Wajah Raka terlihat memerah, keringat terus keluar dari pori-pori kulit kening pemuda tampan itu. Dengan bermodal tisu, Raka menjaga wajahnya agar tetap kering, tetapi keringat masih saja keluar.
Emi tertawa terbahak-bahak ketika melihat Raka kepedasan. "Ka, udah, jangan dihabisin. Bisa diomelin Bu Lia aku kalo tahu yang buat mencret anaknya aku."
Nava menatap Raka dengan penuh khawatir, keningnya berkerut ketika melihat pemuda itu terlihat memejamkan matanya beberapa kali.
Raka masih saja setia dengan kesombongannya, tak ingin dianggap lemah oleh kedua gadis yang kini duduk di depannya. Pemuda itu cepat-cepat menghabiskan mi di depannya, dan lalu menenggak habis sebotol air mineral, membuat jakunnya bergerak naik turun
Nava menelan ludah, menatap Raka yang semakin terlihat tampan di matanya.
Raka beranjak dari tempat duduknya tiba-tiba. "Aku ke toilet dulu, tungguin barang-barangku."
"Satu menit 50 ribu," sahut Emi dengan santai.
Raka tak peduli, pemuda itu pergi begitu saja. Nava bertanya-tanya, kenapa pria itu pergi ke toilet setelah menghabiskan makanannya.
"Raka nggak akan muntahin minya di dalem toilet, kan?" tanya Nava dengan lugu.
Emi tertawa lagi. "Ya enggak lah, Mbak. Dia nggak perlu begitu buat jaga berat badan, dia rajin olah raga."
"Bukan karena diet, tapi karena pedesnya itu. Aku nggak enak kalo dia sampe terpaksa muntahin isi perutnya karena nggak mau sakit perut," ucap Nava lagi.
Emi memajukan bibirnya. Lalu menggeleng pelan. "Nggak mungkin, Mbak. Mungkin di kebelet aja kali."
Nava mengembuskan napas panjang. "Semoga aja enggak, aku nggak enak karena dia makan mi-ku."
"Biarin aja, toh dia yang mau."
"Biasanya orang ngevlog makanan itu pada doyan pedes, dia kok nggak?" tanya Nava.
"Lagi proses sih, Mbak. Bu Lia jarang masak pedes, jadi Raka juga selama ini belum terbiasa. Kan tadi dia bilang udah pernah makan level 4, nah itu, dia makan mi kamu juga paling mau coba, tahan enggak. Soalnya banyak penggemarnya yang pengen lihat dia makan makanan pedes kayak yang lain."
Nava mengangguk mendengar penjelasan Emi.
"Kamu tahu banyak ya soal Raka?"
Emi tampak diam sesaat, lalu menggosong hidungnya menggunakan ibu jari tangan kanannya beberapa kali.
"Aku suka sama Raka, Mbak," aku Emi dengan penuh percaya diri.
Nava membulatkan matanya lebar-lebar. "Suka? Emi suka sama Raka? Ya wajarlah, Raka ganteng. Aku pun suka sama dia, mana pinter nyanyi sama main gitar kan. Kalo ada cewek yang nggak suka sama dia, tentu saja itu bohong," batin Nava. Mimik wajahnya berubah seketika, ia terkejut mengetahui kenyataan kalau Emi suka pada Raka.
Walaupun Nava masih belum yakin dengan perasaannya pada Raka, mengetahui teman kos yang kini akrab denagnnya menyukai pria yang sama dengannya, tentu saja membuatnya tak nyaman.
"Aku pernah ngaku sama dia," ucap Emi lagi.
Nava semakin terkejut. "Ha?"
Emi mengangguk. "Udah tahu kan jawabannya? Tentu aja dia nolak aku."
Emi malah tertawa terbahak-bahak, mengingat masa lalunya yang pernah ditolak perasaannya oleh teman sekampus yang juga merupakan anak dari induk semangnya.
Antara bersedih dan lega, ada perasaan di hati Nava yang sulit untuk ia mengerti.
"Kamu ditolak sama dia?" tanya penulis online itu.
Emi mengangguk.
"Kok bisa temenan begini? Bisa akrab gitu?" tanya Nava lagi.
"Ehm .... Dulu kan aku kenal dia di kampus. Aku suka sama dia, terus aku cari-cari info tentang dia, ternyata ibunya punya kos-kosan. Ya aku sengaja pindah ke sana buat deketin dia. Tapi ... dia nolak aku."
"Kenapa kamu bisa sesantai ini ngobrol sama dia?"
"Ya awalnya dia judes banget sama aku, tapi akunya nggak tahu malu, deketin aja dia terus. Lama-lama kami temenan aja gini. Raka bilang, dia cuma bisa anggep aku temen," ucap Emi, tepat ketika Raka baru kembali dari toilet.
Nava menatap Raka dengan tatapan aneh, Raka mengernyitkan keningnya.
"Kenapa? Kalian habis ngomongin aku?" tanya Raka dengan suaranya yang terdengar pelan.
Ada sekelompok gadis di meja seberang, terlihat heboh karena Raka baru saja melewati mereka. Nava menoleh pada gadis-gadis itu, menyadari kalau Raka memang memiliki kemampuan membuat para wanita menyukainya.
"Aku baru aja bilang kalo aku suka sama kamu, dan kamu pernah nolak aku," ucap Emi yang berhasil membuat Nava kembali menatap gadis itu. Mata penulis novel itu terbuka lebar-lebar.
"Kamu gila?" tanya Nava bingung.
Raka terkekeh. "Dia emang selalu gila."
"Kenapa?" tanya Emi tanpa malu.
Nava tercenung untuk beberapa saat. Lalu melihat ponselnya untuk melihat jam. "Ayo, pergi. Kamu bilang ada kelas lagi nanti," ucap Nava.
"Astaga!!! Aku lupa kalo kelas siang dimajuin. Gimana dong?" tanya Emi yang terlihat panik.
"Nah, kan? Gimana, sih? Kok bisa lupa? Aku bisa pulang sendiri, aku bisa naik ojek. Tapi kamu kan nggak bawa tas." Nava ikut panik.
"Gampang, aku pergi dulu. Maaf, Mbak, aku nggak bisa anter kamu ke swalayan." Emi berlari, meninggalkan Raka dan Nava dengan suasana canggung.
"E .... Makanannya gratis, kan?" tanya Nava dengan gugup.
Raka mengangguk.
Tiba-tiba saja Raka menatap Nava seperti biasa, terlihat mengerikan.
"Kalo gitu aku mau pulang," ucap Nava yang langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Bareng aku aja," ucap Raka yang lalu mengalihkan wajahnya.
"Beg0. Ngapain pake nawarin anterin segala," ucap Raka dalam hati.
"Ah, nggak usah. Aku mau mampir ke swalayan dulu." Nava tersentuh dengan apa yang dilakukan Raka untuknya. Ia ingin menerima tawaran pemuda itu, tetapi ia tak mungkin mengajak Raka ke swalayan.
Raka kembali menatap Nava. "Mau beli apa?" Pria itu seperti tak terima karena Nava menolak tawarannya, suaranya terdengar garang.
"Mau beli alat makan. Kan kamu sendiri yang bilang kalo aku nggak boleh pake alat makan punya ibu kamu." Nava berbicara dengan lantang, seolah itu adalah bentuk protesnya pada pemuda tampan yang kini menyeringai padanya.
Nava masih berdiri, Raka ikut berdiri dan lalu mengambil tasnya.
"Udah, ayo aku anterin."
Nava berlari kecil, menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Raka yang memiliki kaki panjang itu. "Nggak perlu, aku bisa sendiri."
Raka tiba-tiba berhenti, lalu menatap Nava dengan lekat. "Sekali lagi kamu nolak tawaranku, aku pastiin kamu nggak bisa hidup tenang di rumah."
Nava membeku, tak berani menjawab karena tanpa diancam saja ia sudah hidup tak tenang. Apalagi sekarang ia diancam.
"Lagian aku seneng kalo kamu punya alat makan sendiri. Artinya kamu nggak pake punya ibu." Raka berbicara dengan suara baritonnya, mencoba berbicara apa adanya karena pada kenyataannya barang-barang pribadi milik Dahlia kerap hilang. Hal itu membuat Raka kesal karena kejadian itu berulang dari waktu ke waktu.
Nava menyipitkan matanya, merasa kesal mendengar alasan Raka.
"Iya-iya, aku beli. Kamu nggak perlu nganter, aku bakal beli,-" ucap Nava terpotong karena Raka buru-buru menyela.
"Kamu berani nolak aku lagi?" Raut wajah Raka terlihat mengerikan. Hal itu sukses membuat Nava ketakutan, gadis itu memilih menerima apa yang Raka inginkan dari pada melihat Raka marah. Benar-benar mirip hantu batin gadis itu.
"Nggak! Ayo kita pergi sekarang." Nava tak ingin hidupnya tak tenang karena teror Raka. Gadis itu terpaksa menerima tawaran dari pemuda tampan itu.
Nava lebih dulu berjalan ke tempat parkir, Raka menyeringai puas. Pria itu terlihat lebih tampan dengan seringainya, menampakkan lesung pipinya.
Bersambung...