Tak Ada Lagi Ruang Privasi

4146 Kata
Ada sesuatu pada cara Jo menahan pinggangku—yang justru membuat dadaku terasa sedikit sesak dari dalam. Aku nyaris terharu, tapi Jo tidak mengatakan apa-apa. Aku terbuai dengan caranya menjaga posisiku, seolah tanpa suara ia berkata, “aku di sini… tetap di sini.” Saat ini, aku merasa benar-benar diperhatikan. Bukan hanya sebagai seseorang yang kembali ke rumah masa kecilku, tetapi sebagai seseorang yang dibimbing. Napas Jo terasa hangat. Kehadirannya memberi rasa nyaman yang jarang kurasakan. Perlahan, tubuhku mulai rileks—bukan karena aku lemah, tetapi karena aku merasa memiliki tempat untuk bersandar. Dan yang paling membuatku goyah adalah kenyataan bahwa Jo tidak perlu bersikap keras untuk membuatku ingin mengikuti arahannya. Ketegasannya yang tenang justru memberikan rasa aman. Tangan Jo masih di pinggangku, membuat kata-kata yang sudah lama kutahan akhirnya keluar. “Jo…” suaraku lebih kecil daripada yang kupikirkan. Aku menelan, jantung berdegup kacau. “…boleh… cium aku?” Begitu kata-kata itu keluar, tubuhku menegang. Bukan karena takut ia menolak, tapi karena aku sadar bahwa meminta seperti itu… membuatku terasa sangat terbuka. Permintaanku bahkan belum benar-benar hilang dari bibir ketika Jo bergerak. Dalam satu detik aku masih menarik napas… dan pada detik berikutnya, bibir Jo sudah menyentuh bibirku. Bukan ciuman yang terburu-buru maupun agresif. Tangannya di pinggangku mengencang sedikit, menarikku lebih dekat. Ciumannya tidak memaksa, tapi juga tidak memberi ruang bagiku untuk menjauh. Dan entah mengapa… itu membuatku merasa semakin aman. Saat Jo menarik diri sedikit—masih dekat, masih menahan pinggangku— aku merasa seperti baru saja kehilangan pegangan. Napasnya menyentuh bibirku ketika ia berkata pelan, suaranya rendah dan hangat: “Jangan minta izin untuk hal yang sudah jadi milikku.” Kalimat itu terasa lebih dalam daripada ciumannya. Ciuman itu masih terasa di bibirku ketika tiba-tiba tangan Jo bergerak cepat—tegas dan mantap—menyapu di bawah lututku. Dalam satu gerakan yang begitu mudah, seolah tubuhku terasa ringan, aku terangkat dari sofa. Jo menggendongku. Tangannya kokoh di bawah pahaku dan punggungku, menahan seluruh tubuhku seolah ia memang seharusnya memegangku sejak awal. Refleks, tanganku melingkar ke lehernya. Bukan karena takut jatuh, tapi karena tubuhku otomatis mencari pegangan pada dirinya. Napasku tertahan ketika kusadari betapa yakinnya ia bergerak. Tidak ada pertanyaan. Hanya langkah yang pasti. Dan yang paling membuatku kehilangan napas: Jo tahu persis ke mana ia menuju. Ia berjalan menyusuri ruang tamu rumahku dengan keyakinan yang membuat dadaku hangat sekaligus kacau. Seolah ia sudah hafal dengan rumahku. Tentu saja… teman-teman party family memang pernah beberapa kali berkumpul di sini. Jo pernah melihat seisi rumah ini. Ia sudah tahu pasti di mana kamarku berada. Tapi kali ini… hanya ada kami. Hanya langkahnya. Hanya genggamannya di belakang lutut dan punggungku. Dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah mengencangkan pegangan di bahunya—diam, tetapi sepenuhnya mengikuti arah yang ia tentukan. Saat kami tiba di depan pintu kamarku, Jo menggeser gagang pintu dengan satu tangan—tangan lainnya tetap menggendongku dengan mudah. Pintu itu terbuka perlahan, tetap dibiarkan tanpa terkunci seperti kebiasaan keluargaku yang jarang mengunci pintu karena sudah saling menjaga privasi sejak dulu. Aku mengerutkan kening sedikit. “Kenapa nggak ditutup?” Jo menatapku sebentar, suaranya rendah dan tenang. “Supaya lebih aman. Kalau ada orang datang, kita bisa dengar.” Ada sesuatu dalam cara ia mengatakannya. Bukan tentang takut ketahuan, tapi tentang bagaimana ucapannya membuatku merasa aman. Saat itu juga, aku baru sadar—kini Jo adalah orang yang bisa masuk begitu saja ke ruang pribadiku yang paling dalam. Dan Jo… dia adalah pria pertama di luar keluargaku yang pernah kubiarkan sedekat ini denganku. Aneh, tapi aku membiarkannya. Bahkan… aku ingin dia ada di sini. Begitu Jo melangkah masuk, suasana kamarku berubah. Cahaya kuning lembut dari lampu meja biasanya membuatku tenang, tapi malam ini cahayanya memantul ke dinding-dinding masa kecilku dan membuatku sadar bahwa ada seseorang di sini bersamaku—yang bukan bagian dari masa lalu itu. Seseorang bernama Jo. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Langkahnya pelan dan yakin, dan aku masih berada dalam gendongan kokohnya ketika ia mendekati sisi kasurku—kasur yang sudah kupakai sejak lama. Banyak kenangan tersimpan di sana, menemani hampir setiap malamku. Tapi tidak ada satu pun yang pernah membuatku merasa kamar ini bisa menjadi tempat untuk benar-benar membuka diri… sampai malam ini. Aku merasakan perubahan kecil pada napas Jo saat ia melihat ranjangku. Bagiku ini tempat paling personal dan ternyaman untukku. Namun, keputusannya membawaku kesini, seolah ia tahu bahwa ia sedang membawa bagian diriku yang paling rentan ke ruang yang paling personal untukku. Aroma kamarku, pewangi ruangan favoritku—bercampur dengan aroma tubuh Jo yang sedikit berbau keringat setelah seharian beraktivitas berdua. Perpaduan itu membuat kepalaku berputar dan membuat satu pertanyaan berulang di pikiranku: Dia benar-benar ada di sini? Di tempat paling pribadiku? Perlahan, Jo menurunkanku. Bukan melepaskan. Bukan menjatuhkan. Tapi membaringkan dengan hati-hati. Kasur milikku terasa lebih lembut ketika menyentuh punggungku. Caranya memperlakukanku—bagaimana tangannya tetap menopangku sampai aku benar-benar berada di tempat yang nyaman membuatku terbuai. Gerakannya sangat lembut, seakan ia tidak ingin membuatku merasa tidak nyaman di kamarku sendiri. Saat kepalaku menyentuh bantal, Jo tetap berada di atasku. Matanya menatapku penuh makna. Ia bahkan tidak menyentuhku lagi selain satu tangannya yang masih berada di pinggangku. Di bawah sinar lampu kamar, wajahnya terlihat seperti seseorang yang bukan hanya memimpin situasi, tetapi juga memperhatikan setiap reaksi dariku. Setiap tarikan napas. Setiap ketegangan kecil. Setiap keraguan yang mungkin muncul. Aku menelan ludah. Dadaku hangat dan sesak bersamaan. Kamar ini penuh dengan kenangan lama, tapi tatapan Jo memunculkan kenangan yang baru. Untuk pertama kalinya, ruang ini terasa seperti tempat di mana aku bisa… benar-benar melepaskan semuanya. Tangan Jo yang masih menopang pinggangku perlahan bergerak ke samping tubuhku, jari-jarinya mengikuti garis tulang rusukku dengan sentuhan yang lembut dan terkendali. “Rara..”, panggil Jo pelan. Jo turun mendekatkan wajahnya lagi. Mataku refleks terpejam saat bibirnya menyentuh pelipisku. Perlahan ciuman itu beralih ke leherku. Ciumannya tidak terburu-buru; seolah sedang mengambil waktu, mempelajari reaksi kecilku satu per satu, mencoba memahami sesuatu yang hanya ia yang tahu. Tangan Jo bergerak turun, menyentuh bagian bawah kaus yang kupakai. Ia masih menempel di leherku, menarik napas pelan, sebelum akhirnya kedua tangannya berhenti di pinggangku, tepat di atas kain itu. “Kamu memang cantik pakai baju ini. Tapi sekarang, aku lebih suka kamu terbuka dan polos