Tangan kurus Emi menarik Nava untuk duduk di meja yang paling dekat dengan panggung, tentu saja untuk melihat anak induk semang mereka manggung.
"Jangan di sini, kita pindah, yuk," ucap Nava yang tak ingin dekat-dekat dengan Raka.
"Nggak apa-apa, Raka jadi manusia normal kalo di tempat umum begini," sahut Emi dengan nada menggoda.
Emi dan Raka adalah teman satu kampus, keduanya cukup dekat karena mereka sering bertemu di kampus. Gadis yang duduk di samping Nava itu tahu pasti bagaimana sikap Raka yang dingin pada penghuni rumah kos Dahlia.
"Memangnya aku vampir?" tanya Raka dengan tatapan tajam, tangannya sibuk mengatur gitar yang kini sudah dikalungnya.
Nava melihat Raka sesaat, tetapi buru-buru ia mengalihkan pandangannya karena tak ingin melihat wajah Raka terlalu lama.
"Kenapa? Dari deket gini kelihatan ganteng banget," ucap Nava dalam hati. Diam-diam gadis itu menyukai pemuda tampan yang ia anggap hantu.
"Jangan, kamu nggak boleh suka sama dia. Kamu lupa? Dia bahkan berharap kamu kena karma," uca Nava lagi dalam hati.
"Mirip seperti itu. Nyanyi yang bagus, ya. Aku bantu videoin." Emi menyiapkan ponselnya.
"Nggak usah!" seru Raka.
"Nggak-nggak kalo aku post videomu? Aku cuma mau lihat sendiri aja," ucap Emi dengan kesal.
Raka diam, sekali lagi ia menatap Nava yang juga sesekali mencuri pandang padanya. Saat itu, Raka menyadari kalau Nava memiliki wajah yang cantik alami, tak ada make up di wajah gadis itu.
"Bantu aku selesaiin tugas akuntansi, aku akan biarin kamu rekam aku." Raka mencoba membuat penawaran. Ia memang sering meminta bantuan pada Emi karena gadis itu adalah satu-satunya gadis yang dekat dengannya. Itu juga karena Emi adalah penghuni rumah kos ibunya, jika tidak maka tidak ada alasan Raka mengobrol dengan Emi.
Emi menyeringai. "Tugasnya banyak, Ka!"
Nava menjadi penonton antara Emi dan Raka, gadis itu diam seperti patung.
"Aku akan bayarin kamu makan, plus nyanyi buat kamu. Kamu minta lagu apa, aku nyanyiin," ucap Raka yang diakhiri dengan gerakan alisnya yang terangkat dengan cepat.
"Nggak, aku udah ditraktir sama Mbak Nava." Emi menjulurkan lidahnya.
"Ya udah, aku nggak jadi nyanyi." Raka berusaha melepaskan gitar, Emi mencegahnya.
"Iya-iya, aku bantuin. Tapi nyanyi 2 lagu, terus bayarin semua. Maksud aku, bayarin makanan aku sama Mbak Nava juga."
Raka melirik Nava, gadis itu membuka mulutnya, hendak menolak permintaan Emi.
"OK!" Raka mengiyakan.
Emi tersenyum.
"Aku bayar sendiri aja, Mi." Nava berbicara pelan pada teman kosnya, keningnya mengernyit indah.
"Biarin aja, duitnya banyak," sahut Emi dengan santai.
Raka mulai memetik senar gitarnya, mencoba bermain beberapa nada. Hingga ketika ia merasa sudah pas, pemuda tampan itu akhirnya memulai aksinya di atas panggung. Kondisi kafe siang itu cukup ramai, tiba-tiba saja semua orang berkumpul di meja yang dekat dengan panggung.
Nava terpukau mendengar suara Raka yang sedang menyanyi. Untuk pertama kalinya, kini ia tak ingin menyangkal perasan kagumnya pada pemuda itu.
"Keren!" seru Nava dalam hatinya.
Nava memandang Raka dengan tatapan lekat, ia benar-benar menikmati setiap nada yang ia dengarkan saat ini. Sorak riuh para pengunjung kafe, bertepuk tangan untuk penampilan anak kedua Dahlia.
Raka lebih sering menatap Nava selama menyanyi, seolah gadis itu memiliki magnet yang memaksanya untuk terus melihat ke wajah ayu itu.
Nava yang sebelumnya tak menyadari kalau Raka melihatnya, tiba-tiba saja salah tingkah ketika ia sadar kalau ia adalah objek dari tatapan tajam pria itu.
Nava ingin mengalihkan pandangan seperti yang biasa ia lakukan, tetapi ia hatinya menolak. Ya, wajah tampan dan suara merdu itu seolah kesempatan emas yang tak ingin ia lewatkan begitu saja. "Bodo amat dia tahu aku ngelihatin dia. Aku mau jadi kayak Emi aja, mau sok akrab sama dia," ucap Nava dalam hati.
"Mbak, aku mau pesen ini. Kamu mau pesen apa?" tanya Emi, gadis itu bertanya tepat di samping telinga Nava.
Nava menoleh pada Emi, hanya sesaat. "Aku samain aja sama kamu."
Nava sungguh tak ingin melewatkan terlalu lama penampilan Raka yang memang keren itu.
"Aku mau pesen mi goreng, yang pedes. Kamu mau yang pedes juga?" tanya Emi lagi, masih dengan suara yang sedikit memekik. Jarak mereka dengan panggung sangat dekat. Nava mengangguk.
Emi menyerahkan ponselnya ke Nava. "Pegangin, aku pesen makanan dulu. Minumnya apa?"
"Samain aja semua."
Emi kemudian beranjak, menghampiri pelayan dan lalu membuat pesanan. Gadis itu pergi ke toilet setelah membuat pesanan, meninggalkan Nava lebih lama untuk memegang ponselnya, merekam aksi panggung Raka.
Emi keluar dari toilet secepat mungkin setelah urusannya selesai. Tepat saat itu Raka baru saja menyelesaikan satu lagu.
"Kok cepet?" protes Emi.
Raka menyeringai. "Siapa suruh kamu pergi-pergi."
Raka kembali mencuri pandang pada Nava, begitu pun dengan gadis itu.
"Ya udah, satu lagi. Aku mau lagunya Drive yang judulnya Melepasmu."
"Ok."
Raka kembali menyanyi. Pemilik kafe senang karena Raka mau menyanyi 2 lagu sekaligus, padahal ia tadi perlu merayu pemuda itu agar mau menyanyi di kafenya. Sang pemilik kafe menghampiri Emi dan Nava, duduk di bangku yang ada di depan kedua gadis itu.
"Mbak temennya Raka? Atau pacarnya?" tanya pria yang berusia 30 tahun itu.
Emi menggeleng, lalu menatap Nava yang sibuk merekam Raka, tentu saja ia juga menikmati lagu yang menggema di seluruh antero kafe itu.
"Oh, Mbak ini yang pacarnya Raka?" tanya pria itu.
Emi menggeleng lagi. "Bukan, kami temen aja, kok." Emi berteriak agar suaranya terdengar.
"Nanti nggak usah bayar, makanannya saya gratisin." Pria itu berterima kasih karena Raka sudah mau menyumbangkan 2 lagu sekaligus siang itu. Berkat aksi panggung Raka, kafe menjadi penuh sesak seketika. Emi baru sadar hal itu setelah ia kembali dari toilet beberapa saat yang lalu. Gadis itu tersenyum.
"Kenapa ada banyak orang yang mau bayarin aku makan? Mbak Nava, Raka, sekarang orang ini. Apa ini hari keberuntunganku?" tanya Emi dalam hati, ia terus tersenyum senang karena merasa beruntung hari itu.
Raka sudah selesai menyanyi, pemuda itu kemudian turun dari panggung dan langsung mengambil barang-barangnya untuk dibawa ke meja di mana Emi dan Nava duduk.
"Awas aja kamu ingkar janji," ucap Raka dengan santai, padahal pria itu masih menjadi pusat perhatian banyak orang.
"Nyanyi sekali lagi, Ka. Lihat, banyak yang suka sama kamu." Emi menggoda pemuda yang duduk di depannya Nava.
Bangku yang ada di depan Emi masih ditempati oleh pemilik kafe. "Iya, aku akan bayar kamu, kamu juga boleh rekam buat dipost di channel kamu." Pria itu ikut menyela.
Raka menyeringai, menatap Nava lagi untuk yang ke sekian kali.
Nava mengakhiri mode terpukaunya, ia menyerahkan ponsel Emi pada sang empunya. Gadis itu hanya membisu, merasa salah tingkah ketika Raka duduk di depannya. Setelah terpesona melihat penampilan pemuda di depannya, kini Nava harus kembali sadar kalau ia harus menjaga jarak sebaik mungkin dari pemuda itu. "Jangan sampe dia tahu aku si BawangPutih, aku nggak mau diusir dari kos," batin Nava.
"Aku udah punya banyak uang. Lagian udah banyak orang-orang yang nyanyi. Aku lebih suka makan, kasih aku 3 menu sekaligus," sahut Raka dengan santai.
"Kalian pesan apa pun, aku gratisin." Pria bernama Egi itu tampak senang dan puas melihat penampilan Raka.
Nava menunduk, lalu mengambil ponselnya untuk bisa melakukan sesuatu, agar terlihat sibuk. Sayangnya, gadis itu salah membawa ponsel.
Nava memang memiliki 2 ponsel, 1 untuk pekerjaan dia sebagai Author dan 1 lagi untuk digunakan sebagai Nava, bukan sebagai BawangPutih. Namun, kini ia hanya bisa memaki dirinya dalam hati karena ia salah membawa ponsel. Benda pipih berwarna putih itu ia masukkan lagi ke dalam tasnya, mau tidak mau ia harus berhadapan dengan Raka.
Raka, Emi dan Nava makan siang bersama. Tak ada suara apa pun dari bibir Nava, gadis itu beberapa kali mendesis karena kepedasan.
"Pedes, Mbak?" tanya Emi yang melihat kening Nava yang mulai bercucuran keringat.
"Pedes, Mi. Kamu pesen apaan, sih? Mi kok pedes begini rasanya?" protes Nava, bibirnya terlihat merah karena sedang makan makanan pedas.
Raka melihat Nava semakin dalam, keringat yang membasahi rambut poni gadis itu. Pandangannya turun ke bawah, melihat bibir Nava yang seolah memakai perona bibir.
Emi tertawa terbahak-bahak. "Lah aku tanyain tadi Mbak bilang samain aja. Ini mi pedes, menu favorit anak kuliahan."
"Level berapa?" tanya Raka penasaran, padahal Nava baru makan beberapa suap saja, tetapi sudah kepedasan.
Emi mengangkat tangan kanannya dan merentangkan jemarinya.
"Lima?" tanya Raka, Emi mengangguk.
Itu adalah level tertinggi, paling pedas.
Nava sudah menghabiskan segelas jus jeruk, padahal baru makan beberapa suap saja. Raka mengambil piring di depan Nava dan menukarnya dengan nasi dan ayam bakar miliknya.
"Makan ini aja, biar aku makan minya." Raka menukar piring mereka tanpa ragu, kebetulan ia belum menyentuh makanannya karena sibuk membalas pesan dari temannya.
Nava meneguk ludahnya. Gadis itu seperti bermimpi, mendapatkan perlakuan manusiawi dari pemuda yang biasanya menatapnya seperti hantu.
"Kenapa? Kamu nggak mau makan pake ayam bakar?" tanya Raka yang melihat Nava membeku dan menatapnya dengan lekat.
Nava menggeleng. "Aku makan nasi aja. Minya pedes banget."
Emi malah tertawa terus menerus, gadis itu lalu memesan jus jeruk dan air dingin untuk teman kosnya itu.
"Kamu yakin mau makan mi itu? Pesen lagi aja, toh kita makan di sini gratis." Emi tahu Raka tak tahan makan makanan pedas.
"Aku bisa makan ini, aku juga beberapa kali makan yang level 4." Raka berkata dengan sombong. Padahal, ia memang tak tahan makan makanan pedas. Demi menjaga harga dirinya, ia akan menahan rasa pedas yang membakar lidah dan mulutnya. Ia bersikap keren, walaupun sebenarnya ia ingin sekali menyerah karena rasa pedas yang sulit untuk ia atasi.
"Iya, suruh makan Emi aja. Pesen lagi aja yang lain," ucap Nava menyela.
Raka menatap Nava dalam-dalam, tak ingin diremehkan kedua gadis di depannya, pemuda itu mengambil satu sendok penuh mi di depannya dan lalu dimasukkan ke mulut tanpa ragu.
Nava dan Emi menatap Raka. Keduanya terlihat serius menatap pria tampan itu, memperhatikan dengan seksama. Wajah Raka yang kepedasan itu terlihat lebih tampan karena banyaknya keringat yang keluar, belum lagi bibirnya yang tampak memerah.
"Kalo kamu mencret habis ini, jangan salahin aku," ucap Emi. Ia adalah salah satu teman Raka yang memang tahu kebiasaan pemuda tampan itu.
"Harus gitu kamu bilang begitu waktu makan begini?" protes Raka dengan mulut yang dipenuhi mi.
Nava sendiri malah semakin tak berdaya dengan perasaannya.
"Ganteng, keren, suaranya bagus, pinter main gitar, baik, mau nuker makanannya demi aku. Gimana aku nggak jatuh hati sama dia? Nava, please, sadar diri," ucap Nava dalam hati. Setelah sebelumnya ia berpikir Raka adalah pria menyebalkan, kini ia mulai tertarik pada pemuda tampan itu. Tentu saja hanya ia simpan dalam hati karena tak ingin ada orang yang tahu tentang perasaannya yang masih labil itu.
Bersambung...