Nampaknya, Fania benar-benar memanfaatkan momentum bimbingannya bersama Pak Gibran. Fania tidak justru berleha-leha, ia malah lebih gencar untuk segera menyelesaikan skripsinya. Fania justru memanfaatkan kebaikan Pak Gibran untuk bertanya seputar bahan materi skripsi dan segala hal seputar skripsinya yang ia sendiri masih belum bisa pahami bahkan saat bersama Pak Yogi.
Biasanya, Fania baru akan ke perpus sehari sebelum bimbingan dengan Pak Yogi. Tapi kali ini, bersama Pak Gibran ia malah hampir ke perpus setiap hari. Sehingga ia harus selalu izin ke kampus pada Farel yang sering tidak ada di rumah karena bekerja.
"Rel, aku izin ke perpus ya?"
"Rel, mumpung aku lagi rajin, aku ke perpus siang ini ya."
"Rel, perpus hari ini buka. Aku izin mau cari buku yang di referensiin Pak Gibran ya?"
"Rel, Pak Gibran baik deh. Masa aku dibolehin bimbingan lebih dari 2x seminggu. Coba kalau Pak Yogi kemarin, mana boleh? Udah sekali seminggu, sekalinya ketemu juga cuma lima belas menit."
Sesekali Farel harus menahan geram saat Fania izin dengan membawa nama Pak Gibran. Sebenarnya Farel juga ikut senang karena Fania mendapat dosen pembimbing yang sesuai dengan karakter gadis itu. Sehingga Fania tidak lagi merasa kesulitan atau terbebani setiap kali bimbingan. Tapi tetap saja, karena dosen pembimbing Fania yang baru adalah Pak Gibran, yang mana memiliki kesan pertama di matanya kurang baik, maka Farel kurang menyukainya.
Setiap Fania berusaha menyelesaikan skripsinya, Farel juga tidak pernah menghalang-halangi. Jika gadis itu ingin setiap hari ke perpustakaan, maka Farel selalu mengizinkan. Ia juga selalu membantu Fania mencari bahan referensi tambahan. Ia mencoba membantu Fania sesuai ranah kemampuannya.
Dan kebetulan, jadwal bimbingan Fania tidak berubah. Tetap sesuai pada jadwalnya dengan Pak Yogi, sehingga mereka selalu berangkat bersama untuk bimbingan.
Farel menurunkan kepalanya sedikit sebagai ucapan terima kasih saat penjual gado-gado mengantarkan pesanannya ke meja. Ia mulai makan setelah mengucap doa dalam hati. Harusnya saat ini ia sudah harus kembali ke kantor, tapi karena Aldi CS menahan dirinya untuk makan terlebih dahulu di kantin, makanya Farel jadi duduk terpaksa dan berkumpul dengan ketiga sahabatnya. Lagipula, mereka berempat sudah jarang ngumpul bersama.
"Rel, gue denger Fania dapet dospem pengganti baru, ya?"
Farel melirik sekilas ke arah Aldi yang barusan bertanya. Awalnya ia malas menjawab, tapi akhirnya ia menjawab dengan singkat. "Iya," jawabnya.
"Gue denger, katanya itu dosen ganteng banget ya?" tanya Lian yang ikut kepo dengan desas desus Pak Gibran yang mulai tersebar di seluruh pelosok kampus.
"Iya cuy!" seru Rion tak kalah heboh. "Orang di grup angkatan aja sampai rame banget. Hampir seminggu buat bahas si dosen baru itu. Gila, gue jadi penasaran sama tampang aslinya. Bisa-bisa, fans gue yang cakep-cakep yang selama ini gue incer berubah haluan ke dosen itu."
Plak!
Rion mengaduh sakit. Lian menghadiahi pukulan di tengkuk Rion. Memaksa Rion itu untuk segera bangun dari mimpi yang ketinggian.
"Sakit b**o!"
"Jangan kebanyakan mimpi makanya!" seru Lian dan Aldi bersamaan. Keduanya tertawa menertawai Rion, sedangkan Farel hanya diam menatap sepiring gado-gadonya. Mendadak ia jadi tidak nafsu makan. Pembahasan Pak Gibran membuat moodnya memburuk.
Farel mengeluarkan ponselnya dan langsung mengirimkan sebuah pesan untuk Fania.
Fania Aurellia
Aku d kantin.
Sls bimbingan lsg ksni.
Gk pk ngobrol lg sm dosen itu.
Send.
Farel menghela napas panjang. Pesannya untuk Fania hanya ceklis satu. Itu artinya pesannya belum tersampaikan.
"Jadi gimana, Rel?" tanya Aldi yang masih penasaran dengan istri sahabatnya.
"Apanya yang gimana?" tanya Farel dengan malas. Ia meremas-remas ponselnya gugup.
"Anteng lah dia. Kan sekarang udah dapet dosen ganteng plus karena udah lepas dari dosen killer Pak Yogi." Farel sontak meminum segelas air hingga tandas setengahnya. Mulut Rion memang terlalu bocor kalau bicara. Tidak bisa membaca situasi Farel yang saat ini gerah karena topik pembicaraan mereka berempat.
"Bagus itu, bikin Fania makin rajin bimbingan nanti. Ya kan, Rel?"
Farel mengabaikan pertanyaan Lian. Ia lebih memilih untuk mengecek ponselnya kembali. Belum ada tanda-tanda pesannya terkirimkan pada Fania.
Rahang Farel mengeras tanpa sadar. Awalnya memang Farel ingin menemani Fania bimbingan denga Pak Gibran. Tapi Fania menolak dan menahan niatnya. Gadis itu mengatakan kalau ia hanya bimbingan sebentar saja. Tidak akan melakukan apapun yang sekiranya bisa membuat Farel khawatir.
Tapi semua itu sudah tidak berlaku lagi bagi Farel saat ini. Ia resah dan khawatir. Otaknya yang terlampau pintar itu jadi membayangkan sesuatu yang tidak-tidak.
Idenya agar Fania membawa buku nikah mungkin seharusnya tetap dilakukan.
"Wah, bahaya ini Rel. Bisa-bisa, Fania nanti kepincut sama Pak Gibran. Makanya Rel, kita udah berkali-kali bilang kan sama lo, romantis dikit sama Fania. Perempuan itu sukanya diperhatiin dan diromantisin, kalau habis nikah sama dia lo masih aja kaku kayak papan triplek, nanti Pak Gibran yang ambil alih itu semua gimana?"
Farel sontak tersedak begitu mendengar ucapan tiba-tiba Aldi yang keterlaluan membuat panas dan gerah d**a Farel.
"Minum-minum, Rel..." Lian menyodorkan air pada Farel.
"Nggak usah!" tolak Farel dengan menggeser tangan Lian yang mengambang memegang gelas berisi air. Farel langsung mengambil ponselnya dan beranjak berdiri.
"Loh Rel, lo mau ke mana?"
"Pulang!" jawab Farel dengan kesal.
"Makanan lo?" tanya Rion dengan wajah polos.
"Terserah mau lo apain!" Farel langsung berbalik. Yang ia rasakan saat ini adalah perasaan bete bercampur marah dan kesal.
Aldi, Lian, dan Rion saling beradu pandang saat Farel pergi menjauhi mereka.
"Kenapa itu anak?" bingung Aldi dengan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Itu anak panas lah!" gertak Lian tak sabar. Ia langsung menatap tajam Aldi dan Rion bergantian. "Lo berdua manas-manasin Farel mulu si! Bilang Pak Gibran ganteng lah. Fania bakal kepincut lah. Gila sih lo berdua!"
"Jadi si mister kutub cemburu gitu?" tanya Rion yang masih tak percaya dengan ucapan Lian.
"Emang Farel bisa cemburu?" lanjut Aldi yang membuat Lian ingin segera menghajar kedua sahabatnya itu.
"Liat dari kepergiannya sih, kayaknya itu anak emang cemburu." Rion menganggukkan kepalanya. Ia menatap kepergian Farel dengan tatapan takjub.
"Gue nggak nyangka, sahabat gue ternyata bukan lagi si mister kutub yang kaku."
Fania berdiri dengan menatap arloji merah muda di pergelangan tangannya. Ia berdecak bete. Entah di mana Farel berada. Padahal mereka sudah janjian di parkiran dari jam 12 kurang. Mereka bahkan janjian untuk makan siang bersama Rama di dekat kantor. Ayah mertuanya itu katanya merindukan Fania. Padahal sudah setiap hari bersama dalam satu atap.
Ia menatap sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda lelaki jangkung yang memiliki ekspresi datar seperti si muka papan triplek.
"Farel di mana siiihhhhh?" gumam Fania dengan nada gemas. Ia berjongkok. Lelah berdiri sejak sepuluh menit yang lalu. Padahal Farel sendiri yang menyuruhnya untuk jangan lama-lama bimbingan. Ia bahkan sampai diancam tidak akan diajak jalan malam minggu sama Farel kalau sampai ketahuan bercanda-canda lagi dengan Pak Gibran.
Entah dari mana sikap posesif Farel bisa muncul. Lelaki itu bahkan juga tidak memperbolehkan Fania menyimpan nomor Pak Gibran. Lagian memangnya ada mahasiswa yang tidak menyimpan nomor dospemnya sendiri? Fania menggelengkan kepalanya saat mendengar segala persyaratan konyol Farel jika berkaitan dengan Pak Gibran.
"Farel...... Aku lapeeerrr....." Fania terus bermonolog seorang diri. Ia ingin menghubungi Farel, tapi ponselnya sudah mati total. Ia lupa mengisi daya baterai ponselnya sebelum pergi ke kampus.
Fania mengambil kerikil kecil yang ada di hadapannya. Fania menatap kerikil kecil itu dengan tatapan dalam.
"Batu kecil, kamu tau di mana suami aku nggak? Aku laper nih. Kalau kamu tau di mana dia, tolong kasih tau dia karena aku udah nunggu dia di sini hampir dua puluh menit."
Kerikil kecil tak menyahut.
Fania menggembungkan pipinya. Bertepatan saat ia ingin melempar kerikil kecil itu, ia melihat Farel sedang berjalan ke arahnya. Ia bisa menangkap perubahan ekspresi wajah Farel saat lelaki itu menyadari kehadirannya.
Fania sontak berdiri. Bersiap mencerca Farel dengan segala kebeteannya yang terpendam.
"Farel kamu ke mana aja sih? Aku udah nunggu kamu lama banget!" seru Fania saat Farel sudah tiba di depannya. Farel masih diam dengan menatapnya tepat di manik matanya. Tatapan Farel lekat dan dalam.
"Kamu nyuruh aku buat bimbingan sebentar aja, tapi kamunya malah nggak tau ke mana. Kita kan janjian di sini setengah dua belas, Rel. Tapi ini udah jam berapa coba?!"
Farel masih diam. Ia sibuk memperhatikan gadis di depannya itu. Melihat Fania saat ini, entah mengapa seolah meluruhkan semua rasa bete dan kesalnya. Rupanya ini memang salahnya. Farel lupa janjinya dengan Fania. Sehingga saat ketiga sahabatnya mengajaknya ke kantin, ia langsung mengiyakan tanpa mengingat janjinya dengan Fania.
Farel jadi merasa bersalah karena sudah meragukan Fania. Gadisnya itu pasti bete karena menunggunya lama. Sedangkan ia malah hampir ingin mengamuk karena rasa salah paham.
Tangan Farel bergerak perlahan ke atas. Ia mendekap tubuh Fania dengan erat. Ia meletakkan dagunya di atas bahu Fania. Merasakan tubuh Fania yang menegang karena pelukannya yang tiba-tiba.
"Farel, ini kamu beneran?" konyolnya Fania bertanya seperti itu. Jelas-jelas yang memeluknya saat ini memang Farel. Tapi Fania bertanya seperti itu juga karena merasa aneh. Pasalnya Farel bukan tipe orang yang memperlihatkan kedekatan dengan Fania di depan orang-orang.
"Aku kangen kamu," lirih Farel dengan semakin mengeratkan pelukannya pada Fania. Sementara kedua tangan Fania masih diam di sisi tubuhnya.
"Kamu aneh deh, Rel. Kamu nggak lagi kesurupan di siang bolong kan, Rel?" Farel tersenyum geli mendengar ocehan Fania.
"Fan?"
"Hm?"
"Kita ke akademik yuk?"
"Ngapain?"
"Request buat kamu ganti dospem. Ganti Pak Gibran dengan dosen yang lain."
"Apa?!" Fania langsung mendorong tubuh Farel agar menjauh. "Ih, apa-apaan sih kamu? Kalau aku ganti dospem, itu artinya aku harus nunggu buat pengajuan dospem di semester depan, Rel! Emang kamu pikir ganti dospem kayak makan bakwan? Bisa beli dan makan kapan aja kalau kita mau?"
Farel menggeleng pelan. Ia kembali maju dan memeluk tubuh Fania lagi.
"Selama masa bimbingan kamu sama Pak Gibran, mungkin aku bisa gila. Aku nggak bisa untuk nggak kepikiran setiap kamu lagi bimbingan sama Pak Gibran."
Fania mengerutkan keningnya dalam. Ia menghela napas panjang. Ia semakin sadar dengan sifat unik Farel yang satu ini. Farel itu cukup posesif dan tipe pencemburu.
"Kalau gitu tandanya, berarti aku cinta banget ya sama kamu?"
"Apa?!!!" Fania kembali mendorong tubuh Farel dan menghadiahi bogeman di perut suaminya itu. "Berarti kemaren-maren kamu berpikir kalau kamu nggak cinta sama aku???"
Farel menggeleng, menolak persepsi Fania yang tak berdasar. Farel kembali melakukan hal yang sama. Memeluk tubuh Fania dengan erat dan meletakkan dagunya di atas bahu Fania.
"Aku cinta kamu. Dulu cinta, kemarin cinta, sekarang lebih cinta, dan karena Allah ke depannya pasti akan makin cinta."