Sebuah Misi Penyelamatan

3427 Kata
Dingin AC mengenai kulitku sebelum aku benar-benar bangun. Aku menggeliat pelan, lalu langsung berhenti ketika tubuhku menyentuh sesuatu yang hangat—dan jelas sedang bernapas. Mataku spontan terbuka. Jo ada di sampingku. Wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Selimut yang menutupi kami tidak terlalu membantu, dan saat aku melihat ke bawah, jantungku langsung berdetak kencang. Kami berdua… masih sama-sama tanpa pakaian. Aku menelan ludah, dadaku naik turun cepat karena panik bercampur malu. “Jo…” panggilku pelan. “Jo… bangun. Jo…” Akhirnya dia membuka mata perlahan, seperti baru bangun dari tidur yang benar-benar nyenyak. Ekspresinya masih mengantuk, dan entah kenapa itu malah membuatku makin salah tingkah—apalagi dia terlihat santai, seolah tidak ada hal aneh yang sedang terjadi. “Hm… pagi, Ra…” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun. Aku cepat menarik selimut ke dadaku walaupun tidak banyak membantu. “Kenapa kamu masih di sini?” bisikku panik. “Kamu harusnya pulang. Gimana kalau Danis tahu kamu masih—kita masih—” Aku tidak sanggup menyelesaikannya. Wajahku terasa panas. Jo mulai benar-benar sadar, tapi bukannya ikut panik, dia justru menghela napas lega dan tersenyum kecil. “Aku udah kunci pintu kamar kamu,” katanya pelan. “Dan aku juga udah kabarin di grup keluargamu.” Aku menoleh cepat. “Kamu… kabarin apa? Pakai HP-ku?” Dia mengangguk. “Aku cuma bilang kamu mau tidur duluan, capek, dan jangan dibangunin. Termasuk Danis.” Baru saat itu aku ingat—kemarin, karena kami begitu cepat dekat, aku memang memberinya PIN HP-ku dan mengizinkannya membukanya. Waktu itu terasa biasa saja, tapi sekarang… justru membuatku makin gugup. Aku menatapnya, jantungku tidak tenang. “Kamu… pura-pura jadi aku?” Jo tersenyum miring, lembut. “Biar kamu nggak perlu jelasin apa-apa pagi-pagi. Kamu kelihatan… capek banget semalam.” Aku ingin menutup wajahku. Rasanya malu, lega, dan… sesuatu yang sulit kujelaskan. Di kamar yang dingin, kehadirannya terasa hangat dengan cara yang membuatku bingung sendiri. “Tapi… kita begini, Jo…” ucapku pelan sambil menggenggam selimut. “Masih di kamarku… dan… tanpa apa pun…” Jo tidak mendekat sama sekali. Dia cuma menatapku dengan tenang. “Kalau kamu mau aku pergi sekarang, aku pergi,” bisiknya. “Tapi aku cuma… nggak tega ninggalin kamu sendirian semalam.” Kamar kembali hening. Hanya terdengar suara AC dan degup jantungku yang rasanya terlalu keras. AC masih dingin menusuk kulitku, tapi rasa panik jauh lebih cepat membangunkanku. Begitu kulihat jam di dinding—07.03—dadaku langsung berdebar kencang. “Jo… ini udah jam tujuh,” bisikku cepat, hampir tersendat. “Kalau Danis bangun… gimana? Kamu harus pulang sekarang.” Aku bahkan belum sepenuhnya bisa berpikir jernih; gelombang panik, malu, dan sedikit sisa hangat dari tidur semalam masih bercampur di tubuhku. Jo hanya menatapku, lalu mengangguk pelan, seolah situasi ini sudah ia perhitungkan sejak bangun. “Tenang,” katanya pelan. “Kita masih aman.” “Aman gimana…” Aku menggeleng cepat. “Danis kalau bangun pasti lewat kamarku dulu. Aduh, Jo, ini gawat…” Jo bangun perlahan, tapi tetap menjaga jarak supaya aku tidak makin salah tingkah. Dia merapikan rambutnya sambil melirik pintu kamar, kemudian kembali menatapku. “Danis kamarnya di lantai dua, kan?” tanyanya. “Iya… terus?” aku masih terdengar panik, suaraku lirih tapi terburu-buru. “Nah,” Jo melanjutkan, suaranya tetap tenang. “Kamu nanti bisa berdiri di ujung tangga. Dari sana kamu bisa lihat kalau Danis udah bangun atau belum. Kalau masih sepi, aku langsung keluar. Kamu cuma perlu ngasih kode kalau aman.” Aku menelan ludah. Kedengarannya masuk akal, tapi detak jantungku belum mau turun. “Dan kalau Danis keluar kamar lebih cepat gimana?” tanyaku, terus membayangkan skenario buruk. Jo tersenyum kecil—sangat tipis, tapi cukup membuatku terdiam sejenak. Bukan senyum menggoda… tapi senyum yang anehnya membuatku sedikit tenang walaupun aku sedang kalang-kabut. “Kalau Danis muncul, kamu cukup pura-pura cari sarapan,” jelasnya ringan. “Aku bisa nunggu di balik pintu. Begitu dia balik lagi ke kamar atau ke dapur, aku langsung keluar.” Aku menghela napas panjang. Rencana sederhana—tapi cukup membuatku bisa bernapas sedikit lebih lega. “Kedengarannya kayak misi penyelamatan, Jo.” “Ya,” jawabnya sambil mengambil baju dengan cepat. “Misi menyelamatkan reputasi kamu pagi ini.” Aku memutar mata, tapi panas merayap ke pipiku. “Bukan cuma reputasi… tapi… ya, pokoknya jangan sampai Danis tahu.” Kami lalu buru-buru berpakaian. Tanganku gemetar, pikiranku kacau, semuanya terasa terlalu cepat. Saat aku memegang gagang pintu kamar, Jo mendekat. Bukan dengan gerakan mendesak… tapi dengan keyakinan yang justru membuatku makin gugup. “Ra,” panggilnya pelan. Sebelum aku sempat bertanya, wajahnya turun mendekat dan bibirnya mencium bibirku—dalam, dan hangat. Ciuman yang tidak terburu-buru… tapi meninggalkan gemuruh di dadaku. Ciuman Jo masih menggantung di bibirku ketika dia perlahan menjauh. Napasku belum stabil; rasanya seperti ada sesuatu yang menggulung dari dadaku turun ke perut, hangat dan membuatku sulit berpikir jernih. Jo kembali memanggilku, suaranya lebih rendah dan menenangkan. “Rara,” ucapnya lembut. Suaranya rendah, tapi tidak memaksa. Justru terdengar… menenangkan, seperti ia ingin memastikan aku masih di sini, masih nyaman. Aku menelan ludah, mencoba menahan wajahku agar tidak semakin merah. “Ada apa…?” tanyaku, suaraku hampir hilang. Jo menatapku. Bukan tatapan menghakimi. Bukan juga tatapan yang membuatku merasa terjebak. Ini tatapan seseorang yang tahu aku gugup… dan sengaja menunggu sampai aku siap. “Jangan lupa… mulai kemarin dan seterusnya, kamu sepenuhnya punyaku,” katanya lembut. Ia berhenti sejenak, seolah memberi ruang agar aku bisa mundur kapan pun. Tapi aku memilih tidak mundur. Aku justru merasa tubuhku menegang kecil, bukan karena takut—tapi karena aku tahu maksudnya. Dan aku sudah menyetujuinya sejak kemarin malam… bahkan sebelum aku sadar betapa dalamnya aku tenggelam. Aku mengangguk pelan. Jo tersenyum tipis, senyum yang tidak berlebihan. Yang justru membuatku semakin ingin mempercayainya. “Kamu… benar-benar nggak akan pergi kan?” tanyaku pelan, suaraku masih serak tapi lebih tenang. Jo mengangkat wajahnya, matanya langsung bertemu dengan milikku—tegas dan penuh keyakinan. “Nggak akan.” Ia kembali merapikan pakaiannya, lalu menambahkan bisikan pendek, “Aku janji. Selama kamu selalu setia dan memenuhi segala keinginanku.” Jantungku seakan melonjak. Ya. Itu yang aku mau. Aku ingin dia memimpinku—dalam hubungan ini, dalam permainan kecil yang hanya kami berdua—dan tentunya Centia—tahu. Karena aku mempercayainya. Aku menggenggam selimutku lebih erat dan berhasil berkata pelan, “Aku… pasti akan selalu setia dan memenuhi segala keinginanmu, Jo. Karena aku mau.” Jo lalu menambahkan dengan suara yang membuatku merinding perlahan, “Dan kalau aku kasih arahan… kamu perhatikan. Selalu pantau chat dariku, juga chat di grup kita bertiga.” Aku menggigit bibir bawahku, menahan sensasi aneh yang memenuhi dadaku—campuran panas, dan malu. “Jo…” suaraku serak. “Aku ngerti.” Dia tersenyum. Senyum kecil, tapi cukup untuk membuatku kehilangan napas sesaat. “Bagus.” Ada tekanan lembut di dadaku—perasaan ingin membuktikan diri, ingin memenuhi arahan yang ia berikan. Aku mengangguk. “Baik… Jo.” Dengan sepenuh hati, aku mengatakan janji itu sambil benar-benar mengerti apa artinya menyerah kepadanya. Aku memilih untuk mempercayai seseorang… sedalam itu. Matanya menurun sebentar, mengamati wajahku, memastikan aku stabil, memastikan aku tidak terseret arus. Baru setelah itu ia berbicara. “Perintah pertamaku pagi ini… sederhana.” Ia mendekat sedikit lagi, suaranya hampir menyentuh telingaku. “Kamu tetap tenang. Kita tetap jalan sesuai rencana. Kamu kasih aku kode kalau aman.” Aku hampir tertawa karena perintah itu begitu… masuk akal. Sederhana. Tidak ada apa-apa yang berlebihan. Tapi karena datang darinya—dengan hubungan yang sedang kami bentuk—justru membuatku merinding. “Baik,” jawabku pelan. “Perintah diterima.” Jo tersenyum kecil, seperti hadiah yang hanya muncul saat aku melakukan sesuatu dengan benar. “Bagus,” katanya. “Sekarang,” lanjutnya dengan suara lembut namun tegas, “kita mulai misi penyelamatan pagi ini.” Aku berjalan keluar dari kamarku perlahan, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar. Jantungku sudah gaduh sejak tadi, dan ujung kakiku nyaris tidak menyentuh lantai. Dari dalam kamar, Jo berdiri siap di balik pintu, menunggu isyarat dariku—tenang, fokus, seolah semuanya sudah ia perhitungkan. Saat tiba di ujung tangga, aku menengok ke lantai dua. Sunyi. Pintu kamar Danis tertutup. Oke… aman. Aku memberi anggukan kecil ke arah pintu kamarku—kode ‘siap tapi tunggu’. Jo membalas dengan anggukan pelan. Tatapannya stabil, membuatku sedikit lebih berani. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi klik kecil dari atas. Aku langsung membeku. Pintu kamar Danis. Gagangnya bergerak perlahan, seperti adegan slow motion. Panik naik cepat sampai rasanya napasku tersangkut. “Jo…” bisikku tanpa suara. Dari balik celah pintu kamar, Jo sudah menangkap situasinya bahkan sebelum aku sempat benar-benar panik. Pintu kamar Danis sudah terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuhnya yang mulai bergerak. Aku langsung menunduk dan menuruni dua anak tangga dengan langkah santai yang jelas-jelas hanya pura-pura. “Mbak Ra…?” suara Danis yang serak baru bangun menyambar dari atas. Sial. Aku menoleh pelan, berusaha terlihat normal meski lututku terasa hampir melemas. “Hm? Pagi…” suaraku terlalu tinggi; aku buru-buru menger cleared tenggorokan. “Eh… aku mau cari sarapan.” Danis mengucek mata, masih setengah tidur. Untung dia tipe yang butuh waktu untuk sadar penuh. “Jam berapa sih…?” “Baru jam setengah delapan,” jawabku cepat, menjaga sudut tubuh supaya dia tidak melihat pintu kamarku. Dari sudut penglihatan, aku masih bisa menangkap Jo berdiri diam, tubuhnya merapat ke dinding, hanya mengintip dari celah selebar jari. Ketika mata kami bertemu, ia menggerakkan bibir tanpa suara: Good girl. Tubuhku langsung bereaksi—bukan takut, tapi campuran tegang dan… dorongan halus yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti dinilai dan dipandu, dan itu membuatku semakin fokus. Danis menguap panjang. “Aku mau mandi dulu deh.” Jantungku langsung melonjak. Kamar mandi lantai satu… artinya dia harus turun. Artinya dia harus lewat pintu kamarku. Tempat Jo bersembunyi. Kalau dia turun sekarang? Kalau dia melihat sesuatu? Kalau— Aku hampir panik, tapi aku cepat melangkah agar posisiku terlihat wajar—seolah benar-benar akan ke dapur. Saat Danis mulai turun, aku menggeser tubuhku agar garis pandangannya tidak mengarah ke pintu kamarku. Syukurlah dia masih setengah tidur. Pandangannya kosong, langkahnya pelan, dan fokusnya hanya ke kamar mandi. Dia berjalan melewatiku begitu saja tanpa menoleh—benar-benar tanpa rasa curiga. Begitu pintu kamar mandi tertutup, aku langsung menatap Jo dan memberi anggukan cepat—kode “aman”. Jo keluar tanpa suara. Gerakannya cepat, tetapi tetap terkontrol. Ia mendekat ke arah tangga lalu berdiri sangat dekat denganku. Nafasnya stabil, seolah kejadian ini bukan apa-apa. “Kerja bagus,” bisiknya. Nada itu lembut tapi tegas. Aku hampir tersenyum karena lega. “Hampir aja, Jo… aku tadi—” Jo menempelkan jarinya ke bibirku—pelan, singkat, tapi cukup untuk membuatku berhenti bicara. “Tenang.” Ia menurunkan tangannya. “Kita ke teras. Kamu buka pagarnya.” Aku mengangguk dan memandu keluar rumah. Begitu kami sampai, aku membuka pintu, memastikan jalan aman sebelum dia melangkah keluar. Jo sempat menatapku—tatapan yang membuatku sulit bernapas— sebelum akhirnya kami pergi ke arah teras rumahku. Begitu aku dan Jo membuka pintu rumah, udara pagi langsung menyelinap masuk. Kami keluar ke teras dengan hati-hati, memastikan pintunya tertutup tanpa suara. Udara luar memang lebih hangat, tapi belum cukup untuk meredakan jantungku yang masih berantakan setelah apa yang baru saja terjadi di dalam. Suara burung, aroma embun, dan langkah kecil Jo di belakangku membuat semuanya terasa agak janggal—seolah kami bukan baru saja melewati momen paling menegangkan sejak aku kenal dia. Kami berhenti di teras. Jo masih belum menyentuh pagar. Ia berdiri di sisiku, tetap dalam bayangan atap, menatapku lama seakan ingin memastikan aku benar-benar aman sebelum dia pergi. “Ra,” panggilnya pelan. Aku menoleh, napasku masih cepat tapi tidak seburuk tadi. Jo mendekat sedikit—tanpa menyentuhku— sekadar memperkecil jarak. Lalu ia mengangkat tanganku yang bertumpu di pinggiran tiang teras. Sentuhan jarinya ringan, seperti pengingat halus bahwa dia ada di sini. “Lihat aku,” bisiknya. Aku melihatnya. Matanya tenang—bukan euforia karena kami berhasil lolos, bukan pula sisa adrenalin. Justru stabil, seperti jangkar yang perlahan menarikku turun dari kepanikanku. “Barusan kamu oke banget,” katanya pelan, “tanpa aku harus bilang apa-apa… kamu tetap waspada, tetap kontrol situasi, tapi tetap baca kodeku.” Nada itu bukan pujian berlebihan, tapi dalam hubungan kami, itu justru bentuk apresiasi yang paling personal. Aku menggigit bibir bawah, mencoba menahan dorongan emosi yang tiba-tiba naik begitu saja. “Jo… tadi rasanya hampir copot jantungku,” bisikku—setengah bercanda, setengah serius. Dia tersenyum kecil—yang hanya terlihat dari sudut bibirnya—tanda lega, bukan sekadar puas. “Aku tahu,” jawabnya. “Tapi ada aku, kamu nggak harus nanggung semuanya sendiri.” Kata-katanya menguatkanku. Aku mengangguk pelan, “Iya… Jo.” Ia mencondongkan kepala sedikit lebih dekat. Nafasnya menyentuh pipiku—hangat dan teratur. “Sekarang perintah terakhir sebelum aku pergi,” bisiknya lembut, seolah memberikan instruksi rahasia. Tubuhku refleks menegang, bukan karena takut, tapi karena kata-katanya menyentuh sesuatu yang dalam. “Apa…?” tanyaku nyaris tanpa suara. Jo mengambil tanganku lagi, mengangkatnya pelan, lalu mengecup punggungnya sebentar—singkat, cukup untuk membuatku gemetar kecil. “Begitu aku keluar pagar,” bisiknya, “kamu tarik napas. Tenangkan diri. Lalu chat aku kalau kamu aman.” Perintah sederhana. Masuk akal. Tapi entah kenapa terasa sangat pribadi. “Baik, Jo…” jawabku pelan. Ia menatapku terakhir kali—tatapan yang membuatku merasa benar-benar dilihat tanpa dihakimi. “Good girl,” katanya lembut. Lalu setelah itu, baru aku membuka pintu pagar. Jo melangkah keluar, menelusuri jalan kecil di depan rumah. Ia berjalan santai menuju rumahnya—masih di perumahan yang sama, hanya sekitar sepuluh menit jalan kaki. Begitu pintu pagar tertutup dan langkah Jo hilang di balik tikungan, aku akhirnya mengembuskan napas panjang—bukan sekali, tapi tiga kali, seolah aku baru saja bernapas bebas. Tanganku masih gemetar. Bukan karena takut ketahuan karena kejadian tadi, tapi karena semua yang ia lakukan—tatapannya, ketenangannya, caranya memandu tanpa menekan, memastikan aku bisa mundur kapan pun aku mau. Aku sadar, rasa hangat yang menjalar dari d**a ke perut bukan hanya karena kecupan singkat tadi. Tapi karena aku merasa aman bersamanya, bahkan dalam situasi yang menegangkan. Aku berjalan masuk ke rumah. Kututup pintu perlahan, lalu bersandar sambil menutup mata. “Ya Tuhan…” bisikku. Tubuhku masih terasa seperti berada di orbit Jo—suara rendahnya, tatapan stabilnya, cara ia mengangkat tanganku dan mengecupnya sebelum pergi. Good girl. Kata itu masih menggema. Lembut, tidak memerintah, tidak mengekang. Justru terasa seperti validasi… dan pengakuan. Aku mengusap wajahku pelan, berharap panas di pipiku turun. Tidak