Intimate Partner

3980 Kata
Di saat aku berdiri di sana, aku baru benar-benar sadar bahwa ini kamarku. Ruang paling pribadi yang selama bertahun-tahun hanya aku yang masuk. Minggu lalu saja aku baru membuka ruangan ini untuk Jo—hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Dan sekarang, Chatrin juga ada di sini. Seseorang yang sama sekali tidak pernah kubayangkan akan berada di kamarku, apalagi dalam situasi seperti ini. Ada rasa aneh di d**a. Rasanya seperti ruang paling pribadi milikku perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih luas dari sekadar kamar—dan aku masih belajar berdamai dengan itu. Jo menatap Chatrin yang terbaring di atas ranjangku dengan tatapan tajam, seperti sedang memastikan reaksi terakhir sebelum melangkah lebih jauh. Tangannya perlahan meraih pinggiran legging hitam Chatrin. “Aku buka ya,”katanya pelan sambil menarik kain itu turun sedikit demi sedikit, memperlihatkan celana dalam basah yang sudah tidak bisa menyembunyikan keadaan di antara paha Chatrin. Aku berdiri mematung di ambang pintu. Kamarku—ruangan tempat aku selalu tidur sendirian—sekarang malah jadi saksi untuk sesuatu yang terasa aneh, salah, tapi tetap membuatku sulit mengalihkan pandangan. Chatrin menahan tangan Jo dengan tangannya ketika akan Jo menarik celana leggingnya turun. “M-Mas... jangan… aku belum pernah,” suaranya terdengar antara takut dan bingung, namun penuh gairah. “Gapapa Cathrin… Nanti kamu bakal bisa nikmati banget kok…” Jo menyingkirkan tangan Chathrin dan lanjut menarik celananya turun ke bawah paha. Tapi entah kenapa, ditengah-tengah penolakannya justru tubuh gadis itu terangkat, seperti memberi reaksi alami yang bahkan ia sendiri tidak sadari. Jo tersenyum tipis melihat perubahan kecil pada Chatrin. Dengan satu gerakan mantap, ia melepas seluruh legging dan celana dalam Chatrin. Sehingga kini tubuh gadis itu sudah telanjang bulat, membuat situasinya terlihat sangat rentan. Di tengah semua itu, aku merasakan jemariku bergerak sendiri. Aku kembali mengangkat ponselku perlahan, melanjutkan rekaman yang sempat berhenti. Jo menatap Chatrin yang kini hanya berbaring tanpa sehelai pun kain di atas ranjangku. Tatapannya bergerak perlahan menyusuri tubuhnya, dan suasana kamar terasa semakin pengap serta tegang. “Kamu cantik dan seksi banget,” bisik Jo sambil mengulurkan tangan, menyentuh bagian perut Chatrin lalu menelusurinya dengan gerakan yang jelas membuat Chatrin semakin gelisah. Aku masih berdiri di ambang pintu, jantungku berdetak keras melihat apa yang terjadi di ruang paling pribadiku. Napas Chatrin terdengar tersengal, diselingi desahan halus yang membuat suasana makin intens. “Mas… Pleasee…” rintihnya pelan. Jo kemudian meraih p******a Chatrin dengan kedua tangannya dengan sedikit kasar kali ini. “Nggak usah malu-malu,” goda Jo sambil menggesekkan ibu jarinya ke p****g yang sudah keras sejak tadi. “Kamu jelas suka.” Salah satu tangan Jo lalu bergerak turun. Dengan perlahan dia mengusap tubuh bagian bawah Chatrin yang membuat gadis itu kembali mengerang pelan. Wajahnya sangat merah, bahkan lebih dari tadi. Wajahku sendiri juga ikut terasa panas saat melihat mereka—tapi aku tidak ingin melewatkan momen ini. Aku terus merekam, berharap untuk tidak membuat gerakan berlebihan sehingga merusak rekamannya. Jo berbisik dengan nada yang lebih lembut: “Mau tahu apa yang akan aku lakukan sama kamu, Chatrin?” Chatrin hanya bisa