan, Mbak yang bayar," sahut Emi yang ingin menggoda teman barunya itu.
Nava menyeringai. "Ya udah, ayo. Anterin aku beli alat makan, aku juga mau beli pemanas air, aku mau beli apa pun biar aku nggak perlu turun ke lantai satu."
Emi tertawa terbahak-bahak.
"Emang Mbak pernah dimarahin Raka? Kok sampe segitunya?"
Nava menggeleng. "Nggak dimarahin, sih. Dia cuma bilang kalo aku nggak boleh pake alat makan Bu Lia. Tapi, tatapan matanya itu loh, ngeri banget. Emang kamu nggak takut?"
Gelak tawa Emi menggema di lantai dua itu. "Ya emang gitu, untung aja ganteng, kan? Coba aja jelek, siapa yang mau sama cowok kayak dia."
"Dia punya pacar?" tanya Nava penasaran.
Emi mengendikkan bahunya. "Nggak tahu, Mbak. Aku cuma tahu kalo dia kuliah sambil ngevlog, dia lumayan terkenal, duitnya banyak. Ya gimana, dia ganteng, jadi artis aja masuk kan? Dia juga pernah jadi model, sering diendors."
Nava mengangguk. "Ayo pergi, kita bicara sambil jalan. Kasih aku tips dan trik biar nggak berurusan sama Raka."
Emi kembali tertawa.
Emi dan Nava kemudian pergi, menggunakan sepeda motor mahasiswi semester 6 itu.
Emi memberi tahu beberapa rumah makan yang enak dan murah di sekitar rumah kos kepada Nava. Emi juga memberi tahu tempat laundry yang murah dan bersih. Emi bahkan menunjukkan beberapa jalan pada Nava.
"Tuh, Mbak, kalo Mbak jalan kaki, jangan lewat sana, jauh. Lewat sini aja, di sini nggak ada anjingnya kayak di sana. Ya, cuma ... Kalo malem jalannya gelap."
Nava mengiyakan semua yang Emi katakan, ia merasa bersyukur karena bisa bertemu dengan teman kos sebaik Emi.
"Udah, kan? Mau tahu apa lagi?" tanya Emi dengan berteriak dari tempat duduknya yang berada di depan Nava itu.
"Udah."
"Kalo gitu kita makan, ya? Udah jam makan siang ini, pokoknya aku minta traktir," ucap Emi dengan girang.
"Iya-iya. Ayo makan," teriak Nava dari jok belakang.
Emi kemudian mengajak Nava makan di kafe yang tak jauh dari rumah kos mereka. "Di sini juga enak, Mbak. Ada band juga, lumayan buat hiburan walau yang manggung ganti-ganti. Kalo Mbak mau, Mbak juga boleh nyanyi di sini."
"Gila! Yang ada pemilik kafe ini langsung usir aku karena suaranya cempreng, kayak kaleng Khong Guan yang dipukul pake sendok." Nava sadar kalau ia memang tak bisa menyanyi. Ia buta nada dan tak tahu teknik menyanyi sama sekali. Walau sebenarnya ketika ia kecil, ia pernah bermimpi ingin menjadi penyanyi dengan mengikuti kompetisi di acara yang diadakan di salah satu stasiun swasta televisi.
"Kayaknya bagusan itu dari pada suara kamu." Emi mencoba mengajak Nava bercanda dengan melempar candaan yang garing, tetapi berhasil membuatnya akrab dengan teman barunya itu.
"Awas kamu, ya." Nava merasa kesal pada Emi, tentu saja hanya bercanda.
Nava dan Emi kemudian masuk ke dalam kafe. Tepat saja di sana ada Raka yang kala itu baru saja naik ke atas panggung yang tak terlalu tinggi. Pemuda itu diseret seorang pria yang diketahui adalah pemilik kafe itu.
Nava terkejut melihat keberadaan Raka di sana, tetapi ia tak mungkin pergi dari sana hanya karena melihat anak induk semangnya itu.
"Wooo, Raka mau manggung, tuh," celetuk Emi.
"Emang dia bisa nyanyi?" tanya Nava yang penasaran, ingin segera melihat pria yang ia anggap sebagai hantu tampil bernyanyi di depan umum.
"Bisa, bagus malah. Tapi dia nggak mau ng-uplooad video yang lagi nyanyi. Dia cuma ngevlog soal makanan aja, padahal kalo nyanyi juga dia post di channel youtube dia, pasti makin banyak yang suka."
Nava menatap Raka yang kini sudah berada di atas panggung, pemuda itu seperti menolak untuk menyanyi, tetapi pria di depannya memohon padanya dengan sungguh-sungguh.
Raka akhirnya mengangguk, lalu setelahnya ia mengambil posisi, menyiapkan aksi panggung yang jarang ia lakukan itu. Tepat pada saat itu, Raka menoleh ke arah pintu masuk, ada Nava yang masih berdiri di sana. Tatapan keduanya saling bertemu, tentu saja Nava buru-buru mengalihkan pandangannya. Raka menyeringai.
Bersambung...