PRAMUDHINA MELATI
Aku sudah terlambat mengumpulkan tugas sejarah gara-gara antrian panjang di kios fotokopi tadi. Kakiku menyusuri anak tangga dengan cepat untuk menuju ruang guru di lantai satu sebelum bel masuk berbunyi. Satu gerakan yang salah membuatku tergelincir dan bertaruh nasib pada kebaikan bumi untuk melunakkan permukannya demi menangkapku.
Hey wait! Sepertinya aku memenangkan taruhan ini. Dan entah kenapa daripada bersyukur, aku lebih merasa takut. Takut bumi yang kupijak benar-benar berubah lunak seluruhnya. Bagaimana nasib Valentino Rossi yang sedang membalap di atas kerasnya aspal namun tiba-tiba berubah jadi lunak? Tidakkah seluruh teori fisika harus direvisi kembali? Di tengah pikiranku yang berkecamuk, sebuah suara yang sepertinya bukan merupakan suara jantung maupun napasku, terdengar menuntut untuk kuperhatikan.
“Ssshh,” desis sesuatu…, maksudku…, seseorang? Ya, seseorang yang ternyata berada di bawahku.
“Lo nggak pengen berdiri apa?” suara itu kini terdengar lebih jelas dan terkesan mendesak.
Menyadari betapa bodohnya aku beberapa detik lalu karena sudah larut dalam khayalan ala komik marvel, aku langsung terlonjak berdiri.
“AU! Arrrgh! Ya jangan gencet gue juga…,” rintihnya ketika lagi-lagi tubuhnya kujadikan tumpuan untukku berdiri.
“Oh sori-sor..riii…,” kataku dengan suara makin melemah setelah melihat siapa sosok yang baru saja menjadi bantalanku. Seseorang yang paling tidak ingin dan tidak boleh kudekati dalam radius sedekat ini. Samudera Genandra. For the heaven shake, kenapa harus orang ini sih?
Sama-sama kaget, mata orang di depanku membulat.
“Lo.. sssh… Lo anak kelas sepuluh yang cari mati pas tawuran kemaren?” semprotnya.
Aku hanya bisa membeku ketika ternyata dia mengingat wajahku.
“Lagi latihan evakuasi bencana alam lo? Pakek lari-lari segala!” tukasnya sambil menggerakkan tangannya untuk menumpu tubuhnya bangkit. Namun…, gagal. Apa itu karena ulahku barusan? Oh God! Aku akan dapat piagam penghargaan khusus dari Arian karena telah mencelakai musuhnya. What? Kamu udah nyelakain orang, Mel! Kenapa malah mikirin piagam dari Arian?
“Kenapa, Kak?” tanyaku. Well, setidak-tidaknya itu yang diajarkan Mama kalau kita melukai seseorang. Si curut ini, maksudku Kak Enand, membalas dengan sorotan bola mata hitam di sudut matanya. Pekat dan menenggelamkan. Ugh, that kind of gaze. Tipe Arian banget. Apalagi dengan bekas luka di wajahnya akibat pertempuran dengan Kalesta kemarin. Sosok ini…, sebelas dua belas dengan Arian.
Dalam memoriku, pernah ada sepasang mata yang mampu membuatku gentar. Tajamnya manik hitam Arian. Karena itu, seharusnya aku tidak terintimidasi dengan tatapan semacam ini. Apalagi mengingat Arian juga mengajariku beberapa teknik bela diri. Jadi kalau si Enand ini macam-macam, langsung tendang saja. Meski begitu, dia bukan Arian yang tidak akan melukaiku. Tidak ada jaminan aku bisa selamat setelah ini.
Dengan takut-takut, aku membungkuk untuk membantunya.
“Eitts…,” Kak Enand mengangkat satu tangannya yang tampak baik-baik saja. Membuatku mematung dalam posisiku. “Gue nggak mau bagian tubuh gue yang lain ikut kenapa-napa,” katanya sambil berusaha berdiri, yang langsung menguapkan rasa simpati dan bersalahku. Lebih-lebih lagi, alih-alih membantunya, aku malah ingin mendorongnya hingga penyet seperti Tom di serial Tom & Jerry .
“Nand, ngapain lo berhenti di situ?” Seseorang berteriak dari bawah seraya menghampiri kami. Aku menoleh ke sumber suara, yang ternyata adalah biang rusuh satunya. Kak Sakta.
“Anterin gue ke klinik, Ta. Kayaknya parah nih.” Kak Enand berujar sambil meringis.
Kak Sakta memelototi lengan kanan Kak Enand. “Wah…, lo nggak lagi latihan buat jadi stunt man-nya Tom Cruise, kan? Mission Impossible udah kelar shooting, Man!” sahut Kak Sakta.
“Stunt man masih mending. Ini sih jadi matras!” jawab Kak Enand dengan nada ketus sambil melirik ke arahku. Seolah aku sengaja mencelakainya. Hey, ini kecelakaan tahu! Jadi bukan sepenuhnya salahku.
Mata Kak Sakta kini beralih menatapku. “Lo…, ikut.” Kalimat datar yang final. Pantang dibantah.
Meski telah disiasati untuk memilih jalur agak sepi, tetap saja, puluhan pasang mata bisa membingkai kami. Reputasi Kak Enand dan Kak Sakta sebagai remaja abnormal berulah, ditambah tampilan Kak Sakta yang setengah babak belur setelah andil dalam menghadapi serangan Kalesta kemarin, memperparah keadaan. Siswa-siswi yang berniat masuk kelas pasca jam istirahat kini menahan langkahnya demi menangkap adegan yang diperankan oleh pemeran utama sekolah.
****
Setelah meminta surat pengantar untuk ke klinik, kami menuju klinik terdekat menggunakan mobil yang entah milik siapa. Sepanjang perjalanan, Kak Sakta jelas-jelas menunjukkan sikap khawatir yang lebih dibanding si pemilik lengan sendiri. Sambil mengemudi, ia terus mengoceh tentang kemungkinan buruk yang ditimbulkan jika lengan Kak Enand benar-benar cidera. Ocehan yang nyaris seperti monolog panjang di novel-novel karena si lawan bicara lebih sering terdiam dan menatap jalanan ketimbang merespon perkataan temannya.
Sebagai pihak yang paling asing, sepanjang perjalan hingga sesampainya di klinik, aku hanya mengekor kedua seniorku tanpa tahu hal lain untuk dilakukan. Selama menunggu dokter memeriksa lengan Kak Enand, gelenyar kecemasan mulai merambat di dadaku. Bagaimana kalau dia benar-benar cidera? Lalu aku dihakimi oleh fans-fans tim basket sekolah? Karena mau tidak mau memang aku ikut andil dalam kejadian ini.
“Kira-kira dua minggu sendinya sudah pulih. Karenanya, perlu digips supaya lebih aman,” ujar dokter.
“Dua minggu? Damn!” erang Kak Sakta sambil menepuk meja. “Nand, You see? Ini alasan kenapa gue sempet nolak jadi kapten di era Sewindu Mandala.”
“Ta, sesuatu yang kayak gitu nggak ada! Dan lo…, kita, generasi pertama yang matahin legenda bullshit itu!” sahut Kak Enand saat mendengar Kak Sakta mulai membahas tentang kutukan “Sewindu Mandala”.
“Dengan kondisi tangan lo kayak gitu?” Nada Kak Sakta mulai meninggi. Bang! Seketika wajahku seperti dilindas truk karena rasa bersalah.
“So what? Kita tahu peluang kita di turnamen ini. Kecuali kalau kaptennya udah nyerah duluan.”
“Oke, Boys…, bisa tunda dulu debatnya? Kita perlu melakukan prosedur lanjutan untuk tangan Enand.” Dokter yang menangani Kak Enand pun angkat bicara. Matanya mengunci dua pasang mata milik remaja laki-laki di hadapannya. Persis pawang yang mengedalikan dua macan yang nyaris adu cakar. Dan ruangan pun kembali senyap.
Penanganan selesai. Kak Enand pulang sambil membawa sakantong obat dari apotek klinik. Selepas melewati gerbang klinik, kami seharusnya mengarah ke sekolah. Tapi, Kak Sakta justru mengarahkan kemudi ke arah lain dan berhenti di sebuah kedai nyentrik di persimpangan jalan.
“Bolos sampai habis istirahat ke-dua, ya? Suntuk gue,” kata Kak Sakta yang aku tahu ditujukan untuk Kak Enand yang ada di sebelahnya. Sedetik kemudian, Kak Sakta menatap ke arah spion dan matanya mencari mataku. “Lo…, anak kelas sepuluh, belum pernah bolos kan pasti?”
Aku mengangguk.
“Nggak keberatan, kan? Atau mau gue cariin taksi aja?” tanya Kak Sakta.
Aku menggeleng. Bukan karena tidak keberatan membolos, melainkan tidak ingin mereka menganggapku merepotkan dan aku makin susah dimaafkan.