Home Sweet Home

2820 Kata
Jo maju beberapa langkah, tangannya masih memegang pinggangku, membuatku ikut bergerak bersamanya. Dia memberi sedikit ruang, tapi tetap dekat—seolah dia memang ingin kami tetap berada dalam posisi itu. Wajah Jo berada tidak jauh dariku, jadi aku bisa melihat jelas ekspresi matanya. Tatapannya lurus dan tenang, sama sekali tidak ragu. Seakan dia benar-benar tahu apa yang sedang terjadi di antara kami. Dengan tangannya yang masih memegang pinggangku, Jo menarikku pelan menuju sofa. “Hmmmphh..” Aku mengeluarkan suara pelan ketika punggungku menabrak sandaran sofa. Bukan karena sakit—lebih karena aku terduduk begitu saja, mengikuti gerakannya tanpa sempat berpikir. Jo tidak langsung duduk. Dia kemudian berdiri di antara kedua kakiku yang otomatis terbuka saat aku duduk. Lalu dia melepas jaketnya, masih sambil menatapku. Jantungku langsung berdebar. Jaketnya jatuh di sampingku. Kini dia hanya memakai kemeja putih tipis yang menempel sedikit di tubuhnya. Dia terlihat lebih tegap dari biasanya, dan aku tidak bisa berhenti menatap wajahnya yang tetap tenang. Jo sedikit menunduk. Matanya mengikuti garis tubuhku dari atas ke bawah—cukup lama sampai aku menahan napas tanpa sadar. Saat tatapannya kembali naik, sudut bibirnya terangkat. “Rara…” suaranya rendah, “kamu kelihatan… luar biasa.” Dia menyentuh daguku dan menurunkannya sedikit. Tatapannya tetap terkunci padaku, jaraknya dekat sekali. “Kaus ketat itu…” Matanya menyusuri bentuk tubuhku tanpa menyentuh. “Rok pendek itu…” Napasnya terdengar berat, tapi masih terkendali. “Kamu tahu nggak… kamu kelihatan jauh lebih seksi daripada yang kamu pikir.” Aku membuka mulut, ingin menjawab, tapi yang keluar hanya suara kecil yang terputus karena rasa tegang. Dia sempat mengusap wajahku pelan dengan ibu jarinya—membersihkan sisa s****a yang tadi dia oleskan merata di wajahku saat permainan kami di balkon apartemen. Cairan itu sudah mengering, meninggalkan garis samar yang dia hapus dengan sentuhan hati-hati. Lalu tanpa ragu ia memasukkan jarinya ke mulutku. Di detik itu juga, aku bisa merasakan jelas sisa s****a yang sudah mengering di bibirku—teksturnya tipis, agak lengket, bercampur dengan dinginnya ujung jari Jo. Sensasinya aneh: sedikit memalukan, tapi juga membuat dadaku berdebar lebih keras karena kedekatan kami terasa sangat nyata. “Aku suka kamu kayak gini,” katanya dengan suara rendah. “Wajahmu kelihatan makin manis… dan jujur aja, Ra, kamu kelihatan sangat menggairahkan.” Aku menarik napas kecil, berusaha tenang, tapi tubuhku jelas punya reaksi sendiri. Tatapannya turun perlahan ke tubuhku—ke kaus putihku yang memang agak ketat, menunjukan cetakan jelas putingku karena aku tidak mengenakan apapun di baliknya. Lalu ke rok hitam yang terlalu pendek untuk duduk seperti ini, otomatis memperlihatkan pahaku yang mulus tanpa bulu. Aku refleks merapatkan kakiku, tapi Jo hanya tersenyum kecil, bukan mengejek… lebih seperti menghargai reaksiku. “Dengan pakaian seperti ini,” gumamnya, mendekat sedikit, “kamu bikin siapapun susah buat nggak lihat.” Nada suaranya pelan, bukan memanggil—lebih seperti memastikan. “Tapi kamu boleh bilang berhenti kapan pun.” Jawabanku keluar begitu saja. “Aku nggak mau kamu berhenti.” Jo tersenyum kecil— senyum orang yang benar-benar menghargai apa yang dia lihat. “Okee,” katanya sambil menunduk sedikit. Wajahnya makin dekat. “Kalau begitu… biar aku nikmatin tubuhmu pelan-pelan.” Tangan Jo menyentuh daguku. Gerakannya hati-hati, seolah dia memastikan aku tetap nyaman di setiap detik. Dan aku membiarkan dia melihat semuanya—caraku merespons tanpa perlu menjelaskan apa pun. Jo mulai mengecup leherku, gerakannya pelan tapi terasa pasti. Aku mendongakkan kepala sedikit, memberi lebih banyak ruang. Tubuhku langsung terasa lebih hangat, terutama saat napasnya menyentuh telingaku. Tangan Jo yang tadi ada di daguku bergerak turun perlahan. Sentuhan jari-jarinya mencubit kedua putingku yang sudah keras, membuatku menahan napas, sementara dia terus mengecup leherku tanpa berhenti. “Ahhh… Jo!!” Jo menarik napas pendek, matanya sempat membesar seolah terkejut oleh reaksiku. “Ternyata kamu… lebih panas dari yang kubayangkan,” bisiknya dengan suara serak. Dia tidak berhenti. Tangannya bergerak ke ujung rok pendekku. Jarinya menggenggam kain itu dan perlahan menariknya naik, cukup untuk memperlihatkan vaginaku karena aku sudah tidak memakai celana dalam. Tangan kirinya masih bermain di luar kaus yang kupakai, meremas payudaraku dan memainkan putingnya. Sementara tangan kanannya bergerak turun dan mendekat, mulai menyentuh bibir vaginaku yang sudah basah sejak tadi, memberi tekanan lembut yang membuatku sadar betapa cepatnya tubuhku merespons. “A-Ah… J-Jo…” Jo menarik napas dalam-dalam saat melihat caraku bereaksi padanya. Matanya yang gelap semakin fokus, tapi gerakannya tetap terkontrol—seperti sengaja menahan diri karena ingin menikmati setiap detiknya. “Kamu… udah gak tahan ya?” bisiknya serak sambil mempermainkan bibir vaginaku dengan dua jarinya. Lalu ia memasukkan dua jari itu ke dalam vaginaku, sekaligus dan tanpa peringatan—terasa tebal dan dingin. Gerakannya melingkar halus di sekitar sana, membuatku menggeliat di sofa, sulit mempertahankan napas. “A-ah… Jo!” seruku meluncur begitu saja. Tubuhku menegang dan sedikit melengkung, tidak bisa mengendalikan reaksi yang tiba-tiba menyerbu. Setiap sentuhan ritmis darinya membuat pusat tubuhku terasa seperti ditarik naik, membuatku sulit bernapas stabil. Jo justru mendekat, gerakannya makin terarah. Aku bisa merasakan napas panasnya menyapu kulitku. “Denger, Ra…” suaranya berat, hampir seperti gumaman, “desahanmu, terekam jelas di rumah ini…” Matanya gelap, fokus penuh kepadaku, seolah membaca tiap reaksi kecil dari wajahku. Setiap kali aku mencoba menenangkan diri, dia justru semakin sadar dengan kegelisahanku. Perkataannya tadi berputar-putar di kepalaku. Rumah ini. Rumah tempat aku lahir. Tempat aku tumbuh. Tempat yang dulu rasanya paling aman dan paling polos. Semua kenangan masa kecil, semua momen tenang, semua hal yang dulu tidak pernah kusangka bisa terganggu… sekarang tercampur dengan gairahku dengan Jo. Ada rasa hangat yang muncul—bukan romantis, bukan juga semata nyaman—lebih seperti campuran antara gugup, malu, dan sesuatu yang membuatku bingung. Aku tidak pernah membayangkan rumah ini akan menjadi saksi perbuatan kami, sampai batas yang bahkan sulit kusebutkan dengan lantang. Sentuhannya di sisi sensitif tubuhku membuatku tersentak kecil, tekanan lembutnya semakin intens setiap kali aku mencoba menenangkan diri. Getaran kecil menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku menggigil saat dia menunduk sedikit dan menjilat bibir vaginaku perlahan. “Kamu mau aku lanjutin…” Dia mengangkat kepala sedikit, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari pipiku. Kedekatannya membuatku sulit bernapas stabil. Matanya mencari mataku, seolah memastikan aku benar-benar mendengarnya. “…pakai mulut, atau pakai yang lain?” Kata-katanya menyeret seluruh fokusku ke arah dirinya, membuatku semakin sadar betapa tipisnya jarak yang tersisa di antara kami. Tubuhku bereaksi lebih cepat daripada pikiranku. Aku tidak menjawab… tapi aku tahu dia bisa merasakan semuanya dari caraku menggigil. Mata Jo tetap terpaku pada wajahku. Dan tak lama kemudian, dia menyentuhkan ujung jarinya yang dingin ke bibir vaginaku—lebih seperti ingin memastikan aku sadar sepenuhnya akan jarak di antara kami. “Ra…” suaranya serak saat melihat ekspresiku. “kamu benar-benar sudah basah.” Jo menarik tangannya pelan, masih lembap oleh keringat dan cairan yang keluar dari vaginaku. Jempolnya mengusap pelan kulit di atas pahaku, hanya sentuhan ringan, tapi cukup untuk membuat pikiranku berlari. Lalu ia mulai membuka ikat pinggangnya perlahan. Suara gesekan kecil terdengar lebih keras dari seharusnya, membuat tubuhku secara refleks menegang lagi. Bukan takut—lebih karena campuran gugup dan sesuatu yang terasa seperti tarikan dalam yang tidak bisa ditolak. Jo berdiri di depanku sebentar sebelum mendekat lagi. Tanpa terburu-buru, ia melepaskan ikat pinggangnya. Suara gesekan logamnya terdengar jelas di ruangan ini. Setelah itu, tangannya turun, membuka kancing di bagian depan celananya. Lalu, dengan gerakan yang sama terkontrolnya, ia menurunkan resletingnya. Celana panjang itu akhirnya meluncur turun dengan suara gesekan lembut, jatuh ke lantai dekat kedua kakiku. Jo menarik napas perlahan, lalu melepas kemeja putih yang ia kenakan. Kancing-kancingnya terbuka satu-satu, dan kainnya akhirnya tergantung di tangannya sebelum ia letakkan di sofa, tepat di sampingku. Sekarang dia hanya mengenakan celana dalam. Dan di balik itu, tampak jelas tonjolan besar yang seolah siap untuk keluar. p***s yang jelas sudah tegak, sesuatu yang sejak kemarin malam membuatku melampaui batas. Saat Jo mendekat lagi—tanpa sebagian besar pakaiannya—tubuhku refleks menegang. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang kembali mengalir di pikiranku begitu dia berada sangat dekat. Aku teringat lagi kejadian semalam. Bukan gambaran fisiknya, bukan detailnya… tapi rasa yang dia tinggalkan. Rasa hangat yang menempel lama di tubuhku bahkan setelah ia sempat pergi. Caranya menahan tubuhku agar tetap aman… dan bagaimana setiap gerakannya membuatku seperti kehilangan pijakan. Semalam… aku benar-benar kehilangan kendali atas diriku. Aku belum pernah merasakan sesuatu sekuat itu sebelumnya—seolah seluruh tubuhku terseret masuk ke pusaran yang hanya Jo bisa bangkitkan. Kepalaku terasa ringan, napasku terputus-putus, dan pikiranku benar-benar tidak bisa bekerja jernih. Mungkin “mabuk kepayang” itu memang istilah yang paling menggambarkanku saat ini. Karena setelah kejadian semalam, aku menjadi sulit menjaga jarak. Sulit mengabaikan suara dan sentuhannya. Dan malam ini… tubuhku bereaksi bahkan sebelum aku sempat memutuskan apa pun. Mungkin itu sebabnya aku membiarkan dia sedekat ini sekarang. Jo tidak tahu apa yang ada di kepalaku saat aku mengingat hal itu. Dia hanya melihat wajahku yang memerah dan napasku yang mulai tidak stabil. Dia menunduk, tatapannya dalam—tenang tapi jelas menahan sesuatu. “Rara…” suaranya rendah, seperti gumaman yang hanya bisa kudengar karena jarak kami sudah sedekat ini. “Kamu kelihatan… sudah kepengen banget.” Aku menelan ludah pelan. Kalau dia tahu betapa semalam mempengaruhi aku sampai detik ini… dia pasti akan tersenyum lebih lebar daripada itu. Aku menatapnya kembali, pipiku panas. “Jadi… lanjut, ya?” bisiknya. Dan tanpa sadar, aku menariknya sedikit—cukup untuk menjawab tanpa kata-kata. Ia terkekeh pelan saat aku menariknya lebih dekat. Aku tidak bisa menahan diri—aku ingin lebih dekat, lebih merasakan kehadirannya. Jo tidak terburu-buru, tapi aku bisa melihat ketertarikannya. Ia tahu aku sudah siap… bahkan mungkin terlalu terlihat, sampai ia tidak memberi ruang bagiku untuk mundur. Ia hanya membalas tarikanku, tubuhnya makin dekat hingga ketika wajahnya hampir menyentuh bibirku, rasanya kami sudah terlalu terbuka satu sama lain. Ia diam, menunggu, tapi aku tahu apa yang sebenarnya kami inginkan. Aku belum melakukan apa pun, tapi jarak kami hampir menghilang. Aku menatapnya sebentar, terasa lama, sebelum akhirnya rasa penasaranku menarikku lebih jauh. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika aku memulai lebih dulu. Tubuh Jo sedikit tersentak saat aku maju dan menyentuhnya lebih dekat… dan aku tidak bisa menahan senyum kecil dalam hati. Aku merapatkan pelukanku di pinggangnya, membuatnya merasakan betapa dekatnya kami… begitu dekat hingga tak mungkin menyembunyikan apa yang sebenarnya kami inginkan. Aku ingin mendengar dia menggerakkan bibirnya atau sekadar mengeluarkan suara, tapi ia tidak mengucapkan apa pun selama beberapa detik. Ia hanya diam—meski aku bisa melihat jelas bagaimana tubuhnya bereaksi. Aku mulai tidak sabar. Aku ingin tubuh kami lebih dekat lagi… lebih menyatu… sampai aku tanpa sadar menarik pinggangnya dan membuat kami hampir tidak punya jarak. Aku bisa merasakan hangat kulitnya saat menyentuhnya—hanya sedikit, tetapi cukup untuk membuatku menginginkan lebih. Dengan gerakan perlahan, aku menyentuh pinggangnya lalu menurunkan celana dalam yang ia kenakan. Gerakanku membuatnya menarik napas dalam, dan aku bisa melihat betapa pengaruhnya momen itu bagi kami berdua. Kami semakin dekat, terlalu dekat untuk pura-pura tidak tahu apa yang sedang kami rasakan. Aku berlutut di depannya, merasakan tanganku sedikit gemetar saat menyentuh penisnya yang sudah keras. Reaksi tubuhnya begitu jelas hingga membuatku ikut menahan napas. Aku tidak berani melihat ke wajahnya, tapi aku bisa merasakan tatapan Jo yang intens, seolah ingin memastikan aku memang menginginkan ini. “Ra…” suara Jo serak, hampir pecah, ketika ujung jariku menyentuh kepala penisnya perlahan. Tanpa memikirkan apa pun, aku mendekat. Bibirku menyentuh penisnya dengan sebuah ciuman ringan— hanya sentuhan singkat, tapi cukup untuk membuat tubuh Jo menegang dan napasnya tersendat. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan reaksi yang langsung pecah keluar ketika lidahku menjilati kulit penisnya. “Kamu semakin pintar..” suaranya bergetar, memuji inisiatifku. Aku tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan dan menyentuh pinggangnya, memberi ritme lembut yang membuat bahunya naik turun saat ia menarik napas panjang. Jilatan berikutnya kubuat lebih dalam—mulutku menyedot ujung p***s Jo dengan tekanan yang membuatnya menjerit pelan. Tanganku tetap memompa bagian bawah, sementara lidahku melingkar di sekitar kepala yang sudah basah oleh air liurku—hingga napas Jo pecah dalam suara yang sulit ia tahan. Aroma tubuhnya semakin terasa—hangat, maskulin, bercampur keringat. Aroma itu membuat seluruh tubuhku bergetar, entah karena keberanian atau ketertarikan yang semakin sulit dikendalikan. “Kamu…” Jo menelan ludah, suaranya pecah. “Kamu benar-benar bikin aku… kehilangan kontrol.” Jo menatapku dengan mata gelap penuh keinginan, napasnya tidak beraturan seolah ia berusaha menahan sesuatu yang hampir lepas kendali. Ketika ia melihat wajahku yang sudah memerah dan bibirku basah karena ketegangan di antara kami, ekspresinya berubah menjadi lebih tajam. Tangannya terangkat, menyentuh rahangku dan mengarahkan wajahku perlahan, membuatku mendongak menatapnya tanpa bisa mengalihkan pandangan. Gerakannya tidak tergesa, tapi tegas—seolah ia tahu persis batas yang sanggup kuterima. Ibu jarinya mengusap perlahan di bibirku, memaksaku sedikit membuka mulut, dengan kendali yang membuat tubuhku merespon tanpa berpikir. “Lebih lebar… Lebih masuk..” suaranya serak, jarinya menekan ringan di bawah daguku. Saat ia mendekat, kehangatan tubuhnya menyergapku, membuat napasku tercekat. Aromanya—terasa hangat, maskulin, bercampur keringat—menyentuh hidungku. Setiap kali aku menarik napas, aroma itu justru semakin jelas, membuat kepalaku terasa ringan dan tubuhku bergetar tanpa bisa kuhindari. Aku tidak bisa menahan diri lagi—bibirku menyedot lebih dalam, lidahku melingkar di sekitar kepala p***s Jo yang sudah basah oleh air liurku. Tangan ku memompa bagian bawah dengan pelan tapi pasti, memberikan ritme halus yang membuat tubuhnya bergetar. Sementara itu, bibirku bergerak perlahan mengikuti garis tubuhnya—pelan… lalu sedikit lebih cepat—cukup untuk membuat erangannya terdengar di udara yang sunyi. “Ra…,” suaranya pecah, berat, hampir putus kontrol. Tangannya meraih rambutku, bukan menarik, hanya menahan—seolah ia tidak yakin ingin menjauhkan atau justru menahanku agar tetap di sana. Jo berbisik dengan napas yang berat. “Mulutmu bener-bener… nikmat.” Aku mengangkat wajah dan menatapnya dari bawah. Tatapanku saja sudah cukup membuat bahunya naik turun cepat, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya gemetar saat berusaha mempertahankan kendali. “A-Ah... Ra...” Suara Jo pecah dalam desahan serak saat mulutku menyedot penisnya lebih dalam, memasukkan penisnya hingga tenggelam dalam kenikmatan mulutku. Lidahku melingkar di sepanjang penisnya dengan tekanan sempurna. Tanganku masih memompa pangkal batang yang belum masuk ke mulut, mengikuti ritme basah dan panas dari bibirku. Jo menatapku dengan mata gelap penuh nafsu, tangannya mencengkeram rambutku perlahan—cukup untuk membuatku merasakan betapa dia terguncang oleh setiap gerakanku. "Kamu... benar-benar tahu cara bikin aku gila," bisiknya pelan sambil menggigit bibir. Namun Jo tiba-tiba menarik tubuhku menjauh, bukan dengan kasar, tapi dengan kendali yang membuat seluruh tubuhku otomatis menegang. Napasnya masih terdengar berat di atas kepalaku ketika ia berbisik, hampir seperti peringatan yang lembut namun tegas. “Belum,” katanya sambil mengatur napasnya. “Belum waktunya.” Sebelum aku sempat memproses apa pun, Jo duduk di sofa. Gerakannya mantap, perlahan, seolah ia tahu persis apa yang ingin ia lakukan berikutnya. Lalu, tanpa memberi kesempatan untuk berpikir, ia menarik kedua tanganku dan membimbingku naik ke pangkuannya—kali ini menghadap langsung ke arahnya. Tubuhku jatuh ke pangkuannya—terlalu dekat, terlalu hangat. Aku bisa merasakan dadanya naik turun, napasnya yang belum stabil, dan energi panas yang memancar dari kulitnya. Tangannya menahan pinggulku, menempatkanku tepat di atas dirinya. Tak ingin terlalu jauh dari kehangatan Jo, lenganku melingkar di lehernya dan membawaku lebih dekat dengannya. Wajah Jo sudah berada begitu dekat dengan wajahku. Tatapannya tidak liar, tidak rakus—tapi dalam, berat, seperti ia sedang membaca sesuatu di dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak sepenuhnya sadar. Dan saat itu terjadi… sesuatu di dalam dadaku mendadak runtuh. Bukan karena gairah. Bukan karena keberanian. Bahkan bukan karena sentuhan Jo. Tapi karena kenyataan sederhana ini: Aku kembali ke rumah masa kecilku, tempat yang dulu selalu terasa aman—tapi justru pelukan Jo yang membuatku benar-benar merasa pulang. Rasanya seperti dua dunia dalam diriku bertabrakan. Rumah lamaku di sekelilingku. Dinding, sofa, lampu, semua yang kukenal sejak aku bisa berjalan. Dan kemudian ada Jo. Kehadirannya menelan seluruh kecemasan yang diam-diam kubawa bertahun-tahun. Tangannya yang memeluk pinggangku terasa seperti pintu yang terbuka lebar—pintu yang tidak pernah kubayangkan akan kutemukan dalam diri seseorang. Aku merasa seperti sedang duduk di antara dua rumah. Rumah tempat aku dilahirkan. Dan rumah baru yang muncul tiba-tiba—rumah yang terasa seperti sesuatu yang ingin kupeluk erat dan tidak pernah kulepaskan. “Rara…” Jo memanggilku pelan, nyaris seperti gumaman. Aku menoleh sedikit. Suara itu—sederhana tapi membuat seluruh tubuhku bergetar dalam cara yang sama sekali tidak berkaitan dengan fisik. “Apa kamu… oke?” bisiknya sambil menaikkan sedikit tangannya ke punggungku. Aku tidak bisa menjawab. Bukan karena takut. Bukan karena ragu. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar ketertarikan. Seperti seluruh tubuhku—seluruh hidupku—sedang ditarik ke satu tempat yang sangat sempit, hangat, dan tidak bisa kutinggalkan. Aku menyandarkan dahiku ke bahunya. Napas Jo menyentuh rambutku. Dan aku sadar… Aku sudah terlalu jauh tenggelam. Dan anehnya, aku tidak ingin diselamatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN