Karena memikirkan penguntitーyang kucurigai itu adalah fey—yang kurasakan mengikutiku, bahkan sempat kurasakan ada pada air mancur, aku sampai lupa mengajak dan mengatakan ingin sarapan pada Liza. Seperti inilah akhirnya, aku mulai lemas dan merasa sangat kelaparan.
Saat aku akan mengikuti Liza untuk melakukan pembayaran, aku merasakan suatu keberadaan seseorang yang familier bagiku, rasanya sangat dingin menusuk dan aku benar-benar merinding dengan sensasi tersebut. Aku tak suka ini, perasaanku tak nyaman.
Aku menoleh ke arah luar jendela kaca dan di sanalah tepatnya, seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam tengah mengawasiku, berdiri tepat di depan sebuah toko dan di pinggir jalan. Seketika aku tertegun di sana, orang itu memandang tepat ke arahku. Rambutnya panjang jatuh ke dadanya, irisnya berwarna biru terang.
Karena mengenakan tudung jaket dan dia agak menunduk, wajahnya tampak gelap tak tersentuh sinar matahari, sayangnya sepasang mata itu malah tampak terang dalam kegelapan dan itu tampak jauh lebih menakutkan, jujur saja itu membuatku merinding ketakutan.
Untuk sesaat mata kami saling berhadapan dan bertatapan, meski aku tak tahu jelas seperti apa wajahnya, aku yakin wajah itu dingin dan kasar.
“Hei, sedang apa?” Liza menepuk pundakku yang sontak membuatku terkejut.
“Eh, apa sudah selesai?” Aku menoleh ke arahnya, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Sengaja tak ingin menjawab apa yang ia tanyakan. Liza mengangguk mengiyakan.
“Sudah, kuitansinya.” Dia mengeluarkan bukti pembayaran itu, aku kembali menoleh ke arah luar jendela. Tapi sosok itu sudah hilang entah ke mana.
“Ada apa, sih? Apa ada sesuatu yang dipikirkan? Kamu melamun apa?” Ia akhirnya penasaran, karena mungkin melihat gelagat anehku dan terlihat agak khawatir. “Dari ekspresi wajahmu, aku yakin kau tak sedang memperhatikan lelaki tampan.” Dia mengimbuhkan, setengah serius dan setengah bercanda. Saat ini aku tak sedang ingin bercanda dan juga tak ingin menjawab apa-apa saja yang dia tanyakan. Sepertinya ini adalah situasi yang serius.
“Kita harus pergi,” gumamku, aku memandang ke arah wajahnya. Ia tampak heran dengan gelagatku.
“Sekarang? Aku jadi semakin bingung,” katanya dengan heran. Melontarkan pertanyaan yang tak perlu.
“El, jawab dong, apa yang terjadi?” tanyanya dengan desakan, aku yang hendak melangkah segera mengurungkan niat. Maka aku mengembuskan napas pelan sebelum berbicara padanya.
“Sepertinya aku sedang diikuti.” Pada akhirnya aku mengakui dan mengatakan yang sebenarnya, meski harusnya dan benar-benar tak ingin kukatakan, kukira ini lebih baik untuk diberitahukan padanya agar dia mengerti situasinya saat ini. Jujur saja aku tak suka dan agak takut dengan keadaan seperti ini.
“Uwa, kau memiliki seorang penguntit?” Aku tak tahu dia sedang menggoda, bercanda atau apa. Yang jelas saat ini bukanlah waktunya.
“Aku serius, ini menakutkan, kau tahu.” Aku membalas dengan serius dan gelagat yang agak takut..
“Apa bukan lelaki tampan yang ....”
“Liz, ini tak benar. Kita harus pergi.” Segera saja kusela ucapannya. Ia merasakan keseriusanku dan akhirnya paham jika yang kumaksud diikuti bukan oleh orang yang penasaran, tapi oleh psikopat yang berniat buruk padaku. Ekspresinya mengatakan itu.
“Kenapa kau pikir orang itu mengikutimu?” tanya Liza, aku bahkan tak yakin jika ia adalah seseorang, aku merasakan sensasi aneh saat merasakan keberadaannya.
“Entahlah, hanya saja firasatku buruk tentang ini.” Aku menggeleng lemah.
“Apa harus memanggil polisi?” tanyanya tiba-tiba, itu ide yang bagus jika yang mengikutiku itu adalah seseorang yang jelas dan pasti merupakan orang jahat. Tapi yang ini, aku bahkan ragu jika polisi akan mampu melihatnya.
“Tak ada bukti yang kuat, percuma saja.” Aku memutuskan tak menuruti usulan itu. Tanpa bukti yang jelas, polisi hanya akan memarahi dan menasihati agar tak terlalu banyak minum minuman keras dan teratur minum obat. Itu akan membuatku kesal dan pasti harus sekuat tenaga untuk menahan dorongan dan godaan untuk meninju wajah polisi.
“Kau tahu, ini mendadak jadi horor.”
“Apalagi aku yang merasakannya.”
“Lalu bagaimana caranya kita pergi? Bisa saja dia bersenjata dan berniat buruk.” Dia menerka-nerka. Seketika perkataannya semakin membuatku takut, oh ayolah.
“Kukira jika selalu berada di keramaian dan terpantau kamera pengawas, kita akan aman.” Aku membalas, semoga saja ini ide yang bagus.
“Oke, dengan kata lain kita tetap bersikap normal saja?” tanyanya.
“Ya, kuharap dia tak melanjutkan mengikutiku lagi setelah kupergok.”
“Ya, kau benar. Ayo pergi.” Maka Liza segera menarikku pergi dari sana.
Kami meninggalkan toko buku, Liza menyimpan barang-barang di dalam mobil, ia menyuruhku untuk pergi lebih dulu ke restoran.
Maka setelah semua aktivitas pagi ini, kami berakhir di sebuah restoran untuk sarapan pagi setelah sekitar dua jam lebih kami berkeliling dan jalan-jalan di sekitar sini. Bagiku sih sarapan, tapi waktu menunjukkan menuju tengah hari, astaga aku sampai lupa sarapan sehingga sarapanku malah disatukan dengan makan siang. Liza mengajakku berkeliling terlalu lama.
Restoran ini memiliki suasana yang nyaman dan menyenangkan, ukurannya tak terlalu besar, tapi ini membuat senang dan betah bagi para pengunjung. Setelah aku memesan makanan untuk dua orang, tak lama Liza bergabung denganku.
Ketegangan dan ketakutan karena penguntit itu segera kukubur dalam-dalam. Dengan persetujuan tak terucap pula, aku dan Liza memutuskan untuk tak membahas hal ini lagi.
Hidangan segera disajikan untuk kami, saat Liza akan bercerita padaku, ia mengurungkan niat saat melihatku makan dengan lahap. Ya, meski aku makan lahap, fokusku tetap terbagi pada Liza dan makanan yang menunggu untuk kusantap habis.
Aku segera menelan makanan yang ada dalam mulutku dan segera melontarkan pertanyaan pada Liza yang masih saja terkaget-kaget dengan cara makanku.
"Apa?" tanyaku. Pura-pura polos dan tak tahu apa-apa, padahal aku juga tahu jika ia memandang cara makanku yang seperti orang yang tak menemukan makanan dalam waktu yang sangat lama. Pastinya dia kaget dan heran dengan apa yang kulakukan saat ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku sangat kelaparan dan energiku sudah habis terkuras oleh jalan-jalan sejak tadi.
"Kamu belum sarapan? Makannya sampai seperti itu." Ia menerka, tepat sekali. Ia benar. Tebakannya tepat sekali sehingga aku memberinya satu jempol.
"Sengaja, kukira kamu akan mengajakku sarapan pertama kali, bukan langsung berkeliling," terangku. Aku memang tak menduga jika Liza akan langsung membawaku jalan-jalan berkeliling di taman, kukira kami akan sarapan terlebih dulu, tapi tampaknya ia memang sudah sarapan sejak awal di rumah, maka dari itu dia tak mengajakku sarapan dulu.
"Kamu enggak mengatakan apa-apa, kalau saja bilang sejak tadi, aku akan mengajakmu sarapan." Ia membalas dengan nada dan ekspresi yang bersalah dan meminta maaf. Meski begitu, dia tetap membela diri dengan menjelaskan alasan kenapa tak mengajakku sarapan tadi. Oke, aku paham. Dia juga terlalu antusias tadi, sehingga aku tak bisa mengatakan ingin makan dulu dan merusak suasana hati dan rencananya.