Sorenya
Saat jam pulang kerja datang, para karyawan bersiap menutup toko dan bersiap-siap untuk pulang tak terkecuali Olivia.
Ting!
Lonceng di atas pintu berbunyi, Olivia langsung berbalik. Awalnya niatnya ingin menegur orang itu karena tak bisa melihat papan tanda tutup di depan yang ukurannya cukup besar namun ia segera mengurungkan niatnya ketika yang datang ternyata suaminya. Semua karyawan yang masih di sana sontak menyapanya sopan namun Damian hanya mengangguk, mempertahankan ekspresi dinginnya seperti biasa.
"Kamu sudah selesai 'kan? ayo pulang," ajak Damian seraya menggenggam pergelangan tangan Olivia, menariknya keluar toko tanpa menunggu respon dari istrinya.
"Eh!" Olivia terkejut namun dia tak sempat protes dan hanya mengikuti.
"Kamu memangnya nggak sibuk? kok bisa jemput aku?" tanya Olivia.
Mereka sampai di depan mobil Damian. Damian melepaskan genggamannya lalu membukakan pintu untuk Olivia. "Kebetulan lagi nggak sibuk," jawabnya.
Olivia mengangguk pelan lalu masuk ke dalam. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, wajahnya lelah, tatapannya tiba-tiba kosong.
"Bagaimana hari ini?" tanya Damian setelah duduk di kursinya seraya memasang seatbeltnya.
Tak ada jawaban.
Itu pun membuat Damian menoleh, mendapati istrinya sedang melamun.
"Hei!" Damian menyentuh tangan Olivia hingga si empu tersentak lalu menatap Damian dengan tatapan polosnya. "Kamu kenapa?" tanya Damian lembut.
Olivia membasahi bibirnya. "Nggak apa-apa, Mas. Aku baik-baik aja kok," jawabnya diakhiri dengan senyum kecil yang kelihatan seperti dipaksakan.
Damian memicingkan matanya selidik. "Apa ada yang membuatmu kesal hari ini?"
Olivia hanya diam, enggan mengadu.
"Kalau kamu nggak kasih tahu, aku nggak akan jalan," ancam Damian penuh penekanan.
Olivia menoleh cepat. "Kamu suka maksa deh."
"Ini untuk kebaikanmu juga. Siapa tahu setelah kamu cerita, aku bisa bantu."
Olivia menghela napas. "Aku habis ketemu mantan suamiku tadi dan sikap menyebalkannya nggak pernah berubah. Dia mempermalukanku di depan semua karyawan," ungkap Olivia akhirnya mengadu.
"Mantan suami kamu itu siapa sih? Kerja di mana dia?" tanya Damian serius. Dari tatapannya tampak bahwa dia tidak main-main.
"Memangnya kamu mau apa?"
"Nggak ada, cuma pengen tahu aja."
"Namanya Nathan Andrea, dia kerja sebagai manajer keuangan di perusahaan clover top Tbk."
"Clover top? Perusahaan industri makanan dan minuman yang terkenal itu ya?"
Olivia mengangguk lemah, bibirnya manyun. "Iya, dia kerja di perusahaan besar dan punya posisi bagus makanya dia bisa seenaknya denganku." Olivia mengepalkan tangan yang berada di pangkuannya, menunjukkan emosinya yang membuncah.
Damian sontak merangkul Olivia, mengusap punggungnya. "Kamu tenang ya ... Lain kali kalau dia macam-macam sama kamu, bilang ke aku. Aku mau 'silaturahmi' sama dia."
Olivia mengerti maksud dari perkataan suaminya lantas ia menyunggingkan senyumnya kemudian mengangguk. "Ok Mas."
"Oh iya Mas, makasih ya untuk transferannya," celetuk Olivia saat mereka sudah di jalan.
Damian melirik Olivia sejenak, senyum kecil muncul di wajahnya. "Sama-sama. Kamu senang?"
"Iya, aku senang banget. Ternyata kamu beneran nepatin janji."
Kini Damian tersenyum miring sambil mengangkat alisnya. "Aku adalah pria yang akan melakukan apapun demi sesuatu yang aku inginkan." Olivia sontak menoleh, menatap suaminya yang fokus menatap ke depan dengan tatapan tajam dan dinginnya. Ia menelan ludahnya, merasa terintimidasi dengan kata-kata dan tatapan itu.
"Hmm ... Aku belum pernah tanya soal ini. Tapi ... Apa yang membuatmu tertarik denganku? selain untuk memenuhi syarat menjadi pewaris keluargamu? aku yakin banyak wanita yang dekat denganmu, yang lebih baik dari aku. Tapi, kenapa kamu memilih aku?" Jujur Olivia penasaran dan dia ingin mendapatkan jawaban yang jujur dari Damian.
Damian menatap Olivia sekilas kemudian kembali menghadap ke depan, menarik sudut bibirnya sedikit. "Karena kamu berbeda."
Olivia terdiam, kata-kata Damian barusan berputar-putar di kepalanya membuatnya sempat kehilangan fokus namun dia tak lagi bertanya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Ia merasa pria itu menyembunyikan sesuatu namun dia memilih menahan diri. Ia tidak ingin memaksanya sekarang karena dia tidak ingin membuat jarak di hubungan mereka untuk saat ini. Apalagi ia masih harus menjalani pernikahan kontrak ini selama setahun ke depan sesuai yang tertera di surat perjanjian yang mereka sepakati bersama.
