Bab 3

762 Kata
Hari Senin di kampus hukum selalu terasa padat. Aula besar penuh mahasiswa yang terburu-buru mencari kursi, suara buku dibuka bersamaan, dan dering ponsel yang buru-buru dimatikan karena dosen terkenal galak. Bau spidol whiteboard bercampur dengan aroma kopi sachet yang dibawa beberapa mahasiswa. Nurra masuk bersama Salma dan Vanya. Seperti biasa, beberapa pasang mata otomatis menoleh. Ada yang hanya sekilas, ada yang berbisik-bisik sambil menatap. Nurra sudah terbiasa—menjadi pusat perhatian bukan pilihan, tapi konsekuensi dari nama besar keluarganya. Dia memilih duduk di baris tengah. Tidak terlalu depan, supaya tak tampak terlalu ambisius. Tidak di belakang, supaya tidak terlihat cuek. Posisi aman. Salma duduk di sebelah kanan, Vanya di kiri. “Gue denger gosip, si Edi bakal masuk kelas ini,” bisik Vanya, matanya berbinar. “Ah, lo suka banget drama,” sahut Salma, sambil membuka laptop. “Kalau bener, siap-siap aja kelas jadi nggak kondusif.” Nurra pura-pura sibuk dengan catatannya, meski jantungnya berdetak lebih kencang. Nama itu muncul lagi. Nama yang semalaman menghantui pikirannya di balkon rumah. Pintu belakang aula terbuka. Suara kursi berderit, bisik-bisik meningkat. Dan benar saja. Edi. Dia masuk dengan langkah santai, seolah ruangan itu miliknya. Jaket denim biru tua tergantung di bahu, kaos hitamnya sederhana tapi justru menonjolkan bentuk tubuhnya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukannya kacau—lebih mirip sengaja dibiarkan liar. Beberapa mahasiswa perempuan otomatis membetulkan posisi duduknya, bahkan ada yang pura-pura sibuk dengan ponsel padahal matanya curi-curi pandang. Edi berjalan tanpa tergesa, menatap sekeliling dengan tatapan malas. Sampai akhirnya, matanya menemukan Nurra. Senyum tipis itu muncul lagi. Nurra menunduk cepat-cepat, pura-pura sibuk membuka pulpen. Tapi ia bisa merasakan tatapan itu masih menempel padanya, panas, menekan. Edi memilih kursi kosong di belakang, hanya berjarak dua baris dari Nurra. Suara kursi berderit lagi, lalu keheningan singkat sebelum dosen masuk. Pelajaran dimulai. Profesor Arifin, salah satu dosen senior, berdiri di depan papan tulis, menulis “SISTEM KONSTITUSI INDONESIA” dengan huruf besar. “Saudara-saudara mahasiswa, hukum tata negara tidak sekadar bicara pasal. Ini tentang kehidupan berbangsa. Tentang fondasi.” Suaranya berat, berwibawa. Biasanya, Nurra bisa menyerap kata-kata itu dengan cepat, bahkan menambahkan catatan tambahan. Tapi kali ini, ia hanya menulis asal, garis-garis tak beraturan yang tak ada artinya. Karena di belakang, ia bisa merasakan sesuatu. Sesekali suara ketukan jari terdengar dari arah kursi Edi. Ritme ringan, tapi entah kenapa terdengar jelas di telinga Nurra. Di tengah kuliah, Profesor Arifin tiba-tiba menunjuk. “Saudari Anurra, bagaimana pendapat Anda mengenai konsep checks and balances dalam sistem presidensial?” Semua mata menoleh. Nurra menghela napas cepat, menegakkan badan. “Konsep checks and balances, Prof, adalah mekanisme untuk memastikan tidak ada satu cabang kekuasaan yang terlalu dominan. Di Indonesia, prinsip ini diterapkan melalui hubungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang saling mengawasi…” Jawabannya mengalir lancar, otomatis. “Bagus. Duduk.” Suara tepuk tangan kecil terdengar. Nurra mengangguk singkat, lalu menunduk. Tapi ia sadar ada seseorang di belakang yang tidak ikut tepuk tangan, melainkan hanya terkekeh pelan. Edi. Kelas akhirnya selesai. Mahasiswa buru-buru berkemas, sebagian langsung keluar. Salma merapikan laptopnya, Vanya sibuk menyalin catatan terakhir. Nurra ingin ikut arus. Dia berdiri, memasukkan map ke tas, berharap bisa pergi tanpa insiden. “Nurra.” Satu kata itu menghentikan langkahnya. Suaranya rendah, serak, tapi jelas. Nurra menoleh. Edi berdiri di dekat pintu, bersandar pada kusen. Satu tangan di saku celana, satu lagi memegang botol minum. Senyum miringnya muncul lagi. “Lo nggak jawab tatapan gue kemarin,” katanya. Nurra menegang. “Apa maksud lo?” “Gue liat lo di halaman belakang. Semua orang nonton gue berantem, teriak-teriak. Tapi tatapan lo beda.” Nurra mencoba menjaga wajah datarnya. “Lo salah liat. Gue cuma… nggak sengaja.” Edi mendekat, langkahnya santai. “Nggak. Tatapan lo penasaran. Bukan jijik, bukan takut. Lo kepancing.” Kata-katanya menampar. Nurra berusaha tenang, menggenggam tasnya erat-erat. “Lo terlalu percaya diri.” “Dan lo terlalu sibuk jaga citra.” Nurra membeku. Kata-kata itu menembus dinding yang ia bangun selama ini. Dia ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Edi berhenti hanya satu langkah darinya. Tatapannya dalam, membuat Nurra harus menahan napas. “Gue penasaran. Anak manis kayak lo… apa jadinya kalau keluar dari sangkar emas?” “Jangan dekat-dekat gue,” suara Nurra bergetar. Edi hanya tersenyum samar. “Gue nggak janji.” Nurra akhirnya melangkah cepat keluar. Di koridor, Salma dan Vanya menunggu. “Lo kenapa? Kok pucet?” tanya Salma. “Enggak apa-apa,” jawab Nurra singkat. Tapi di dalam hati, ia tahu sesuatu sudah bergeser. Ia boleh saja pura-pura dingin, tapi Edi berhasil menyentuh sesuatu yang bahkan keluarganya tak pernah lihat: dirinya yang asli. Dan itu… berbahaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN