Bab - 1
Langkah-langkah mahasiswa bergema di koridor gedung Hukum, suara sepatu berpacu dengan dering jam dinding yang baru saja menandai pukul empat sore. Udara lembab sisa hujan siang tadi masih menempel di lantai marmer, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan bau kertas dan tinta dari ruang kelas.
Di antara kerumunan itu, Nurra berjalan tenang, map biru tebal menempel di dadanya. Sesekali dia tersenyum, bukan karena benar-benar ingin, tapi karena harus. Senyum Nurra adalah senyum yang sudah terlatih sejak lama—senyum yang sopan, ramah, tapi tak membuka celah.
“Nurra, boleh minta tanda tangan buat absensi organisasi?” seorang junior berlari kecil menghampirinya.
“Boleh,” jawab Nurra singkat, memberikan paraf di kertas tanpa benar-benar membaca.
Junior itu mengucapkan terima kasih dengan wajah berbinar, seolah baru mendapat restu dari seseorang yang lebih tinggi kedudukannya. Padahal Nurra hanya mahasiswa semester tiga. Tapi statusnya bukan sekadar mahasiswa biasa.
Anak tokoh politik nasional. Cucu pahlawan perang yang namanya diabadikan jadi nama jalan utama di ibukota.
Itu artinya, setiap langkah Nurra selalu dalam sorotan. Bukan hanya di media, tapi juga di kampus. Ada yang mengagumi, ada yang iri, ada yang membenci.
“Lo kayak seleb, Nur,” celetuk Vanya, sahabatnya, yang tiba-tiba sudah berada di sisi kiri. Rambutnya yang dicat cokelat terang masih basah oleh keringat, tanda ia baru selesai kelas olahraga. “Bisa nggak sekali aja jalan tanpa ada yang nyamperin lo?”
Nurra tertawa kecil. “Kalau bisa, aku juga pengen. Tapi kayaknya itu mustahil.”
Di sisi kanan, Salma ikut bergabung, wajahnya dingin seperti biasa. “Lo tau kan, Nur, kalau semua perhatian ini nggak selamanya bagus? Satu kesalahan kecil aja, bisa jadi headline.”
“Sal, udah lah,” sahut Vanya sambil merangkul lengan Nurra. “Biarkan hidupnya perfect dulu. Kita aja yang belajar dari dia.”
Nurra hanya tersenyum samar. Di dalam hatinya, kata “perfect” justru terdengar seperti kutukan.
Mereka bertiga keluar dari gedung, menuju pelataran kampus. Suasana sore masih ramai; mahasiswa lalu lalang, pedagang kopi keliling menjajakan dagangannya, suara motor dari jalan besar sesekali terdengar.
Nurra baru akan mengajak mereka ke kantin ketika tiba-tiba suara gaduh datang dari arah belakang fakultas. Teriakan, sorakan, langkah bergegas.
“Apaan tuh?” Vanya langsung menoleh, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Salma mendengus. “Udah jelas. Kalau rame-rame gini, pasti ada yang ribut. Dan kalau ada yang ribut, pasti ada satu nama.”
“Edi,” jawab Vanya hampir bersamaan.
Nama itu sudah jadi legenda di kampus. Ediba—atau Edi—mahasiswa yang lebih sering terdengar kisah kontroversinya ketimbang prestasinya. Berantem, pesta, gosip asmara dengan berbagai orang—semuanya pernah dikaitkan dengan dia.
“Udah lah, kita ke kantin aja,” kata Nurra, malas terlibat.
Tapi arus manusia justru membawa mereka ke halaman belakang. Susah menolak ketika hampir semua orang menuju ke sana.
Lingkaran besar mahasiswa terbentuk rapat, suara sorak-sorai membahana. Di tengah, seorang pemuda berdiri tegak. Nafasnya berat tapi wajahnya santai, bahkan sinis. Kaos hitamnya kusut, ada noda darah di sudut bibir. Di jarinya, sebatang rokok masih menyala, asapnya melayang ke udara sore.
Edi.
Lawan yang barusan dia hadapi sudah terkapar, digotong pergi oleh dua orang lain dengan wajah hancur. Sorakan penonton semakin menggila—ada yang bertepuk tangan, ada yang bersiul, ada juga yang sibuk merekam dengan kamera ponsel.
“Dia bener-bener bencana,” komentar Salma dingin. “Nggak ngerti kenapa ada aja yang berani nantang dia.”
Vanya justru cekikikan. “Tapi lo harus akui, Sal, dia tuh… aduh, gantengnya kebangetan. Bad boy vibes banget.”
Nurra tidak menjawab. Tangannya meremas map biru, berusaha menahan gejolak aneh di dadanya. Dia tahu seharusnya pergi. Seorang seperti dia tidak pantas ada di sini. Satu foto saja dirinya menonton perkelahian bisa jadi bahan gosip, dan gosip di kampus ini cepat sekali menyebar.
Tapi matanya justru terpaku.
Seolah sadar sedang diperhatikan, Edi mengangkat wajahnya. Tatapannya langsung mengunci Nurra di antara kerumunan.
Detik itu, waktu terasa berhenti. Sorakan menghilang, suara angin lenyap, hanya ada dua pasang mata yang saling bertemu.
Mata Edi gelap, penuh tantangan, seperti menelanjangi semua lapisan yang Nurra bangun selama ini. Bibirnya melengkung tipis—senyum sinis sekaligus menggoda.
Nurra buru-buru berpaling, pura-pura sibuk merapikan map. Tapi tubuhnya bereaksi lain: jantungnya berdetak cepat, napasnya tersengal.
“Nur, lo oke?” suara Salma membuyarkan lamunannya.
“Iya,” jawab Nurra cepat. Terlalu cepat.
Vanya langsung menyeringai nakal. “Eh, jangan-jangan ada yang deg-degan liat si bad boy kampus?”
“Jangan asal ngomong,” potong Nurra dingin. Tapi dalam hati ia tahu, ada sesuatu yang baru saja bergeser.
Edi akhirnya berbalik, melangkah santai meninggalkan lingkaran. Sorakan masih menggema, tapi yang tertinggal dalam benak Nurra hanyalah tatapan itu. Tatapan yang membuatnya sadar—ia baru saja melangkah ke dalam masalah besar.