"Gak usah membolak-balikan fakta, anjing!" umpat Damar.
Damar menarik kerah baju Willy. "Lo itu udah ngerusak adik gue! Jangan berlagak gak bersalah! Lo itu udah hamilin adik gue! Lo itu udah ngehancurin masa depan adik gue!"
BUM!
Tinju kembali mendarat di wajah Willy dan dia juga mendapat pukulan di perut. Membuat Willy hampir tak berdaya karena kehilangan tenaganya. Dia memang tak jago berkelahi sehingga mudah untuk dilumpuhkan.
"Kak Damar, cukup!" teriak Aca yang baru saja muncul. Keributan yang terjadi antara kakaknya dan Willy terdengar sampai di ruang makan. Sehingga sekarang orang-orang pada kemari dan melihat Damar yang berkelahi dengan Willy.
Aca berjalan menghampiri Damar. Dia tarik kakaknya agar menjauh dari Willy. Aca tidak bisa membiarkan Willy dihabisi oleh Damar. Dia tidak tega melihat Willy yang dipukuli kakaknya. Mau bagaimanapun Willy sudah banyak berbuat baik padanya. Hanya saja dia yang tidak tahu diri dan melampiaskan masalah pada pria itu.
"Cukup, Kak. Perkelahian gak menyelesaikan masalah," lerai Aca.
"Kakak gak peduli, Ca. Kakak cuma mau kasih pelajaran buat dia!" Damar mendekati Willy lagi untuk menghajarnya tapi Aca menariknya.
"Cukup Kak, udah. Gak usah berantem lagi. Iya, Willy memang salah tapikan bisa diselesaikan dengan cara baik-baik gak harus dengan main tangan. Gak baik Kak, mukul orang. Aku gak mau kakak aku main kasar kayak gini."
"Tapi Ca..."
"Kak udah."
Damar menghela napas sambil menatap bengis pada Willy. Dia sangat benci pada Willy karena sekarang pria itu sudah menjadi musuh dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah memaafkan laki-laki itu. Dia sudah terlanjur sangat membenci Willy karena pria itu sudah merusak masa depan adik satu-satunya.
Aca mendekati Willy. Dia mengulurkan tangan ingin membantu pria itu berdiri tapi sayangnya kebaikannya tak diterima. Tangannya ditepis oleh Willy dan pria itu bangkit sendiri.
"Gak usah pura-pura baik," ketus Willy.
"Liatkan apa yang dia lakuin ke kamu. Dia itu gak pantes dibaikin Ca," ucap Damar.
"Kak udah, aku gapapa. Kakak gak usah ngomong kayak gitu. Aku ikhlas mau bantuin dia. Kalau dia gak nerima kebaikan aku ya udah, gak masalah."
"Mungkin kamu bisa nipu semua orang Ca, mungkin cuma aku yang tau kebenarannya. Tapi liat aja nanti, kamu akan dapat karmanya." Willy melenggang pergi dan masuk ke kamarnya kembali.
Aca mematung sepeninggalan Willy.
"Damar, kamu gapapa?" tanya Malik pada putranya sambil memeriksa tubuh anaknya. Mencari, apa ada luka di tubuh putranya itu.
"Aku gapapa."
"Kamu gak dipukulin, kan?"
"Enggak Pa."
"Baguslah."
"Aku ke kamar dulu."
Malik mengangguk. Damar pun beranjak pergi.
"Ca, masuk kamar," pinta Sita.
"Tapi..."
"Masuk sekarang!"
Aca memberi anggukan dan melangkah pergi ke kamarnya.
"Maaf atas keribuatan yang terjadi. Gara-gara Willy, rumah ini jadi kacau," ujar Anggara pada Malik dan Malik sekedar mengangguk lalu meninggalkan Anggara. Sita pun ikut pergi bersama sang suami.
"Gara-gara anak kamu itu aku jadi dibuat malu," ujar Anggara ke istrinya.
"Kok Ayah nyalahin Bunda sih. Willy itu kan, anak kita bukan anak aku aja," balas Seli.
"Dia itu anakmu, bukan anakku. Anakku itu Stefan dan aku gak punya anak yang bisanya cuma nyusahin aja."
"Kok Ayah setaga itu sama Willy. Bunda sakit hati lho ayah ngomong kayak gitu ke bunda."
"Emang nyatanya kayak gitu, Bun. Bunda sadar gak kalau dia itu biang masalah dari bayi. Bunda lupa kalau hadirnya Willy itu menghancurkan hidup Bunda."
Seli terdiam teringat masa lalu suramnya.
"Ayah capek mau tidur. Ayok," ajak Anggara.
"Ayah duluan aja."
"Ya udah. Jangan kemalaman tidurnya."
Seli mengangguk.
Anggara memeluk istrinya dan memberikan kiss dijadat Seli. "Good night, Bun." Dia lalu beranjak.
Seli melangkah menuju kamar Willy.
Dia mengetuk-ngetuk pintu. "Will, ini Bunda. Boleh Bunda bicara sebentar?"
“Will, buka Willy. Bunda mau bicara sama kamu. Buka Will.”
Tak ada jawaban dari Willy tapi Seli tidak menyerah. Dia tetap mengetuk pintu kamar Willy dan memanggil-manggil anaknya itu sehingga usahanya tak percuma. Akhirnya Willy membukakan pintu dan Seli langsung memeluk Willy dengan erat. Memberikan pelukan seorang ibu pada putranya.
Perlahan Willy melepaskan pelukan bundanya. Bukannya dia tak suka dipeluk. Tapi... dia ragu pelukan itu bukan lah tanda jika bunda mencintainya. Tapi sekedar bersandiwara saja agar terlihat menyayanginya.
Dia tatap wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya, entah karena cinta atau terpaksa. Willy bertanya-tanya di benaknya apakah bundanya itu menganggapnya anak? Dan apakah bundanya itu menyayanginya sama persis seperti menyayangi adiknya? Dia ragu.
"Will, maafkan Bunda dan Ayah kamu ya..." pinta Seli sambil menggenggam tangan putranya.
Willy menghela napas panjang. Dia perlahan melepaskan genggaman bunda. Lalu Dia pergi duduk di pinggir tempat tidur dan bunda ikut masuk ke dalam kamar.
"Will, Bunda minta maaf," ucap Seli sekali lagi.
“Bunda gak perlu minta maaf kalau gak merasa bersalah,” ucap Willy yang sudah terlancur kecewa pada bunda.
“Bunda merasa bersalah sama kamu makanya Bunda meminta maaf sama kamu, Will. Bunda juga meminta maaf atas perkataan kasar ayah kamu yang menyakiti perasaan kamu.”
“Bunda gak perlu minta maaf atas nama ayah. Ayah gak akan merasa bersalah sama aku dan yang Bunda lakuin percuma. Aku sudah terbisa disakitin sama ayah. Aku gak mengharapkan kalimat maaf dari kalian berdua. Aku hanya kecewa sama kalian. Kenapa kalian tega membiarkan aku dipukuli dan kalian cuma diam saja tanpa berbuat apa-apa.”
“Karena kamu bersalah. Bunda bukannya tidak ingin membela kamu. Tapi karena kamu tidak mengakui perbuatan kamu makanya Bunda dan ayah gak bisa berbuat apa-apa untuk membela kamu.”
“Aku beneran gak bersalah Bun. Aku berkata yang sejujurnya. Kenapa Bunda lebih percaya pada Aca daripada aku?" tanya Willy tanpa melihat wajah Seli. “Aku ini anak Bunda. Jika Bunda menganggap aku ini anak, harusnya Bunda percaya sama aku bukan lebih percaya orang lain.”
“Awalnya Bunda ragu. Tapi sekang keraguan Bunda sudah terbantahkan karena bukti menujukkan memang kamu pelakukannya. Jika bukan kamu siapa lagi?”
“Bukti? Bukti apa Bun?”
“Buktinya adalah kedekatan kamu dengan Aca. Kalian sangat dekat. Bahkan melebihi hubungan Aca dengan Damar. Itu sudah membuktikan kamu bisa berbuat nekat dan khilaf sehingga masalah ini bisa terjadi. Aca juga gak punya teman cowok selain kamu. Sudah lah Will, kamu mengaku saja dan Bunda sudah ikhlas menerima kesalahan kamu.”
“Enggak Bun. Itu gak benar!” sanggah Willy. “Willy sayang sama Aca. Sayang Willy tulus. Dan rasa sayang Willy ke Aca gak lebih sekedar rasa persaudaraan. Willy gak pernah berpikiran kotor ke Aca apalagi sampai berbuat yang engga-enggak ke dia.”
“Cukup Will, Bunda gak mau mendengar pembenaran kamu.”
“Tapi Bun, aku memang gak salah.”
“Cukup.”
Willy pun terdiam kecewa. Begitu juga dengan Seli. Mereka saling diam cukup lama sebelum Seli berbicara kembali.
"Besok pagi Bunda dan Ayah akan kembali ke Amerika,” ucap Seli.
Willy menatap bundanya dengan tatapan tak percaya jika bundanya akan pergi secepat itu. "Kalian akan pulang gitu aja, setelah masalah yang menimpa aku?" tanya Willy kecewa. "Apa karena kalian malu dan takut jika orang-orang tau bahwa aku anak kalian sehingga kalian mau melarikan diri?"
Seli bungkam. Bukan karena ucapan yang Willy katakan benar, tapi dia hanya tidak bisa membalas perkataan putranya itu.
"Tega kalian. Sejak kecil kalian tinggalin aku dan sampai sekarang pun masih ninggalin aku. Apa gak ada sedikitpun rasa iba Bunda sama aku? Sejak kecil Bunda dan ayah titipkan aku di rumah ini dan sekarang aku rasa kalian tidak menitipkan aku lagi, tapi kalian mencampakkan aku. Ibu macam apa Bunda?" Mata Willy berkaca-kaca menatap Seli. Perasaan Willy penuh kekecewaan. Padahal dia sempat berharap dia akan bisa diajak ikut oleh orang tuanya untuk tinggal di Amerika. Akan tetapi harapannya itu sepertinya angan-angan kosong. Harapan yang tidak akan menemukan titik terang tapi bertemu pada pil pahit kehidupan.
"Bunda gak bisa membawa kamu. Apalagi setelah kesalahan yang kamu buat. Bunda hanya bisa mendoakan semoga kehidupan kamu bisa lebih baik. Dan Semoga pernikahan kamu dan Aca memberikan suatu hal yang baik dalam kehidupan kalian." Seli lebih mendekatkan diri ke Willy lalu mengelus wajah putra sulungnya itu. "Jangan benci Bunda dan ayah. Kami sayang sama kamu."
Willy meraih tangan Bunda. “Aku gak salah Bun. Aku gak memperkosa Aca! Harus berapa kali aku menyakinkan Bunda agar Bunda percaya sama aku. Tolong Bun, percaya sama aku..."
Seli marah, dia melepaskan genggaman Willy.
“Cukup Will. Kamu jangan menyanggah hanya karena takut Bunda dan ayah kamu akan membenci kamu. Justru dengan kamu seperti ini kami akan lebih marah sama kamu.”
Willy mengacak rambutnya frustasi. “Aku gak bohong Bun! Kenapa sih kalian sulit untuk mempercaya anak sendiri! Hiks… aku ini anak Bunda atau bukan sih?! Kenapa Bunda dan ayah sejak aku kecil memperlalakukan aku dengan tidak adil! Aku salah apa? Aku melakukan apa sampai aku merasa aku ini bukan bagian dari kalian…” Willy meraih tangan bundanya lagi. “Bun, please… percaya sama aku. Aku gak bersalah. Aku mohon Bunda percaya sama aku. Aku mohon Bun….cukup Bunda yang percaya itu sudah lebih dari cukup untuk aku. Gapapa ayah membenci aku, tapi Bunda jangan. Aku gak tau harus di sisi siapa lagi selain Bunda..."
Perlahan Seli melepaskan genggaman Willy.
Willy menarik napas panjanganya. Cukup, semua cukup. Dia tidak memiliki siapapun. Dia harus sadar, sadar, dan sadar.
“Bunda sayang sama kamu. Tapi Bunda tidak akan membela kamu di saat kamu berbuat salah. Bunda sangat kecewa sama kamu Will kali ini.” Seli beranjak ingin keluar dari kamar Willy. Namun saat dia sudah sampai di depan pintu putranya itu mengatakan sesuatu padanya hingga menghentikan langkahnya.
“Bunda gak sayang sama aku. Bunda dan ayah ninggalin aku, apa itu yang disebut sayang? Asal Bunda tau, aku capek Bun pura-pura baik-baik aja selama ini. Aku juga capek berusaha agar kalian bangga memiliki aku. Tapi usaha aku percuma. Kalian gak pernah menganggap aku keluarga. Jujur sama aku, Bunda dan ayah memang tidak menginginkan aku, kan? Makanya, kalian tidak pernah mendukung aku dan gak pernah percaya dengan semua yang aku katakan!" Willy meneteskan air matanya lagi. Dia berusaha menghapusnya tapi air matanya tetap saja mengalir deras membasahi wajahnya.
"Iya kan, Bun?" tekan Willy.
Seli mematung. Dia berbalik menghadap putranya itu. Dia tersenyum getir. "Maafin Bunda Will..." Hanya itu yang dapat dia katakan. Lalu dia pergi meninggalkan Willy.
Willy menutup pintu kamarnya. Dia tersimpuh menangis di belakang pintu. Dia curahkan semua perasaan sakit hatinya.
“Kenapa… kenapa gak ada satupun orang yang percaya sama aku?”
“Bahkan orang tuaku sendiri.”
“Kenapa Tuhan, kenapa Kau tega padaku. Kenapa Kau biarkan aku lahir jika hidupku harus sesakit ini.”
"Hiks..."
***
23.00 WIB
Aca tidak bisa tidur. Dia terus gelisah tak tentu rasa. Dia berusaha untuk menidurkan dirinya sejak sedari tadi namun tetap tidak bisa tidur. Perasaannya tidak tenang, penuh kebimbangan dan rasa bersalah.
Aca beranjak ke meja belajarnya. Dia membuka laci dan mengambil foto yang dia sembunyikan. Dia melihat foto itu. Foto gambar dirinya dengan seorang pria tampan yang jadi pujaan hatinya 3 tahun belakangan ini.
Aca tersenyun lalu kemudian dia meneteskan air mata.
"Adi, kamu dimana?"
"Kenapa kamu lari dari tanggungjawab, Di?"
"Katanya kamu sayang sama aku. Tapi kenapa kamu ngilang setelah tau aku hamil anak kamu?"
"Di, kamu dimana sih?"
"Pulang Di, aku gak mau nikah sama Willy."
"Aku cintanya sama kamu. Aku mau menikah sama kamu, Di."
"Di, kamu dimana?"
"Pulang Di... pulang..."
"Hiks... hiks..."
Aca tidak bisa menahan kesedihannya. Dia kehilangan pacaranya 2 bulan yang lalu. Setelah dia memberi tahu Adi jika dia telah hamil, lelaki itu tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Aca benar-benar tidak tahu kabar pacarnya itu. Ada rasa penyesalan dalam dirinya karena mengenal pria seperti Adi. Tapi tidak bisa dia pungkiri bahwa dia sangat mencintai pria itu sehingga dengan gamblangnya dia rela memberikan kegadisannya pada pria tersebut. Dia beri semua yang diminta pria itu. Kini dia menyesal, tapi dia tidak bisa berhenti untuk mencintai Adi. Bahkan sampai saat ini dia masih berharap pria itu kembali dan mengakui anak mereka.
Dia mengenal Adi cukup lama. Sejak kelas 2 SMA dia jadian dengan pria yang lebih tua 6 tahun darinya itu. Hubungan mereka memang tidak banyak yang tahu. Hanya teman dekatnya termasuk Willy. Dia dan Adi berpacaran diam-diam. Mengingat larangan orang tuanya yang tidak menginginkannya untuk pacaran sebelum kuliahnya selesai. Namun dia langgar karena kepincut sama Adi. Apesnya setelah pacaran sama Adi, dia malah dengan mudah memberikan tubuhnya pada Adi sebab beralasan cinta. Awalnya dia tidak menyesal melakukannya tapi setelah dia kebobolan sehingga hamil dan Adi lari dari tanggung jawab dia pun menyesali perbuatannya itu. Walaupun sudah menyesal akan tetapi rasa cintanya pada Adi tidak menghilang. Bahkan rasa cinta itu semakin tumbuh besar karena rindunya pada Adi semakin bertambah.
"Di, aku kangen kamu, Di..."
"Kamu dimana sih...?"
"Aku telfon gak kamu jawab. Aku chat gak kamu bales. Kamu sembunyi dimana sih?"
"Aku butuh kamu, Di..."