Chapter 4

1178 Kata
PRAMUDHINA MELATI             Selepas upacara, kedua nama itu dipanggil melalui speaker oleh Pak Satu. Well, jangan tertawa. Namanya memang Pak Satu. Guru Bahasa Indonesia yang bagi murid-murid lebih seperti hansip sekolah.             Aku dan teman-temanku buru-buru meninggalkan lapangan upacara tanpa peduli urusan kedua anak itu dengan Pak Satu. Kami terlalu lelah dan kepanasan.             Beberapa menit kemudian, sebelum guru pelajaran pertama benar-benar memasuki kelas, aku keluar menuju balkon untuk mencari udara segar. Di situlah aku melihat mereka dihukum. Rasanya seperti merekaulang adegan perdebatanku dengan Arian beberapa hari lalu. Peringatan-peringatan dan anti-pati Arian terhadap sosok itu bergaung begitu nyata di kepalaku.             Hari ini adalah hari pertama di minggu ke-dua aku sekolah, setelah seminggu sebelumnya aku tidak mendapati kedua cowok itu masuk sekolah, oh kecuali terakhir, hari Jumat. Ada yang bilang mereka ke Lombok, ada yang bilang Enand ikut festival Nintendo di England sementara Sakta ikut big trading event dengan nama samaran. Trading event? Itu event tahunan yang diikuti Mama. Setahuku, kalian harus menguasai ilmu trading, analisis keuangan, dan segala pretelan ilmu ekonomi lainnya. Secerdas itu kah musuh Arian?             Tapi, daripada percaya rumor itu…, aku lebih percaya bahwa kedua anak itu sedang liburan dan membuat onar di belahan dunia lain. Persis seperti detail yang digambarkan Arian tentang kedua sosok itu. Dan hal itu tergambar dari alasan mereka dihukum hari ini.             Di tengah teriknya matahari, Enand dan Sakta berdiri menatap bendera sebagai akibat dari ulahnya Jumat lalu. Kabarnya, mereka berkelahi dengan siswa sekolah lain (dan sialnya adalah siswa SMA Kalesta) di tempat umum dengan masih mengenakan seragam sekolah. Aku hanya berdoa mereka tidak berkelahi dengan Arian.             “Kak Enand bukan tipe yang sok jagoan. Dia nggak bakal berantem kalau masalahnya cuma receh-receh.” Seseorang ikut bersandar di balkon lantai dua tempatku menatap dua cowok yang sedang dihukum itu. Aku menoleh. Ratri, teman sekelasku yang baru kutahu namanya sekitar seminggu lalu mengurai senyum.             “Itu menurut Anak Mandala. Kalau menurut anak Kalesta, bisa aja dia yang cari gara-gara, kan? It depends our point of view,” balasku. Iya, aku tahu aku sudah satu sekolah dengan si Enand dan Sakta itu. Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan anak Kalesta sembarangan, apalagi Kalesta jelas lekat dengan sepupuku, yang hampir tiga tahun bakal berada di garis depan kalau berurusan dengan Mandala.             “Jadi lo mau masuk golongan Non Blok nih? Sikap netral kalau menyangkut Mandala sama Kalesta nggak begitu diapresiasi lho. Kecuali di ekskul Jurnalistik sama remaja masjid hahaha,” Ratri terkikik.             Aku pun ikut tertawa. “Then I choose that one, journalistic.”             Tawa kami sama-sama reda. Ratri kembali mengarahkan pandangannya ke dua anak di bawah. “Gue satu SMP sama Kak Enand dan Kak Sakta. Dan gue berani taruhan kalau mereka nggak mulai duluan. Format kayak gini udah sering kejadian di sekolah gue dulu,” cerocos Ratri penuh keyakinan, cenderung bangga ketika memberitahukan bahwa dulunya ia satu sekolah dengan dua curut itu. Wait, mungkin aku musti mencoba memanggil mereka Kak Enand dan Kak Sakta juga. Mereka seniorku sekarang.             “Yang di sana itu…,” aku mengarahkan pandangan ke arah gadis yang membawakan dua kaleng minuman setelah Kak Enand dan Kak Sakta menyelesaikan hukuman.             “Riera Kazi. Ketua Panitia MOS kita, kan?” balas Ratri setelah mengekor arah pandangku.             Aku mengangguk.             “Model yang video ganti bajunya kesebar, sahabat Kak Enand dari kecil.” Ratri mendekatkan mulutnya ke telingaku.             Kilasan memori tentang isu itu pun tergambar samar-samar di kepalaku. Menyusup ke rongga-rongga memoriku tentang gadis itu. Lebih dari sekedar ingatan sekilas, aku tahu kasus itu.             Percakapanku dengan Ratri berjalan lumayan lama. Rupanya, orang tua Ratri kenal baik dengan orang tua Kak Kazi. Ayahnya keturunan Jepang dan menjadi salah satu investor di perusahaan keluarga Ratri. ****             Jam pelajaran terakhir hampir usai ketika aku mendapatkan pesan dari Arian.             Pas bel pulang, jangan keluar-keluar dulu! Di dalem kelas aja. Gue sama        yang lain mau ke sana             Damn it! Seketika aku ingin meneriakkan nama Arian Widjaja dan mengutuknya. Namun, yang terjadi hanyalah tanganku yang menggebrak meja.             “Are you okay? ” tanya Miss Rana ketika suara gebrakanku yang ternyata cukup keras. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.             Bel pulang pun berbunyi. Para siswa menghambur keluar kelas. Namun, sebuah seruan membuat langkah kaki para siswa terhenti.             “Masuk! Masuk!” teriak salah satu cowok yang sepertinya kelas dua belas kepada beberapa siswi yang hendak menuju pintu keluar.             “Ta! Kumpulin anak-anak, Ta!” seru cowok itu pada sosok yang kutahu adalah Kak Sakta.             “Anak-anak non-basket ya? Gue nggak mau tim basket cidera!” Kak Sakta balas berteriak.             “Sialan lo! Hari gini masih mikir--”             “Gue kapten mereka,” potong Kak Sakta. “Gue berhak mutusin. Sebagai gantinya gue bakal masuk medan. Satu Sakta cukup kok buat lima orang,” balas Kak Sakta kemudian menoleh ke Kak Enand. Kali ini aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya dia meminta Kak Enand untuk menggiring tim basket yang sudah siap bertarung, untuk mundur dan memasrahkannya ke teman-teman mereka yang lain.             Aku menerjang kerumunan, mempercepat langkah untuk melawan arus. Menuju halaman depan. Iya! Iya! Harusnya aku nggak boleh keluar. Tapi, aku ingin memastikan Arian baik-baik saja setelah melihat garangnya pasukan Mandala yang akan menyambut tamunya, dalam hal ini anak-anak Kalesta.             Saat hendak mengintip apa yang terjadi di luar sana lewat celah pagar, sebuah tepukan menyentuh pundakku.             “Ngapain lo di sini?” tanya seseorang dengan perawakan tinggi, rambut hitam yang messy, serta tatapan tajam dari bola mata yang hitam sempurna. Dia mengatupkan rahangnya, menunggu jawaban. Dan demi apapun yang punya kuasa di dunia ini, kenapa harus orang ini yang memergokiku mengintip perkelahian di luar?             Tidak menemukan alasan yang pas untuk menjawab pertanyaannya, aku melemparkan pertanyaan balik. “Kakak juga ngapain di sini? Kan Kakak anak basket? Dan anak basket sama Kak Sakta nggak boleh ikut--”             Sebuah lemparan batu nyaris saja mengenaiku kalau orang ini, Kak Enand, tidak menarik tubuhku. Spontan, aku kembali menengok ke luar. Nyaris tak percaya. Suasana di luar gerbang begitu mencekam. Para siswa saling serang dan berteriak-teriak.             Tiba-tiba kurasakan tanganku tertarik dan aku digiring kembali ke dalam.             “Kak, apaan sih?” Aku berupaya meronta saat cengkraman tangannya membuatku terpaksa mengikuti langkah-langkah panjangnya.             “Diem!” tukasnya.             “Whoy! Yang namanya Enand KELUAR!” teriak seorang cowok dari Kalesta, membuat Kak Enand menoleh dan serupa mobil yang digas, Kak Enand mempercepat langkahnya, tak ketinggalan aku juga dibawanya tergopoh-gopoh mengikutinya. Dan tahu-tahu kami sudah berada di depan pintu ruang kelas kelas dua belas dan dengan dengan sangat tidak lembut, Kak Enand mendorongku masuk. “Zi, jagain tuh anak!” serunya setelah berhasil menjebloskanku ke ruangan.             “Lo mau turun ke sana? Sakta nggak ngebolehin lo turun…”             “Terus menurut lo gue musti diem di sini sementara alasan mereka nyerang karena gue? Mereka dateng buat ngebales apa yang udah gue lakuin ke temennya, Zi!” seru Kak Enand kemudian berlalu dan membanting pintu kelas.             Aku menoleh ke dalam dan merasakan kubangan intimidasi dari tatapan senior-seniorku, terutama senior cewek. Seolah aku aku baru saja merebut makanan mereka yang tinggal satu. Dan itulah kali pertama aku menyadari apa yang dimaksud Arian dengan memasuki kandang lawan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN