Kamar itu masih hangat, seolah menyimpan jejak yang baru saja kami alami bertiga. Napas Chatrin sudah lebih tenang, sementara Jo duduk di tepi ranjang dengan tatapan yang sulit kupahami. Bukan hanya lelah atau puas… ada sesuatu yang terasa lebih dalam.
Aku berdiri tidak jauh dari mereka. Ponsel di tanganku terasa dingin, berbeda dengan tubuhku yang masih menyimpan sisa getaran halus yang sulit kujelaskan. Aneh, tapi juga terasa benar.
Chatrin meneguk sisa air di gelas lalu menoleh padaku. Tatapan kami bertemu sebentar—sangat singkat—tapi cukup membuat dadaku terasa hangat. Ada pengakuan kecil di matanya. Bukan permintaan atau keraguan… lebih seperti cara halus untuk mengatakan bahwa dia melihatku dan aku benar-benar hadir bersama mereka.
Jo merapikan selimut di sekitar Chatrin. Gerakannya lembut, seolah ia menjaga sesuatu yang berarti, dan aku merasakan sesuatu dalam diriku bergeser. Bukan rasa cemburu. Justru sebaliknya. Rasanya seperti menemukan ruang baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Saat Jo menatapku—mengangkat wajah sedikit dan memberi isyarat tanpa kata—ada rasa halus yang turun perlahan di perutku. Bukan karena apa yang baru saja terjadi, tapi karena kemungkinan yang mungkin tumbuh setelah ini. Peranku terasa berubah. Atau mungkin bukan berubah, tapi melebar.
Ada kedekatan tipis di udara—cukup untuk membuatku sadar bahwa aku tidak lagi berada di luar lingkaran. Aku menatap Chatrin, lalu Jo. Dan aku tahu… aku siap melangkah lebih jauh bersama mereka.
Chatrin awalnya hanya diam sambil memeluk gelas air yang sudah kosong. Tapi aku bisa melihat perubahan kecil di wajahnya—bibirnya mulai bergetar, seakan menahan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa lelah. Chatrin menangis. Bukan keras, bukan tersedu-sedu, hanya tangis pelan yang seolah menahan banyak hal sekaligus.
Jo langsung menegakkan tubuhnya.
“Chatrin… hey,” ucapnya lembut.
“Kamu kenapa?”
Chatrin tidak langsung menjawab.
Beberapa detik berlalu sebelum ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan suaranya pecah.
“Aku… aku takut… Mas…” isaknya keluar, tersendat.
“Aku baru… pertama kali… dan aku nggak tahu kenapa rasanya tiba-tiba… berat banget.”
Tatapannya Jo melembut, penuh kesadaran yang datang terlambat tetapi tetap tulus.
“Aku ngerti,” katanya pelan, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu suasana.
“Maaf kalau kamu merasa kewalahan.”
Tapi Chatrin menggeleng dan kembali menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mulai turun, bukan karena menyesal, tetapi karena campuran perasaan yang rumit—perasaan yang hanya dialami seseorang saat melewati momen pertama yang besar dalam hidupnya.
“Aku… aku baru pertama kali… dan aku—” katanya tersengal.
“Takut… kalau aku nggak siap. Takut… kalau setelah ini semuanya berubah. Takut… aku salah.”
Jantungku berdebar. Ada luka halus di setiap kata yang ia ucapkan, bukan penyesalan—lebih seperti kebingungan seorang perempuan yang baru melewati sesuatu yang besar dalam hidupnya.
Aku mendekat pelan dan duduk di sisi berlawanan dari Jo. Dengan hati-hati, aku menyentuh punggungnya. Aku ingin Chatrin tahu bahwa ia tidak sendirian.
“Chatrin… lihat aku.”
Ia menurunkan tangannya. Tatapannya berkabut, tapi jelas sedang mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan.
“Kamu nggak sendirian,” kataku lembut.
“Kamu nggak melakukan apa pun yang salah. Dan hal-hal lain… nggak akan berubah secepat yang kamu kira. Kita masih di sini. Aku dan Jo… dua-duanya tetap di sini.”
Jo mengangguk pelan, lalu menambahkan dengan suara yang hangat namun tegas,
“Yang terjadi barusan bukan sesuatu yang harus kamu tanggung sendirian. Kalau kamu merasa takut atau nggak yakin, kamu boleh ngomong ke aku atau Rara. Kapan pun.”
Chatrin mengusap matanya, meski tangisnya belum benar-benar mereda.
“Aku cuma… aku cuma merasa semuanya terlalu cepat… dan aku nggak tahu harus gimana…”
Jo mendekat sedikit, duduk di sebelahnya, lalu Chatrin malah bersandar pelan ke arahnya. Gerakannya halus, seolah tubuhnya memilih tempat aman itu tanpa berpikir.
“Apa kamu nyesel?” Jo bertanya hati-hati.
Pertanyaan itu tidak mendesak, hanya memberi ruang baginya untuk berpikir lebih jauh.
Chatrin menggeleng pelan. Air mata lain jatuh, tetapi kali ini disertai senyum kecil yang bergetar.
“Bukan nyesel, Mas. Cuma… semuanya terasa besar banget. Terlalu besar. Aku juga takut… kalau nanti aku bakal sendirian… kalau kalian ninggalin aku… aku gak tahu harus gimana nanti…”
Aku mengangguk, memahami perasaannya. Kali pertama memang sering begitu—intens, asing, dan kadang terasa menakutkan. Aku mengusap punggungnya lebih pelan, seperti ritme yang menenangkan.
“Chatrin,” bisikku,
“Kamu nggak sendirian. Nggak ada yang ninggalin kamu. Kita sama-sama di sini, oke?”
Jo mengusap rambutnya perlahan, gerakan hangat tanpa maksud apa pun selain menenangkan.
“Kamu aman, Chatrin. Kamu nggak harus kuat sekarang. Kamu cukup jadi dirimu.”
Ia menatap kami berdua, seolah ingin memastikan bahwa kata-kata tadi benar-benar bisa dipercaya. Perlahan, ia mengangguk, lalu kembali menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku bisa merasakan napasnya yang mulai tenang, meski masih sedikit tersengal. Ada campuran lega, takut, dan hangat dalam dirinya.
Jo menatap kami berdua. Ada sesuatu di matanya—semacam rasa tanggung jawab baru yang muncul setelah melihat betapa rapuh dan jujurnya seseorang ketika membuka bagian penting dari dirinya.
“Aku ada di sini,” Jo berkata pelan.
“Kalian berdua… penting buat aku.”
Aku merasakan tubuh Chatrin bereaksi pada kata-kata itu, bukan dengan cemas, tetapi dengan rasa diterima. Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa kami bertiga benar-benar berada dalam satu ruang yang sama—bukan hanya tubuh yang berdekatan, tapi hati yang perlahan mencoba menyatu tanpa paksaan.
Chatrin bersandar di bahuku dengan tubuh yang masih bergetar, bukan lagi karena ketegangan sebelumnya, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—ketakutan lama yang akhirnya muncul malam ini.
Aku bisa merasakan betapa rapuhnya ia saat itu. Rasanya seperti memegang sesuatu yang mudah goyah, bukan karena ia lemah, tetapi karena ia baru membuka bagian dirinya yang selama ini ia jaga begitu kuat.
Aku mengelus lengannya perlahan, dengan ritme yang tetap stabil agar ia bisa menemukan napasnya sendiri.
“Chatrin…” bisikku lembut.
“Nggak ada satu pun dari kita yang mau kamu merasa sendirian setelah ini.”
Ia menarik napas panjang, seperti mencoba menahan isak yang ingin kembali pecah. Lalu bahunya melemah, seolah ia akhirnya memberi dirinya izin untuk tidak bertahan sendirian.
Chatrin masih bersandar di bahuku, napasnya mulai teratur. Namun aku bisa merasakan sesuatu berubah di tubuhnya—ketegangan kecil yang kembali muncul, seolah ada kekhawatiran baru yang menekan dari dalam.
Ia menarik diri perlahan, cukup jauh untuk menatapku lalu Jo. Tatapannya bergetar; kali ini bukan hanya karena takut ditinggalkan. Ada kecemasan yang lebih konkret, lebih mendesak.
“Mas…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang takut keluar.
“Aku… aku takut. Tadi… kamu…”
Ia berhenti, jelas kesulitan untuk menyebutkannya.
“Tadi… kamu keluar di dalam. Aku takut… kalau aku bisa hamil.”
Jo langsung terdiam—bukan karena marah atau kaget, melainkan karena ia memahami betapa berat kekhawatiran itu bagi Chatrin, terutama setelah malam yang begitu intens secara emosional.
Ia menghela napas pelan, lalu meraih tangan Chatrin dan menggenggamnya dengan hangat.
“Chatrin,” Jo melanjutkan, suaranya tenang.
“Kapan terakhir kamu menstruasi?”
Chatrin mengerjap, mencoba mengingat.
“Empat hari yang lalu, Mas. Dan biasanya siklusku normal, nggak pernah telat.”
Jo mengangguk, menimbang.
“Kalau begitu… kamu sedang berada di masa yang relatif aman. Tapi tetap… aku nggak mau kamu cemas.”
Aku melihat wajah Chatrin sedikit lebih tenang, meski masih ada sisa kekhawatiran di matanya.
Lalu Jo menoleh padaku, ekspresinya lembut namun tegas.
“Ra… bisa tolong ambilin obat darurat di tasku? Tasku di kamar Danis, lantai dua.”
Nada suaranya bukan menyuruh—tapi meminta dengan penuh tanggung jawab.
Aku mengangguk tanpa ragu, merasa jelas apa peranku saat ini.
“Obat pencegah kehamilan darurat, kan? Okee. Aku ambil.”
Jo lalu mengangguk. Chatrin menatapku cepat, seolah ingin memastikan ia tidak menyulitkan siapa pun.
“Maaf… kalau ngerepotin Mbak…”
Aku merasa sesuatu dalam diriku menghangat. Bukan hanya karena kepercayaan yang Jo berikan, tapi karena cara ia menjaga Chatrin—dan bagaimana aku punya peran dalam membuat gadis itu merasa aman.
“Nggak usah minta maaf, Trin. Kita jaga kamu. Itu yang penting.”
Ada sesuatu yang berubah di ekspresi Chatrin—kelegaan kecil karena ia tahu ia tidak harus menghadapi ketakutan itu sendirian. Sebelum aku melangkah pergi, Chatrin memanggilku dengan suara lembut.
“Mbak… makasih ya.”
Tatapannya penuh campuran lega dan takut yang akhirnya bisa ia lepaskan.
Aku mendekat sedikit, menyentuh bahunya.
“Kamu nggak sendirian, Chatrin. Kita jaga ini semua bareng-bareng, oke?”
Ia mengangguk. Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat senyum kecil Chatrin yang benar-benar berasal dari rasa lega—bukan kebingungan atau ketakutan.
Kemudian aku berjalan keluar kamar dan menaiki tangga perlahan, langkahku terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena lelah, tetapi karena kenangan yang tiba-tiba muncul begitu jelas. Kamar Danis berada di ujung lorong, namun pikiranku melayang ke tempat lain—ke malam yang pernah kulalui bersama Jo.
Bukan detail fisiknya yang muncul, melainkan perasaannya: campuran takut, gugup, dan rasa percaya yang begitu besar hingga aku berani melangkah waktu itu. Dan sama seperti Chatrin malam ini, aku juga pernah ketakutan setelah semuanya usai—takut akan perubahan, risiko, dan kemungkinan yang menunggu setelahnya. Takut kalau tubuhku tidak siap, takut jika sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi.
Dan aku masih ingat jelas bagaimana Jo menenangkanku. Bukan dengan kata-kata panjang, tetapi dengan sikap yang tenang, bertanggung jawab, dan tidak pernah membuatku merasa sendirian. Termasuk ketika ia memberiku solusi yang sama seperti malam ini—perlindungan darurat agar aku tetap aman. Dan nyatanya… hingga sekarang aku tetap aman. Tidak ada ketakutan yang menjadi kenyataan.
Mengenang itu membuat dadaku terasa penuh. Bukan karena sesal atau nostalgia, tapi karena mengerti sesuatu: Aku dulu seperti Chatrin. Dan malam ini, aku bisa menjadi orang yang dulu aku butuhkan.
Aku meraih tas Jo di meja dan menemukan kotak itu. Sambil menggenggamnya, aku menarik napas panjang.
“Aku bisa bantu dia melewati ini,” gumamku.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa peranku jelas. Bukan sekadar bagian dari hubungan ini… tapi sosok yang bisa menjembatani rasa takut seseorang yang baru saja membuka babak baru dalam hidupnya.
Aku menarik napas panjang, membiarkan pikiranku kembali stabil sebelum turun lagi ke bawah.
Saat aku masuk kembali ke kamar, suasana masih lembut dan terasa hangat. Cahaya lampu tidur menyinari wajah Chatrin yang tampak lebih tenang, meski jelas ia masih memproses banyak hal.
Jo menatapku begitu aku masuk, dan ada sesuatu di matanya—sebuah pengakuan tenang bahwa dia tahu aku mengerti perasaan Chatrin bukan hanya dari melihat… tapi dari pengalamanku sendiri.
Aku duduk kembali di sisi Chatrin dan menyerahkan obat itu pelan.
“Nih, Trin,” kataku lembut.
“Kamu minum ini. Kamu nggak perlu cemas lagi, pasti aman...”
Chatrin menatap obat itu, lalu menatapku. Ada kebingungan, tapi juga kepercayaan.
“Mbak… yakin ini bakal aman?” suaranya lirih.
Aku mengangguk, dan untuk pertama kalinya aku merasa kata-kataku punya makna berbeda.
“Dulu aku juga takut, kayak kamu,” kataku pelan.
“Jo ngasih obat yang sama… dan semuanya aman. Sampai sekarang pun aku baik-baik aja kan?”
Chatrin menatapku. Ada rasa percaya baru di matanya—rapuh, tetapi jelas terasa.
“Okee Mbak… makasih,” bisiknya.
Jo mendekat sedikit dan berkata,
“Kita pastikan kamu nggak perlu mikir sendirian, Chatrin. Kamu aman… bareng kita.”
Pelan-pelan, Chatrin mengangguk dan meminum obat itu sambil memegang tanganku.
Dan saat aku merasakan genggamannya… aku sadar sesuatu: Aku tidak hanya menjadi bagian dari momen ini. Aku menjadi jembatan antara rasa takutnya dan rasa aman yang ingin kami berikan padanya.
Chatrin menatapku setelah menelan obat itu, matanya masih lembut tetapi dipenuhi rasa ingin tahu.
“Mbak Rara… kok bisa kamu sama Mas Jo jadi sedekat itu?”
Nada suaranya bukan ingin mengusik, melainkan benar-benar ingin memahami—mungkin agar ia tahu apakah apa yang ia rasakan malam ini masih dalam batas wajar. Aku menarik napas pelan sebelum menjawab Chatrin. Kalau aku ingin dia merasa aman, aku harus jujur tanpa membuatnya tertekan.
“Trin…” aku mulai bicara dengan suara rendah,
“kalau kamu nanya gimana aku bisa sedekat itu sama Jo? Perjalanan kami nggak sederhana. Dan jujur, aku dulu sama kayak kamu—takut, bingung, tapi juga penasaran.”
Chatrin menatapku dengan perhatian penuh. Jo tetap diam, seperti ingin memberiku ruang untuk bicara.
Aku melanjutkan.
“Semua bermula Jumat malam… di klub malam.”
Aku tersenyum kecil, mengingat sesuatu yang masih terasa hangat di dadaku.
“Waktu itu aku, Jo, dan Centia lagi sama-sama di klub malam. Musik keras, lampu gelap—tapi entah kenapa, tatapan Jo waktu itu… terlalu jelas buat aku hindari. Dan tiba-tiba dia nyium aku. Bukan yang agresif, bukan maksa… tapi yang langsung bikin aku berhenti mikir.”
Aku sempat menunduk, membiarkan ingatan itu lewat sebentar, lalu kembali menatap Chatrin.
“Ciuman itu… ngebuat aku sadar kalau ada sesuatu di antara kami. Sesuatu yang dari awal terasa kuat.”
Chatrin mengangguk pelan, masih memegang tanganku.
“Terus?” bisiknya.
“Terus…” Aku menghela napas, menenangkan diri dari kenangan yang terasa terlalu dalam.
“Sabtu subuh, kami nginep di kamar apartemen. Dan… aku bikin keputusan besar.”
Aku pun berhenti sebentar sebelum melanjutkan,
“Tapi ada satu hal yang mungkin bakal bikin kamu kaget, Trin.”
Chatrin mengangkat wajah, jelas menunggu.
“Waktu itu… aku sama Jo nggak cuma berdua. Tapi, ada Centia juga... Dan semuanya terjadi dengan cara yang hampir sama kayak malam ini. Nggak ada paksaan, nggak ada tekanan. Kami bertiga udah ngerasa aman satu sama lain. Semuanya ngalir dengan sendirinya.”
Tatapanku tetap lembut supaya dia tidak merasa tertekan.
“Aku yang minta waktu itu. Karena aku ngerasa aman. Karena aku percaya sama mereka. Dan aku nggak nyesel sama sekali, itu semua karena cara Jo dan Centia ngejagain aku, buat aku ngerasa nyaman.”
Chatrin menelan ludah, mungkin tersentuh dan sedikit terkejut—namun tetap mendengarkan ceritaku.
“Sabtu pagi, Centia pulang,” aku melanjutkan ceritaku,
“aku cuma berdua sama Jo di apartemen, sampai sore. Aku jadi makin hanyut sama permainannya.”
Aku menatap Jo, dan ia menunduk sedikit. Senyum tipis muncul di bibirnya, seperti ia mengingat hari itu juga.
“Dia nggak nyuruh aku langsung nerima. Dia cuma… sabar. Dia dengerin aku. Dia perhatiin setiap gerakanku, seolah dia tahu kapan aku nyaman dan kapan aku nggak. Itu yang bikin aku percaya sama dia.”
Chatrin memejamkan mata, seakan mencoba memahami bentuk rasa aman yang sedang aku ceritakan.
“Lalu Sabtu malam…” aku tertawa kecil.
“Kami main di rumahku ini. Dan lucu sih… rasanya rumah yang selama ini sepi tiba-tiba punya atmosfer beda. Lebih hangat, lebih hidup.”
Aku merapikan rambut di belakang telinga sebelum melanjutkan.
“Terus Minggu siang, kamu inget kan waktu kita lagi nongkrong… dan itu pertama kalinya aku sadar sesuatu.”
Aku menatap Chatrin, memastikan maksudku jelas.
“Bahwa aku nggak cuma dekat sama Jo.”
Aku menelan ludah pelan.
“Aku juga ngerasa ditarik sama Centia. Cara dia lihat aku… kayak dia ngerti apa yang Jo ngerti. Tapi dengan energi yang beda. Dan aku nggak takut sama itu.”
Chatrin sedikit terbelalak, seperti sedang mencoba memahami alur yang mulai ia kenal.
“Dan Minggu malam…”
Senyumku melembut.
“Video call itu. Aku dan Centia ngobrol panjang sama Jo. Kami bertiga saling membuka diri. Bukan karena aku berani… tapi karena aku ngerasa aman sewaktu sama mereka. Itu pertama kalinya aku sadar kalau rasa dekat itu… bisa tumbuh lebih dari yang aku kira.”
Aku kembali menatap Chatrin.
“Jadi kalau kamu ngerasa bingung malam ini… kalau kamu ngerasa tertarik, atau takut, atau nggak paham kenapa hati kamu bergerak ke arah ini…”
Aku meraih kedua tangannya.
“Itu wajar, Trin. Aku dulu sama. Dan aku bisa jalan sejauh ini bukan karena aku ngerti segalanya, tapi karena aku dijaga. Dan karena aku milih buat percaya.”
Ia memandangku lama, seperti mencoba menilai apakah kata-kataku cukup kuat untuk ia jadikan pegangan.
“Mbak…” katanya lirih,
“jadi aku… nggak aneh kalau aku mau lebih dekat sama kalian bertiga?”
Aku tersenyum lembut, tulus, hangat.
“Trin… itu sama sekali nggak aneh.”
Lalu aku menambahkan, sangat pelan:
“Itu manusiawi.”
Jo menggeser posisinya mendekat ke kami berdua. Cahaya lampu kamar memantulkan sesuatu yang lembut di wajahnya—bukan sebuah pembelaan, tapi ketenangan seseorang yang tahu apa yang ingin akan ia tegaskan.
Ia menatap Chatrin dulu, lalu menatapku, seperti ingin memastikan kami berdua siap mendengarnya.
“Trin…” katanya pelan namun sangat jelas,
“kedekatanku sama Rara… atau sama Centia… itu bukan soal sayang dalam arti yang kamu bayangin.”
Aku merasakan napas Chatrin yang sedikit naik-turun di sampingku. Ia memperhatikan Jo dengan fokus.
Jo melanjutkan, suaranya seperti selimut yang ringan tapi kuat:
“Itu soal saling percaya. Saling jaga. Kami bertiga lewat banyak hal. Dan hubungan itu tumbuh, karena aman.”
Kata aman itu terasa di dalam dadaku. Aku tahu persis apa maksudnya. Karena aku sendiri merasakannya.
Jo menatap Chatrin lebih lama sekarang.
“Kedekatanku sama mereka… bukan karena aku harus milih siapa. Bukan juga karena aku punya rasa khusus ke semua orang. Tapi karena mereka pernah ngerasa rapuh di depan aku, dan aku ada buat mereka.”
Aku merasakan kehangatan pelan menjalar di dadaku. Bukan romantis—tapi… diakui. Dilihat.
Chatrin mengusap matanya pelan, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Berarti… Mbak Centia juga kayak aku? Kayak Mbak Rara?”
Nada suaranya bukan cemburu, lebih seperti seseorang yang ingin tahu apakah ia sendirian dalam kebingungan yang ia rasakan. Aku menoleh ke arahnya dan memegang tangannya.
Jo menggeleng pelan.
“Enggak, Trin,” katanya lembut.
“Mereka… beda-beda. Kamu juga beda. Perasaan masing-masing kalian beda. Yang sama cuma satu… kalian percaya sama aku, dan aku percaya sama kalian.”
Aku bisa melihat sesuatu berubah di wajah Chatrin—rasa lega kecil yang mulai muncul.
Jo menambahkan, lebih pelan:
“Kedekatan itu bukan karena aku sayang sama semua orang dengan cara yang sama. Tapi karena aku mau menghargai kalian. Dan aku nggak akan biarkan salah satu dari kalian ngerasa bersaing atau dibandingkan.”
Aku tidak bisa menahan senyum kecil. Karena itu benar. Karena aku sendiri sudah merasakan bagaimana Jo tidak pernah membuatku merasa lebih rendah… atau lebih tinggi… atau dipilih.
Chatrin menatapku.
“Apa… kayak gitu juga yang kamu rasain waktu kamu dekat sama Mbak Centia, Mbak?”
Aku mengangguk, dan aku bisa melihat bahunya sedikit mengendur karena jawabanku datang tanpa ragu.
“Iya, Trin. Sama persis. Aku sama Centia… bukan karena bersaing. Justru karena kami saling ngerti, saling jaga. Ada ruang aman antara kami berdua yang tumbuh pelan-pelan.”
Aku tersenyum lembut.
“Dan itu nggak bikin rasa dekatku sama Jo berkurang. Nggak juga bikin aku ngerasa harus milih.”
Chatrin menghela napas panjang, seperti sejak tadi ia menahan sesuatu di dadanya.
“Jadi…” ia menatap kami berdua,
“…kalau aku juga ngerasa nyaman sama kalian… itu nggak salah?”
Aku menatap wajahnya sebentar—rapuh, takut, tapi tulus, lalu meraih tangannya dan menautkan jari kami.
“Itu bukan salah. Itu cuma berarti kamu mulai percaya. Sama kami berdua. Dan itu sesuatu yang… indah.”
Jo mengangguk, menambahkan dengan suara hampir seperti bisikan yang menenangkan:
“Kamu nggak harus ngerti semuanya malam ini. Kamu cuma perlu tahu satu hal: kamu aman sama kami.”
Chatrin menutup matanya sebentar, lalu bersandar pelan ke bahuku. Kali ini bukan karena takut, tapi karena menerima bahwa ia boleh merasa dekat… tanpa harus menganggap semuanya sebagai cinta, pilihan besar, atau sesuatu yang harus cepat ia tentukan. Hanya kedekatan, kepercayaan, dan rasa dijaga.
Dan saat melihatnya bersandar begitu tenang, aku merasakan sesuatu lain muncul di dadaku—rasa nostalgia tentang perjalanan panjangku bersama Jo dan Centia, tentang bagaimana semuanya tumbuh perlahan dari kepercayaan yang sederhana. Kini, dengan Chatrin, aku tahu sebuah bab baru sedang dimulai.