Hening berlangsung beberapa detik. Damian akhirnya melirik ke arah Olivia melalui ekor matanya, sekilas, hampir tak terlihat. Tatapannya datar, sulit diartikan.
Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya sampai di rumah. Olivia turun lebih dulu tanpa menunggu Damian membukakan pintu untuknya.
"Mas, kamu mau makan apa? Katakan saja, siapa tahu kamu pengen makan sesuatu, aku mau masak," tanya Olivia sesaat setelah mereka masuk ke dalam rumah. Pelan-pelan ia ingin membangun hubungan yang baik dengan Damian, ia ingin mengenal lebih baik lelaki itu.
"Hmm ... Aku cuma lagi pengen tumis kangkung."
"Ok, aku masak dulu ya."
Damian mengangguk lalu pandangannya jatuh ke ruang tengah, menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi kardus, koper, dan beberapa barang yang belum tersusun. Napasnya turun naik pelan. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung menggulung lengan kemeja putihnya dan mulai merapikan satu per satu barang yang berserakan. Mereka belum sempat membereskan barang-barang bawaan sejak mereka pindah ke rumah itu, karena mereka harus sambil bekerja.
Sementara di dapur, Olivia sibuk sendiri.
Ia mencuci sayur, memotong bawang, menyiapkan bumbu dan sesekali mengelap keringat di keningnya. Tumis kangkung sederhana yang diinginkan suaminya ia masak sepenuh hati, ia ingin membuatnya terasa istimewa. Selain tumis kangkung, ia juga membuat sambal terasi, menggoreng telur, dan menanak nasi. Aroma masakan mulai memenuhi dapur hingga sampai ke ruang tengah.
Damian menghirup udara dalam-dalam sampai ia menelan ludahnya, tak sabar mencicipi masakan istrinya. Dia menjadi bersemangat untuk segera menyelesaikan kerjaannya.
Jam terus berputar hingga tak terasa malam telah datang. Setelah mandi, Damian langsung menuju ruang makan. Ia dapat melihat Olivia sibuk menata makanan ke atas meja makan.
"Mas, kamu udah mandi?" tanya Olivia yang menyadari kedatangan Damian.
Damian mengangguk, mengambil duduk di salah satu kursi. "Kamu masak apa? dari wanginya enak banget."
"Aku buat tumis kangkung sesuai permintaanmu, telur ceplok, sambal terasi dan tempe goreng bumbu. Kelihatannya sederhana tapi ini enak loh. Coba aja."
"Aku juga biasa makan ini kok."
"Oh, iya? aku pikir orang kaya tidak makan makanan seperti ini."
"Kenapa tidak? sesekali aku juga makan makanan seperti ini. Aku nggak pemilih kalau soal makanan."
Olivia mengangguk paham, suatu fakta dari suaminya, lalu duduk berseberangan dengan Damian, menuangkan air ke dalam gelas dan memberikannya satu untuk Damian.
"Telur ceploknya kok nggak sempurna sih, 'kan tadi pagi kamu udah lihat aku buatnya," celetuk Damian hanya untuk menggoda istrinya.
"Aduh, ribet Mas kalau mau buat begitu. Walaupun bentuknya nggak beraturan gini rasanya tetap sama kok, malah lebih enak," ucap Olivia seraya menyendokkan nasi untuk Damian.
"Masa?"
Olivia mengangguk cepat. "Iya. Coba aja kalau nggak percaya."
Damian menerima nasi yang masih hangat dari Olivia lalu mengambil semua lauk yang dimasak istrinya.
"Gimana?" tanya Olivia seraya menatap orang di hadapannya yang sedang mengunyah dengan tatapan penuh harap.
Damian mengangguk pelan. "Enak. Ternyata kamu jago masak juga ya."
"Iya dong." Olivia sontak tersenyum lebar seraya bergaya random penuh percaya diri. "Udah cocok belum aku jadi chef?"
Damian menggeleng. "Belum," jawabnya jujur.
Senyum Olivia seketika pudar, tergantikan dengan bibir cemberut. "Ih kok gitu jawabnya?"
"Aku cuma jawab jujur, karena teknik memasak seorang chef profesional dengan seseorang yang biasa masak di rumah itu berbeda. Kamu akan tahu ilmunya kalau kamu bekerja di restoran atau perhotelan."
"Jadi kamu meremehkan skill memasakku?" Olivia kini menatap tajam Damian seraya melipat tangan di depan d**a, bersiap mengomel.
"Nggak. Masakanmu enak kok cuma kurang rapi aja. Dari beberapa tumis kangkung yang pernah aku coba, buatanmu jadi nomor 1 di hatiku."
"Benarkah?" Olivia menyipitkan matanya selidik. Damian mengangguk.
"Gitu kek dari tadi." Olivia akhirnya bisa tersenyum puas setelah mendengar pujian dari suaminya. Sepersekian detik kemudian, Damian mengangkat kepalanya, tanpa sadar sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk senyum tipis menatap ke arah istrinya yang sedang sibuk menyendokkan lauk ke piringnya sendiri.