seutuhnya.” Ia menarik ujung kausku sedikit demi sedikit, memberi cukup waktu agar aku bisa mengikuti ritmenya. Tanpa sadar, aku mengangkat tubuhku sedikit supaya lebih mudah baginya untuk melepas kausku. Begitu kaus itu terlepas, permukaan dingin tempat tidur menyentuh kulitku. Mataku terpejam, menikmati ketika ujung jarinya menyusuri pinggul dan bagian atas perutku. Tangan Jo lalu berhenti tepat di tepi rok yang masih menutupiku. Ada jeda—hening singkat yang justru membuat udara terasa lebih padat. “Kamu juga nggak butuh rok ini lagi.” Tangannya bergerak lebih cepat dari apa yang kuperkirakan; hanya dalam sekejap, kain rok itu sudah berada di lantai, meninggalkan tubuhku yang kini sudah telanjang. Seketika itu juga, aku melihat Jo menelan ludah. Tatapannya memberi isyarat seolah ia sudah tidak bisa lagi menahan semua keinginannya. Jo berdiri tepat di depanku—begitu dekat, begitu telanjang. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasakan bagaimana kamar ini berubah. Biasanya ini tempatku bersembunyi, tempat aku menenangkan diri. Tapi sekarang, ruang ini terasa seperti tempat aku membuka diri sepenuhnya padanya. Jo ada di sini. Tanpa jarak. Tanpa keraguan. Tangannya menyentuh pinggangku lebih dulu. Hangat, mantap, begitu pelan. Sentuhan itu menenangkan, tapi sekaligus membuatku hampir goyah. Ia mendekat. Dan dengan itu saja, napasku hampir hilang. Kulitnya menyentuh kulit telanjangku. Tidak ada apa pun di antara kami lagi, dan tubuhku langsung bereaksi. Aku menarik napas pelan, tapi tetap tidak bisa menahan getaran ringan di dadaku. Jo pasti merasakannya, karena ia mengusap pinggangku sedikit lebih kuat, seperti mengingatkanku untuk tetap di sini, bersamanya. Namun justru itu yang membuatku semakin tak karuan. Aku telanjang di depannya. Ia telanjang di depanku. Dan kamar ini—kamar paling pribadiku, tempat di mana aku menyerahkan diriku pada sesuatu yang sudah terlalu lama kutahan. Jo tidak langsung bergerak. Ia hanya menatapku—aku yang begitu terbuka dan goyah di hadapannya—seolah ia sedang membaca setiap perubahan kecil di wajahku. Jempolnya mengusap pelan kulit di dekat pahaku, seperti memastikan aku tetap hadir bersamanya. “Kamu… cantik banget,” bisiknya dengan suara serak yang membuat bulu kudukku berdiri. “Tubuhmu… sempurna.” Tangan Jo yang tadi berada di pinggangku naik perlahan ke sisi tubuhku. Ia bergerak pelan, seperti memastikan setiap tindakannya bisa kuterima. Bibirnya terasa cukup dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di sana—hangat, intens, membuat seluruh tubuhku menegang bukan karena takut, tapi karena kedekatan yang sangat berbeda. Selama beberapa saat, kamar itu hanya dipenuhi keheningan dan suara napas kami yang teratur. Jantungku terus berdetak keras, terasa seperti memukul dadaku dari dalam. Aku berbaring di kasur, pikiranku tercampur antara masa lalu dan apa yang baru saja terjadi. “Jo.” Suaraku terdengar lirih di tengah-tengah keheningan, seperti bisikan yang ingin merubah suasana. “Kenapa Ra?” “Aku…”, ucapku menggantung. Keheningan ini membuatku tidak bisa berpikir lagi dengan jernih. Hangatnya napas Jo yang terasa dekat, membuatku tidak lagi ingin menunggu apa yang akan terjadi sebelumnya. Namun Jo tetaplah Jo. Dia tidak terburu-buru, menyentuhku dengan lembtu dan tenang. Tangannya menyentuh pipiku, jari-jarinya bergerak, membuatku gemetar karena lembutnya sentuhan itu. “Buka lebar untuk aku,” bisiknya dengan suara serak, matanya menatapku tajam. Ujung penisnya yang hangat menyentuh bibirku, seolah Jo ingin memastikan aku siap. Dan aku tahu dia memperhatikan cara aku menurutinya, membuka mulutku seperti yang ia minta. Dengan dorongan pelan, tekanan itu memenuhi mulutku. Hangat, padat, dan penuh membuat rahangku sedikit menegang saat Jo bergerak masuk lebih jauh. Jo membiarkan penisnya berada di dalam bibirku hanya sebentar—hangat, lembap karena air liurku sendiri. Tatapannya menusuk, seperti sedang membaca tiap reaksi kecil di wajahku. Saat dia mulai mendorong perlahan, aku bisa merasakan tubuhku menegang, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Hmmphhh…” Lalu tiba-tiba… Dia menarik diri. Bukan dengan kasar, bukan juga tergesa—lebih seperti keputusan yang sudah dia pikirkan dalam sepersekian detik. Aku terkejut, napasku menggantung di tenggorokan. Jo menarik napas panjang saat dia perlahan menjauh dari bibirku. Hangat yang tersisa di sekitar mulutku masih terasa, membuatku sulit menenangkan diri. Tatapan Jo tetap menempel padaku—gelap, intens, dan jelas-jelas menunggu setiap reaksi kecil yang keluar dari tubuhku. “Kamu…” suaranya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang hampir lepas. Tangannya turun ke pahaku dengan gerakan yakin namun terkontrol. Ibu jari Jo menyentuh vaginaku—basah karena semua yang barusan terjadi—sebelum perlahan menekan masuk sedikit. Aku mengerang kecil tanpa sempat menahannya ketika dua jarinya masuk lebih dalam. Tekanan itu tepat… terlalu nikmat. Getaran halus langsung menjalar dari panggulku hingga ke seluruh tubuh. “Sshhh Jo…”, erangku pelan. “Basah banget,” bisik Jo dengan suara serak, jari-jarinya bergerak lebih cepat, membuatku terangkat dari kasur. “Dari tadi udah nggak sabar ya?” Aku bahkan belum sempat menjawab ketika dia menarik jarinya kembali. Sensasi kosong yang singkat itu langsung digantikan oleh sesuatu yang lebih besar, lebih hangat—berusaha menusukku dari bawah seolah tidak perlu menunggu izinku. Dan ketika Jo akhirnya mendorong penisnya masuk… Dorongan pertama membuat kepalaku tersentak ke belakang. Tubuhnya menempel erat padaku, napas kami bercampur satu sama lain. Aroma hangat dan suasana yang penuh ketegangan itu membuat ruangan terasa lebih panas. Dingin AC tidak lagi terasa bagiku. Tangan Jo yang bebas mencengkeram pinggulku, bukan untuk menahan, tapi seakan memastikan aku masih bersamanya, tidak hilang dalam sensasi itu. Begitu Jo menggerakkan penisnya keluar-masuk dalam vaginaku, tubuhku otomatis menegang dan meremas sprei di sebelahku tanpa bisa kutahan. Saat Jo menarik dirinya sedikit menjauh hanya untuk kembali mendekat dengan dorongan yang lebih kuat, kendaliku langsung hilang. “Ahhh—!!!”, teriakku. Tubuhku tersentak, seperti dihantam dan ditusuk oleh sesuatu benda keras dan hangat yang datang tiba-tiba. Sensasi panas merambat turun ke pahaku, membuatku menggeliat tanpa daya di bawahnya. Wajah Jo berada tepat di atasku. Ia menatapku dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya berbicara. Aku bisa merasakan sedikit gerakan dari bibirnya ketika suaranya terdengar dekat telingaku, berbisik pelan : “Kamu sudah merasakan sensasi terbaik dalam hidupmu, kan?” Aku hanya mampu mengangguk lemah. Kepalaku masih kacau; aku belum bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Yang aku tahu, rasanya jauh lebih kuat daripada apa pun yang pernah kualami sebelumnya. Jo tertawa pelan. Nada tawanya terdengar seperti godaan—sedikit mengejek, tapi tetap lembut. “Aku belum selesai, lho.” Jo menggerakkan pinggulnya perlahan, membuat tubuhku menegang dan tak berdaya mengikuti arah gerakannya. Kehangatannya menekan masuk semakin dalam, membuat napasku kacau. Napas Jo terasa berat di telingaku, dan aku hampir tidak bisa menghindar. Ia mendekat lebih jauh, suaranya rendah dan kasar tepat di telingaku: "Teriak," bisiknya serak, “aku mau dengar suara desahanmu. Di kamarmu sendiri.” Jantungku langsung berdegup keras. Kata-katanya seperti menegaskan bahwa aku tidak punya tempat untuk bersembunyi, bahkan di ruangku sendiri. Satu gerakan kuat dari bawah membuat tubuhku terangkat dari kasur. Cengkeramannya di pahaku mengeras, memastikan aku tetap di tempat. Bibir Jo menelusuri leherku, memberi gigitan kecil yang membuatku tersentak, sementara ritmenya terus meningkat. Setiap gerakannya membuatku kembali merasakan sensasi yang sama seperti sebelumnya—sensasi yang begitu kuat sampai-sampai aku merasa kamarku sendiri bukan lagi milikku. Ruang yang selama ini terasa aman dan pribadi itu kini terasa seperti tempat yang dipenuhi dirinya… bukan aku. Jo tidak hanya memenuhi kamarku dengan kehadirannya—ia juga memenuhi pikiranku sampai aku hampir tidak bisa berpikir jernih. Setiap gerakannya membuatku semakin kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Tanganku mencengkeram sprei erat-erat, seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa kulakukan. “Ah— Jo...!” Suara itu lolos begitu saja dari bibirku. Wajahku panas, tubuhku bergetar tanpa bisa kuhentikan, seperti tidak ada yang stabil di bawahku. Jo menggeram pelan ketika mendengar namanya keluar dari mulutku. "Lagi, aku mau dengar kamu teriak namaku lagi."" godanya, ritme gerakannya makin intens. Saat Jo menekan tubuhku kembali ke kasur, bukan gerakan fisik yang membuatku terdiam… tapi cara ia menguasai ruang. Kamar ini biasanya terasa seperti wilayahku sendiri—tempat aku menyimpan rahasia, ketakutan, dan semua hal kecil yang hampir tidak pernah kuperlihatkan. Tapi kini, ketika Jo mencondongkan tubuhnya tepat di atasku, semua itu seolah direbut dariku begitu saja. “Ah—Jo… Enak!” Ia tidak perlu melakukan banyak hal. Hanya kehadirannya saja sudah cukup membuatku kehilangan kendali. Jo mendesah keras saat mendengar kata-kata itu, tubuhnya tiba-tiba menegang di atas tubuhku. “Enak ya?” Suaranya serak—bukan hanya penuh emosi, tapi seperti ada sesuatu dalam dirinya yang baru saja terpicu. Tatapannya menusuk, seolah ia baru menemukan cara paling efektif untuk meruntuhkan pertahananku. Dengan gerakan cepat dan terlatih, ia meraih kedua pergelangan tanganku lalu menekannya di atas kepalaku. Tubuhnya turun, mendekat begitu rapat hingga tidak ada jarak tersisa di antara kami. Napas hangatnya menyapu wajahku, membuatku sulit mengatur napas sendiri. “Kamu pikir ini cukup? Cuma 'enak' aja?” Bisikannya dingin, namun nadanya jelas menguji batas. Tangannya menarik pinggul dan pinggangku dengan kasar—bukan dalam konteks menggoda, tetapi seperti ingin memastikan aku tetap berada dalam kendalinya. Tekanan tubuhnya makin kuat, membuatku tak bisa menghindar. Mataku membesar ketika ritmenya berubah—gerakannya jadi tak teratur, cepat, intens… seolah ia sengaja menciptakan kekacauan di tubuhku agar aku benar-benar kehilangan kendali. Ia hanya mencondongkan tubuh lebih dekat, bibir kami hampir bersentuhan ketika suaranya terdengar parau: “p*****r kecil seperti kamu sudah ketagihan rasa enaknya ya?” Tangan Jo mencengkeram sisi tubuhku dengan kuat, jari-jarinya menekan sampai kulitku terasa panas. Gerakannya makin dalam dan intens—caranya menguasai ruang, tubuhku, dan pikiranku sampai aku merasa benar-benar diguncang oleh sensasi yang tak bisa kuartikan. Rasanya seperti ia sedang menghancurkan seluruh pertahananku… perlahan, panas, dan tanpa memberi kesempatan untuk bernapas lega. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Kehadirannya membuat seluruh tubuhku terasa goyah—tidak ada yang stabil, tidak ada yang cukup, dan setiap gerakan darinya membuatku hanya ingin lebih dekat lagi. Aku ingin ia tetap ada di sini, ingin terus mendengar suaranya, ingin merasakan berat tubuhnya di atasku. Tanpa henti. Tidak peduli di mana atau kapan. Rasanya seperti aku membutuhkan jaraknya, tekanan tubuhnya, bahkan napasnya… seolah aku akan hilang jika ia menjauh sedikit saja. Aku sungguh ingin ia tetap selalu berada begitu dekat denganku. Namun ketika aku mencoba berbicara, tidak ada kata-kata jelas yang muncul—hanya desahan kecil yang bahkan tidak terdengar seperti suaraku sendiri. Rasanya seperti tubuhku bereaksi lebih cepat daripada pikiranku bisa mengikutinya. Jo menunduk sedikit, dan aku bisa merasakan napasnya menyapu wajahku—hangat, padat, dan terlalu dekat sampai aku tidak bisa memikirkan apa pun selain dirinya. “Apa?” suaranya rendah, hampir seperti geraman lembut. “Kamu mau bilang sesuatu?” Aku membuka mulutku, tetapi suara yang keluar hanya bergetar, patah, dan tidak jelas. Wajahku panas, jantungku berdebar tidak karuan. Tubuhku merespons setiap tekanan kecil darinya, setiap pergerakan, setiap perubahan napas… seolah ia mengendalikan ritme tubuhku tanpa perlu menyentuh lebih dalam dari itu. Tangannya yang masih mengunci pergelangan tanganku perlahan menguat tekanannya, membuatku sadar betapa kecilnya ruang gerak yang kumiliki. Dan anehnya aku suka ketika kusadari betapa mudahnya ia melihat aku kehilangan kendali. Hal itu justru membuatku semakin ingin ia berada lebih dekat. Aku menjerit tanpa sadar. “Ah— Jo! Jangan— jangan berhenti!” Aku bahkan tidak tahu apa yang kuminta, hanya saja tubuhku terasa seperti akan runtuh kalau ia menjauh sedikit saja. Getaran yang menjalar dari ujung kaki sampai tengkukku membuatku mencengkeram sprei begitu keras sampai jariku sakit. Kakiku melingkar di pinggangnya bukan karena dorongan apa pun—rasanya hanya seperti tubuhku menolak kehilangan tekanan dan kedekatannya. Jo mendesah di telingaku, napasnya berat dan panas, membuatku gemetar setiap kali suaranya menyentuh kulitku. Dia tertawa rendah, suara yang membuat jantungku makin berdebar tak teratur. “Dasar p*****r… udah mau keluar, ya?” Gigitan kasarnya di bahuku membuat lututku melemah. Aku bisa merasakan tubuhnya menekan tubuhku lebih kuat, menciptakan ritme gerakan yang tidak beraturan tapi penuh kekuatan… seperti ia sengaja mengguncangku dari segala arah hanya untuk melihatku kehilangan kendali. Kasurku berderit keras. Suara napas kami memenuhi kamar—tempat yang biasanya tenang, kini terasa sempit dan panas, seolah dindingnya ikut menekan tubuhku. Ritmenya semakin tak terduga. Kadang cepat, kadang lambat, kadang begitu intens sampai aku terangkat dari kasur beberapa sentimeter sebelum jatuh lagi di bawah berat tubuhnya. Segalanya terasa seperti gelombang yang terus menabrakku tanpa jeda. Pandangan mataku mulai kabur. Titik-titik hitam dan cahaya berputar di tepi penglihatanku, membuatku sulit fokus pada wajah Jo. Dunia terasa mengabur, dan satu-satunya hal yang masih jelas bagiku hanyalah dirinya—napasnya, berat tubuhnya, suaranya, dan cara ia memenuhi ruangku, pikiranku… bahkan tubuhku. Jo meraih tengkukku, membuat wajahku tetap menghadap ke arahnya. Suaranya terdengar tepat di telingaku: “Cuma aku yang bisa lihat kamu begini, ya? Kamu kayak p*****r kecil yang udah enggak