menggeleng dan mengeluarkan suara dengan desah tertahan, jelas menunjukkan betapa dirinya juga penasaran dan mulai tertarik dengan semua ini. Jo terlihat puas dengan responnya, dan kembali mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Chatrin, sehingga wajahnya hanya beberapa senti dari bibirnya. Jo beralih lalu berbisik di telinganya dengan nada sensual: “Aku akan memberikanmu malam yang tak akan pernah kamu lupakan…” Jo kembali mencium bibir Chatrin. Ciuman itu bukan ciuman yang biasa saja, tapi ciuman yang panas dan penuh gairah, sementara tangan Jo yang masih ada di payudaranya tidak berhenti memilin p****g gadis itu. Kamar yang tadinya hening, kini dipenuhi oleh suara napas yang terengah dan erangan Chatrin. Kini aku tahu rasanya jadi Centia, yang hanya bisa melihat saat Jo sedang menikmati tubuh gadis lain. “Ahh... Mas Jo…” “Desahanmu merdu banget Chatrin…” puji Jo. “Apa Agung nggak pernah ngasih kamu kenikmatan kayak gini?” Chatrin menggeleng pelan. “Cuma sekedar ciuman Mas. Dia sempat pegang susuku sebentar aja. Tapi nggak pernah sejauh ini…” Jo kemudian menelusuri tubuh Chatrin dengan gerakan lembut hingga ke vaginanya. Sentuhannya berhenti tidak jauh dari sana sebelum perlahan bergerak sedikit lebih rendah. Tubuh Chatrin sontak menegang; ia menarik napas panjang, suara desahnya terdengar lebih dalam daripada sebelumnya. Ekspresi wajahnya pun sulit ia kendalikan, menunjukkan dengan jelas betapa kuatnya pengaruh sentuhan itu terhadap tubuhnya. Jo kemudian berbisik di telinganya lagi, lebih pelan namun lebih sensual dari sebelumnya. “Kalau diusap dan dimainkan vaginanya kayak gini sampai basah, juga belum pernah?” Chatrin kembali menggeleng dan mendesah pelan. Seolah sudah tidak tahan melihat ekspresi wajah gadis itu, Jo kembali mencium bibirnya dengan kasar. Sementara itu kedua tangannya bermain di area sensitif milik Chatrin, satu di v****a dan satu di p******a kiri, hingga terlihat jelas di kamera bahwa gadis itu mulai menyerah pada kenikmatan yang Jo berikan. Saat ciuman itu berakhir, Chatrin tampak benar-benar gelisah oleh gejolak yang dirasakannya. Pengaruh minuman sebelumnya jelas mulai bekerja, dan dorongan emosionalnya sendiri pun sudah ikut bangkit. “Berarti aku yang pertama kali nikmatin vaginamu ini?” Chatrin kembali mengangguk pelan. Jawaban itu membuat Jo tampak sangat puas. Untuk kesekian kalinya, ia berhadapan dengan seseorang yang masih polos dan belum banyak pengalaman—seperti aku dulu. Bagi kami berdua, Jo adalah orang pertama yang membuat kami merasakan kenikmatan sedalam itu. Jo bergeser dari posisi sebelumnya dan menempatkan diri ke bagian bawah tubuh Chatrin. Ia membuka lebar kedua kaki gadis itu sehingga memperlihatkan vaginanya yang berlendir bening dan basah. Refleks aku pun mendekatkan kamera ke arah mereka, tapi tentu tetap dengan jarak yang tidak mengganggu. Melihat gerakanku, Chatrin sempat memandangku dengan mata membesar, jelas terkejut. “Mbak Rara… kamu merekam?” bisiknya gugup, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Jo segera menenangkan suasana. “Enggak apa-apa, Chatrin,” ujarnya lembut sambil menoleh pada Chatrin. “Ini hanya untuk kenang-kenangan. Nggak akan keluar ke mana pun. Kamu aman.” Chatrin merintih malu, mencoba menutup pahanya tapi Jo dengan tegas menahannya. “Ssst… jangan tutup. Kamera ingin lihat,” godanya, sambil jari tangannya perlahan menyentuh v****a basah itu—mengumpulkan cairan bening di ujung jarinya sebelum mengarahkannya ke lensa seolah memamerkan bukti kenikmatan yang Chatrin rasakan. Setelah itu, Jo tidak lagi menahan diri. Ia menunduk, menyelipkan kedua tangannya di bawah paha Chatrin sehingga kedua kakinya terbuka lebar. Tanpa aba-aba, Jo mendekatkan wajahnya, menempelkan mulutnya langsung ke v****a Chatrin, memberikan jilatan pada klitorisnya dengan cara yang membuat gadis itu terkejut. Punggung Chatrin melengkung refleks, tersentak oleh sensasi hangat dan intens yang datang begitu tiba-tiba. “Nngh—!! M-Mas—!!” Suaranya tercekat, dan tangannya mencengkeram sprei dengan kuat ketika gerakan Jo yang teratur—mengusap perlahan dari bawah ke atas—tepat mengelilingi klitorisnya yang sudah bengkak sebelum akhirnya mulut Jo mengisapnya pelan, membuat Chatrin terkejut sekaligus kewalahan oleh sensasi yang semakin merambat naik. Napasnya tersengal, tubuhnya menegang, tidak mampu menyembunyikan pengaruh sentuhan yang intens itu. Aku merekam dengan tangan gemetar, menangkap setiap helaan napas dan suara lembut yang lolos dari bibir Chatrin, yang semakin sulit ia kendalikan. Jo jelas memahami apa yang ia lakukan—ia tahu persis bagaimana menyesuaikan ritme, kapan harus menahan, dan kapan harus memberikan tekanan lebih. Tak butuh waktu lama sampai Chatrin mulai kehilangan kendali, tubuhnya makin bergetar akibat sensasi yang terus meningkat. “A-Aku… Aku mau—!!” Jo tidak menjawab—ia hanya memperdalam sentuhannya, mendorong lidah lebih dalam sementara jari-jarinya yang basah mulai menekan pelan di bagian belakangnya, membuat Chatrin tak lagi mampu menahan suaranya. Tubuhnya menegang keras, hampir histeris oleh gelombang sensasi yang datang tanpa henti. Dan akhirnya… “Nngh—!! Argghhhhh… M-Mas—!!” Dengan jeritan pendek, tubuh Chatrin melengkung kaku sebelum jatuh lemas. Napasnya tersengal, matanya berkaca-kaca oleh intensitas yang baru saja ia rasakan. Jo mengangkat wajahnya perlahan, menampilkan senyum puas, sementara bibir dan dagunya masih basah oleh cairan Chatrin. Chatrin tergeletak lemas, dadanya naik turun tidak beraturan. Wajahnya dipenuhi keringat, napasnya terengah, dan kedua kakinya terkulai tanpa tenaga. Ia tampak benar-benar kelelahan setelah gelombang sensasi yang baru saja ia alami. Sementara Jo terlihat puas dan dengan santai mengusap wajahnya yang basah dengan tangannya. Matanya masih gelap oleh gairah yang belum sepenuhnya terpuaskan. Jo berbisik serak, “Sekarang kamu ngerti kenapa aku selalu bilang… pertama kali itu spesial?” Tangannya mengelus paha Chatrin yang masih gemetar sebelum ia berdiri dan mulai melepas celana serta bajunya, hingga kini ia juga sudah telanjang, sama seperti Chatrin. Ketika itu, sesuatu yang tegang dan keras terlihat di mataku. Sesuatu yang membuatku berulang kali mendesah dan mencapai kenikmatan maksimal. Dan malam ini, Chatrin akan merasakan hal yang sama sepertiku. Jo pun mendekat ke arah Chatrin. Ia menatap Chatrin dengan tatapan yang sangat erotis—seolah dia sudah siap untuk sesuatu yang lebih serius dan intim. Terlihat dengan jelas gadis itu tampak terkejut oleh apa yang dia lihat, seolah dia benar-benar pertama kali melihat itu. “Mas… itu…” Jo tersenyum lembut. “Kamu nggak pernah lihat? Bahkan punya Agung sekalipun?” Entah untuk keberapa kalinya, gadis itu menggeleng pelan. Matanya menatap penuh ketakutan dan keraguan, sekalipun dia sudah merasakan betapa nikmatnya mencapai klimaks melalui lidah dan bibir Jo. Jo menarik nafas pelan ketika ia melihat ekspresi takut tapi juga penasaran di wajah Chatrin, dia tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi juga tidak ingin mendengar penolakan. “Nggak usah takut,” bisik Jo, tangan besarnya mengusap lembut wajah gadis di depannya. “Tidak akan terasa sakit. Sebaliknya... akan sangat nikmat. Sekarang buka mulutmu. Aku mau kamu coba rasanya kalau penisku ini, masuk ke dalam mulutmu.” Tanpa menunggu jawaban Chatrin, Jo pun menarik dagunya ke bawah hingga mulutnya terbuka cukup lebar. Dengan satu kali dorongan pelan, p***s Jo masuk ke dalam mulut Chatrin dan membuat gadis itu terbelalak. Tangannya menepuk-nepuk perut Jo yang berada tepat di atasnya. Beberapa saat Jo hanya membiarkan reaksi Chatrin sambil tertawa pelan. Hingga akhirnya gadis itu sedikit mengeluarkan air mata, barulah ia melepaskan p***s itu dari mulutnya. “Mas Jo… Sakit… Rasanya kayak kesedak Mas.. Penuh, susah napas aku…” “Itu karena kamu baru pertama kali ngerasain,” balas Jo dengan nada lembut. Tapi aku tahu, dari nadanya itu ia sudah tidak sabar untuk menggerakkan penisnya di mulut Chatrin. Jo pun kembali menyentuh dagu Chatrin, membukanya lalu memasukkan penisnya ke dalam mulut gadis itu. Kini dengan gerakan pelan, dia memainkan penisnya keluar-masuk dalam mulut Chatrin. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk meremas p******a Chatrin, sehingga gadis itu merasa nikmat dan melupakan sakitnya. Jo lalu mempercepat gerakannya sedikit, tangan yang meremas p******a Chatrin makin kuat hingga membuat gadis itu mendesah kecil di antara mulut yang penuh dengan penisnya. Air liur mulai menetes dari sudut bibirnya yang terbuka lebar oleh benda yang terus bergerak di dalamnya. “Dengerin aku baik-baik,” bisik Jo, suaranya berat dengan gairah. “Kamu bakal belajar cara ngisap yang bener. Kalau mau napas, tarik pelan lewat hidung.” Chatrin mengangguk kecil, wajahnya memerah, tapi ekspresinya perlahan mulai berubah dari panik menjadi penasaran. Matanya yang tadinya terbelalak kini mulai terlihat lebih terbiasa, meski masih terlihat sedikit kikuk. Jo menarik napas dalam sebelum mulai bergerak lebih dalam lagi, penisnya mendorong sedikit lebih jauh hingga ujungnya menyentuh bagian belakang tenggorokan Chatrin. Gadis itu mengerang kecil, refleksnya membuat tubuhnya menegang—tapi Jo tidak berhenti. “Aduh, Mas...” suara Chatrin teredam, tapi jelas terdengar protes lemahnya. Jo tersenyum, melihat bagaimana bibir Chatrin terlihat semakin memerah dan basah. Ia menarik lagi dengan perlahan, memastikan setiap gerakannya tetap terkontrol agar tidak membuat Chatrin tersedak terlalu dalam. “Bagus, Chatrin... kamu cepat belajar.” Tiba-tiba, Jo menarik penisnya keluar, meninggalkan mulut Chatrin terbuka dan basah. Gadis itu terengah, ritme napasnya kacau, namun Jo tidak memberinya kesempatan untuk benar-benar pulih. Dengan gerakan cepat dan penuh kendali, ia mengatur posisi Chatrin, membaringkannya telentang di atas kasur—persis seperti posisi yang pernah Jo lakukan padaku dulu. Jo menatapnya dengan tatapan gelap, sebelum berbicara dengan suara serak: “Sudah siap buat yang lebih serius?” Chatrin menghela napas gemetar. “A-Aku... nggak tahu, Mas...” Jo mengusap rambut Chatrin dengan lembut sebelum membisikkan sesuatu yang membuatnya gemetar: “Shhh... Tenang aja. Aku bakal bikin kamu nyaman.” Tangannya bergerak turun, menyentuh perut Chatrin yang masih naik turun cepat sebelum akhirnya berhenti tepat di atas vaginanya yang masih basah. Dengan gerakan teratur, jari-jarinya mulai bermain-main di area sensitif itu, membuat Chatrin kembali mengerang pelan. “Aku janji bakal pelan-pelan,” bisik Jo sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat. “Kamu percaya aku kan?” Chatrin mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca antara takut dan penasaran. Aku sendiri masih berdiri di samping, tangan gemetar memegang kamera yang terus merekam setiap detil adegan intim ini. Jo kemudian memposisikan diri di antara paha Chatrin yang terbuka lebar. Dengan satu tangan, ia memegang penisnya sendiri, mengarahkannya perlahan ke v****a Chatrin yang masih perawan. Sentuhan pertama membuat gadis itu menegang, tangannya mencengkeram sprei dengan kencang. “Tarik napas panjang Chatrin. Ini bakal sakit sebentar,” bisik Jo. Ketika Chatrin menghela napas, Jo mendorong perlahan. “Ahhh… Mas…” Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Chatrin berubah dari tegang menjadi terkejut saat keperawanannya perlahan direnggut. Air matanya mengalir, tapi Jo terus membisikkan kata-kata menenangkan sambil memberhentikan gerakannya sebentar. “Bagus... kamu kuat banget,” puji Jo sambil mengecup air mata di pipi Chatrin. Setelah memberi waktu untuk beradaptasi, Jo mulai bergerak pelan, memastikan setiap dorongannya tidak terlalu menyakitkan. Aku memperhatikan bagaimana tubuh Chatrin perlahan mulai merespon, dari mengerang kesakitan menjadi mendesah pelan saat sensasi baru mulai terasa. “Rasain tiap gerakanku,” bisik Jo, ritmenya mulai lebih teratur. “Pelan-pelan... nanti kamu bakal minta lebih.” Aku terus merekam dengan tangan yang semakin gemetar, menangkap setiap perubahan ekspresi Chatrin yang perlahan berubah dari ketakutan menjadi keasyikan. Jo memang tahu betul bagaimana membuat pasangannya nyaman—persis seperti yang dia lakukan padaku dulu. Tubuh Chatrin mulai bergerak mengikuti irama Jo, meski masih terlihat kaku. Tangannya kini berpindah ke punggung Jo, seolah mencari pegangan di tengah gelombang sensasi baru yang membanjiri tubuhnya. “Ahh... Mas... ini…” suara Chatrin terputus-putus antara napas. Jo tersenyum, memperdalam gerakannya sedikit. “Beda ya rasanya dengan jari atau lidah?” godanya sambil mencium leher Chatrin yang sudah berkeringat. Chatrin hanya bisa mengangguk lemah, mulutnya terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek. Dadanya naik turun cepat, payudaranya bergoyang mengikuti gerakan mereka. Jo dengan terampil menangkap salah satu putingnya dengan mulut, membuat Chatrin menjerit kecil. “Mas… aku… aku merasa kayak… ada yang mau keluar… ahh—! Kayak mau pipis Mas…” bisiknya dengan suara bergetar, seolah ia sendiri tidak memahami gelombang sensasi yang mengalir tanpa henti. Chatrin tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Jo tiba-tiba mengubah sudut dorongannya, mengenai ujung rahimnya, sesuatu yang membuat matanya membelalak. “Di sana?” tanya Jo dengan senyum puas. Chatrin hanya bisa mengangguk tak terkendali, tangannya mencengkeram bahu Jo dengan kencang. Jo mulai fokus pada titik itu, gerakannya semakin cepat. Suara tubuh mereka yang saling bertumbukan memenuhi kamar, diselingi desahan dan erangan Chatrin yang semakin tak terbendung. Aku melihat bagaimana jari-jari Chatrin mulai meninggalkan bekas di punggung Jo, bagaimana bibirnya gemetar, bagaimana kakinya mulai melilit pinggang Jo tanpa disadarinya. “Mas… aku… aku mau...” Chatrin memandang Jo dengan tatapan berharap. Aku langsung memahami apa yang sedang Chatrin rasakan—hal yang sama persis seperti yang kualami saat pertama kali bersama Jo dulu. Tubuhnya mulai bergerak tidak beraturan, napasnya semakin pendek, dan tatapannya kosong seolah pikirannya terpecah di antara derasnya sensasi yang menghantam dan kebingungan atas pengalaman baru yang begitu mendominasi tubuhnya. Jo memeluk tubuh Chatrin lebih erat, bisikannya parau di telinganya: “Iya, Chatrin... lepaskan saja... aku disini...” Dengan erangan panjang yang setengah tercekik, tubuh Chatrin mendadak kaku. Kakinya yang melilit Jo semakin menekan, tangannya mencengkeram erat punggung Jo. Matanya terpejam rapat sementara mulutnya terbuka lebar mengeluarkan suara yang bahkan mungkin tak disadarinya sendiri. “AARRGGHHHH!!! M-MASSSS!!!” Jo terus memeluknya erat, memberinya waktu untuk melalui o*****e keduanya. Aku memperhatikan betapa tubuh Chatrin bergetar hebat, seperti tersengat listrik. Air mata mengalir deras di pipinya—campuran antara kelegaan, keterkejutan, dan kepuasan yang tak terkatakan. Setelah beberapa detik, tubuhnya mulai lemas. Jo menarik diri perlahan, membuat Chatrin mengerang kecil. Matanya yang baru saja terbuka tampak berkaca-kaca, penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. “Gimana rasanya?” tanya Jo lembut sambil mengusap rambut Chatrin yang basah oleh keringat. Chatrin menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan suara serak: “Aku... nggak bisa jelasin, Mas... sama sekali beda dari yang kubayangkan...” Jo tersenyum puas sebelum mencondongkan tubuhnya kembali. Kali ini gerakannya lebih pelan, lebih dalam, seolah ingin menunjukkan lebih banyak lagi pada Chatrin. Tangannya meraih tangan Chatrin dan menyelipkan jari-jari mereka, membuat posisi mereka terlihat sangat intim. Aku masih berdiri di samping, merekam setiap detail dengan tangan gemetar. Kamarku—tempat tidurku sendiri—sekarang menjadi saksi intimasi yang begitu mendalam antara Chatrin dan Jo. Suara erangan pelan Chatrin kembali terdengar saat Jo mulai bergerak lagi di dalamnya. Kali ini lebih lambat, tapi setiap dorongan terasa lebih dalam, lebih intens. “Mas Jo… pelan…” Chatrin mendesah, tangannya mencengkeram erat tangan Jo yang tergenggam dengannya. Tapi Jo hanya tersenyum, memperlambat gerakannya sejenak sebelum mendorong lebih kuat, membuat Chatrin terengah. Ia membungkuk lebih dekat, bibirnya hampir menempel di telinga Chatrin. “Kamu tahan dulu… Masih banyak yang mau aku kasih ke kamu,” bisiknya serak. Jo mengubah posisi sedikit, menarik tubuh Chatrin ke pangkuannya sehingga gadis itu sekarang duduk di atasnya, masih terhubung erat. Chatrin mengerang kecil, wajahnya memerah ketika gravitasi membuat p***s Jo terdorong lebih dalam. Tangannya meraih bahu Jo untuk menyeimbangkan diri. “Sekarang kamu yang gerakin badanmu,” perintah Jo dengan suara berat, tangannya meraih pinggul Chatrin. “Pelan… naik turun perlahan.” Chatrin mengangguk, wajahnya menunjukkan keingintahuan. Dengan gemetar, ia mulai menggerakkan pinggulnya pelan, ekspresinya berubah dari tidak nyaman menjadi terkejut ketika sensasi baru mulai muncul. Jo membimbingnya dengan kedua tangan di pinggulnya, membantu ritme naik turun yang semakin lancar. “Ahh… Mas… rasanya… enak…” Chatrin mengerang pelan, tubuhnya mulai menemukan irama sendiri. Jo tersenyum puas melihat ekspresi Chatrin yang mulai terbiasa, bahkan menikmati ritme ini. Tangannya merayap ke p******a gadis itu, meremasnya sambil membisikkan pujian: “Kamu cepat banget belajar... Lihat, sekarang kamu udah bisa gerakin pinggulmu sendiri.” Gerakan Chatrin semakin percaya diri, semakin lancar - naik turun di atas Jo dengan ritme yang mulai tak terputus. Keringat mengkilat di kulitnya, rambutnya yang awalnya rapi kini berantakan dan lembap. “Mas... aku... ahh... kayaknya aku mau keluar lagi...” rintihnya di antara napas tersengal. Jo mempercepat gerakan tangannya di p******a Chatrin, membantu memacu sensasinya. “Lanjutkan, sayang... Jangan ditahan,” godanya sambil menekan lebih dalam saat Chatrin turun. Tiba-tiba Chatrin menjerit kecil, tubuhnya menegang kaku. Tangannya mencengkeram bahu Jo dengan kencang, matanya terpejam rapat. “Aku... aku nggak bisa berhenti... ahhh! M-MASSS!!!” Gelombang o*****e melandanya lagi, lebih kuat dari sebelumnya. Jo membiarkannya duduk lemas di pangkuannya, tubuhnya masih bergetar kecil. Baru setelah napas Chatrin mulai stabil, Jo dengan lembut membaringkannya kembali di kasur. “Bagus banget,” puji Jo sambil menatap tubuh Chatrin yang lemas. Matanya gelap oleh gairah yang belum terpuaskan. “Tapi aku belum selesai sama kamu...” Dia mengubah posisi Chatrin dengan mudah, membolak-balik tubuhnya hingga gadis itu kini tengkurap. Dengan satu gerakan, Jo mengangkat pinggul Chatrin dan tanpa basa-basi melanjutkan dari belakang. Chatrin terkesiap oleh penetrasi mendadak ini. Tangannya mencengkeram bantal, wajahnya terkubur di antara lipatan. “Ma-Mas... dalam banget...” keluhnya, suaranya teredam bantal. Jo tidak menjawab—hanya memegang erat pinggul Chatrin dan mulai bergerak dengan ritme lebih cepat dan kuat sekarang. Setiap dorongannya terdengar jelas, diselingi erangan Chatrin yang semakin tak terbendung. Aku masih merekam dengan tangan yang gemetar, memperhatikan bagaimana tubuh Chatrin bergoyang tak beraturan di bawah kendali Jo. Tangannya mencengkeram seprai dengan kuat, wajahnya yang terkubur di bantal sesekali terangkat untuk menarik napas sebelum akhirnya kembali menghilang di antara lipatan kain. “Ahh—! Mas Jo… aku nggak bisa—!” Jo tidak memperlambat. Sebaliknya, ia malah semakin memperdalam, memastikan setiap gerakannya mengenai titik sensitif Chatrin dengan tepat. Tangannya yang bebas meraih rambut Chatrin, menariknya pelan sehingga gadis itu harus mengangkat kepalanya, punggungnya melengkung indah di bawah genggaman Jo. “Kamu mau aku berhenti?” bisik Jo di telinganya, nada menggoda. Chatrin menggeleng cepat, napasnya terengah. “N-Nggak… please… lanjutin…” Jo tersenyum, lalu membungkuk lebih dekat, bibirnya menyentuh kulit leher Chatrin yang berkeringat. “Kamu mau lebih keras?” Chatrin mengangguk, wajahnya merah padam. Jo tidak perlu diminta dua kali. Dengan pegangan erat di pinggul Chatrin, ia mengubah sudutnya sedikit sebelum benar-benar mempercepat ritmenya—keras, dalam, dan tanpa kompromi. “AARRGGHH—! M-MAS—!” Suara Chatrin pecah, tubuhnya menegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan erangan yang bahkan mungkin tidak ia sadari. Tangannya meraih bantal dengan kencang, kakinya gemetar tak terkendali. Jo tetap bergerak, tidak memberi jeda, memastikan setiap sentakan memperpanjang puncak kenikmatan Chatrin dan berusaha meraih puncak kenikmatannya sendiri. Aku melihat bagaimana tubuh Chatrin benar-benar tidak bisa berhenti berguncang, gelombang o*****e yang jauh lebih kuat dari sebelumnya membuatnya benar-benar lepas kendali. Air matanya mengalir deras, suaranya serak, dan napasnya seperti tertahan di tenggorokan setiap kali Jo mendorong lebih dalam. Jo sendiri mulai kehilangan ritme yang teratur—gerakannya lebih spontan, dan erangannya semakin dalam. “Chatrin… aku hampir sampai…” desisnya serak, tangannya mencengkeram pinggul gadis itu dengan kuat. Dengan beberapa dorongan terakhir yang lebih dalam dan lebih cepat, Jo akhirnya mencapai klimaksnya. Tubuhnya menegang keras, sebelum akhirnya mengendur pelan. Ia tetap berada di dalam Chatrin untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menarik diri dan membaringkan tubuhnya yang lelah di samping gadis itu. Keduanya tergeletak lemas di atas ranjangku, napas berat masih terdengar jelas di kamar yang pengap ini. Chatrin berbaring dengan wajah masih terkubur di bantal, tubuhnya sesekali bergetar kecil, jelas belum sepenuhnya pulih dari serangan kenikmatan yang begitu intens. Jo di sampingnya menarik napas dalam, satu tangan terkulai di atas perutnya yang naik turun perlahan. Setelah beberapa saat, Jo menoleh ke arahku yang masih berdiri dengan kamera di tangan. Matanya yang tadinya setengah terpejam sekarang terbuka lebar, dan bibirnya melengkung dalam senyum puas. “Rara, kamu sudah merekam semuanya kan?” tanyanya, suaranya masih serak. Aku mengangguk pelan, tangan masih memegang erat ponselku. Jo menghela napas. “Bagus.” Ia kemudian mendekati Chatrin yang masih lemas. Dengan lembut, ia mengelus rambut gadis itu. “Chatrin, kamu baik-baik saja?” Chatrin perlahan mengangkat wajahnya dari bantal. Matanya bengkak dan merah, tapi ada senyum kecil di bibirnya. “Aku...baik-baik saja, Mas,” bisiknya lemah. “Aku cuma...lelah.” Jo tersenyum dan menepuk punggungnya pelan. “Istirahat dulu.” Ia kemudian melihat ke arahku lagi. “Rara, ambilkan air untuk Chatrin.” Aku mengangguk dan bergegas mengambil segelas air dari meja belajarku. Ketika aku kembali, Jo sudah duduk di tepi ranjang sambil menatap Chatrin dengan tatapan yang sulit k****a. “Minum,” kataku sambil menyodorkan gelas ke Chatrin yang perlahan bangun. “Makasih, Mbak,” ujarnya pelan sebelum meneguk air itu. Suasana kamar kini jauh lebih tenang, hanya diisi oleh napas Chatrin yang perlahan mulai stabil. Keheningan itu terasa lembut, seolah seluruh ruangan sedang belajar bernapas kembali. Selama ini, aku kira hanya Centia yang menjadi bagian dari lingkaran kecil dan rumit yang kami jalani bersama Jo—lingkaran penuh kedekatan, komitmen aneh, dan dinamika yang mungkin tidak dipahami orang luar. Namun malam ini, melihat cara Jo memandang Chatrin, cara Chatrin bersandar pada kami, dan cara kami saling merawat… aku tahu satu hal dengan jelas: Intimate partner-ku bukan lagi hanya Centia. Kini, Chatrin telah menjadi bagian dari hubungan ini—bagian yang tidak kuprediksi, tetapi terasa natural. Seolah kami memang sudah seharusnya berjalan bersama, mengisi ruang di sekitar Jo dengan cara kami masing-masing. Aku mengembuskan napas perlahan. Ada ketenangan aneh yang mengisi dadaku. Entah bagaimana, aku merasa… siap. Siap menjalani hari-hari berikutnya bersama Jo, bersama Centia, dan kini—bersama Chatrin. ----------Bersambung ke Rara Series 4—Intimate Partner II----------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN