Sepanjang perjalanan ke rumah, Farel tidak pernah melepaskan tangan Fania dari genggamannya. Ia baru melepaskan genggamannya saat Fania mengomelimnya karena menyetir dengan tangan satu.
Hari ini, banyak hal baru yang ia temukan dari suaminya yang sangat jarang bisa bicara manis.
Sungguh, Fania tidak pernah lupa, Farel hanya pernah mengatakan mencintainya selama dua minggu umur pernikahan mereka. Setelahnya, Farel selalu menghindar jika Fania bertanya apakah Farel mencintainya atau tidak.
Farel memang mencintai Fania. Ia sangat mencintai istrinya itu, tapi ia terlalu malu untuk mengakui perasaannya. Makanya, Farel mengalihkan rasa peduli dan perhatiannya dengan ucapannya yang terkadang ketus dan cuek.
Bukan lagi pengantin baru, Farel dan Fania sama-sama sudah bisa saling memahami karakter satu sama lain. Fania selalu berusaha untuk bisa memahami karakter Farel yang cuek dan dengan segala karakter inrovertnya yang suka menyendiri. Begitu pula Farel yang selalu berusaha memahami sikap Fania yang tidak bisa diam dengan segala kerakter ekstrovertnya.
Farel memakirkan mobilnya di parkiran kantor. Ia membukakan pintu mobil untuk Fania dan menuntun gadis itu keluar. Fania tak dapat menghilangkan senyum cerahnya. Akhirnya, ia dapat merasakan memiliki suami dengan sikap yang manis seperti ini. Kapan lagi kan, sikap Farel yang begitu manis seperti ini?
Fania menjulurkan tangannya. Bermaksud meminta Farel agar kembali menggenggam tangannya.
"Kenapa?" tanya Farel dengan kening mengerut tipis.
"Gandeng," ucap Fania dengan mata berbinar. Menginginkan agar Farel cepat-cepat menggenggamnya penuh hangat.
Farel yang baru ingin maju selangkah langsung kembali berhenti karena mendengar permintaan Fania yang menggelitik pendengarannya.
"Kamu bilang apa barusan?" ulang Farel.
"Gandeng aku kagi. Kayak tadi," ucap Fania dengan menyodorkan tangannya pada Farel.
"Di sini?" Farel berharap bahwa Fania hanya bercanda soal permintaannya.
Fania melirik sekitarnya sekilas. Di kantor ayah mertuanya itu memang sedang sangat ramai. Banyak orang berlalu lalang keluar masuk gedung pencakar langit itu.
"Iya di sini, lah. Emang mau di mana lagi?"
Farel menggeleng santai. "Nggak mau ah," katanya dengan kaki melangkah maju meninggalkan Fania yang merengut bete.
Fania berjalan cepat. Menyusul langkah Farel yang seketika sudah menciptakan jarak 3 meter darinya. "Ih, kok nggak mau?"
"Kamu kan bisa jalan sendiri."
Fania berhenti melangkah. Ia mengepal erat tangannya. Kesal dengan sikap Farel yang sering berubah. Padahal baru beberapa saat lalu ia puji dalam hati, tapi kini Farel sudah kembali menjadi mister kutub.
"Tadi katanya kangen. Tadi katanya hampir gila. Tadi katanya cinta pake banget. Jadi semua itu cuma berlaku setengah jam doang? Habis itu udah nggak kangen lagi? Nggak akan hampir gila lagi? Nggak cinta banget lagi?"
Kaki Farel sukses berhenti di tempat. Ia memutar tubuhnya dan menemukan istrinya sudah dalam wajah bete dan kesal.
"Siapa yang bilang aku nggak kangen, nggak akan gila kalau jauh dari kamu, atau nggak cinta lagi sama kamu?"
"Sikap kamu yang bilang!" kesal Fania. "Kenapa sih sikap kamu suka banget-banget berubah-rubah gitu?"
Farel mendengus geli. "Kenapa sih perempuan itu baperan banget?" Farel bersidekap d**a. Menatap Fania dengan tatapan memicing.
"Kenapa sih laki-laki itu nggak pekaan? Kenapa sih kamu itu selalu menyebalkan?"
"Its oke buat aku jadi laki-laki yang nggak peka dan menyebalkan, yang penting aku suami kamu, dan kamu cinta sama aku."
Fania mendelik. Berlagak mual mendengar ucapan Farel. "Emang kapan aku bilang aku cinta sama kamu? Kegeeran deh, Mas Farel."
Farel dan Fania mulai memperdebatkan sesuatu hal yang sebenarnya tak perlu dijadikan perdebatan serius. Walaupun sudah jadi suami istri dan mereka saling mencintai, sifat tom and jerry di antara mereka tetap selalu ada.
"Jangan panggil aku Mas, Fania."
"Biarin. Mas Farel!" ulang Fania dengan menjulurkan lidahnya maju.
"Nyebelin kamu," kata Farel. Tangannya maju dan menghadiahi jitakan kecil di puncak kepala Fania.
"Kamu juga nyebelin!"
"Kamu lebih nyebelin!" ujar Farel tak mau kalah.
Bibir Fania semakin mengerucut maju. Farel masih saja tidak mau mengalah padanya.
"Farel! Fania!" Bertepatan saat Fania ingin kembali menyerang Farel, suara bariton yang muncul menghentikannya dan membuat Farel dan Fania kompak menolehkan kepala.
"Ayah?" kaget Farel dan Fania bersamaan.
"Subhanallah kalian berdua ini.... Selalu saja bertengkar di manapun tempatnya. Tapi apakah harus di kantor Ayah kalian seperti ini?" tanya Rama dengan heran. Kepalanya menggeleng melihat bagaimana putranya dan juga menantunya yang memang sudah bukan lagi santapan sehari-hari pertengkarannya.
"Fanianya duluan, Yah."
Mata Fania membulat. Ternyata Farel berani mengadukannya lebih dulu pada Rama. Fania merengut tak terima.
"Farelnya Yah, yang mulai. Awalnya aja Farel bilang cinta banget sama aku. Terus dia gandeng tangan aku, tapi giliran di sini Farel nggak ma— hmmmpp!" Fania kembali melototkan matanya saat tangan Farel bergerak membekap mulutnya.
Farel tertawa lirih. Ia menatap ayahnya sambil menggeleng. "Aku nggak pernah bilang begitu."
"Farel bilang cinta banget sama kamu, Fan?" Rama memicingkan matanya. Menatap Fania dan menunggu jawaban gadis itu. Fania menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Farel gandeng tangan kamu terus selama di kampus?" Fania kembali mengangguk bersemangat. Matanya yang melotot seolah ikut menyemarakkan jawaban pada Rama.
"Nak, seriously?" Rama menatap Farel lekat. Matanya memicing, menatap geli putranya.
Farel mendengus mendengar cibiran ayahnya. "Nggak, Ayah."
Rama tertawa. Ia menatap Fania sehingga Fania juga ikut tersenyum geli. "Bagus Fania, lanjutkan usaha kamu. Ayah dukung, mari kita buat seorang Farel Ardiansyah melepaskan title tuan kutubnya."
Malam harinya di kediaman keluarga Farel.
Farel merangkak ke atas kasur setelah membersihkan wajah dan menyikat giginya. Ia merasakan kepalanya berdenyut sejak pulang kerja. Hari ini memang cukup melelahkan untuknya. Ia juga mulai merasakan tubuhnya yang mulai menghangat. Takut akan berujung demam, Farel memutuskan untuk tidur lebih awal setelah ia solat isya.
Bertepatan saat Farel ingin memejamkan matanya, Fania muncul dengan suara pintu yang dibuka penuh semangat. "Farel, turun yuk. Ayah sama Bunda ngajakin nontom film horror."
Farel mendesah panjang. Ia tak berminat sama sekali. Nonton film bukanlah kesukaannya, apalagi film dengan genre horror.
"Nggak mood, kamu aja." Farel memiringkan posisinya. Ia membelakangi Fania yang menatapnya bingung di dekat pintu.
"Kamu kenapa? Lagi bete? Tadi kamu juga kok makannya cuma sedikit sih?" Fania mendekati Farel. Ia duduk di tepi ranjang dan menyentuh tubuh Farel. Lebih tepatnya memaksa agar lelaki itu mau membuka matanya.
"Nggak. Cuma ngantuk aja," kata Farel. Ia malas jika harus bicara lebih banyak.
Fania mengerucutkan bibirnya maju. Ia merebahkan kepalanya di atas pinggang Farel. Memeluk lelaki itu dengan manja. "Ayo nonton, Rel... Filmnya cuma satu setengah jam kok. Habis itu kita langsung tidur."
Farel merubah posisi tidurnya jadi terlentang. Jadilah kepala Fania berada di atas perutnya. Ia mengusap puncak kepala Fania yang tertutup hijab dengan lembut. Matanya terpejam seraya berkata, "Tidur aja yuk, aku cape Fan.."
"Iiihh! Nggak seru ah kamu mah," ujar Fania keki. "Kamu tadi siang udah nyebelin banget loh, Rel. Bukannya harusnya kamu bersikap manis ya sebagai permintaan maaf."
Farel menghela napas panjang. Selama agenda makan siang bersama Rama beberapa saat lalu, Fania dan Rama seolah kompak membahas sifat Farel yang masih belum bisa dihilangkan, yaitu kecuekannya dan sifat dinginnya.
"Ya udah ayo, kita nonton." Farel mengalah, membuat Fania tersenyum lebar penuh kemenangan. Ia langsung menarik kedua tangan Farel, memaksa Farel bangkit duduk.
"Tolong ambilin sweater di lemari dong, Fan."
Dengan kening mengerut bingung, Fania tetap berdiri dan membuka lemari pakaian. Ia membawakan sweater berwarna cokelat milik Farel. Sweater yang juga memiliki makna untuk mereka berdua. Sweater yang pernah Farel berikan untuk Fania saat Fania sakit sebelum mereka berdua menikah.
Fania tersenyum kala mengingatnya.
"Kamu kenapa pake sweater? Emang dingin ya?" Fania mengangkat tangannya mengarah ke ac. Tidak terlalu dingin.
"Iya," jawab Farel sekenanya.
"Oohhh..." Farel mendengus pelan mendengar respon Fania. Nyatanya sama saja. Fania tidaklah sepeka yang ia bayangkan.
Farel dan Fania akhirnya turun ke lantai bawah. Ia menemukan ruang keluarga sudah dalam keadaan remang-remang. Tersedia 4 gelas jus jeruk di meja, beserta makanan ringan. Ternyata kedua mertuanya itu benar-benar niat ingin nonton film horror.
"Bun, Ayah mana?" tanya Fania sambil mendekat dan ikut duduk di sofa. Farel mengikuti Fania dan duduk merapat dengan gadis itu.
"Ayah di kamar, udah tidur coba." Jelas Kartika dengan memasang wajah cemberut.
"Hah, tidur Bun?" ulang Fania.
Kartika mengangguk malas. "Kalian aja deh ya yang nonton berdua. Bunda mau tidur ikut Ayah. Kan nggak lucu kalau Bunda jadi orang ketiga di antara kalian." Kartika langsung bangkit berdiri, meninggalkan Fania yang menatap kepergiannya dengan cengo.
"Loh, Rel... Masa kita berdua doang yang nonton?" Fania menoleh. Menemukan Farel yang bersandar di kepalanya dengan mata terpejam.
Farel hanya berdeham pelan. Ia tetap memejamkan matanya. Nyaman dengan posisinya saat ini.
"Rel? Kamu bobo? Aku takut kalau nontonnya sendirian..." keluh Fania dengan bibir mengerucut.
"Makanya nggak usah nonton. Kita tidur aja yuk, aku ngantuk Fan..."
"Tapi penasaran sama filmnya. Ini film, ratingnya gede banget loh di tahun lalu."
Farel menggerakkan tangannya untuk menggeser pipi Fania mendekat ke arahnya. Ia mencium pipi Fania dengan lembut, membuat Fania terdiam seketika.
"Kalau kamu nggak mau tidur di kamar, kita tidur berdua aja di sini." Farel merebahkan kepalanya di atas paha Fania. Tangannya menggenggam tangan Fania di atas dadanya. Matanya ia pejamkan dengan damai.
"Kamu mirip bunglon," kata Fania dengan lugasnya.
"Bunglon?" ulang Farel dengan mata yang tetap terpejam.
"Iya. Kamu mirip bunglon. Sifap kamu suka berubah-ubah drastis. Dalam sehari, aku bisa liat banyak sifat kamu yang baru ataupun yang memang udah ada lama dalam diri kamu."
Farel mendengus geli. "Apa nggak ada binatang yang lebih bagus dibanding bunglon?"
"Nggak ada. Bunglon adalah binatang yang bisa disamakan sama kamu. Bunglon itu suka berubah-ubah warna. Sama kayak kamu yang sifatnya suka banget berubah-ubah."
"Berubah gimana, Fania?"
"Ya hari ini buktinya. Sifat kamu itu complicated. Pas di kampus kamu keluarin sifat cemburuan dan posesif kamu, tapi sampai kantor kamu balik cuek lagi, terus sekarang kamu balik manja lagi. Persis bunglon kan kamu?"
"Aku sendiri nggak ngerti kenapa."
Fania berdecak pelan. "Kenapa nggak ngerti sama sifat sendiri?"
"Sulit dimengerti, Fan. Aku juga bingung," kata Farel yang lagi-lagi mengeluhkan sifatnya sendiri.
"Kamu mau aku kasih tau nggak, ucapan manis kamu yang pernah kamu sampein ke aku setelah kita menikah."
Mata Farel sontak terbuka. "Nggak, Fan! Aku suka merinding sendiri kalau inget sifat aku yang sok-sok romantis begitu. Sama kayak tadi siang, pas aku baru sadar aku baru merasa malu banget. Jadi wajar aja kalau kamu bilang aku kerasukan setan di siang bolong."
Fania tertawa pelan. Mengingat kejadian tadi siang memang lucu.
"Tapi Fania, kalau aku cuek bukan berarti aku nggak cinta sama kamu. Cinta kan nggak harus diucapkan terus."
"Tapi perempuan suka kalau diucapkan kata cinta, Farel."
"Tapi Fania..." Farel berpikir sejenak kelanjutan tapi-tapinya. "Serius ya, beneran ini, aku itu selalu coba buat terbiasa tersenyum buat kamu, tapi asli, suer, itu susah banget. Jadi jangankan bilang cinta setiap hari, sering senyum buat kamu aja susah."
Fania mendengus geli. Ia menatap lekat wajah Farel yang menampilkan ekspresi serius saat bercerita.
"Tapi kamu bilang dulu katanya mau berusaha."
"Iya, aku tau. Tapi ternyata susah banget, Fan. Rasanya lebih susah dibanding saat aku ngerjain soal olimpiade fisika atau bikin skripsi."
Fania ingin tertawa tapi ia tahan. "Tapi aku jadi ngerasa nggak kamu perhatiin. Aldi cs dan sahabat-sahabat aku aja suka pada komen, karena sifat kamu yang terlalu cuek."
"Yang menjalani kita, kenapa kamu harus pikirin komenan orang lain?"
"Bukan gitu Rel, maksud aku."
"Fan.... Aku udah nggak kuat buat ngomong lagi. Aku ngantuk..."
Fania menghela napas panjang. Kalau lagi diajak bicara serius, ada saja alasannya. "Kamu kenapa?" walau kesal Fania tetap bersikap sebagai istri yang perhatian. Ia mengusap kening Farel, merasakan ada hangat yang menjalar dari kening suaminya itu.
"Aku lagi atit, Fan..." keluh Farel dengan nada manja.
"Farel ih!" sontak Fania memukul d**a Farel. "Geli banget ih!"
Walau pusing Farel tetap tertawa. "Aku serius. Aku lagi nggak enak badan."
"Ya udah tidur aja yuk di atas. Biar aku siapin obat buat kamu."
"Ada obat yang lebih manjur dari tidur dan obat kimia, Fan."
"Apa?" tanya Fania penasaran.
Farel tak berucap lagi. Ia mengarahkan telunjuknya ke atas bibir. Menatap Fania dengan tatapan nakalnya.
"Bunda, Farel kerasukan!!!"