Setelah beberapa menit duduk diam di tepi ranjang, aku baru sadar kalau aku tidak benar-benar menarik napas dengan tenang sejak keluar dari kamar mandi. Ada getaran kecil yang tidak hilang—bukan di tubuhku saja, tapi di pikiranku. Dan aku tahu persis siapa penyebabnya: Jo.
Aku menggenggam ujung selimut, mencoba tetap fokus. Tapi tubuhku menolak diam. Ada sensasi halus, hampir seperti getaran kecil, yang muncul setiap kali aku mengingat caranya menyentuhku malam itu—cara Jo berdiri dekat… caranya meremas payudaraku, dan sensasi saat vaginaku dipenuhi oleh penisnya.
Aku memejamkan mata. Nafasku tidak sepenuhnya stabil. Ada kekosongan kecil di tubuhku, seperti tempat yang biasanya hangat, kini dibiarkan kosong terlalu lama.
“Apa ini… rindu?” bisikku pada diri sendiri.
Sebuah rasa rindu yang lembut—bukan menyakitkan, tapi tetap mendesak. Rasanya mengusik, membuatku gelisah. Seolah ada jarak yang harus segera kututup, jarak yang tak bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata.
Tanganku bergerak sendiri, meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di dekat bantal. Aku menatap layar kosong chat dari Jo cukup lama. Kerongkonganku terasa kering. Jantungku berdetak pelan namun mantap—seperti tubuhku tahu apa yang ingin kukatakan sebelum pikiranku siap.
Aku akhirnya mengetik perlahan, huruf demi huruf:
“Jo… aku kangen kamu. Aku jadi nggak tenang dari tadi, rasanya ada yang basah.”
Aku menatap pesanku lumayan lama. Kalimat itu sama sekali tidak sederhana, tapi setiap kata membawa getaran dalam tubuhku. Rindu yang membuat tubuhku bereaksi lebih dulu. Tak peduli ego atau gengsi lagi.
Dengan napas dalam, aku menekan tombol kirim. Dadaku terasa berat.
Aku menutup ponsel, tapi jemariku tetap gemetar sedikit—bukan karena takut, tapi karena akhirnya aku mengakui apa yang sejak tadi mengusikku: Aku merindukan Jo. Bukan sekadar kehadirannya. Bukan sekadar kata-katanya. Tapi cara dia membuatku tidak berdaya, merasakan kenikmatan sentuhannya.
Aku masih bisa merasakan bagaimana tubuhku bereaksi setelah mengirim pesan itu—kata-kata yang bahkan aku sendiri tidak percaya akhirnya kubiarkan keluar.
Beberapa detik berlalu. Lalu ponselku bergetar. Satu pesan dari Jo.
“Rara… kamu sadar nggak, kalau yang kamu rasakan itu bukan sekadar kangen belaka?” tulis Jo.
Pesan kedua muncul sebelum aku sempat membalas.
“Kamu kangen untuk disentuh, dimanjakan dan dipuaskan. Dan itu bukan salahmu… itu berarti tubuhmu sudah mulai terbiasa. Terbiasa untuk mencari kenikmatan…” tulis Jo lagi.
Aku menarik napas, tapi tetap terasa kurang. Ada sesuatu dalam nadanya…
“Kamu bilang kamu nggak tenang, kan? Itu namanya kamu lagi sange, Ra. Kamu tahu itu,” tulisnya.
Kalimat itu membuatku menggigit bibir tanpa sadar—karena nada dominannya, dan kata-katanya yang vulgar. Jo tidak bertanya. Jo menyimpulkan. Dan anehnya, aku selalu merasa dia benar ketika bicara seperti itu.
Ponselku bergetar lagi. Pesan kembali muncul di layar chatku dengan Jo.
“Makanya sedikit ingatan saja sudah bikin tubuhmu panas. Kamu memang sudah gampang sange… terutama kalau soal aku, karena kamu udah jadi pemuas nafsu pribadiku,” tambahnya.
Ada jeda beberapa detik. Aku bisa merasakan detak jantungku yang berdentum keras.
Dan sekarang, hanya lewat kata-katanya… dia membuat segala rasa yang sejak tadi kutahan, menjadi tidak mampu kukendalikan lagi. Betapa dia bisa menarik sisi liar dariku yang paling lemah, paling sensitif—lalu membuatnya terasa bukan sebagai kelemahan, tapi sesuatu yang… diterima.
Kupandangi pesan Jo yang terakhir. Tapi setelah beberapa detik—alih-alih membalasnya, aku malah terdiam. Kesadaran yang selama ini aku hindari karena terlalu menakutkan, bahkan untuk kuakui pada diriku sendiri.
“Jadi selama ini aku bukan cuma rindu sentuhannya… Aku rindu semua tentang Jo dan semua yang kami lewati bersama. Tapi.. gimana caranya? Dia bahkan nggak ada di sini..” gumamku pelan.
Aku rindu cara Jo memandangku seolah ia tahu persis apa yang terjadi dalam diriku. Aku juga rindu menjadi seseorang yang ia arahkan. Kurasa itu caranya membuatku merasa benar-benar dilihat—lebih dari siapa pun.
Rasa malu sekaligus… lega pun kurasakan. Akhirnya aku mengakuinya. Ada bagian dari diriku yang memang menginginkan semua kenikmatan itu lagi, lagi dan lagi. Aku menarik napas panjang dan menatap pesan-pesan itu sejenak. Jari-jariku mulai bergerak di atas layar.
“Jo…”
Awalnya hanya itu. Tapi ada sesuatu yang mendorongku terus menulis—sesuatu yang selama ini kusimpan rapat-rapat, sesuatu yang akhirnya menuntut untuk dipenuhi. Aku mengetik lagi.
“Semua yang kamu bilang barusan… itu benar.”
Aku berhenti sebentar. Ada getaran halus di dadaku—bukan takut, tapi semacam keberanian yang sudah lama tidak kurasakan. Keberanian untuk jujur pada diriku sendiri. Lalu aku melanjutkan.
“Aku bukan cuma kangen kamu, Aku kangen gimana kamu bikin aku… enggak berdaya.”
Aku menelan ludah. Kalimat berikutnya terasa seperti membuka pintu yang selama ini kutahan dari dalam.
“Kalau soal kamu, aku selalu ingin lebih Jo. Dan aku nggak mau pura-pura lagi.”
Ada jeda sebelum aku menulis kalimat terakhir—yang paling jujur, dan paling membuatku gemetar.
“Iya, Jo… aku sange. Banget bahkan. Aku nunggu kamu buat bisa muasin aku lagi.”
Aku menatap kata-kata itu terlalu lama, merasakan sensasinya. Tidak ada penyangkalan. Hanya kebenaran yang akhirnya kubiarkan keluar. Dengan napas pelan yang hampir seperti bisikan, aku menekan tombol kirim.
Rasa lega menyebar dari dadaku ke seluruh tubuh. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar jujur—bukan hanya kepada Jo, tapi juga kepada diriku sendiri. Ponselku bergetar sebelum aku sempat menenangkan diri.
Tak lama, muncul satu pesan baru dari Jo.
“Aku tahu semuanya, Ra.”
Memang hanya empat kata, tapi entah kenapa aku langsung merasakan sesuatu yang hangat bergerak di d**a.
Ponselku bergetar lagi.
“Kamu jujur banget barusan… dan aku suka.”
Kata-katanya tidak dingin, tidak vulgar, terasa seperti sentuhan hangat di tubuhku. Ia tahu caranya membuat kata sederhana seperti itu menjadi candu bagi tubuhku.
Aku menelan ludah. Lalu membalas pesannya mengikuti naluriku.
“Makasih Jo… Kalau bukan karena kamu… aku nggak akan ngerasain itu.”
Jo mengirim emoticon tertawa, sambil mengirim pesan :
“Kejutan nggak cuma sampai di situ aja Ra. Pindah ke telegram. Aku sama Centia bakal ajarin kamu hal baru. Aku yakin kamu bakal suka.”
Jantungku langsung memukul lebih cepat. Jari-jariku membeku. Bukan karena takut—tapi karena aku tahu persis apa artinya ketika Jo mulai melibatkan dinamika seperti itu. Ada getaran yang berbeda… bukan ragu, tapi campuran rasa malu, penasaran, dan sesuatu yang membuatku tertarik.
Aku menatap layar, menahan napas. Aku hanya berharap, kali ini aku bisa mengikuti ritme mereka berdua.
“Ke grup kita bertiga. Kamu, aku… sama Centia.”
“Okee Jo…”
Saat membuka telegram, pesan dari grup langsung muncul di paling atas, seolah sudah menungguku sejak tadi. Nama grup—Para Pelayan Jo—terlihat sangat menggodaku saat ini.
“Raa?” ketik Jo.
“Iyaa Jo…” balasku.
Beberapa detik kemudian Centia ikut menanggapi.
“Akhirnya Jo... Aku udah siap dari tadi nih...”
Tiba-tiba.. muncul satu notifikasi baru yang membuat jantungku bergetar: Centia started a video call.
Thumbnail panggilannya hanya menampilkan siluet samar di kamar yang remang—cukup untuk membuatku menahan napas. Telapak tanganku mulai berkeringat, terdorong oleh rasa penasaran yang merayap naik ke dadaku. Aku mencoba menarik napas pelan, meski getaran di ujung jariku belum juga hilang.
Perlahan, aku menekan tombol untuk bergabung. Layar langsung berubah.
Centia muncul di sana, duduk di kamarnya dengan pencahayaan redup. Lampu yang mengarah padanya membuat wajah dan kulitnya terlihat jelas, seolah ia hanya berjarak satu meter dariku. Rambutnya terurai lembut di bahu, memberi kesan memikat—tenang, elegan, tapi tetap memiliki daya tarik yang sulit diabaikan. Seksi mungkin adalah kata yang paling jujur untuk menggambarkannya saat itu.
Matanya menatap tajam langsung ke kamera, intens dan penuh maksud. Getaran halus muncul di dadaku ketika melihatnya. Rasanya siapa pun bisa tergoda olehnya. Bahkan aku pun begitu.
Beberapa detik kemudian, layar ikut terbagi. Jo muncul. Cahaya di kamarnya sedikit lebih terang dibandingkan milik Centia, tapi tidak mengurangi ketegasan aura di wajahnya. Ia menundukkan kepala sebentar untuk menyesuaikan posisi kamera, dan ketika ia menengadah—tatapannya langsung mengarah padaku.
Aku refleks terdiam. Rasanya seperti seluruh tubuhku ikut membeku ketika menyadari bahwa kini keduanya sedang menatap layar yang sama… dan menatapku.
“Centia… Tunjukin ke Rara caranya gimana caramu puasin tubuhmu sendiri.”, perintah Jo.
Tiba-tiba suara Jo memanggilku. Suaranya rendah tapi tegas, nyaris membuatku gelisah.
“Ra… lihat baik-baik.”, tegasnya.
Tanpa berkata apapun, Centia perlahan membuka baju tidurnya, memperlihatkan sebagian tubuhnya yang terkena pantulan lampu malam. Baru kusadari, dia hanya mengenakan baju tidur dan celana dalam tipis berwarna hitam. Membuatnya terlihat lebih berani. Aku berharap, aku juga bisa seberani itu.
Gerakan Centia terlihat pelan dan terkontrol, agar aku bisa melihat dengan jelas.
Tangan Centia bergerak turun, bergerak ke antara pahanya. Ia mendongak sebentar, matanya terpejam seolah sedang membiarkan sensasi itu mengalir. Suara samar dari gerakannya terdengar di panggilan—cukup untuk membuatku merinding karena sadar bahwa semuanya terjadi secara langsung, tepat di depan kami.
Aku hampir terpaku. Jo melanjutkan, suaranya lebih pelan namun jauh lebih langsung:
“Perhatikan cara Centia bikin dirinya sendiri panas dan basah, Ra...”
Mendengar suaranya langsung—bukan lewat chat—membuat semuanya terasa jauh lebih nyata.
Di layar, Centia masih bergerak dengan ritme yang ia tentukan sendiri. Salah satu tangannya sudah turun dan masuk ke celana dalamnya, gerakannya tersamarkan oleh kain tipis itu tapi tetap cukup jelas untuk membuat dadaku menegang lagi. Semua terasa terlalu dekat, terlalu intens, dan terlalu sulit untuk diabaikan.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjawab. Dengan tangan yang gemetar, aku berkata pelan ke mikrofon:
“Jo… Itu…”
Terdengar tawa pelan Jo dari panggilan,
“Nikmati tontonannya Ra…”
Tanganku masih mencengkeram ponsel, tidak yakin apakah aku benar-benar siap untuk melangkah sejauh ini. Tapi… ada bagian dari diriku yang tetap ingin melihat, ingin mencoba. Ada rasa penasaran tentang apa yang Jo maksud, dan bagaimana caranya membuatku merasakan hal yang tadi Centia tunjukkan.
Di panggilan video itu, Centia sudah tidak lagi memakai baju tidurnya. Siluet tubuhnya kini terlihat jelas. Bentuk tubuhnya, benar-benar mengingatkanku pada malam itu. Rasanya kini aku makin b*******h dan basah.
Centia lalu membawa ponsel miliknya, menyandarkannya di tempat yang membuat kamera cukup untuk menangkap semuanya. Tangannya mulai melepas celana dalam tipis yang dipakainya.
Dia berbaring di kasur seolah siap untuk hal yang lain. Awalnya, dia hanya mengusap-usap v****a miliknya sendiri dengan perlahan. Tidak perlu Centia menjelaskan, aku sudah paham kalau dia mulai terangsang. Gerakan tangannya pun mulai mengikuti ritme yang ia tentukan.
Satu jari mulai menembus masuk ke dalam lubang kenikmatannya.
“Ahhh… Sshhhh….”
Desahannya terdengar menggema di kamarku. Centia… Dia benar-benar seperti seorang ahli. Mataku pun terbelalak ketika jari keduanya mulai ikut menembus masuk. Apa dia tidak merasa kesakitan?
Aku mulai mendapatkan jawabannya, saat desahan Centia semakin keras seiring dengan jarinya yang keluar masuk sesuai ritme yang dia inginkan. Atau yang aku inginkan.
Tanpa sadar tanganku mulai ikut turun ke bawah. Dalam hati, aku juga menginginkan kenikmatan yang sama. Seperti menyadari reaksiku, Jo kembali memanggilku tiba-tiba dari panggilan, tegas tapi tenang,
“Raa…”
Aku refleks menjawab dengan pelan,
“Iya Jo…”
“Sekarang giliranmu. Kamu sudah siap kan? Satu jari dulu biar nggak kaget, terus kalau kurang penuh bisa tambahin satu jari lagi. Gerakin keluar masuk, sampai kamu puas.”
Nadanya membuatku langsung terpaku. Ia menambahkan dengan suara yang lebih rendah dan menggoda.
“Sampai kamu benar-benar basah karena cairanmu sendiri…”
Aku gemetar mendengar perintah Jo.
Kucoba menarik napas untuk menenangkan diri, tapi jantungku malah berdetak kencang. Mataku kembali ke layar—Centia masih bergerak, dan tanpa sadar aku mengikuti ritme napasnya yang naik turun.
“Buka bajumu Ra… Biarkan aku lihat tubuhmu sepenuhnya…”
Seakan aku bergerak hanya karena perintah Jo, aku meletakkan handphone di tempat dimana kamera menangkap setiap momennya. Lalu aku pun mulai membuka kancing bajuku. Satu per satu hingga menyisakan tubuh bagian atasku yang polos. Tanpa sehelai kain yang menutupi. Sekilas aku melihat wajah Jo terlihat puas.
“Teruskan Ra…”
Pelan-pelan, aku menurunkan tangan kiriku dan menyentuh vaginaku sendiri, hanya sebatas permukaan— sesuatu yang belum pernah kulakukan dengan kesadaran penuh seperti ini. Rasanya asing, canggung, dan membuatku bingung apakah aku harus berhenti atau terus mencoba.
Rasanya basah. Sangat basah.
Tapi anehnya… aku tidak ingin berhenti. Ada dorongan halus dalam diriku yang membuatku ingin mengikuti semua yang baru saja Jo ucapkan dan apa yang Centia perlihatkan di panggilan video itu. Seolah tubuhku bergerak lebih cepat daripada pikiranku, dan aku hanya bisa mengikuti arusnya.
“Buka celana dalammu Ra… Vaginamu indah. v****a kalian yang sudah jadi punyaku itu, sangat indah…”
Kata-kata Jo, membuatku semakin terpacu. Tangan kiriku bergerak, berusaha melepas kain tipis yang menutupi vaginaku. Dengan pelan, penuh hati-hati, jariku seolah mencari ritme yang terasa pas. Sementara itu aku menarik napas panjang lagi, mencoba meredakan rasa canggung yang makin terasa di dadaku.
Kakiku terbuka lebar di depan kamera. Awalnya aku malu. Namun ketika aku mengikuti dorongan kecil dalam diriku untuk bergerak sedikit lebih jauh, tubuhku justru merespons lebih cepat dan lebih kuat dari yang kupikirkan. Rasa gugup tadi seperti tersapu begitu saja, digantikan sensasi yang mendorongku untuk terus mencoba, seolah tubuhku lebih jujur daripada pikiranku.
Jari-jariku mulai mengusap vaginaku yang basah.
“Ssshhh…”, erangku pelan.
Satu jari, mulai masuk ke dalam lubang kenikmatanku sendiri. Geli, tapi mulai terasa nikmat. Kugerakkan keluar masuk perlahan. Oh.. kini aku tahu kenapa Centia bisa sangat menikmati ini.
Setelah beberapa saat, aku mulai mencoba memasukkan satu jari ke dalam lubang itu.
“Ahhh!!”
Ini sangat nikmat. Pertahananku runtuh. Tubuhku menikmati sensasi baru yang mulai merasukiku. Desahan Centia yang terdengar pun membuatku mencoba mengikuti ritmenya. Gerakan kedua jariku mulai menyamai ritme Centia. Kini, kami bergerak hampir bersamaan.
“Ahhh… Ahhh…”, desahku dan Centia bersamaan.
“Kalian benar-benar p*****r kecil. Nikmati rasanya. Bayangkan itu jariku yang mengocok kalian begitu keras dan cepat. Sampai tubuh kalian memohon ampun karena rasa nikmatnya.”
Tanpa sadar, aku mulai merasakan sensasi hangat yang perlahan menyebar dan membuat tubuhku ikut merespons. Aku mulai membayangkan apa yang Jo katakan. Ahh! Jo... Batinku menjerit keenakan.
“Cepetin jari kalian. Semakin keras. Semakin cepat. Buat diri kalian basah karena cairan kalian sendiri. Keluarkan semuanya.”, lanjut Jo.
Suara napas Centia terdengar semakin kasar, semakin cepat… bahkan semakin sensual, meskipun ia tidak melakukan apa pun yang terlalu jelas. Pada satu titik, ia tidak lagi menutupi gerakannya dengan ponsel, sehingga tubuh dan ekspresinya terlihat lebih terbuka bagi kami berdua di panggilan itu.
Aku merasakan dadaku menegang, dan tanpa sadar aku mengeluarkan suara yang sama ketika sensasi itu semakin kuat. Napasku ikut menjadi lebih berat, hampir seperti gumaman yang lolos tanpa bisa kutahan.
Rasanya seperti kami bertiga menyatu hanya lewat suara, membuatku semakin tenggelam dalam momen itu.
Gerakanku atas tubuhku sendiri semakin lama makin tidak terkontrol—bukan karena sengaja, tapi karena dorongan di dalam diriku membuatku terus bergerak tanpa berpikir. Suara kecil lolos dari mulutku lagi, semakin sulit untuk ditahan, sementara tubuhku bergerak lebih cepat mengikuti ritmenya sendiri.
Pada satu titik, pandanganku bahkan mulai kabur. Aku tidak lagi benar-benar melihat layar atau Centia; fokusku terpecah oleh sensasi yang terus meningkat dan membuatku melebur dalam gerakan yang bahkan hampir tidak kusadari. Yang kurasakan hanya tubuhku sendiri dan dorongan yang semakin kuat tanpa henti.
“Ahhh… Jo…!!”, refleksku meneriakkan nama Jo.
Aku mulai merasakan sensasinya semakin mendekat, begitu dekat sampai seluruh tubuhku terasa menegang dan hampir tak bisa diam. Gerakanku ikut berubah—lebih cepat, lebih terdorong oleh sesuatu yang sulit kujelaskan—dan perasaan di dalam dadaku menjadi jauh lebih kuat.
Saat itu terjadi, tubuhku refleks menegang dan sedikit melengkung ke atas, disertai suara lirih yang lolos begitu saja tanpa bisa kutahan. Sensasinya datang tiba-tiba—kuat, penuh, seperti seluruh energi di dalam diriku melonjak dalam satu hentakan halus yang membuatku sulit bernapas untuk beberapa detik.
“Jo..!! Aku keluar Jo!! Ahhhh…”, teriakku.
Tanganku yang bebas refleks mencengkeram sprei tanpa sadar, mencari pegangan supaya aku tetap bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Napasku tersengal, terputus antara helaan pendek dan getaran kecil yang terus muncul dari sisa sensasi itu. Mataku terpejam rapat, bukan karena sakit, tapi karena semuanya terasa terlalu intens untuk bisa kuhadapi dalam keadaan sadar penuh.
Saat aku kembali membuka mata dan menyadari bahwa semuanya terpampang langsung dalam panggilan video. Aku membeku. Aku melakukannya. Aku sudah berani seperti Centia.
Di panggilan video, ternyata Centia sudah memperhatikanku. Tatapannya terlihat puas sekaligus terpaku—mulutnya sedikit terbuka, seolah ia ikut merasakan tegangnya momen itu. Rupanya, dia sudah selesai lebih dulu daripada aku.
“Wahh… Ra… Kamu terlihat sangat seksi saat ini. Kerja bagus Ra…”
Aku tersipu mendengar pujiannya.
Jo sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya suaranya terdengar pelan, rendah:
“Lihat Ra… Aku sudah bilang kan. Kamu pasti suka…”
Jo berdeham pelan, “Sekarang, jilat tanganmu Ra.. Bersihkan sisa-sisa kenikmatanmu, rasakan semuanya. Centia sudah selesai. Kamu juga harus menyelesaikannya sampai tuntas.”
Aku perlahan menjilat tanganku, merasakan sisa-sisa kenikmatan yang masih melekat di ujung jari. Rasanya manis, asin—dan entah kenapa semakin membuatku malu. Centia masih menatapku lewat layar, matanya berbinar puas sambil sesekali menggigit bibir bawahnya.
Ada rasa malu yang menusuk, tapi juga ada kepuasan aneh—karena aku sadar betapa mereka benar-benar memperhatikan setiap gerakan kecil yang muncul dariku… bahkan bagian paling rapuh sekalipun.