MELATI
Seperti sebelum-sebelumnya, aku kembali mengekor dan mati gaya. Berharap andai saja hadiah ulang tahunku kemarin bukan boneka useless yang cuma bisa jadi pajangan di kamar, melainkan “mesin waktu” milik Doraemon. Supaya aku bisa membalikkan waktu dan tidak berurusan dengan dua orang yang paling tidak boleh kudekati ini. Atau apapun yang membuatku tidak berada di sini. Pintu kemana saja punya Doraemon juga boleh. Setidaknya aku tidak harus bersama dua curut ini sekitar satu jam ke depan.
“Muka lo kayak habis dapet kabar besok mau mati aja.” Kak Enand mulai buka suara ketika kami selesai menulis pesanan masing-masing. Aku memesan jus strawberry, Kak Enand air putih, dan Kak Sakta soda.
“Gue emang mau mati, Nand,” ucap Kak Sakta seraya mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Tampak putus asa. Membuatku merasa bersalah.
“Gue bantu mikir solusinya ntar,” ujar Kak Enand dengan nada kalem.
“Harus!” tukas Kak Sakta.
Setelah menyiapkan diri yang dimantabkan dengan menarik napas dalam-dalam, aku memberanikan diri untuk bicara. “Saya bener-bener minta maaf, Kak. Saya nggak sengaja.”
“Mayoritas kecelakaan di jalan raya terjadi karena nggak sengaja. Tapi toh itu nggak berarti nggak ada yang meninggal dan dirugikan gara-gara keenggaksengajaan itu. Dan pelakunya tetep dipidana,” cetus Kak Enand yang langsung membuatku mengkeret. Dan mungkin melihat perubahan itu, Kak Sakta menyikutnya lumayan keras.
Detik kemudian, Kak Sakta mendesah. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja hingga sesaat kemudian sebuah kalimat meluncur dari mulutnya. “Udah kejadian juga. Mau gimana lagi? Betewe nama lo siapa?” tanya Kak Sakta yang kini menatapku.
Jika aku membohonginya dengan mengatakan bahwa namaku Vina dan berharap dia akan mengingat orang yang mencelakai temannya adalah Vina, lebih-lebih lagi jika dia tidak mengingat wajahku, itu akan sangat membantu.
Tapi, melihat tatapannya yang agak bersahabat, aku memutuskan untuk jujur.
“Melati, Kak,” jawabku, masih berusaha terlihat sopan. Aku balik menatap matanya. Sepasang bola mata cokelat yang hangat, dihiasi bulu mata panjang yang membentuk tirai tiap kali kelopak matanya berkedip. Seolah mendapat wangsit atau apa, mata itu seketika mengerjap. Kak Sakta langsung mengoyak bahu Kak Enand yang duduk di sebelahnya. Bahkan tampaknya ia lupa bahwa temannya itu tidak boleh diguncang sekencang itu karena dapat berpengaruh pada lengan yang sepanjang siang ini dia khawatirkan.
“Lo inget, nggak? Yang diceritain Kazi kemarin? Yang gue bilang titisan Athena!” seru Kak Sakta dengan mata berbinar.
Seketika Kak Enand yang sudah dingin seperti makhluk kutub itu membeku. Kemudian, dengan sisa sendi putar di lehernya yang mungkin tidak ikut membeku, ia menoleh dan menatapku.
“Coba sebutin lagi nama lo,” ujar Kak Enand pendek. Lebih mirip titah.
“Melati,” lirihku ragu-ragu. Apa jangan-jangan kedua orang ini mengenaliku sebagai sepupu Arian?
Kak Sakta langsung menjentikkan jari. “Lo yang kena marah Gina gara-gara nelat sama ganti menu bekal itu?” tembak Kak Sakta langsung.
“Kok Kakak tahu?” Kedua pipiku terasa memanas. Dadaku bahkan cenat-cenut karena malu mengingat kejadian itu. Bayangkan saja, aku menjadi bahan tontonan satu ruangan.
“Ketupat MOS itu sahabat gue sama Enand.”
“Oh, Kak Kazi,” jawabku. Meski aku sudah tahu karena sempat mengamati mereka sebelum kejadihan konyol ini. “Aduh kesebar gitu ya ceritanya,” ujarku sambil menggigit bibir. Meski sejujurnya merasa sangat lega karena ternyata tidak kaitannya dengan Arian.
“Nggak usah GR. Lo nggak setenar itu, kok,” sahut Kak Enand ketus yang langsung disikut lagi oleh Kak Sakta.
“Sekalipun tenar, tenar lo keren, kok! Gue bahkan sampai ngira lo keturunan Athena karena bisa bikin si Medusa gemes!” seru Kak Sakta sambil tersenyum. Di bawah matanya, tampak tulang pipi lebar yang membuatnya terkesan lebih sering tersenyum. Sambil mengingat siapa yang disebutnya sebagai Medusa, yang ternyata adalah Kak Gina yang mungkin kalau habis memakai rol bakalan tampak seperti Medusa, pandanganku meluas ke kulitnya yang putih pucat. Tidak salah lagi. Dia blasteran.
“Siapa yang ngajar sekarang?” tanya Kak Sakta lagi.
“Pak Wahid, Kak,” jawabku, kemudian mencuri pandang ke Kak Enand yang sibuk memainkan ponsel dengan tangan kirinya.
“Oh, wali kelas gue dulu. Santai aja. Gue bantu ngomong nanti,” kata Kak Sakta, seolah aku bukan sumber dari masalah yang membuatnya frustasi. Berbeda dengan Kak Enand yang sedari tadi bertingkah seolah aku tidak ada. Kalau pun tidak sengaja memandangku, ia memandangku seolah aku kutu yang pantas disentil, bahkan diinjak. Benar-benar menjengkelkan.
Kami kembali ke sekolah tepat sebelum jam pelajaran terakhir dimulai. Berkat Kak Sakta, aku tidak mendapatkan masalah karena meninggalkan sekolah selama beberapa jam. Tanpa mengucap salam perpisahan, kami sepakat untuk langsung menuju kelas masing-masing. Namun, entah datang darimana, sebongkah tekad yang sama sekali tidak penting melesak keluar dan mendorongku untuk menyelesaikan sesuatu. Aku menghadang Kak Enand sebelum ia menaiki tangga untuk kembali ke kelasnya.
“Lo mau apalagi?” tanya Kak Enand yang jelas sekali muak ketika kembali melihat wajahku. Maaf saja ya, aku juga muak, bahkan lebih muak untuk berinteraksi dengannya lagi.
“Kakak belum maafin saya,” jawabku. Hanya itu alasan aku rela berinteraksi dengan makhluk super dingin ini.
“Terus?” Apa aku tidak salah dengar? Itu reaksinya? Ia menunduk menatapku. Mengatupkan rahang tajamnya yang seolah bisa membelah granit. Menungguku bicara. Andai saja dia bukan pahlawan basket sekolah, sudah kutendang hingga kakinya juga ikutan cidera.
“Saya mau tanggung jawab. Maksud saya, saya mau berbuat sesuatu supaya Kakak maafin saya.”
Sebentuk tawa mengejek keluar dari mulut makhluk kutub itu. Jika kau melihatnya langsung, itu adalah jenis tawa yang membuatmu ingin merontokkan gigi orang. “Yakin lo?” tanyanya.
Aku mengangguk mantab. Meredam semua amarah dari inti tubuhku yang sedari tadi seperti lava yang meletup-letup. Kalau saja kau punya kekuatan supranatural yang bisa melihat aura, auraku sudah melewati batas orang dikatakan marah. Aku bahkan ragu ada warna semerah warna kemarahanku sekarang.
Makhluk es di hadapanku mengangkat kepalanya kemudian mendesah. Seperti memutuskan sesuatu. “Oke…, kalau itu mau lo. Mulai nanti lo jadi asisten gue. Tugasnya simpel. Cuma nyatet, ngetik, dan semua hal yang biasa dilakuin tangan kanan gue. Sampai tangan gue sembuh. Sanggup?” Dia menatapku dingin. Seperti es yang menusuk sampai ke jantung.
Belum sempat mengutarakan jawaban, bayangan Arian muncul lengkap dengan pidato panjangnya untuk menjauhi Kak Enand.
“Kalau nggak sanggup nggak apa-apa. Gue udah biasa ngadepin orang yang tanggung jawab cuma sama omongannya doang,” katanya sembari melangkah melewatiku.
Apa dia bilang? Dan tentu saja seorang Pramudhina Melati bukan seorang pembual. Seketika aku berseru lantang. “Saya sanggup, Kak!” Celaka celaka celaka! Kalau sampai Arian tahu....
Kak Enand berhenti. Tanpa berbalik, ia berkata. “Pulang sekolah, gue tunggu di mobil gue.”
Akhirnya, itulah kartu kematian yang kubuka sendiri. Brilian. Dan silahkan bertepuk tangan .