Keputusan Berat Pak Faisal
Jakarta
Rumah Pak Faisal
Lantai Bawah
Suara nyaring menggema dari lantai atas. Jam menunjukkan pukul dua belas malam.
Darmi, yang sedang beristirahat di kamarnya di lantai bawah, menghela napas. " Haduh, Den Mas Afgan mulai lagi. Kurang kenceng, Den Mas Afgan volumenya! " gerutunya kesal.
Samsul, yang juga berada di lantai bawah, ikut menggerutu. "Pritigiwir, masih jam dua belas malam, Den Mas Afgan!"
Lantai Atas
Suara nyanyian Afgan memecah kesunyian malam di lantai atas. Pak Faisal, yang terbangun dari tidurnya di kamarnya, berteriak.
"Afgan Syah Reza..." suaranya menggelegar.
Ibu Dewi, yang berada di sampingnya, mencoba menenangkan. " Pah, tunggu..."
Di kamarnya di lantai atas, Arsya menggerutu, "Haduh, Uda Afgan berulah lagi... hmm..." Suara Afgan terdengar jelas dari kamarnya.
Suara keras menggema dari kamar Afgan. Pak Faisal, terbangun dari tidurnya, langsung menghampiri kamar putranya itu. Pintu kamar didobraknya.
"Afgan Syah Reza!" bentak Pak Faisal, mematikan musik keras yang tengah diputar Afgan.
"Yah, kok mati sih, Pah?" keluh Afgan.
"Apa, 'Pah', 'Pah'! Kamu tahu ini jam berapa sekarang?" tanya Pak Faisal, menahan amarahnya.
"Jam setengah satu, Pah," jawab Afgan.
"Ini sudah tengah malam, Afgan! Kamu selalu membuat Papa malu dan jadi bahan omongan orang! Mereka bilang Papa tidak pernah menegur, selalu memanjakanmu!" Pak Faisal emosi.
"Biarlah, Pah. Orang yang suka menggunjing, lama-lama juga capek sendiri," sahut Afgan santai.
"Enak saja kamu! Papa yang malu, tahu!" Pak Faisal menampar Afgan.
"Papa mau ngapain?" tanya Afgan.
"Papa akan sita semua fasilitasmu! Mobil, ATM, kartu kredit, motor, semuanya!"
"Pah, Papa nggak bisa begitu, Mah!" Afgan memohon.
"Diam, Mama! Ini semua salah Mama yang terlalu memanjakannya! Mulai hari ini, jangan manjakan Afgan lagi, atau..." Pak Faisal mengancam Ibu Dewi.
"Atau apa, Pah?" tanya Ibu Dewi cemas.
"Atau Papa akan cabut semua fasilitasmu juga! Uang bulananmu akan kuhentikan, dan kamu dilarang bertemu teman-teman sosialitamu!"
Tiba-tiba Arsya datang. "Mama, Papa..."
"Apa?! Kamu mau membela kakakmu juga?" Pak Faisal menatap tajam Arsya.
"Tidak, Pah. Saya hanya ingin mengingatkan agar kalian tidak berisik. Sudah malam, mengganggu orang istirahat. Besok saya sekolah, Pah, Mah, Uda," kata Arsya.
"Tuh, contoh adikmu!" Pak Faisal menunjuk Arsya.
Arsya memberikan ide, "Sudah, Pah. Bicara baik-baik saja besok. Jangan sampai kalah dengan suasana tenang di pesantren."
" Waang bana, Arsya! Ide waang rancak bana! " puji Pak Faisal.
"Maksud Papa?" Ibu Dewi, Afgan, dan Arsya bertanya bersamaan.
"Papa akan kirim Afgan ke pesantren. Tapi bukan pesantren milik keluarga kita."
" Apo..!! Papa mau kirim ambo ka pesantren?" Afgan terkejut.
Pak Faisal menjelaskan dalam bahasa Minang, " Iya, Afgan. Papa latiah litak mengahadapi waang jo jua waang nan alah mambuek papa waang iko manjadi bahan pembicaraan urang jo jua alah mambuek papa waang iko malu, karano ciek sering membolos pado wakatu jam pelajaran kuliah tertentu di kampus, duo sering ikuik tauran jo mahasiswa lainnyo, tigo sering baliak pagi jo mabuak jua, kurang saba baa lai papa samo waang cubo waang pikirkan tu Afgan, barisuak papa sambuang lai pembicaraan iko, kini papa namuah lanjuk istirahaik, Arsya kini waang kumbali ka kamar jo amak kasiah nasihat pado Afgan jo jan sampai amak manjakan Afgan yo, papa namuah ka kamar lai. "
Keesokan Harinya..
Meja Makan
Pagi hari, di meja makan sebelum sarapan, Pak Faisal memutuskan untuk mengirim Afgan ke Pesantren Darussalam di Pacitan, Jawa Timur. Pesantren itu adalah tempat Afgan bertemu jodohnya, Titah, dan pemilik pesantren, Kiai Abdullah, adalah sahabat kakek Afgan, Kiai Sobri.
" Sarapan sampun jagi, Tuan, " kata Darmi, menyajikan sarapan.
"Oh ya, terima kasih, Bi," jawab Pak Faisal.
" Inggih, Tuan, " jawab Darmi.
Pak Faisal menelepon Kiai Sobri. "Ya, Oh iya, Apak, barisuak atau diam, ambo ka mengantar Afgan langsung ka Pesantren Darussalam sendiri. Terima kasih, Apak, lah memberikan saran bakeh ambo. Wa’alaikumsalam, Apak."
Ibu Dewi bertanya, "Papa habis telepon siapa?"
"Apak mertua Amak, Kiai Sobri," jawab Pak Faisal.
"Oh..." Ibu Dewi mengangguk.
"Anak-anak mana, Amak? Kok belum turun untuk sarapan?" tanya Pak Faisal.
"Masih di kamarnya mungkin, Pah. Eh, itu Arsya, Pah," jawab Ibu Dewi.
Arsya masuk, " Assalamu’alaikum, Mah, Pah."
" Wa’alaikumsalam, " jawab Pak Faisal dan Ibu Dewi.
"Loh, kok kamu sendiri? Uda Afgan mana?" tanya Ibu Dewi.
"Masih di kamar kali, Mah," jawab Arsya.
Pak Faisal memanggil Samsul, "Samsul!"
" Inggih, Tuan, ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong bangunkan Afgan di kamarnya ya," pinta Pak Faisal.
Samsul tampak ragu, "Pritigiwir, saya disuruh bangunin Den Mas Afgan, Tuan?"
Ibu Dewi menyahut, "Iya, Samsul, kamu siapa lagi memangnya?"
Samsul ketakutan, "Maaf, Tuan, Maaf, Nyonya. Kenapa saya? Maaf lagi loh ini ya, Tuan, Nyonya, saya tidak berani membangunkan Den Mas Afgan."
Pak Faisal bertanya, "Loh, kenapa? Kamu takut?"
" Inggih, Tuan, " jawab Samsul.
Pak Faisal meyakinkan, "Jangan takut! Bilang saja Afgan ditunggu untuk sarapan. Kalau dia membantah, langsung w******p saya saja. Gampang kok."
" Inggih, Tuan. Permisi, " Samsul pamit.
"Ya, kita tunggu Afgan turun. Setelah itu, Papa ada yang mau dibahas. Baru setelah itu kita sarapan," kata Pak Faisal.
"Iya, Pah," jawab Ibu Dewi dan Arsya serempak.
Depan Kamar Afgan
Samsul tampak ragu-ragu di depan kamar Afgan. "Ketuk, jangan, jangan, ketuk... ah, sudah ketuk saja lah... eh, jangan deh... Haduh, bagaimana ini ya Allah, tolong hamba-Mu ini ya Allah..."
Darmi melihat Samsul, "Itu kan Samsul, ngapain di depan kamarnya Den Mas Afgan? "
Darmi menghampiri Samsul, "Sul, Samsul!"
" Inggih, Mi, " jawab Samsul.
Darmi bertanya dalam bahasa Jawa, "Lagi opo awakmu neng merene? "
Samsul menjawab, "Awakku arep mengetuk lawang kamar Den Mas Afgan, tapi wedi, Mi. "
Darmi berkata, "Wedi piye maksude awakmu? Ya ketuk wae lawang kamar Den Mas Afgan, aja wedi. Delok awakku ya sing arep mengetuk lawang kamar Den Mas Afgan. "
Darmi mengetuk pintu. Tok... tok... tok... tok!
Darmi membuka pintu, "Amit-amit, Den Mas Afgan, kulo Darmi izin mlebu arep merapihkan kamar Den Mas Afgan ya."
Kamar Afgan
Samsul bertanya, "Loh, Mi, kok awakmu wani buka kamare Den Mas Afgan ta?"
Darmi menjawab, "Ra popo, Samsul. Sing penting wis izin ta. Ya wis, mangga mlebu marang kamare Den Mas Afgan."
" Inggih, Mi..." jawab Samsul.
Darmi memulai percakapan, "Oh ya, Sul, awakku arep takon."
Samsul bertanya balik, "Oleh, Mi, arep takon apa?"
Darmi bertanya, "Awakku arep takon, awakmu arep apa kok tumben marang kamar e Den Mas Afgan? Biyasa ne ra tau iseh awakmu marang kamar e Den Mas Afgan ta, Sul?"
Samsul menjelaskan, "Sebenere awakku ra gelem marang kamare Den Mas Afgan iseh, Mi. Tapi iki kongkon saka Tuan ya kudu awakku kerjakan ta, Mi. Masa iya awakku tolak ra bokmenawa iseh ta, Mi?"
Darmi bertanya lagi, "Iya, Sul. Loh, emang e awakmu di kongkon Tuan apa ta, Sul?"
Samsul menjawab, "Di kongkon Tuan kanggo celuk Den Mas Afgan, Mi."
Darmi menyuruh, "Oh, ngono ya. Wis, kana bangunin dong Den Mas Afgan ne saiki."
Samsul menjawab, "Iya, Mi. Iki anyar arep tak bangunin Den Mas Afgan ne, Mi."
Darmi pamit, "Ya wis, tak tinggal ya, Sul..."
Samsul bertanya, "Awakmu arep marang endi emange, Mi?"
Darmi menjawab, "Ya, awakku arep resik-resik kamar sing liyane dong."
Samsul bertanya lagi, "Loh, emang e awakmu wis buyar resik-resik kamare Den Mas Afgan ta, Mi?"
Darmi menjawab, "Wis dong, Sul. Wong awakku mung merapihkan meja sinaue Den Mas Afgan wae kok. Wis ya, awakku tinggal."
Samsul memanggil Darmi ketakutan, "Mi... Mi..."
Darmi bertanya, "Ngapa ta, Sul?"
Samsul memohon, "Aja tinggalkan awakku sendirian neng kene dong, Mi. Awakku wedi, Mi."
Darmi bertanya, "Ya wis, saiki arep e awakmu apa saiki?"
Samsul menjawab, "Awakku arep awakmu menemani awakku neng kene."
Darmi setuju, "Ya wis, cepet aja suwe. Pangawean awakku sing liya ne isih akeh, Sul."
"Oke..." kata Samsul.
Samsul membangunkan Afgan, "Den... Den Mas... Den disuruh bangun oleh Tuan dan Tuan menunggu Den Mas Afgan di meja makan untuk sarapan pagi bersama."
Afgan menguap, "Mi, kok ra tangi-tangi ya?"
Darmi menjawab, "Ra weruh awakku. Ya awakmu coba wae iseh, Sul..."
"Inggih, Mi..." jawab Samsul.