punya malu.” Kata-katanya menancap dalam di kepalaku seperti mantra, menguasai semua yang bisa kupikirkan. Tubuhku otomatis menegang ketika ia mendekat, begitu dekat sampai bibir kami hampir bersentuhan. Aku tidak mampu menjauh. Aku bahkan tidak mampu menarik napas. Kehadirannya memenuhi seluruh ruang di depanku—terlalu dekat, terlalu intens—membuatku hanya bisa menatapnya tanpa bisa bergerak sedikit pun. Jo tidak berkedip; matanya mengeras saat melihat ekspresi wajahku. Bibirnya melengkung kecil, tawa tanpa suara yang muncul seolah ia sedang menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar reaksi biasa. Ada keyakinan di matanya—keyakinan akan kuasa yang ia pegang, kuasa yang bahkan lebih besar daripada yang kusadari sendiri. Aku mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang terbentuk. Aku tidak ingin berbicara. Tidak ingin bergerak. Yang benar-benar aku rasakan hanyalah… keinginan agar ia melakukan apa pun yang ia inginkan. Jo menggeser rambutku ke belakang dengan gerakan lembut, seolah memastikan tidak ada yang menghalangi suara dan tatapannya. Jari-jarinya menahan daguku dengan perlahan, memaksaku tetap menatap ke arahnya. Aku membeku. Napasku terhenti sesaat ketika ia mengamati wajahku begitu lama, begitu fokus, sebelum akhirnya berbicara dengan nada yang tenang namun sangat memaksa: “Kamu indah banget, kamu tahu ‘kan?” Aku tidak bisa menjawab. Tidak bisa mengangguk. Tidak bisa mengeluarkan suara. Tubuhku seperti terkunci, tidak memberi ruang untuk bergerak sedikit pun. Yang bisa kulakukan hanya menatapnya, menahan semua sensasi yang menumpuk di d**a—tekanan, ketertarikan, dan sesuatu yang membuatku tetap diam di tempat. Jo tersenyum, seolah membaca seluruh isi kepalaku. Ia tahu bagaimana aku bereaksi. Ia tahu aku tidak bisa bergerak meski aku ingin. Ia tahu aku tidak akan menolak sentuhan atau kehadirannya. Ia tahu betapa kuat pengaruhnya atas diriku. Dan yang paling membuatku sulit bernapas adalah… aku tahu itu semua benar. Jo menggeram rendah, napasnya panas di kulitku. Tatapannya membara—gelap, dalam, dan penuh rasa menang ketika ia melihat tubuhku kembali menegang tak terkendali di bawah beratnya. “Rara, kita keluar bareng.” bisiknya, suaranya serak dan terlalu dekat. Jarinya mencengkeram pinggangku begitu kuat sampai aku merasa seperti tidak punya pilihan selain tetap berada di bawah genggamannya. Ritme gerakannya semakin cepat—bukan dorongan seperti sebelumnya, tapi tekanan tubuh yang sengaja menghimpitku lebih dalam ke kasur, seolah ia ingin menghancurkan sisa kendali yang masih kumiliki. Kasurku bergetar, rangka kayunya berbunyi akibat tekanan itu. Desahan kecil lolos dari bibirku, terputus-putus. Tubuhku melengkung secara refleks setiap kali Jo menekan lebih keras ke arahku, membuat dadaku sesak dan pikiranku kosong, putih, dan berputar. Plap... plap... plap… Suara benturan tubuh dengan kasur—keras, cepat, dan berirama—mememenuhi kamar itu. Lalu… Tiba-tiba… “S-shitt!! A-Ah—JO!!” Suara itu keluar dariku sebelum aku tahu apa yang sedang terjadi. Pikiranku meledak dalam sensasi seperti gelombang besar yang menyambar seluruh tubuhku—membuat jari-jariku mencengkeram sprei tanpa kendali dan seluruh wajahku panas sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas. Dan Jo hanya menunduk, gumamannya rendah dan kasar: “Aku juga bentar lagi keluar Ra…” Ia menekan punggungku lebih dalam, menjaga tubuhku tetap di tempat, seolah ia tidak mau membiarkanku goyah atau jatuh. Aku hanya bisa terkulai di bawahnya—lemas, gemetar, napas tersendat pendek-pendek. Pandangan mataku berkunang-kunang ketika aku menatap langit-langit kamarku sendiri yang kini terasa terlalu panas, terlalu sempit, dan terlalu penuh oleh kehadirannya. Aku tidak bisa menggerakkan satu pun ototku. Aku hanya bisa berada di sana… di bawahnya… di dalam ruang yang kini sepenuhnya dikuasai oleh Jo. Jo mendesah keras di telingaku, napasnya panas dan tidak stabil, menekan kulitku seperti gelombang yang sulit dikendalikan. Tubuhnya menegang di atas tubuhku—keras, kaku, dan berat—seolah seluruh kekuatannya menumpuk hanya untuk menahan satu momen itu. “Rara… aku…” Suaranya pecah, campuran antara desahan tertahan dan erangan yang meluncur tanpa ia sadari. Cengkeramannya di pinggulku tiba-tiba menguat, hampir terlalu kuat, membuat napasku tertarik pendek. Tangannya menahan tubuhku di tempat, menancapkan aku ke kasur seolah dunia akan runtuh jika ia melepaskanku sekarang. Tekanan dari tubuhnya membuatku hampir tidak bisa bergerak—atau bernapas. Plok! Plok! Plok! Suara tubuh kami menghantam kasur terdengar keras di seluruh ruangan. Udara di kamar jadi panas dan berat, penuh aroma keringat dan napas yang terpecah-pecah. Mataku menatap Jo lebar-lebar. Wajahnya berubah— dari tegas menjadi kacau, dari terkendali menjadi hampir liar. Bibirnya terbuka, napasnya bergetar, alisnya berkedut seperti ia sedang berjuang melawan sesuatu yang terlalu besar untuk ditahan. Dan untuk pertama kalinya… aku melihat Jo benar-benar kehilangan kontrol di atas tubuhku. Jo menggeram keras. Suara itu begitu dalam hingga aku bisa merasakannya bergetar di tulang rusukku—saat ia akhirnya mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku, rasanya hangat memenuhi rahimku. Kasurku memantul di bawah tubuh kami. Getarannya menyebar ke seluruh ranjang, membuatku terangkat sedikit di bawah berat tubuhnya. Aku merasakan otot-ototnya menegang tanpa kendali—perut, punggung, bahu, semuanya seperti mengunci bersamaan. Nafasnya pecah, kasar, hampir seperti ia sedang menahan rasa sakit atau kekuatan besar yang tidak bisa ditahan. “F—f**k…” suaranya pecah seperti seseorang yang dipaksa menahan emosi yang meledak dari dalam. Tangan Jo mencengkeram sprei di samping kepalaku sampai kusut berantakan. Jari-jarinya memutih, menancap begitu kuat seolah ia sedang berusaha menahan dirinya agar tidak kehilangan arah sepenuhnya. “A-Ah… R-Ra…” Namaku meluncur dari bibirnya. Napasnya bergetar ketika ia menunduk, dahinya menempel pada pundakku. Aku bisa merasakan seluruh ketegangan itu mengalir keluar dari tubuhnya. Lalu perlahan… segalanya mereda. Geramannya berubah menjadi napas berat. Getarannya berkurang sedikit demi sedikit. Dan akhirnya… Jo membiarkan dirinya jatuh ke atas tubuhku. Tidak keras. Tidak memaksa. Justru sebaliknya—seperti seseorang yang akhirnya melepaskan semua beban yang tidak bisa ia tahan lagi. Berat tubuhnya menindihku lembut, membuat napasku tertahan, tapi dengan cara yang cukup menenangkan. Nadinya berdetak cepat tapi perlahan melambat saat ia menindihku. Dadanya naik turun di atas milikku. Napasnya menggelitik leherku. Dan untuk pertama kalinya sejak awal… suasana kamar menjadi hening. Aku ingin menggerakkan tangan… tapi rasanya terlalu berat. Aku ingin bicara… tapi kelopak mataku terasa semakin turun, semakin berat, semakin sulit dibuka. Kelelahanku datang seperti gelombang besar yang langsung menenggelamkanku. Dengan Jo masih terbaring di atas tubuhku—hangat, berat, dan anehnya membuatku merasa aman—mataku akhirnya tertutup. Dan tanpa aku sadari… aku tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN