Tubuhku masih bergetar kecil. Bukan karena apa yang tadi terjadi secara fisik, tetapi karena situasinya—karena rahasia itu. Kedekatanku dengan Jo membuat semuanya terasa lebih rumit, sementara Centia seperti biasa mampu membaca keadaan dengan mudah. Yang membuatku semakin gugup adalah kenyataan bahwa kami semua kini duduk di meja yang sama, berpura-pura tidak ada apa pun yang berbeda.
Aku merasa seperti ada dua versi diriku sedang duduk berdampingan. Di satu sisi ada diriku yang dilihat teman-temanku. Tenang. Lapar. Mungkin sedikit lelah. Di sisi lain ada versi diriku yang paham bahwa di pertemuan ini, ada sesuatu yang bergerak diam-diam. Sesuatu yang hanya diketahui oleh aku, Jo, dan Centia.
Aku memperhatikan Centia dari sudut mataku. Ia tertawa kecil bersama Chatrin dan Tian sambil memegang sedotan minumannya, tangannya ikut bergerak mengikuti ceritanya. Di sela semua itu, ia sempat melirikku. Hanya sebentar—sangat sebentar. Tapi aku langsung paham maknanya: Aku di sini. Tenang saja.
Aneh, tapi justru itu membuat dadaku terasa hangat. Mereka berdua—Jo dan Centia—seolah memainkan peran berbeda, tapi pada akhirnya… sama-sama melindungiku. Aku mulai bisa bernapas lebih stabil.
Namun Chatrin kembali melirikku, dan dari tatapannya aku tahu rasa penasarannya masih belum hilang.
“Hmm Mbak Ra, serius kamu nggak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini lebih lembut.
Aku ingin menjawab, tetapi Jo sudah menyela lebih dulu.
“Rara kalau kelamaan nunggu suka auto low-batt, Trin. Tinggal di-charge pakai makanan, beres.”
Nadanya ringan, sedikit bercanda, tapi justru itu membuat penjelasannya terdengar wajar dan masuk akal. Chatrin langsung mengangguk sambil sedikit tertawa.
“Ahh… iya iya, masuk akal.”
Aku mengembuskan napas pelan. Rasanya seperti baru saja diselamatkan tanpa ada yang menyadarinya.
Centia mencondongkan tubuh sedikit, lalu berbisik sangat pelan tanpa benar-benar menggerakkan bibirnya:
“Kamu hebat, Ra.”
Kata-katanya singkat. Sederhana. Tapi cara ia mengatakannya terasa seperti selimut hangat yang menenangkan tubuhku—yang masih dibakar rasa malu dan tegang. Telapak tangannya mengusap punggungku lembut. Usapannya itu, memberiku kekuatan untuk terus menjalani yang terjadi dan bersikap biasa di depan yang lain.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan pipiku yang memanas karena pujian Centia. Namun di balik itu, ada sesuatu yang lain… sesuatu yang lebih dalam. Bukan tentang apa yang terjadi barusan. Tapi tentang bagaimana hubungan kami bertiga berjalan—bisa saling mengisi dalam hal-hal kecil seperti ini.
Perlahan aku mulai sadar: ini bukan hanya tentang apa yang mereka lakukan padaku, tetapi tentang bagaimana mereka tahu kapan harus menahan, menghentikan, dan menenangkan. Mungkin… semua hal itulah yang membuatku semakin mudah mengikuti ritme mereka, menjadi bagian dari dunia mereka.
Untuk pertama kalinya sejak tadi, aku mengangkat wajah dan melihat ke arah mereka. Jo tidak menatapku. Centia pura-pura sibuk. Tapi aku tahu mereka sadar. Dan aku merasa… benar-benar “ada” di antara mereka.
Makanan di meja hampir habis, gelas-gelas mulai menyisakan separuh minuman, dan obrolan kami perlahan berhenti. Dari jendela, langit semakin gelap; seperti siap turun hujan kapan saja.
“Kayaknya bentar lagi hujan deh,” kata Tian sambil memutar sedotan dan mengangkat bahu.
Chatrin dan Tian sontak menoleh ke arah pintu kaca di sebelah kiri mereka.
“Waduh… Aku lupa nggak bawa jas hujan lagi,” ujar Via sambil merapatkan lengannya.
Lia tertawa pelan.
“Ya ampun, Mbak. Kamu tuh sudah dibilang langsung masukin jas hujannya ke jok motor. Tapi tetap aja nggak dilakuin…” katanya sambil menggeleng geli.
“Namanya juga lupa. Gimana sihh..”, sahut Via sambil mengomel.
“Kalau hujan, susah deh kita pulangnya…” ucap Chatrin sambil menguap kecil.
“Kalau hujan ya udah nunggu reda. Santai aja,” ujar Danis sambil menyeruput minumannya yang terakhir.
Sebagai yang paling termuda diantara kami kalimatnya selalu padat dan sederhana, seperti biasanya. Tapi aku tahu, diam-diam dia suka berada di tengah-tengah kami. Aku meraih gelasku. Tanganku masih sedikit gemetar. Tubuhku masih menyimpan sisa ketegangan dari hal yang hanya dimengerti aku, Jo, dan Centia.
“Mbak Ra… nanti pulang langsung istirahat aja ya, mbak kelihatan capek.” ujar Chatrin dengan nada tulus.
Via dan Lia ikut menoleh juga ke arahku,
“Iya Mbak... Wajahnya pucat banget kayaknya.”
“Iyanih dari tadi, Mbak Rara juga diam aja.”
Sejenak aku terharu menatap mereka. Bahkan Tian yang ada di sebelah Cathrin ikut mengangguk setuju. Inilah alasan kenapa mereka, sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri.
“Makasih, gaes... Aku nggak apa-apa kok,” jawabku.
“Habis ini, kita langsung keluar aja sebelum hujan,” ujar Jo.
Aku melihat ia mengedipkan matanya kepadaku—kode kecil yang hanya aku pahami: kondisi sudah aman.
Saat langit di luar semakin gelap, Centia sempat menatapku sebentar. Tatapannya memberi isyarat halus—yang hanya aku mengerti. Ia kemudian berdiri perlahan sambil merapikan rambutnya.
“Ra, temenin aku bentar ke kamar mandi dong,” katanya dengan nada santai, seolah itu ajakan biasa.
Aku mengangguk. Tentu saja tidak ada yang curiga dengan ajakan itu.
Sesampainya di kamar mandi, suasana terasa tenang dan sedikit bergema. Centia menarik tanganku perlahan ke dalam salah satu bilik, kemudian menutup pintu, memastikan tidak ada orang lain masuk.
“Sini… kita lepas dulu mainannya, biar kamu lebih nyaman buat pulang,” bisiknya lembut.
Aku menarik napas pendek. Masih ada sisa tegang di tubuhku sejak tadi, tapi gerakan Centia yang tenang dan teratur membuatku sedikit lebih rileks. Ia membantu melepas “alat” itu dari dalam vaginaku dengan hati-hati, tanpa membuat suara atau gerakan mencolok. Saat beban kecil itu akhirnya dilepaskan, aku merasa seperti bisa bernapas lebih lega—seperti tekanan yang menempel sejak awal mulai perlahan hilang.
“Udah,” katanya sambil tersenyum kecil, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Kamu bisa gerak bebas lagi.”
Aku mengangguk.
“Makasih Cent… Aku…”
“Ssshh… Kamu bakal baik-baik aja kok… Harus kuakui. Kamu kelihatan mulai terbiasa sama ini semua…”
Aku hanya tersenyum menanggapi pujiannya. Kami pun keluar dari kamar mandi seolah tidak ada apa-apa.
Saat kami kembali ke meja, yang lain sudah bersiap untuk pergi, merapikan barang masing-masing. Kami tahu kalau hujan bisa membuat perjalanan pulang jadi lebih sulit, jadi kami cepat-cepat bersiap untuk keluar. Danis, adikku, langsung berjalan menuju motorku. Via sudah bersama adiknya, Lia. Tian menunggu di dekat pintu, sementara Centia menghampirinya. Aku melihat Jo dan Chatrin yang masih sibuk mengenakan jaket.
Di tengah itu semua, sebuah ingatan muncul: permintaan Jo, beberapa waktu lalu, agar aku membantunya mendekatkan diri pada Chatrin. Tak pernah kubayangkan momen itu datang dengan cara sesederhana ini.
“Apa Jo boncengin Chatrin aja? Biar gampang pulangnya,” ucapku pelan, seolah hanya ide spontan.
Jo menoleh cepat. Matanya membesar sedikit—kaget, tapi jelas senang. Chatrin hanya mengangguk singkat sambil tersenyum kecil, tak curiga apa-apa. Melihat itu, aku merasa ada sesuatu yang mengendur di dadaku, sesuatu yang tadinya tegang sejak tadi. Lalu aku melirik Tian dan Centia yang berdiri saling menunggu.
“Kalian bareng aja, ya. Rumah kalian kan searah,” tambahku.
Centia sempat menatapku sekilas—tatapan yang sama seperti tadi, penuh sesuatu yang tak terucap. Tian hanya mengangguk santai, menerima tanpa banyak tanya. Sedangkan Chatrin tidak bereaksi apa-apa.
“Okedeh… Ayo pulang. Keburu hujan nanti…”, ucap Centia.
Hujan turun saat kami mulai berpisah di depan kafe. Bukan hujan deras—hanya rintik kecil yang membuat aroma tanah basah sedikit tercium. Aku berdiri di dekat motor Danis sambil mengecek barang-barangku.
Di sekelilingku terdengar mesin motor dinyalakan, dan tawa kecil dari Via dan Lia. Biasanya hal-hal itu lewat begitu saja, tapi hari ini terasa berbeda.
Centia sempat menoleh sebelum naik ke motor Tian. Tatapannya hanya sebentar, tapi cukup membuatku merasa diperhatikan—bukan dengan cara yang membuatku risih, lebih seperti… ia mengakui keberadaanku. Aku membalasnya dengan anggukan kecil. Rasanya seperti kami saling paham tanpa perlu bicara.
Jo juga sempat melirikku saat memastikan Chatrin sudah duduk nyaman. Tatapannya penuh dengan makna, tapi aku tetap bisa menangkap maksudnya. Kode kecil yang cuma kami berdua mengerti.
Kami semua lalu berkendara pelan di bawah hujan tipis. Jalanan basah, lampu-lampu memantul di permukaan aspal, dan udara dingin terasa menusuk kulit. Tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang bergerak—bukan gelisah, lebih seperti pertanyaan lama yang kembali muncul. Kenapa aku bisa merasa seaman itu dengan dua orang itu?
Setelah sampai rumah dan berganti pakaian, ponselku bergetar. Pesan dari Jo. Aku menatap layarnya sebentar tanpa langsung membuka pesannya. Ada rasa kecil yang muncul di perut—bukan gugup, tapi lebih seperti aku tahu kalau apa pun isi pesannya, itu akan menarikku lagi ke ritme yang sama.
Akhirnya aku membukanya. Satu pesan w******p dari Jo. Hanya terdiri dari dua kata:
“Cek Telegram.”
Aku mengerjap lalu membuka aplikasi itu. Di grup kecil kami bertiga—yang nama grupnya sengaja dibuat sesuai dengan hubungan rahasia kami bertiga—ada satu pesan baru dari Jo.
Bukan gambar. Bukan teks panjang. Tapi sebuah video berdurasi panjang. Thumbnail-nya gelap, siluet samar. Aku mengenalnya—atau lebih tepatnya, merasakan apa itu.
Centia sudah memberi react hati kecil di bawahnya. Tanda bahwa dia sudah menonton. Tanda bahwa video itu bukan ancaman, tapi sebagai pengingat atas apa yang sudah terjadi.
Tanganku bergetar saat aku membuka videonya. Itu adalah rekaman ketika aku menyerahkan segalanya kepada Jo: Keperawananku, seluruh tubuhku dan bagaimana aku jatuh dalam pelukannya. Terlihat jelas bagaimana ekspresiku saat memintanya, bagaimana aku memohon dan bagaimana aku menikmatinya.
Aku menonton video itu dengan napas yang terasa berat. Semuanya terlihat jauh lebih jelas dibanding saat aku mengalaminya sendiri—setiap gerakan, semuanya terekam dengan detail yang membuat dadaku terasa sesak.
Tanganku bergetar ketika rekaman itu mencapai bagian di mana ekspresiku mulai berubah—dari menikmati jadi kewalahan. Aku ingat bagaimana kuatnya Jo memegang pinggulku, bagaimana ia tetap pada ritmenya meski aku sudah mengeluarkan suara yang menunjukkan bahwa aku hampir tidak sanggup mengikuti iramanya lagi. Semua perubahan itu terekam dengan jelas oleh kamera.
Seluruh dunia terasa berhenti untukku. Aku hanya menatap layar yang terus berjalan, memperhatikan setiap detail dalam video itu sambil mengingat jelas bagaimana perasaanku saat berada di sana. Rasanya seperti aku kembali ke momen itu—diam, tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mampu melihat apa yang terjadi pada diriku.
Aku mencoba menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba berantakan. Video itu bukan sekadar rekaman. Itu bukti nyata dari sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi—sesuatu yang hanya kami bertiga tahu.
Tanganku bergetar saat aku menggeser layar, kembali ke grup chat Telegram dengan Jo dan Centia.
Pesan terakhir dari Jo masih jelas terlihat:
“Kamu ingat sekarang?”
Di bawahnya, Centia sudah memberi react hati lagi—seperti biasanya, mendukung tanpa banyak bicara.
Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetik balasan:
“…Kenapa baru dikirim?”
Beberapa detik setelah mengirimnya, aku langsung sadar betapa salahnya pertanyaan itu. Kalimat itu terdengar seperti aku memang ingin melihat videonya. Layar langsung bergetar ketika notifikasi masuk—pesan dari Jo:
“Biar kamu tau… selanjutnya bisa kita ulangi malam itu. Bahkan lebih dari sebelumnya.”
Aku tahu apa yang Jo maksud. Ia ingin mengulang semuanya—ingin melihat bagaimana aku bereaksi ketika seluruh tubuhku kembali terbawa oleh suasana malam itu. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana genggamannya yang kuat akan menahan tubuhku agar tetap berada di dekatnya.
Aku menyandarkan kepala ke kepala ranjang, berusaha menarik napas pelan sambil berharap semua sensasi yang masih tersisa di tubuhku perlahan menghilang. Namun akhirnya aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku mendorong diri untuk bangkit, mengambil handuk, dan memutuskan untuk pergi mandi—setidaknya agar pikiranku bisa sedikit jernih.
Setelah selesai mandi, aku langsung berjalan ke kamarku dengan handuk melingkari tubuh. Aku duduk di tepi ranjang sambil mengeringkan rambut pelan-pelan, berharap rasa berat di dadaku ikut hilang. Tapi tidak— rasanya seperti masih ada sesuatu yang belum selesai.
Saat aku merapikan rambut dengan jari, suara notifikasi telegram terdengar dari ponsel di meja kecil sebelah tempat tidur. Refleks, aku menoleh cepat. Satu pesan baru. Dari Jo. Di grup kami bertiga.
Aku mengambil ponsel itu dan menelan ludah sebelum membuka layarnya.
Pesannya singkat, tapi cukup membuat jantungku berdetak lebih cepat.
“Ra, kamu beli alat yang sama punya Centia ya. Ini link-nya.”
Sebuah tautan toko online muncul di bawahnya. Pesan itu membuatku terdiam. Bukan karena barangnya… tapi karena cara Jo menuliskannya. Tidak memaksa. Tidak juga meminta izin. Nada Jo selalu berada di antara hangat dan mengarahkan—tenang, tapi tetap memegang kendali. Dan anehnya, aku selalu merespons nada itu.
Aku menyandarkan punggung ke kepala ranjang, menggenggam ponsel lebih erat. Ada sesuatu yang menggulung pelan di perutku—campuran gugup, penasaran, dan perasaan seperti dipanggil kembali ke sesuatu yang pernah terjadi di antara kami. Kenapa harus aku juga? Dan kenapa aku… tidak langsung menolak?
Aku menarik napas panjang. Masalahnya bukan karena pesannya. Bukan tautannya. Bukan juga barangnya. Yang membuatku goyah adalah bagaimana Jo dan Centia bertindak seolah mereka yakin aku akan mengikuti ritme mereka lagi. Dan bagian diriku yang paling diam… merasa mereka mungkin tidak salah.
Tanganku sedikit bergetar saat aku mengetik balasan:
“Jo… kenapa aku juga harus beli?”
Aku menatap pesan itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menekankan tombol kirim. Waktu terasa berjalan sangat lambat, sampai akhirnya sebuah notifikasi baru muncul.
“Supaya kamu siap kalau nanti kita mau pakai itu lagi.”
Jariku secara refleks menyentuh layar, membuka laman itu. Halaman toko muncul perlahan, cahaya putihnya memantul di wajah. Aku menggulir sedikit. Laman itu sederhana. Foto barangnya tidak membuatku terkejut.
Aku mengenali bentuknya, atau lebih tepatnya, aku mengenali sensasinya. Sesuatu yang kemarin dan tadi aku gunakan. Bukan barangnya yang membuatku menelan ludah. Bukan bentuknya. Tapi kenyataan bahwa Jo meminta membeli barang itu, seolah itu sudah bagian dari sesuatu yang tak perlu dipertanyakan.
Lalu aku sadar sesuatu: Bukan Jo yang mendorongku mengambil keputusan. Aku yang membiarkan suaranya hidup dalam kepalaku. Ada bagian dari diriku yang… merespons. Yang tidak menolak. Yang justru penasaran bagaimana rasanya menjadi “siap”, seperti yang Jo inginkan.
Aku menekan tombol “Beli Sekarang”, mengisi alamat dan mengonfirmasi pembayaran. Setelah pesanan itu berhasil dan ponselku jatuh pelan ke atas d**a, aku menutup mata. Terasa hening. Tidak ada suara apa pun kecuali bunyi mesin AC dan detak jantungku yang masih belum mau tenang.
Aku menatap dinding kamarku lama, lalu menarik napas pelan.
“Kenapa aku semudah itu… merespons dia?”
Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban—tapi aku tahu satu hal:
Pengaruh Jo bukan lagi soal jarak. Bukan lagi soal pertemuan fisik. Melainkan sesuatu yang menempel di dalam pikiran—pengaruh yang berjalan diam-diam, halus, tapi tegas. Seperti kendali jarak jauh… yang sebenarnya hanya bekerja karena aku membiarkan tombolnya tetap aktif.
Dan itu yang membuatku menarik napas panjang. Bukan takut… tapi karena akhirnya aku sadar betapa rapuhnya diriku di hadapan Jo.