ARIAN WIDJAJA
“Kalau gini, lo musti beneran dipoles make up, Yan.” Ini ke-tiga kalinya dalam satu menit Andini ngomongin make up gara-gara ada lebam super kecil yang nyaris nggak kelihatan di muka gue.
“Din,…”
“No complain. Gue ngasih lo tiket bermain bukan berarti ngizinin lo adu fisik begini,” omelnya sambil terus ngerawat luka gue.
Setelah ngegempur Mandala dan berhasil nyeret si k*****t Samudera itu keluar, gue langsung cabut nemuin Andini karena puluhan missed call dan pesannya yang ngebombardir ponsel gue sejak gue berangkat ke Mandala. Andini jelas berusaha nyegah gue. Bukan cuma hari ini karena dia nggak mau fisik gue lecet dan takut kalau akhirnya gue nggak bisa ikut pementasan, tapi sebelum-sebelumnya juga. Anehnya, meski selalu ngajakin gue berantem, tuh anak jadi orang paling panik kalau gue terlibat perkelahian sama orang lain. Seolah-olah gue cuma boleh berantem sama dia.
Pas gue datang tadi, Andini langsung nyambut gue sambil berkacak pinggang lengkap dengan muka juteknya. Persis istri yang siap ngamuk ke suaminya kalau suaminya pulang telat. Tiba-tiba ide untuk ngehailin dia muncul lagi.
“Lo musti jadi bini gue dulu deh sebelum bisa ngelarang-ngelarang gue, Din,” ucap gue sambil menyeringai.
Andini memutar bola matanya. “Yan, don’t play with me.”
Gue mendekatkan telinga gue ke arahnya. “Apa? Sayang?” goda gue.
“Screw you, WIDJAJA !” serunya sekaligus menekan luka lebam gue dengan kasar kemudian bangkit dari kursi. Dia melemparkan handuk yang digunakannya untuk mengompres ke muka gue.
Cuma Andini yang berani manggil nama belakang gue. Dan ekspresi itu…, entah kenapa gue selalu ketawa tiap ngelihatnya. Andini si jutek. Andini si ambisius. Gue nggak ngerti kenapa dulu Arial, kembaran gue yang super kalem bisa cocok sama Andini. Jelas Andini itu tipikal cewek yang gue banget. Asik, nggak manja, dan kalau dikatain bisa bales ngatain balik.
Dan seumur hidup gue, cuma sekali gue lihat Andini nangis. Dua tahunan lalu, di rumah sakit waktu dokter bilang nyawa Arial nggak tertolong lagi. That bastard. Betapa beruntungnya kembaran gue itu karena bahkan setelah dia nggak ada, sampai sekarang, ceweknya nggak pernah ngelupain dia.
Sialan! Emangnya kenapa kalau dia nggak ngelupain Arial? Dia pacar Arial! Mereka nggak pernah putus. Meski kedengarannya konyol, mereka adalah love birds yang selalu bisa bikin semua orang iri. Gimana cara Andini bawain makanan dan nyuapin saudara gue, gimana manjanya Andini waktu minta dijelasin tentang prototype robot yang dibikin Arial, dan gimana Arial selalu bicara lembut dan nggak pernah ngelepasin tangan Andini tiap nongkrong bareng sama gue.
Well, itu satu-satunya aktivitas dimana gue dan Andini duduk bareng tanpa adegan pukul-pukulan. Alasannya untuk menghormati Arial. Karena meskipun Andini nempel terus-terusan ke Arial, gue sama Andini tetap musuh abadi. Seenggaknya, Andini yang memplokamirkan itu sejak gue jambak rambutnya pas SD dulu. Dan ngomongin Arial, rasanya gue butuh sesuatu buat nyairin pikiran. Gue meraih sesuatu di saku gue.
“Apaan sih, Yan! Pengen cepet mati lo?” maki Andini seraya merebut dan membuang batang rokok yang bahkan belum sempet gue nyalain. Kemudian kembali duduk di samping gue seraya mengambil salep dari kotak P3K, membukanya, dan tanpa aba-aba mengoleskannya dengan lembut ke bawah bibir gue. Tapi, mukanya jelas nggak lembut.
“Ciyee…, segitu takutnya gue mati?”
Gue menangkap rona merah di pipinya. “Kurang-kurangi deh narsis dan flirting lo itu. Setelah hampir setengah populasi cewek di sekolah lo pacarin, masih kurang apa?”
“Jadi ceritanya lo jeles, nih? That’s sweet, sweetheart…,”
“Nggak usah sweetheart-sweetheart-tan!”
“Beneran deh, Din. Kurang-kurangi tuh judes lo. Nggak ada yang mau sama lo ntar,” ucap gue setelah pasrah dengan ritual perawatannya terhadap luka gue.
“Diem lo! Arial nggak pernah protes kalau gue ngomel-ngomel,” gerutunya, seperti nggak sadar kalau orang yang diomongin udah nggak ada.
“Masalahnya cowok kayak Ial udah nggak bersisa di dunia ini. Kalau gue yang jadi pacar lo, rasanya kepala gue bakal meledak,” ucap gue dengan nada sebiasa mungkin.
Andini terdiam. Raut wajahnya berubah. Buru-buru mengembalikan salep ke dalam kotak P3K itu kemudian bangkit. “Waktunya gladi bersih. Mending lo langsung ke panggung,” tukasnya kemudian berlalu dan menghambur ke anak-anak lain. Ninggalin gue bersama kotak P3K yang tadi dia ambil dari mobil ungunya.