berhasil. Aku berjalan menuju lorong kecil di lantai satu, memastikan Danis masih di kamar mandi. Langkahku ringan tapi tetap deg-degan. Pintu kamar mandi tertutup; suara shower terdengar samar dari baliknya. Aman. Aku kembali ke kamarku yang berada di ujung lorong. Begitu pintu tertutup, seluruh ketegangan yang kutahan tadi langsung pecah. Aku duduk di tepi ranjang, menunduk, lalu mengusap leherku. “Kenapa aku… sebegininya ya…” gumamku lirih. Aku mengambil ponsel. Belum mengetik apa pun. Belum memberi laporan seperti yang Jo minta. Tapi aku butuh satu detik untuk menenangkan diri—atau setidaknya mencoba. Aku menatap layar kosong chat Jo. Jempolku hampir bergerak untuk mengetik Aku aman… ketika dari luar kamar terdengar langkah. Tubuhku langsung kaku. Langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Kemudian—tok tok. Oh tidak. Suaranya Danis. Masih serak, tapi lebih sadar sekarang. “Mbak Ra?” panggilnya. Aku berdiri spontan, jantung melonjak seperti alarm. “Ada apa?” jawabku, mencoba terdengar santai. “Kamu tadi… bangun jam berapa sih? Kok aku kayak lihat kamu buru-buru? Ada apa?” Aku memejamkan mata. Sial… dia lihat sesuatu? Atau cuma kebetulan? Aku menarik napas, mengingat kata-kata Jo: tenang, napas dulu. “Enggak, aku cuma kelaperan,” jawabku cepat tapi lembut. “Kamu kenapa?” Danis tidak langsung menjawab. Ada jeda. Cukup lama. Seolah dia sedang menganalisis sesuatu. “Aku nanya aja,” katanya akhirnya. “Kamu agak… beda.” Aku menahan napas. “Beda gimana?” tanyaku. “Gak tahu. Suaramu kayak… panik.” Aku melirik ponsel di tanganku. Chat Jo masih kosong. Dia bilang aku harus laporan setelah dia keluar pagar. Aku belum melakukannya. Tiba-tiba rasanya seperti dua dunia menekan di waktu yang sama—dunia rumahku, dan dunia rahasia yang baru mulai terbentuk antara aku dan Jo. Danis mengetuk pintu sekali lagi. “Boleh masuk?” Aku menelan ludah. Astaga… kalau dia masuk dan melihat seprai kasurku yang berantakan, atau mencium sisa parfum Jo… Detak jantungku naik lagi—tajam dan cepat. Pintu belum sempat kubuka. Bahkan napas berikutnya belum sempat kutarik ketika—KLIK. Gagang pintu bergerak. Tidak pelan. Tidak ragu. Danis langsung mendorong pintu masuk. “Aku masuk ya—” “Danis!” Suara itu keluar terlalu cepat, terlalu tinggi. Aku spontan melangkah maju, tubuhku menutup hampir seluruh celah pintu seperti tameng. Danis berhenti di ambang pintu, menatapku dengan alis terangkat. “Eh… kenapa?” tanyanya, bingung tapi juga tampak curiga. “Kok kamu kayak… nutupin sesuatu?” Jantungku memukul-mukul d**a dari dalam. Aku menahan napas, memastikan tubuhku tidak bergeser sedikit pun—karena jika iya, kamar yang berantakan itu pasti terlihat. Selimut kusut. Bantal miring. Dan… mungkin sisa aroma Jo yang belum hilang. “Kamarku… lagi berantakan banget,” jawabku cepat. Aku memaksakan senyum. Danis memperhatikanku lama. Tatapannya naik-turun, seperti mencari petunjuk. “Kamu beneran nggak apa-apa?” tanyanya, kini lebih serius. “Dari tadi kamu kayak… beda. Grogi.” “Enggak kok. Aku cuma… kurang tidur. Capek aja..” Setengah bohong, tapi masih aman. Danis memiringkan kepala. “Kenapa kamu pegang ponsel kayak mau sembunyiin sesuatu? Padahal aku juga nggak akan ambil ponselmu.” Aku refleks menarik ponsel ke belakang tubuh. Sial. “Insting adikku jago banget pagi ini ya?” aku mencoba bercanda. Tidak terlalu berhasil. Tatapannya tetap sama. “Aku cuma mau tanya kamu mau sarapan apa,” kataku akhirnya. Aku hampir lega—sampai ia mengambil satu langkah kecil ke depan. Satu langkah. Kecil. Tapi cukup untuk melihat celah di belakangku. Aku langsung bergerak—halus tapi cepat—menggeser tubuh menutup sudut itu. Danis kembali berhenti. “Mbak…” katanya pelan. Aku membeku. “Mbak kenapa sih?” Nada suaranya bukan curiga lagi. Lebih seperti… bingung. Seperti aku menyembunyikan sesuatu darinya. Aku menutup mata sepersekian detik. Tenang. Napas. Fokus. Seperti kata Jo. Saat kubuka mata, aku memilih mundur sedikit dan menarik pintu, memberi jarak yang jelas. “Danis…” ucapku pelan. “Aku cuma kecapekan. Beneran. Kemarin hampir nggak tidur nyiapin event.” Matanya memindai wajahku, mencoba memahami sesuatu yang bahkan aku sendiri belum siap jelaskan. Beberapa detik terasa panjang. Akhirnya ia mengangguk kecil—setengah yakin, setengah bingung. “Oke… Kalau ada apa-apa bilang ya, mbak.” Aku mengangguk. Danis perlahan menjauh. Suara langkahnya memudar di lorong, lalu menghilang ketika ia naik ke lantai dua. Begitu suara itu lenyap, aku menutup pintu, bersandar keras, dan menghembuskan napas panjang—napas yang sejak tadi terasa seperti duri. “Ya Tuhan… Untung aja..” bisikku. Tanganku masih gemetar. Baru saat itu aku ingat: aku belum melapor pada Jo. Aku duduk di tepi ranjang, mengambil ponsel, dan mulai mengetik—jempolku masih bergetar. “Aku aman. Danis sempat curiga, tapi dia nggak lihat apa-apa. Aku… masih deg-degan,” tulisku. Tak sampai dua detik, balasannya masuk. “Good. Kamu udah lakukan semuanya dengan tepat. Sekarang bilang… apa yang kamu rasain,” ujar Jo. Jantungku berdebar lebih cepat. Bukan karena panik. Sesuatu yang lain—lebih hangat—bergerak di dadaku. “Jo… aku masih gemeteran. Tapi bukan karena Danis,” tulisku ragu. Aku menahan napas sebentar sebelum menambahkan, “Karena kamu.” Pesan terkirim. Balasan langsung datang, seperti ia sudah menunggu. “Rara. Dengerin aku sebentar,” kata Jo. Suaranya serasa hadir begitu dekat meski hanya dalam teks. Aku menelan ludah. “Kamu gemeteran karena situasinya tegang. Kamu nahan semuanya sendirian. Dan itu normal,” lanjut Jo. Beberapa detik hening, lalu pesan lain menyusul. “Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat: kamu aman sekarang.” Aku membaca pelan-pelan. Napasku mulai kembali teratur. “Kamu udah ngatur semuanya dengan baik. Dan aku di sini. Kamu nggak sendirian,” katanya lagi. Dadaku mulai tenang. Kemudian, satu pesan paling pendek muncul—namun justru paling menenangkan. “Tarik napas pelan. Aku di sini,” ucap Jo. Aku memejamkan mata dan menuruti instruksinya. Gemetar itu masih ada, tapi tak lagi menguasai tubuhku. Lalu sebuah pesan terakhir masuk. “Good girl,” bisik Jo—atau setidaknya terasa seperti bisikan. Keheningan hangat mengalir dalam dadaku. Senyum kecil lolos dari bibirku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN