Senin pagi datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Jam sudah lewat sedikit dari pukul delapan ketika aku akhirnya membuka mata. Aku menatap langit-langit kamar selama beberapa detik, mencoba memahami sisa rasa hangat yang masih menempel di tubuhku. Rasanya seperti akhir pekan kemarin berlalu hanya dalam sekelebat saja—padat, berantakan, dan terlalu intens sampai aku butuh waktu untuk mencerna semuanya.
Perlahan, potongan-potongan kenangan mulai muncul.
Jumat malam di klub malam… ketika Jo mencium bibirku untuk pertama kalinya. Ciuman itu datang begitu jelas dan langsung, sampai aku tidak bisa berpaling. Tatapan dan aura Jo yang terlalu kuat untuk kuabaikan. Centia yang cantik, menggoda dan jauh lebih berani dari yang pernah kubayangkan. Sejak awal, ada sesuatu di antara kami bertiga yang membuatku sulit menjauh.
Lalu Sabtu subuh, saat aku melepaskan keperawananku. Bukan karena paksaan atau tekanan, tapi karena aku memilihnya sendiri. Bahkan aku yang memintanya, karena sudah merasa terlalu aman dan nyaman dengan Jo. Keputusan itu terasa besar, dan sampai sekarang dadaku masih berdebar setiap mengingatnya.
Sabtu dari pagi sampai sore di kamar apartemen, hanya berdua, aku dan Jo. Waktu berjalan pelan. Cara dia menatapku—tenang, yakin, seolah dia tahu bagaimana menuntunku tanpa membuatku takut—membuatku merasa benar-benar diperhatikan. Seolah dia melihat bagian diriku yang biasanya tidak pernah kusentuh.
Sabtu malam, semuanya berlanjut di rumahku, masih berdua bersama Jo. Aneh rasanya bagaimana tempat yang biasanya tenang bisa berubah menjadi ruang yang penuh ketegangan manis hanya karena kehadirannya.
Minggu siang, suasananya bahkan lebih membingungkan. Di tengah keramaian, bukan cuma Jo yang membuatku gelisah. Centia juga. Cara mereka berdua memandangku, seolah saling mengerti tanpa bicara, membuatku sulit bernapas. Aku merasa seperti berada di tengah sesuatu yang hanya kami bertiga tahu, dan rasanya membuatku semakin tidak bisa mengalihkan diri dari mereka.
Dan Minggu malam… panggilan video itu. Saat aku dan Centia seperti saling membuka diri di hadapan Jo, dan juga satu sama lain. Bukan hanya soal keberanian, tapi tentang bagaimana kehadiran mereka membuatku merasa diinginkan dan dipahami. Yang walaupun kami saling berjauhan, namun tetap terasa dekat.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan kepala yang masih terasa berat. Aku berniat langsung pergi mandi, tapi langkahku berhenti ketika pandanganku tertuju pada kaca besar di dinding kamar.
Tanpa sadar, aku malah mendekat dan menatap bayanganku di sana. Aku terlihat… berbeda. Seperti seseorang yang baru saja melewati batas yang dulu kutakuti, tapi sekarang justru kurindukan.
Kupikir akhir pekan itu hanya sebuah permainan nafsu belaka. Tapi ternyata, justru aku yang berubah.
Aku pun lalu berbalik dan mulai bersiap untuk bekerja. Tubuhku masih menyimpan sedikit sisa dari apa yang sudah terjadi, dan hatiku diam-diam menunggu kemungkinan lain setelah semua ini.
Begitu selesai mandi, aku kembali ke kamar sambil mengeringkan rambutku yang masih basah dengan handuk. Suasana kamar terasa lebih hening dari biasanya. Nafasku belum sepenuhnya tenang. Ponsel itu bergetar sekali. Grup telegram—Para Pelayan Jo. Jantungku langsung berdetak cepat. Aku cepat-cepat membuka pesannya.
“Pagi, pelayan-pelayanku…” ujar Jo.
Hanya dua kata, tapi cukup membuat leherku terasa hangat. Cara dia menulis selalu membuatku b*******h.
Sebelum aku sempat membalas, notifikasi lain masuk.
“Pagi, Jo... Raa? Apa udah bangun? Kecapekan kah?” tanya Centia sambil mengirim emoticon tertawa.
Aku pun tersenyum geli. Rasanya seperti mereka sudah menjadi bagian hidupku sejak aku membuka mata.
“Iya nih Cent… Tapi aku sudah bangun dari tadi sih, ini baru selesai mandi…” balasku.
Tak sampai tiga detik, Jo membalas.
“Bagus. Kamu belum pakai baju kan?” tanya Jo.
Aku terdiam menatap layar. Sepertinya akan ada perintah baru dari Jo hari ini.
“Belum kok Jo… Kenapa emang?”
“Hari ini aku mau kamu pakai pakaian yang seksi, seperti kemarin… Centia juga. Tugas ini buat kalian berdua. Pakai baju yang ketat dan seksi. Buat semua laki-laki tertarik ke kalian,” ucap Jo.
Jantungku berdetak berat.
“Maksudnya yang gimana Jo…?” tanyaku.
Beberapa detik hening.
“Kalian hari ini berangkat kerja pakai rok, atasan tank top sama kemeja. Aku mau kalian merasa seksi dan lebih berani… Dan lebih cantik tentunya…” jelas Jo.
Sudah kuduga akan ada kejutan lagi hari ini. Tapi aku lega, setidaknya aku tidak sendirian hari ini.
“Aku selalu suka pilihanmu Jo. Bakal cocok buat kita berdua… Kamu siap kan Ra?” ujar Centia menggoda.
Ketika membaca pesan Centia, dadaku terasa hangat. Rasanya jelas kalau perhatian mereka bukan sekadar soal apa yang kupakai, tapi karena aku punya tempat tersendiri di antara mereka. Bahwa aku juga spesial.
“Kirim foto kalian nanti. Aku mau tahu, pakaian seperti apa yang kalian pilih. Kalau menurutku kurang seksi, pasti aku suruh ganti,” ucap Jo, nadanya terasa tegas.
Dan tanpa sadar… aku ingin mengikutinya.
“Iya, Jo… nanti aku fotokan ke grup…” responku dengan tangan yang sedikit dingin.
“Iya Jo… Aku juga nanti kirim fotonya ke grup,” sahut Centia.
Beberapa detik kemudian, satu pesan terakhir masuk.
“Bagus. Sekarang kalian siap-siap. Aku mau lihat kalian seksi hari ini,” ujar Jo.
Aku menutup ponsel, tapi suara mereka masih terasa memenuhi kamar. Pagi ini… langkah pertamaku seperti sudah diarahkan sejak aku membuka mata. Dan entah kenapa, aku tidak ingin menolak arah itu sama sekali.
Aku berdiri di depan lemari yang setengah terbuka. Udara kamar yang masih hangat setelah mandi menempel lembut di kulitku, membuatku sedikit gelisah. Pesan Jo terus teringat di kepalaku—nada suaranya tenang, jelas, dan entah kenapa membuat pikiranku ikut menegang. Rok. Tank top. Kemeja.
Pelan-pelan aku meraih rok mini A-line berwarna hitam. Ada sesuatu dari bentuknya: sederhana, tapi membuatku merasa bisa bergerak lebih bebas… dan mungkin lebih mudah diperhatikan. Setelah memakainya, kulihat bayanganku di kaca, kakiku tampak lebih jenjang dari yang kuingat.
Lalu aku mengambil tank top basic. Putih. Tipis, tapi nyaman. Tank top itu menempel pas, tidak berlebihan, seakan hanya ingin menunjukkan garis tubuhku tanpa membuatnya terlihat mencolok.
Untuk kemejanya, aku mengambil kemeja berwarna putih. Kainnya terasa sedikit tipis, memperlihatkan kulitku yang putih mulus. Aku menyelipkannya perlahan ke dalam rok. Kemeja ini membuatku merasa lebih dewasa, lebih rapi, dan mungkin sedikit lebih menggoda.
Setelah semua rapi, aku refleks bercermin. Satu-dua kancing kemejaku lalu kubuka perlahan. Memberi sedikit ruang pada bagian diriku yang baru muncul seolah mengatakan dengan halus bahwa aku mulai memahami perubahan dalam diriku… dan aku tidak ingin menghindarinya.
Aku mengambil ponselku memotret diriku sendiri di cermin. Cantik dan seksi juga. Batinku.
Aku menatap foto yang baru saja kuambil. Cahaya pagi dari jendela kamarku, membuat kulitku terlihat lebih cerah dan hangat. Rok mini A-line tepat di atas lututku, tank top menyatu dengan kemeja putih yang kubiarkan dua kancing atasnya terbuka sedikit. Tidak berlebihan, tapi jelas terasa lebih berani.
Aku mengirimnya ke grup. Kurasa aku menikmati momen kecil saat aku menunjukkan sisi baru dari diriku. Notifikasi pertama muncul hampir langsung.
“Rara… Kamu kelihatan seksi dan berani. Pilihanmu bagus. Kamu cantik,” ujar Jo pada pesannya.
Bayangan suaranya terasa seolah muncul dari belakangku. Kata “berani” darinya terdengar seperti pengakuan… sekaligus dorongan yang tidak perlu dijelaskan. Sebelum aku mengetik balasan, pesan lain masuk—dari Centia.
Ia mengirimkan fotonya. Dalam gambar itu, ia terlihat sangat cantik. Ia mengenakan kemeja hitam dengan bawahan rok span berwarna merah marun, dan tank top hitam yang potongannya cukup rendah untuk memberi kesan sedikit berani tanpa menunjukkan apa pun secara langsung.
“Ra… kamu seksi banget. Aku suka banget lihat kamu kayak gitu,” puji Centia setelah mengirimkan fotonya.
Padahal menurutku dia lebih seksi dengan baju hitamnya itu.
Kata-kata dari Centia dan Jo, terasa seperti sentuhan lembut yang masuk jauh ke dalam hatiku—membuatku merasa dilihat, dihargai, dan dipahami. Kehangatan kata-kata mereka membuatku tersenyum kecil.
“Centia… Kamu juga cantik sekali…”
Centia mengirimkan stiker tertawa malu-malu, membuatku refleks tertawa pelan melihatnya.
“Kalian memang pelayanku yang cantik dan seksi. Tapi, sebelum kalian berangkat… lepas aja celana dalamnya. Tantangan tambahan buat hari ini,” ujar Jo.
“Iya Jo…” jawabku.
“Dari tadi aku udah nggak pakai sih Jo…” balas Centia.
Sepertinya dia sudah terbiasa dengan perintah dari Jo.
Setelah melepas celana dalam tipis yang tadi aku pakai. Kini aku hanya memakai rok, tanpa pelindung apapun di dalamnya. Sensasinya dingin dan sedikit geli. Perasaan hangat tadi tidak hilang. Seolah aku sedang membawa rahasia kecil yang hanya kami bertiga tahu.
“Sudah Jo… Aku berangkat dulu ya,” ketikku ke grup sebelum mengambil tas.
Belum sempat layar ponsel terkunci, Jo mengirim pesan baru.
“Oke, hati-hati ya kalian…”
Senyumku kembali mengembang melihat pesannya.
Lalu aku keluar dari kamar. Rumah sudah sepi—Danis sudah berangkat magang lebih pagi seperti biasanya. Pintu dan pagar depan masih terbuka, kebiasaan Danis yang sering pergi terburu-buru tanpa menutupnya. Kesunyian rumah membuat langkahku terdengar jelas, memberi rasa tenang yang baru muncul pagi ini.
Aku mengembuskan napas panjang sebelum mengambil helm. Setelah itu, aku berjalan ke teras dan mengeluarkan motor ke luar halaman. Udara pagi langsung menyentuh kulitku. Rok miniku bergerak ringan setiap langkah, mengingatkanku pada pilihan yang kubawa hari ini.
Begitu motor sudah berada di luar, aku menutup dan mengunci pagar pelan-pelan. Lalu kembali ke motor, menyalakan mesin, dan merasakan getarannya merambat sampai ke ujung jariku.
Saat duduk dan mulai melajukan motor pelan, aku bisa merasakan bagaimana pakaian ini sedikit memengaruhi caraku bergerak. Tidak ada malu. Tidak ada ragu. Hanya rasa elegan yang tenang—seperti membawa rahasia kecil yang hanya aku, Jo, dan Centia tahu.
Ketika melaju di jalanan yang mulai padat, angin pagi menyentuh pahaku yang sedikit lebih terlihat karena gerakanku di atas motor. Sensasinya ringan dan alami. Aku tidak merasa terbuka. Aku justru merasa hidup.
Aku tersenyum kecil di balik helm. Ini bukan hanya soal mengikuti instruksi atau membuat siapa pun senang. Ini tentang bagaimana aku memilih untuk hadir hari ini—sebagai Rara yang lebih dewasa, elegan, misterius, dan berani. Dan perlahan aku sadar… aku menyukai rasa ini.
Bagitu sampai, aku memarkir motor di basement mall tempat kantorku berada. Begitu melepas helm, udara sejuk dari gedung langsung menyentuh kulitku—beda sekali dengan angin panas di jalan tadi. Rokku bergerak sedikit ketika aku melangkah, mengingatkanku lagi pada pilihan yang kubawa sejak pagi.
Saat perjalanan menuju lift, aku merasakan beberapa pasang mata singgah padaku. Ada yang menatap dari ujung mata sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ada pula beberapa pria yang sempat memperlambat langkah seolah ingin memastikan apa yang ia lihat barusan. Namun aku tidak merasa terancam. Justru… aku merasa kuat. Seolah aku membawa cahaya kecil dalam diriku dan orang-orang hanya menangkap pantulannya.
Kemeja putihku mencetak tubuhku dengan cantik, sementara dua kancing atas yang kubiarkan terbuka menambahkan sentuhan yang mudah membuat orang menoleh kembali. Rok mini hitam itu membuatku sadar bahwa aku berjalan dengan jauh lebih percaya diri daripada biasanya.
Ketika pintu lift terbuka, seorang pria yang keluar sempat menoleh sebentar—pandangan singkat yang lebih banyak bicara daripada kata-kata. Aku hanya tersenyum kecil, senyum tipis yang bahkan tidak bisa ia lihat jelas… tapi aku merasakan efeknya di dadaku. Bukan soal ingin dipandang. Tapi soal mengetahui bahwa aku bisa hadir, dan orang lain menyadari itu tanpa aku harus melakukan apa-apa.
Saat mendekati area depan kantor, aku melihat Firman—petugas sekuriti mall yang memang ditugaskan menjaga area kantorku. Aku sudah cukup kenal dengannya karena hampir setiap hari kami bertemu.
Ia melihatku dari samping, lalu memberikan senyum kecil. Senyum itu bukan senyum yang pernah kulihat darinya sebelum kali ini, seperti melihat sebuah sensasi yang baru.
Di resepsionis pun, Mbak Tara menatapku sebentar. Ia menurunkan kacamatanya sedikit.
“Ra… kamu kelihatan beda banget hari ini,” ujar Mbak Tara setengah berbisik.
Aku tersenyum tipis.
“Ah, masa?”
Di situlah pergulatan pertamaku muncul—antara senang dan sedikit terkejut pada diriku sendiri.
Aku duduk di kursi meja kerjaku. Tanganku sedikit bergetar saat merapikan mouse dan membuka laptop. Bukan karena gugup, tetapi lebih karena aku baru benar-benar menyadari sesuatu tentang diriku sendiri— tentang keberanianku, dan bagaimana aku memutuskan untuk hadir hari ini.
Setiap kali aku menarik napas, ada jeda singkat di dadaku. Ada rasa bangga. Ada sedikit ketidakpercayaan bahwa aku benar-benar melakukannya. Dan di balik semuanya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti membawa bagian dari diriku yang selama ini tersembunyi—dan hari ini akhirnya kubiarkan terlihat.
Aku pun sadar… Aku menyukainya. Bukan karena tatapan mereka, tapi karena aku akhirnya melihat diriku dengan cara yang berbeda. Lebih percaya diri. Lebih dewasa. Dan aku sedang belajar menyukai Rara yang ini.
Pergulatan berikutnya datang perlahan: Apakah aku benar-benar siap untuk semua perubahan ini?
Laptopku baru menyala saat ponselku bergetar pelan. Notifikasi dari grup bertiga muncul di layar.
Begitu nama Jo terlihat, dadaku menegang halus—bukan karena takut, tapi karena aku tahu dia selalu memilih waktu yang tepat untuk masuk ke pikiranku.
“Rara, kamu udah di kantor?” ujar Jo.
Aku menelan napas kecil sebelum menjawab.
“Udah, Jo,” responku.
Hanya satu detik berlalu sebelum pesannya masuk lagi, seolah sejak tadi ia menunggu.
“Pergi ke kamar mandi sekarang. Bawa tasmu. Aku mau kasih tantangan baru,” tulis Jo.
Kata-katanya sederhana. Nada tenangnya membuat ruang di sekitarku terasa mengecil, seakan semuanya mengarah pada satu titik yang sama. Aku berdiri perlahan, meraih tasku seperti yang Jo minta. Saat berjalan menuju kamar mandi, setiap langkah terasa lebih sadar, lebih terfokus, seolah aku sedang bergerak mengikuti garis tipis yang hanya aku yang bisa rasakan.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, aku menyandarkan punggung ke daun pintu, mencoba menenangkan napas yang tiba-tiba mengencang. Tas yang kubawa kutaruh di dekatku, mengingatkanku bahwa instruksi Jo belum selesai. Ponselku kembali bergetar.
“Rara… lepas bra-mu. Biar kamu makin terbiasa dengan sensasinya,” tulis Jo.
Perlahan aku membuka kancing kemejaku. Setelah itu, aku menyelipkan tangan ke dalam tank top, lalu melepas dan menyimpan bra di dalam tas yang kubawa.
Dari luar, tidak ada yang terlihat berbeda. Semuanya tetap rapi dan profesional. Tapi aku tahu ada satu lapisan yang hilang. Satu lapisan yang memang diminta Jo untuk kulepas. Membuatku semakin terasa rapuh.
Tanganku sedikit bergetar saat aku mengetik balasan.
“Udah, Jo,” ketikku.
Balasannya datang cepat, tenang, seperti senyum samar yang tidak terdengar.
“Bagus. Sekarang jalani harimu dengan percaya diri, Ra…” ujar Jo.
Hari itu berjalan seperti biasa… tapi juga tidak sepenuhnya biasa. Aku tetap bekerja secara profesional: mengetik, membaca laporan, mengikuti rapat singkat, dan berdiskusi dengan tim. Tidak ada satu pun hal yang terlihat mencurigakan. Tidak ada yang tahu apa pun. Semuanya tertutup rapi. Tapi aku tahu. Tubuhku tahu. Dan entah bagaimana, kesadaran itu membuat fokusku meningkat.
Sesekali aku melihat pantulanku di layar monitor ketika layarnya meredup. Cara aku duduk hari ini berbeda. Bahuku lebih santai, punggungku tegak, daguku sedikit terangkat.
Tidak berlebihan—hanya lebih sadar, lebih seperti versi diriku yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Menjelang sore, kantor sedikit lebih sepi. Suara AC yang dingin membuat kulit lenganku merinding halus.
Ketika jam pulang tiba, aku segera merapikan meja, dan menggantung tas di bahu. Langkahku terasa ringan saat berjalan menuju pintu keluar, seperti hari itu memang layak ditutup dengan napas panjang yang tenang.
Namun begitu pintu keluar kantor terbuka, aku menoleh sebentar karena merasa ada yang memanggil namaku—dan pada saat yang sama, seseorang dari samping berbelok terlalu dekat. Tubuh kami bertubrukan.
“Ehhh—Mbak!” ujar Firman dengan nada terkejut.
Semuanya terjadi cepat. Aku kehilangan keseimbangan, tumitku tergelincir, dan tubuhku terdorong ke depan. Tasku meleset dari bahu. Firman dengan cepat meraih lenganku dan menahanku agar tidak jatuh sepenuhnya. Posisi kami berhenti sangat dekat. Hampir terlalu dekat.
Dalam momen panik itu, bagian atas tank top-ku sempat terbuka lebih lebar dari seharusnya—membuatku merasakan hembusan udara dingin lewat celah yang seharusnya tertutup. Sensasi itu membuat dadaku langsung menegang, mengingat aku hari ini tidak memakai bra.
Aku mendongak perlahan untuk memastikan semuanya baik-baik saja—dan refleks langsung melihat apakah tank top yang kupakai sudah kembali tertutup. Firman menatapku lama, seperti menangkap sesuatu yang tidak ia duga, meski ia sendiri tampak ragu dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Tak lama kemudian ia kembali sadar akan situasinya dan membantuku berdiri.
“A-aku… maaf, Mbak Rara. Kamu nggak apa-apa?” ujar Firman dengan suara gugup.
“Aku nggak apa-apa kok,” responku sambil cepat merapikan kemejaku.
Firman mengangguk lega. Wajahnya masih menyimpan sedikit kebingungan dari kecanggungan tadi.
“Maaf ya Mbak…”
“Nggak apa-apa… Aku pulang dulu ya…” ujarku pelan sambil tersenyum manis.
Setelah bertabrakan dengan Firman, aku berjalan pergi menjauh. Tapi entah kenapa… satu langkah sebelum berbelok menuju lift, aku sempat menoleh sedikit. Sekilas saja. Dan di sana—Firman masih menatapku.
Tatapannya seperti milik seseorang yang baru melihat sesuatu yang tidak ia pahami, dan sedang mencoba memastikan dirinya tidak salah lihat. Ada sesuatu yang tersisa di matanya: campuran heran, rasa ingin tahu, dan ragu apakah ia harus mengabaikannya atau memikirkannya.
Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan. Aku tidak mau menghabiskan energi memikirkan hal itu.
Aku pulang ke rumah sambil menarik napas panjang. Begitu pintu tertutup, keberanian dan ketegangan yang kubawa sejak pagi perlahan menghilang, berubah menjadi rasa lega, bangga, dan sedikit kagum pada diriku sendiri. Di kamar, aku menatap cermin. Ada perubahan kecil yang terasa—aku terlihat lebih menikmati hidup.
Hari-hari berikutnya berjalan tanpa hal besar, tapi ada satu hal yang selalu muncul: Pesan dari Jo.
Pesannya selalu datang di waktu yang pas.
"Rara, udah di kantor?"
"Rara, kamu siap?"
"Rara… lakukan seperti kemarin."
Dan aku selalu mengikutinya. Bukan karena aku harus… tapi karena aku ingin melakukannya.
Cara Jo memberi arahan—tenang, jelas, tidak menekan—membuat sekelilingku terasa lebih tertata, dan aman. Aku tidak merasa kehilangan kendali. Justru malah sebaliknya: aku merasa makin mengenal diriku sendiri. Kadang Centia membalas pesan Jo dengan komentar lembut—hangat, seperti seseorang yang berdiri di sampingku sambil tersenyum mengerti.
Hampir setiap hari… aku merindukan hal itu. Bukan sensasi fisiknya. Tapi rasa kehadiran, rasa diperhatikan, rasa dituntun oleh seseorang yang melihat bukan hanya diriku saat ini, tapi juga kemungkinan diriku ke depan.