01 - Mimpi dan Kenyataan
Arc Kota Soulvia.
Bagian ini akan menceritakan seluruh kisah di Kota Soulvia di mana semua berawal.
***
Aku berada di sebuah tempat yang entah apa namanya, meski terasa aneh, tapi entah kenapa ada bagian dari diriku yang merasa familier dengan keadaan sekitar. Aku berada di sebuah lorong kosong dengan tembok berwarna putih, dengan hiasan akar tanaman yang terlihat telah diukir sedemikian rupa, sehingga terlihat sangat rapi dan indah. Dekorasi yang tak pernah kulihat selama ini.
Setiap orang yang berpapasan denganku selalu menunduk hormat dan tersenyum tulus. Aku tak mengenal mereka, tapi sepertinya semua orang mengenalku.
Aku berjalan dengan cara tak seperti biasa kulakukan, aku juga baru sadar pakaian yang kukenakan tampak aneh dan kuno, kulihat hampir tak ada jahitan pada gaun yang saat ini kukenakan. Selain itu, dadaku terlalu menonjol dan besar. Aku tak ingat punya bentuk tubuh seperti ini, tapi sekarang aku merasa nyaman dengan semua keadaan itu. Meski semua tampak berbeda dan benar-benar terasa bukanlah diriku.
Seseorang memintaku untuk pergi ke sana, aku tak kenal, tapi nama dan penampilannya benar-benar tak asing bagiku.
Aku berjalan sampai di taman, di sana aku melihat seseorang yang sangat aku sayangi. Kurasakan bibirku menyunggingkan seulas senyum, tampak jika pria itu memiliki rambut hitam panjang yang digerai begitu saja, pakaiannya serba hitam menambah pesonanya.
Aku benar-benar tak dapat menahan diri untuk tinggal lebih lama lagi, aku ingin segera menemuinya, menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Namun saat hendak mendekat, tiba-tiba saja sesosok makhluk raksasa jatuh dari langit, makhluk itu memiliki ketinggian sekitar empat meter, dia memiliki kepala kerbau dengan sebuah s*****a di tangannya. Itu adalah sosok minotaur, oh yang benar saja, makhluk semacam itu benar-benar ada dan tampak sangat mengerikan.
Yang jatuh bukan hanya satu ekor, tapi satu pasukan, semua makhluk aneh juga ikut jatuh. Debaman tanah di sana bagaikan bunyi gempa bumi, mereka segera mengepung pria itu, pria yang benar-benar hebat dengan es yang terus ia lepaskan untuk menghalau serangan para monster.
Sesaat kemudian, keadaan tenang nan indah langsung berubah menjadi medan perang dan penuh dengan mayat bergelimpangan, dengan monster-monster berbentuk aneh mengerikan membunuhi setiap makhluk hidup. Pria itu berjuang mati-matian.
Aku sadar jika aku tak merasa takut sama sekali, aku juga baru sadar jika pakaianku bukan gaun lagi, pakaian perang yang sangat berat dengan logam atau batu mengilap berwarna merah. Pada tangan kananku aku memegang sebuah pedang yang tak kalah merahnya dengan warna baju perangku. Kemarahan yang teramat besar kurasakan. Namun, saat aku akan melesat maju, sesuatu mengenaiku, aku terlempar sangat jauh seolah diteleportasikan.
***
Aku membuka mataku dengan napas terengah dan mata yang basah, tubuhku penuh keringat sehingga pakaianku basah, hal pertama yang kulihat saat ini adalah langit-langit kamar. Ya, aku ingat dengan semua yang terjadi.
Ini adalah kamarku dan aku telah bermimpi aneh, mimpi yang belum pernah terjadi selama hidupku. Tapi entah mengapa, aku merasa jika semua itu adalah kenyataan dan aku mengalaminya secara sungguhan, perasaan yang tadi masih terasa sangat kuat.
Perasaan yang kalut, amarah memuncak, kesedihan dan kepedihan, perasaan hancur dan kecewa, semua masih terasa dalam diriku. Aneh, tak pernah rasanya mimpi memengaruhi keadaan diriku yang sudah sasar dan terjaga menghadap dunia nyata.
Aku segera turun dari ranjang dan mengenakan kacamataku, sejak kecil aku terlalu banyak berinteraksi dengan buku, dan ketika hadir ponsel yang menyediakan buku elektronik, itu membuatku jadi lebih rajin lagi membaca tiap kata demi kata. Pada akhirnya, mataku mengalami rabun jauh. Tidak parah sih, aku hanya tak bisa mengenali wajah seseorang yang jaraknya lebih dari lima langkah kakiku.
Aku segera berjalan dengan tergesa menuju kamar mandi yang letaknya terpisah dari kamarku, kamar yang memiliki ruang sempit dan kecil ini. Hari ini ada kuliah pagi dan aku benar-benar tak mau melewatkannya.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat seekor burung hantu salju dengan seluruh bulunya berwarna putih mengepak masuk ke dalam ruangan, di sana si burung bertengger di tempat yang sudah kusiapkan untuknya.
Burung itu beberapa minggu yang lalu, ia kutemukan tergeletak di jalanan, hari itu terjadi tepat setelah kematian kedua orangtuaku.
Aku ingat hari itu, aku tinggal sendirian sampai senja di pemakaman, aku baru beranjak ketika perutku keroncongan dan minta diisi, saat itulah aku menemukannya. Kukira ia mati karena tubuhnya tergeletak begitu saja di tengah jalan, tapi ternyata masih hidup dan memiliki beberapa luka yang kemungkinannya didapat dari pertarungan antar sesama burung.
Berbekal dari pengetahuan yang kudapatkan, aku membawanya pulang dan mengobati luka-lukanya. Satu hari kemudian kondisinya sudah sehat, tapi burung hantu itu tak mau pergi.
Meski aku sudah beberapa kali melepaskannya ke luarーbahkan aku sempat mengusirnya, burung itu selalu kembali dan selalu berada di ruang tengah. Pada akhirnya, aku menyerah dan membiarkan saja si burung berada di sana. Lagi pula ia tak pernah buang kotoran di sembarang tempat, tak pernah meminta makan karena ia berburu sendiri setiap malam, maka dari itu aku membeli tempat bertengger untuknya. Tak ada salahnya memberi tumpangan tempat tinggal untuk seekor burung, tak akan ada hal yang akan merugikanku.
Biasanya burung itu akan pergi saat malam dan kembali pagi harinya untuk bertengger di tempatnya dan tertidur. Hari ini dia pulang lebih lama dari jadwal biasanya.
"Selamat pagi, Owl." Aku menyapa binatang itu dengan mengusap bulunya. Ya, meski sudah beberapa minggu aku memeliharanya di rumah, aku masih belum memberinya nama. Aku bukan ahlinya dalam memberi nama.
***
Matahari tak bersinar, awan mendung menutupi seluruh langit, hujan turun biasanya saat hari menjelang siang, tapi semoga saja hari ini tak turun hujan. Aku akan mendapat masalah jika hujan turun.
Jeans hitam dan sweter merah saat ini kukenakan, tas selempang butut hitam yang telah beberapa tahun menemaniku kini tergantung di samping kanan badanku.
Jarak rumah dengan tempatku menempuh pendidikan agak jauh, dan sepeda adalah alat transportasi terbaikku selama ini. Selain menghemat pengeluaran, itu juga membuat badanku bergerak. Jujur saja, menghabiskan waktu dengan duduk dan membaca itu membuat tubuh kaku dan kurang sehat.
Seperti inilah keseharianku, bersepeda di jalanan, belajar, membaca buku, mempelajari hal-hal baru dan ya, tanpa pria yang menemani. Aku tahu, penampilanku membosankan dan tak membuat lelaki tertarik, wajar saja di usiaku yang sudah memasuki usia dewasa ini, aku belum juga memiliki kekasih, teman pun hanya seorang, dan itu perempuan.
Udara berembus dingin, sepertinya salju akan turun dalam waktu yang dekat. Dan itu sama sekali tak kusukai, salju membuat aku harus berhati-hati dan bekerja ekstra saat mengendarai sepeda tua ini.
Musim salju benar-benar merugikan hidupku.
Aneh rasanya, Kota Soulvia harusnya memasuki musim panas, musim dingin dan salju sudah berlalu beberapa waktu lalu. Tapi suasana saat ini terasa terlalu dingin dan awan terlalu tebal bagi musim panas.
***
Pagi yang sibuk, banyak orang berjalan kaki dan bersepeda, jalanan dipenuhi taksi dan kendaraan pribadi. Ketika memerhatikan banyaknya kendaraan pribadi, aku jadi ingat sesuatu, kapan terakhir aku naik kendaraan pribadi? Berapa lama aku tak mengendarai kendaraan seperti itu? Rasanya sudah sangat lama, harusnya aku sudah mendapatkan surat izin mengemudi dan memiliki kendaraan pribadi, sayang sekali takdirku bukanlah seperti itu.
Kehidupanku seperti ini, serba kekurangan dan susah, kedua orangtuaku tak meninggalkan apa pun. Tapi aku harus menerima semua dan memulai hidup dengan melakukan penghematan.
"Ada bahaya di belakangmu, bodoh. Pergi dari sini!" Aku terenyak kaget sampai menghentikan sepedaku saat mendengar suara seruan itu. Ada suara wanita yang aku dengar, itu tak jelas dan seperti suara gema di dalam gua, tapi jelas dia memperingatkanku.
Aku menoleh ke sekitar sejenak, mencari arah dan sumber suara itu, tapi aku tak menemukannya.
"Apa mungkin itu hanya suara angin?" Aku tak mau ambil pusing dan segera melanjutkan perjalananku, lagi pula, tak ada bahaya apa-apa yang memburuku.
***