BAB SATU
“Bu, sakit,” rintih gadis remaja berusia 15 tahun itu saat tangannya ditarik paksa agar mengikuti langkah wanita paruh baya yang baru saja dia panggil ‘ibu’.
“Bu.”
“Diam!” bentak si wanita. “Jangan banyak bicara. Kau ikuti saja ibu. Ini demi keselamatanmu.”
Si gadis terdiam, tak lagi berani mengeluarkan suara. Meski kedua kakinya sudah sakit karena sejak tadi terus berlari, dia memilih menurut karena tak ingin dimarahi ibunya lagi.
Setelah berlari menelusuri jalan setapak, akhirnya mereka pun tiba di sebuah gapura. Tampak seorang pria tengah menunggangi kuda, berdiam diri di depan gapura seolah sedang menunggu seseorang. Sosok gadis tadi dan ibunya menghampiri pria itu.
“Syukurlah pesan yang suamiku kirimkan padamu sepertinya tiba tepat waktu,” kata sang wanita disertai napas terengah-engah. Sedangkan si gadis hanya diam sambil memperhatikan wajah pria yang sedang menunggangi kuda itu. Wajahnya tampak berbeda dengan penduduk di kota tempatnya tinggal. Pria itu memiliki kulit putih, kedua mata sipit, rambut panjang dan jenggot yang menjuntai hingga nyaris mencapai d**a. Dari pakaiannya pun sangat berbeda dengan pakaian bergaya modern yang dipakai orang-orang di kota itu.
Wyred merupakan nama kota yang ditinggali si gadis dan ibunya. Sebuah kota besar yang merupakan ibu kota dari Kerajan Wendell. Ya, sistem pemerintahan di sana masih berbentuk kerajaan monarki absolut dimana kekuasan tertinggi sepenuhnya berada di tangan raja. Perkataan sang raja merupakan perintah yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat. Melanggarnya sama saja bunuh diri karena sudah pasti akan dijatuhi hukuman mati. Entah itu dihukum dengan cara dipenggal, ditembak mati, ataupun dengan dipaksa meminum racun. Raja Rudolf Wendell merupakan pemimpin kerajaan itu saat ini.
“Apa kondisinya sudah separah itu?” tanya si pria.
Ibu gadis itu mengangguk lirih, “Sangat parah. Sepertinya tidak ada kesempatan untuk kami selamat.”
“Kenapa kalian tidak melarikan diri dari sini?”
“Sudah terlambat. Kami sudah dikepung oleh mereka. Yang penting sekarang ...” Wanita itu tiba-tiba menjeda ucapannya, dia lalu melirik ke arah putrinya yang sejak tadi hanya diam seribu bahasa, mendengarkan perbincangan dua orang dewasa tersebut.
“... tolong kau bawa pergi putriku sejauh mungkin dari sini. Jika itu kau, pasti bisa menyelamatkannya dan membesarkannya sampai dewasa.”
Gadis itu terbelalak, dia tidaklah bodoh, usianya yang sudah 15 tahun itu sudah cukup membuatnya mampu memahami maksud ucapan ibunya. “Tidak, Bu. Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau meninggalkan ibu dan ayah.”
Dengan kedua mata berkaca-kaca, sang ibu menggelengkan kepala. Dia lalu berbalik badan menghadap putrinya. “Ivy, dengarkan ibu. Kau harus bertahan hidup bagaimana pun caranya.”
“Tapi, Bu. Aku tidak mau berpisah dengan kalian.”
Wanita itu mengusap penuh sayang puncak kepala putrinya, “Percayalah pada ibu. Ini hanya sementara. Perpisahan ini hanya sebentar, nanti kita akan bertemu dan berkumpul lagi.”
“Berapa lama kita akan berpisah?”
Sang wanita mengulas senyum tipis, “Tidak akan lama. Secepatnya kita akan bertemu lagi.”
Dia pun memeluk sang putri, sebelum kembali berbalik badan menghadap pria keturunan China bernama Xiao Lian tersebut. “Tolong jaga putriku. Dia harus selamat. Kau dengar aku, dia harus selamat bagaimana pun caranya.”
“Aku mengerti,” jawab Xiao Lian sambil mengulurkan tangan untuk membantu gadis bernama Ivy itu naik ke punggung kudanya.
Ivy hanya terdiam seolah enggan menerima uluran tangan si pria asing, tapi karena sang ibu mendorong punggungnya sebagai isyarat yang menyuruhnya menerima uluran tangan itu, Ivy pun dengan terpaksa mengangkat tangan lalu memegang telapak tangan besar milik Xiao Lian. Dengan sekali tarikan, seolah seringan kapas, tubuh Ivy terangkat dan kini sudah duduk manis di belakang Xiao Lian.
“Ivy, ayah dan ibu sangat menyayangimu. Hiduplah dengan baik. Kau harus bahagia, Nak. Kau harus hidup normal seperti orang lain.”
“Kenapa ibu bicara seperti itu?”
Namun Ivy tak pernah mendapatkan jawaban karena ibunya tanpa mengatakan apa pun lagi, tiba-tiba berlari meninggalkannya.
“Ibu!” teriak Ivy sembari berusaha melompat turun dari kuda.
“Apa yang kau lakukan? Ibumu menyuruhmu ikut bersamaku.” Xiao Lian tentu tak membiarkan gadis yang dititipkan padanya pergi. Dia memegangi tangan Ivy agar tak bisa pergi kemana-mana.
“Tidak mau! Aku ingin ikut dengan ibu. Aku akan tetap tinggal bersama ayah dan ibuku.”
Ivy dengan berani menggigit punggung tangan Xiao Lian, saat tangannya terlepas, dia pun melompat turun dari kuda. Meski dirinya sempat terjatuh hingga wajahnya membentur tanah cukup kencang, Ivy tak menyerah begitu saja. Dia kembali bangkit berdiri dan berlari sekencang yang dia bisa untuk mengikuti ibunya.
Ivy lega karena pria bernama Xiao Lian itu tidak mengejar dirinya. Kini dia bisa berlari dengan leluasa untuk mengejar ibunya yang dia yakini sudah kembali ke rumah mereka. Dan benar saja, saat dirinya berdiri di bawah sebuah pohon cukup jauh dari rumahnya, dia melihat ayah dan ibunya sedang duduk bersimpuh di tanah dengan kedua tangan diikat ke belakang. Kondisi tubuh mereka cukup mengenaskan, terutama sang ayah. Ayah Ivy mempunyai banyak luka bekas cambukan di wajah dan bagian tubuhnya yang tak tertutupi pakaian. Jika pakaian yang dikenakannya itu dilepaskan, mungkin sekujur tubuhnya benar-benar penuh dengan luka cambukan. Beberapa pria bertubuh tinggi besar sedang mengelilingi mereka.
Ivy berniat berlari menghampiri orangtuanya, namun tak bisa karena seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Orang itu adalah Xiao Lian yang entah sudah sejak kapan berhasil menyusul Ivy.
“Lepas ...”
Mulut Ivy dibekap oleh telapak tangan besar milik Xiao Lian, pria itu lalu melompat ke atas pohon sembari membawa serta Ivy. Dua orang itu kini bersembunyi di dahan pohon dimana keberadaan mereka tak mungkin bisa dilihat karena terhalangi daun yang tumbuh cukup lebat.
Ivy mencoba memberontak, dia ingin melepaskan diri dan niatnya untuk berlari menghampiri orangtuanya masih belum berubah.
“Diamlah. Jika kau menyayangi orangtuamu dan tidak ingin membuat usaha mereka untuk menyelamatkanmu sia-sia, kau harus diam di sini. Dan lihatlah, apa yang mereka lakukan pada orangtuamu. Kejadian ini harus kau ingat selalu di dalam kepalamu agar kelak kau lebih menghargai nyawamu yang bisa diselamatkan berkat perjuangan keras orangtuamu.”
“Lihat ke depan. Perhatikan baik-baik apa yang mereka lakukan pada orangtuamu?!”
Ivy menuruti perkataan Xiao Lian. Dia menatap lurus ke depan, pada orangtuanya yang kini sedang dicambuki oleh pria-pria itu. Seketika air mata mengalir dari mata Ivy, terlebih saat mendengar teriakan kesakitan ibu dan ayahnya.
“Cepat kalian mengaku jika tidak ingin mati!” bentak pria yang kini sedang mencambuki orangtua Ivy.
Namun ayah Ivy tetap bungkam seolah tak gentar meski tubuhnya sudah babak belur oleh luka cambukan.
“Suamiku tidak melakukan seperti yang dituduhkan padanya. Dia tidak bersalah. Dia hanya dijebak!”
Ibu Ivy tersungkur ke belakang karena dadanya yang ditendang oleh pria lain. “Kami tidak bertanya padamu. Kami bertanya pada suamimu!”
Meski dengan susah payah, ibu Ivy kembali bangkit. “Berapa kali pun kalian bertanya, yang kalian dapatkan akan tetap sama. Kami tidak akan pernah mengakui perbuatan yang sama sekali tidak kami lakukan,” tambahnya.
“Sudahlah. Bunuh saja mereka. Bertanya pada mereka hanya membuang-buang waktu berharga kita.”
Di atas pohon, Ivy yang masih bisa mendengar ucapan pria-pria itu meski hanya samar-samar, air matanya semakin deras berjatuhan. Kepalanya menggeleng, takut luar biasa saat salah seorang pria kini mengayunkan pedang di tangannya. Dan saat pedang itu terayun cepat lalu menebas leher ibunya, disusul menebas leher ayahnya beberapa menit kemudian, Ivy menjerit tertahan karena suaranya tak bisa keluar.
Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat orangtuanya dibunuh dengan sadis entah karena alasan apa karena tadi saat sang ibu membawanya pergi, pria-pria itu belum datang ke rumahnya. Setelah itu, Ivy tak tahu lagi apa yang terjadi karena tiba-tiba pandangannya buram dan semuanya berubah gelap gulita setelah dia merasakan tengkuknya dipukul Xiao Lian. Kini Ivy tak tahu lagi nasib apa yang akan menimpanya kelak namun kejadian menyakitkan ini tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.
***
Delapan tahun kemudian ...
Gadis cantik berambut sebahu itu tampak fokus mengayunkan pedangnya. Berlatih seorang diri dengan menjadikan boneka jerami sebagai teman latihan. Dia melompat dengan lincah sambil mengayunkan pedang dengan begitu cekatan seolah mempelajari ilmu beladiri sudah menjadi bagian dalam hidupnya.
Dia melompat sambil menghunuskan ujung pedang yang tajam pada boneka jerami. Lalu dalam sekali tebasan, boneka jerami itu terbelah, suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar. Gadis itu menoleh ke belakang, mendengus saat melihat seorang gadis seumurannya lalu dua gadis berusia 17 dan 19 tahun, entah sejak kapan memperhatikan latihannya. Gadis itu pun menyarungkan pedangnya lalu berjalan mendekati ketiga gadis tersebut.
“Waah, Kak Ivy semakin hari semakin hebat saja. Sekarang aku mengerti alasan kakak dinobatkan sebagai orang terkuat di padepokan Xiao setelah guru dan Kak Alvin,” ucap gadis berusia 17 tahun bernama Miranda.
Ivy mendengus, “Kau berlebihan. Masih banyak yang lebih kuat daripada aku di padepokan ini.”
“Yang dikatakan Miranda memang benar. Aku setuju dengannya. Kau wanita paling kuat di padepokan.” Claudia ikut menimpali.
“Kak Ivy, kapan-kapan ajari aku. Aku juga ingin pandai beladiri seperti kakak.” Kali ini Carissa yang mengutarakan keinginannya.
“Wanita cantik seperti kalian lebih baik belajar sesuatu yang feminim. Seperti merajut, menjahit, memasak, melukis dan hal-hal semacam itu lainnya,” jawab Ivy, acuh tak acuh.
“Kenapa begitu? Bukankah Kak Ivy pernah bilang jika ingin bertahan hidup, seorang wanita harus memiliki kekuatan?”
Ivy mengangguk, menyetujui ucapan Miranda. “Ya, tapi tipe wanita seperti kalian lebih baik menjadi wanita feminim saja. Kalian tidak cocok memegang pedang, senapan atau senjata untuk membunuh lainnya. Kalian terlalu ... lembut.”
“Kau ini bicara apa. Kami juga anggota padepokan, sudah seharusnya kami memiliki kemampuan beladiri. Dan ngomong-ngomong soal belajar hal feminim, kau juga harusnya belajar karena kau juga seorang wanita,” balas Claudia sambil menunjuk wajah Ivy.
Ivy tak menjawab lagi, gadis berusia 23 tahun itu hanya diam sambil melayangkan tatapan tajam. Lalu tatapannya tertuju pada keranjang berisi ikan dan daging segar yang sedang dipegang Claudia. “Kau habis belanja dari pasar?” tanyanya.
Claudia mengangguk, “Ya. Begitulah. Tapi uang kita hanya cukup membeli daging dan ikan segini saja. Sepertinya kita harus berhemat lagi bulan ini.”
Ivy tertegun mendengarnya. Memang seperti ini kondisi pedepokan yang dia tinggali semenjak ikut bersama Xiao Lian. Padepokan ini didirikan oleh pria keturunan China itu untuk menampung para anak yatim yang memiliki nasib kurang beruntung seperti Ivy. Hanya saja karena Xiao Lian memiliki kemampuan beladiri sehingga dia pun mengajarkannya pada anak-anak asuhnya, termasuk pada Ivy. Meski tak semua anak-anak yang ditampung di padepokan diajari beladiri, contohnya ketiga gadis yang tengah bersama Ivy. Mereka biasanya bertugas menyiapkan makanan untuk semua penghuni pedepokan ini yang jika dihitung ada sekitar 14 orang dewasa dan 11 anak-anak. Adapun biaya hidup mereka biasanya didapatkan dari bayaran yang diberikan oleh orang-orang yang menyewa jasa mereka untuk melakukan berbagai misi. Padahal kehidupan di kerajaan ini sudah sangat modern, tapi masih saja ada segelintir orang yang menyewa mereka alih-alih meminta bantuan pada pihak militer kerajaan.
“Benar juga, sudah beberapa hari ini belum ada yang menyewa kita. Jadi wajar jika keuangan kita menipis,” jawab Ivy.
“Bukan hanya itu penyebabnya.” Carissa menimpali.
“Memangnya ada penyebab lain?”
“Oh, iya. Kak Ivy pasti belum mendengar rumor dari kerajaan, kan?”
“Rumor apa?” Ivy mulai menanggapi dengan serius.
“Katanya pihak kerajaan berencana menaikan pajak. Karena itu semua harga menjadi naik, terutama bahan sembako.”
Kening Ivy mengernyit dalam, “Kenapa pajak dinaikan oleh kerajaan?”
“Aku dengar ini karena Yang Mulia Raja berencana membangun banyak tempat wisata untuk pemasukan kerajaan. Katanya untuk kesejahteraan rakyat juga nantinya, tapi belum apa-apa, rakyat kecil seperti kita sudah tercekik begini.” Claudia memberikan komentarnya.
“Omong kosong. Mana mungkin untuk kesejahteraan rakyat. Yang ada justru untuk semakin memperkaya keluarga kerajaan dan para bangsawan.” Dengan raut wajah luar biasa dingin, Ivy berpendapat demikian.
“Mungkin kau benar juga. Haah, coba saja ada keajaiban ya.”
“Keajaiban bagaimana maksudmu?” tanya Ivy, tak paham maksud ucapan Claudia.
“Kenaikan pajak tidak bisa diresmikan tanpa adanya dekrit resmi dari kerajaan yang distempel raja dan menteri perpajakan. Siapa tahu keajaiban tiba-tiba terjadi, karena stempel milik raja rasanya mustahil bisa hilang karena pastinya dijaga ketat di dalam istana. Tapi kan stempel milik menteri perpajakan bisa saja hilang. Ini namanya keajaiban, kan?” Claudia tertawa setelah menjelaskan maksud ucapannya.
“Kak Claudia bisa saja. Tapi aku setuju dengan pendapat kakak.” Miranda ikut tertawa, disusul Carissa selanjutnya. Hanya Ivy yang tetap memasang raut serius.
“Keajaiban ya?” gumam Ivy pelan namun sukses membuat tawa ketiga gadis itu berhenti.
“Kau mengatakan apa barusan?” tanya Claudia yang tak jelas mendengar gumaman Ivy yang terlampau pelan.
“Tidak ada,” jawab Ivy cuek. “Oh, iya. Sepertinya aku tidak bisa membantu kalian menyiapkan makan siang hari ini.”
“Kenapa memangnya, Kak? Kakak ada misi?” Carissa terheran-heran karena Ivy jika tidak ada misi biasanya rutin membantu mereka menyiapkan makanan.
“Ya, aku ada misi.” Ivy berjalan menjauh, tapi sebelum dia benar-benar pergi, sesaat dia menoleh ke belakang melalui bahunya. “Misi untuk mewujudkan keajaiban tadi agar benar-benar terjadi,” tambahnya sebelum dia kembali melanjutkan langkah hingga sosoknya menghilang dari pandangan ketiga gadis itu yang kini saling berpandangan dan tak memahami maksud ucapan Ivy.