Part 6

1810 Kata
"Aku butuh kamu, Di..." "Aku butuh kamu..." Aca menghela napas panjang. Dia cek ponselnya dan selalu berharap semua pesannya dibalas oleh kekasihnya itu. Namun boro-boro. Pesannya saja tidak dibaca satupun dan sepertinya Adi telah memblokir nomornya. "Aaghr!" Aca membanting ponselnya ke tempat tidur. Dia kembali ke atas kasur. Dia mencoba menenangkan dirinya. Cukup tenang. Dia ambil ponselnya kembali lalu dia mengirimkan pesan singkat pada Willy. [Will, Sorry...] Dia belum sempat meminta maaf pada Willy. Dia harap pesan itu bisa membuat rasa benci Willy padanya sedikit berkurang. Bukan apa-apa, dia tidak mau saja bermusuhan dengan Willy. Dia mau hubungannya sama Willy baik-baik aja seperti biasanya. Beberapa menit Aca menunggu balasan dari Willy namun pesannya hanya dilihat tanpa dibalas. Aca mengirimkan pesan lagi dan berharap kali ini pesannya mendapat respon dari Willy. [Will sorry. Aku gak maksud untuk menjebak kamu dalam masalah aku. Aku terpaksa Will dan aku harap kamu ngerti situasi aku.] Aca kembali menunggu balasan akan tetapi pesannya kali ini tidak dibaca oleh Willy. Dia pun menelepon Willy tapi panggilannya tidak dijawab. Karena takut membuat Willy semakin marah dia pun memutuskan untuk tidak mengganggu cowok introvert itu. Aca menyimpan ponselnya di nakas. Dia berbaring dan menatap langit-langit kamar. “Tuhan maafkan aku. Aku tau aku salah. Aku mohon maafkan aku.” "Aku gak ada maksud untuk memfitnah Willy. Aku cuma gak mau orang tua aku tau yang sebenarnya bahwa aku ini anak yang gak seperti mereka harapkan." Jadi dirinya itu berat. Dimana harus punya nilai yang bagus agar disayang. Jika mendapatkan nilai yang jelek maka orang tuanya akan malu dan marah padanya. Aca sejak kecil berusaha menjadi anak yang terbaik. Dari kecil dia sudah diharuskan untuk membanggakan orang tuanya. Dia juga dididik dengan keras. Dipukul tidak pernah tapi hukuman yang biasa dia dapatkan adalah tidak diberi uang jajan sepersen pun dan tidak boleh main keluar rumah. Selain itu dia juga akan kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Maka dari itu Aca takut jika dia ketahuan berbuat kesalahan. *** Jumat pagi. Aca bersiap untuk berangkat kuliah. Ketika dia selesai sarapan dan saat dia mau berangkat dia melihat orang tua Willy sedang pamitan pada kedua orang tuanya. Tapi anehnya dia tidak melihat batang hidung Willy di sana. "Mereka pulang? Memangnya mereka tidak mau menunggu pernikahan aku dan Willy?" Aca bertanya-tanya. "Ca sini," panggil Mamanya. Aca pun menghampiri mamanya. Dia lalu dipeluk oleh Seli. Adik mamanya itu. "Ca, Tante pamit dulu ya. Belajar yang rajin dan jaga diri baik-baik," ucap wanita itu lalu mencium pipi kiri dan kanan Aca. Dia juga memberikan usapan di pundak. "Tante gak nunggu pernikahan aku dan Willy?" tanya Aca. Seli cuma tersenyum. "Kami gak bisa menunggu pernikahan kamu. Maaf, soalnya Om ada kerjaan yang gak bisa ditinggal," ujar Anggara. "Mereka lebih mementingkan pekerjaan?" Aca membatin. "Malik, semuanya sudah aku urus. Pernikahan Willy dan Aca akan berjalan dengan lancar besok," ujar Anggara. Malik manggut-manggut sambil merangkul istrinya. "Om sudah pamitan pada Willy?" tanya Aca ragu-ragu karena takut salah bicara karena dia tahu hubungan antara Willy dan Anggara memang tidak seperti hubungan antara anak dan ayah. Dia juga heran karena dari Willy kecil Anggara terlihat kurang menyukai putranya itu. Alasannya dia tak tahu kenapa, sempat dia tanyakan pada mamanya tapi mamanya tidak memberikan jawaban apa-apa. Anggara tidak menanggapi pertanyaan Aca itu. Dia hanya senyum saja. "Ca, jaga kesehatan kamu. Jaga juga orang tua kamu. Om pamit dulu. Nanti Om akan main lagi ke sini." Dia menepuk pundak Aca, cewek itupun mengangguk. "Salam buat Damar ya." Aca mengangguk lagi. Saat orang tua Aca dan Aca mengantar Anggara dan Seli sampai ke teras rumah. Saat itulah Willy muncul melihat orang tuanya yang sudah mau pergi. Willy yang mau berangkat kuliah inipun hanya diam melihat kedua orang tuanya. Dia merasa seperti angin lalu saja. Ayahnya bahkan tidak pamitan padanya. Dia benar-benar seperti orang asing. Willy meyakinkan diri untuk menghampiri orang tuanya. Dia mau bersalaman pada sang ayah tapi tangan yang dia ulurkan tak kunjung dijabat juga hingga dia mengepalkan jemarinya dan menarik tangannya kembali. Willy tersenyum, pura-pura terlihat tegar di depan orang-orang. "Hati-hati Bun, hati-hati Yah," katanya. Dia menarik napas perlahan untuk menetralkan kondisi hatinya yang begitu pedih. Seli mengangguk sedangkan Anggara tidak memberikan respon apapun. Bahkan pria itu memalingkan wajahnya dari Willy. Willy kembali tersenyum pada bundanya lalu memeluk wanita itu. "Maafin Willy ya Bun, udah jadi anak yang mempermalukan ayah," bisiknya dengan suara getir. Tiba-tiba perasaan Seli bergemuruh setelah mendengar ucapan putranya itu. Willy merasa ingin menitikkan air mata namun dia tahan sekuat tenaga. Tidak bisa dia pungkiri perasaannya sangat sakit, perih seperti terluka tapi gak berdarah. Dia merasa tidak seperti memiliki orang tua. Sudahlah saat kecil dia sudah kekurangan kasih sayang, ditambah lagi masalah yang sekarang membuatnya benar-benar kehilangan orang yang dia sayang. Dia kehilangan harapan untuk dicintai oleh orang-orang yang dicintainya. Willy melepaskan pelukannya lalu mengelus lembut pundak bundanya dan dia pun tersenyum pada wanita yang melahirkannya itu. “Salam ya Bun buat Stefan. Lain kali kalau kemari ajak dia ke sini. Willy rindu sama dia. Udah 2 tahun Willy gak ketemu Stefan,” ucapnya. Seli mengangguk. Dia pun beranjak pergi. Dia naik motornya dan melempar senyuman pada orang-orang saat sebelum dia melenggang pergi dengan perasaan pilu. Aca merasa kasihan pada Willy namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa diam dan menyaksikan kepiluan yang sepupunya rasakan itu. Dia tentu saja terpaksa melakukan semua ini. Karena dia terlalu takut untuk mengakui kesalahan yang dia buat. Dia juga sedang bersedih tidak hanya Willy. Dia kehilangan ayah dari anak yang dia kandung. Dan dia juga kehilangan masa depannya karena kehamilannya. Anggara dan Seli masuk ke dalam mobil. Mereka pun pergi dari kediaman Malik. Sepeninggalan mereka, Aca pun pamit ke orang tuanya untuk berangkat ke kampus. “Ma-Pa, aku berangkat dulu ya.” “Hati-hati, Ca.” “Iya, Ma. Dah…” “Dah…” *** "Yah, apa kita gak keterlaluan pada Willy?" tanya Seli yang sedang dalam perjalanan menuju Bandara. "Buat apa kasihan sama anak itu," jawab Anggara yang sejak Willy masih kecil tidak disukai olehnya. Hadirnya Willy di kehidupan mereka tidak memberikan kesan indah apapun bagi Anggara. Hanya memberikan kesan buruk. Dimana saat anak itu lahir bertepatan dengan kebangkrutannya. Hidup miskin sampai harus menumpang di rumah kakak iparnya. Lalu sang istri dibenci oleh orang tuanya. Kedatangan anak itu membawa sial kehidupan Anggara. Namun sejak anak keduanya hadir hidupnya berubah drastis. Jadi berkecukupan dan kehidupannya jauh lebih menyenangkan. Tetapi Willy masih menjadi pengacau baginya. Karena sampai detik ini anak itu terus membuatnya kecewa. "Tapi Willy itu anak aku, Yah. Ayah gak boleh ngomong gitu. Dia itu anak kita." "Aku gak bisa menganggapnya anak. Dia itu cuma parasit di kehidupan kita. Seharusnya kita membuang dia waktu itu. Bukan malah membesarkannya." "Ayah! Aku gak suka ucapan kamu. Mau bagaimanapun dia itu anak kita. Gak boleh kamu ngomong kayak gitu." "Dia anakmu bukan anakku, Seli." Seli cemberut dan memalingkan wajahnya. "Jangan marah Sayang. Iya, dia anak kita. Maaf, aku kelepasan." "Aku gak suka kamu menyebut Willy bukan anak kamu. Dia itu anak aku dan kamu. Kamu gak boleh ngomong seperti itu lagi." "Iya, baiklah." Anggara merangkul Seli dan mengecup kening sang istri. "Jangan suka menuntut aku kalau tidak mau aku tinggalkan," bisiknya. Dia tersenyum dan Seli tidak bisa berkutik lagi. *** 07.30 WIB Willy tiba di kampus. Hari ini dia hanya ada satu makul saja. Hari ini dia akan pulang lebih awal sebab di hari jum'at ini jam kuliah memang lebih pendek dari biasanya. Willy mampir ke kantin. Pembelajaran akan dimulai 30 menit lagi, jadi sambil menunggu dia sarapan dulu. Kebutulan perutnya lapar dan dia pun memesan mie goreng kesukaannya. Saat pesananannya datang, serentak pacarnya pun tiba-tiba menghampirinya. "Hai Sayang," sapa Melea sambil mendudukan diri di hadapan Willy. Gadis itu tersenyum pada sang pacar. Willy cukup kaget dengan kedatangan pacarnya. Dia pun berusaha menghindar saat pacarnya itu menatapnya. Dia ingin menyembunyikan luka di wajahnya. 2 hari dia tak bertemu Melea karena gadis itu kemarin ke luar kota. Jadi pacarnya itu tidak melihat wajah babak belurnya dari kemarin. Dia juga tidak cerita soal masalah yang menimpanya. Melea menyentuh wajah Willy. "Sayang, wajah kamu kenapa?" Dia melihat luka di wajah sang pacar. Mau bagaimana pun Willy menutupinya dia bisa melihat jelas luka itu. "Kamu berantem? Sama siapa? Kok kamu gak cerita apa-apa sih sama aku?" tanya Melea sedikit kecewa. Harusnya pacarnya itu bercerita padanya jika ada masalah. Tapi kenapa pacarnya itu tidak bercerita apa-apa. Bahkan dari 2 hari kemarin pacarnya itu tidak menghubunginya. Willy melarikan tangan Melea dari wajahnya. "Aku gapapa." Melea kembali menyentuh wajah pacarnya itu. "Gapapa gimana. Jelas-jelas muka kamu babak belur begini." Tidak sengaja mata Melea menangkap luka di punggung tangan Willy. "Ini apa? Kamu beneran berantem ya?" Willy menghela napas gusar. "Aku gapapa. Kamu gak usah khawatir." "Gak usah khawatir? Kamu itu pacar aku, gimana mungkin aku gak khawatir." Willy kembali menghela napas lagi. Dia berdiri. "Mulai hari ini kamu gak usah khawatirin aku lagi." Melea terdiam menatap Willy. Willy tak bermaksud ingin menyakiti gadis itu. Dia hanya ingin menghindar. Dia tidak ingin menyakiti Melea lebih jauh saat wanita itu tahu jika dia akan menikah dengan Aca. Willy bertekat ingin menjauh dari Melea. Dia mau membuat wanita itu meninggalkannya agar gadis itu tidak terlalu terluka saat mendengar kabar Aca hamil anaknya. Awalanya Willy berpikir untuk menceritakan semuanya pada Melea. Tetapi setelah dia pikir-pikir lagi sebaiknya tak dia ceritakan. Karena jika dia bercerita maka sama saja dia akan membeberkan kehamilan Aca. Willy hanya takut jika Melea tahu maka masalah Aca akan beber kemana-mana. Willy tidak ingin orang tua Aca akan semakin marah padanya jika dia berani membeberkan masalah Aca kepada orang lain. Karena mungkin saja orang lain itu nanti jadi ancaman untuk Aca dan berimbas pada dirinya sendiri. Dia takut Melea mengecewakannya seperti orang-orang yang dia sayang dimana orang-orang itu tidak memercayai dirinya. Akan percuma saja jika dia katakan jika tak ada yang memercayainya. Willy bergegas meninggalkan Melea. Berat langkahnya untuk melakukan hal ini. Tapi dia merasa yang dia lakukan sekarang adalah tindakan yang benar. "Sayang, tunggu!" Melea ikut bergegas pergi. Dia mengejar Willy dan gadis 19 tahun itupun berhasil menahan pria itu. "Maksud omongan kamu tadi itu apa?" tanya Melea sambil mencekal tangan Willy. Willy berbalik menghadap pacaranya itu. Dia lalu perlahan melepaskan tangan Melea dan dia pun menunduk merasa bersalah. "Kamu gak menganggap aku penting lagi?" tanya gadis itu. "Kamu udah bosan sama aku?" "Kamu capek sama hubungan kita?" Willy mengepal jemarinya. Dia angkat wajahnya perlahan. "Enggak,” bantahnya. “Terus kenapa kamu seolah menghindari aku?” Willy terdiam. “Jawab, jangan diam aja.” “Beri aku penjelasan Will! Kemarin hubungan kita baik-baik aja. Tapi kenapa sekarang kamu berubah ke aku? Aku kira selama 2 hari kamu gak hubungi aku karena kamu sibuk. Tapi sepertinya dugaan aku salah. Kalau kamu punya masalah sini cerita. Jangan kayak gini. Dengan kamu menghindari aku, itu gak bakal menyelesaikan masalah Will.” “Aku mau kita putus,” ucap Willy singkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN