Satu semester telah terlewat. Ya, sekali lagi aku berhasil melewati tugas-tugas akhir dan serangkaian tes yang diberikan setiap semesternya. Musim gugur sudah berganti menjadi musim dingin. Suhu udara di luar menjadi luar biasa rendah dan itu membuatku maupun Flora hanya bisa berdiam diri di apartment selama liburan.
Namun, setelah liburan usai, kami berdua diharuskan untuk keluar dari tempat tinggal kami yang hangat dan pergi ke kampus melewati jalanan yang dingin tentunya. Untuk semester ini, aku dan Flora mendapatkan banyak kelas yang berbeda. Tapi untung saja, jam pelajaran kami sama. Jadi, kami berdua bisa pergi dan pulang bersama.
Sudah satu bulan ini aku menjalani semester baru. Dan untuk kalian yang penasaran mengenai Dafa, sayang sekali, aku sudah tidak melakukan kontak lagi dengan dia. Mengingat Dafa, membuatku tersenyum miris. Pasalnya, setelah melalui dua bulan bersama dengannya lalu menjalani liburan tanpa kehadiran orang itu, membuatku tersadar akan sesuatu.
Aku menyukai Dafa.
Dafa yang tingkahnya sangat menyebalkan namun anehnya bisa perlahan memasuki hatiku.
Untuk pertama kalinya, setelah aku menginjakkan kaki di Cambridge, aku menyukai seseorang. Namun sayang, aku sadar kalau Dafa bukanlah seseorang yang bisa aku gapai sedekat apapun hubunganku dengannya. Tak apa, setidaknya selama aku tidak bertemu dengannya, perasaanku tidak akan bertumbuh. Dan aku harus berusaha untuk benar-benar menghilangkan rasa suka itu.
~~~~~~~~~~
Hari ini setelah menyelesaikan kelas terakhirku, aku segera berjalan menuju kantin kampus. Aku menunggu Flora yang sepertinya akan selesai sebentar lagi.
Sebenarnya hari ini aku merasa kurang enak badan. Well, maklum saja, aku yang dulunya tinggal di negara tropis masih belum terbiasa dengan udara musim dingin. Namun, karena dosen mata kuliah tadi sudah memberi tahu akan diadakannya kuis minggu ini, aku diharuskan untuk masuk.
Aku semakin mengetatkan mantel musim dinginku saat udara luar semakin menusuk. Sial, kali ini rasa pusingku kembali muncul setelah tadi agak mereda. Pasti karena udara dingin ini.
Aku melambatkan langkahku dan berjalan perlahan di pinggir koridor. Kenapa aku jadi merasa kantin jauh sekali ya?
“Karet, lo kok jalannya jadi kayak keong sekarang.” ucap sebuah suara yang sudah lama tidak ku dengar. Aku memejamkan mata sejenak sebelum menengok ke samping dan menemukan Dafa yang sedang memandangku heran.
Deg
Sial, ternyata aku belum berhasil menghilangkan perasaan itu. Aku segera menghadapkan kembali kepalaku ke depan dan berusaha untuk tampak cuek.
“Lo ngapain di sini?” tanyaku tanpa menghentikan langkahku.
“Ngurus tugas akhir. Abis konsul sama Mr.William.” aku hanya mengangguk lalu memutuskan untuk diam.
“Lo beneran jadi keong ya, Ret? Liat, Mrs.Agatha yang udah tua aja nyalip kita, lho.” ucap Dafa yang membuatku berhenti berjalan lalu membalas, “Ya udah sih kalo gue jalannya pelan. Sana duluan, siapa juga yang nyuruh jalan bareng gue.”
Dafa terdiam lalu memandangiku agak lama. Aku yang tidak tahan dengan kelakuan Dafa memutuskan untuk berjalan kembali. Namun, Dafa memegang tanganku dan membuatku berhenti.
“Are you alright? You look so pale.” tanya Dafa yang sudah berdiri di hadapanku dengan khawatir.
“I’m ok. Masih kagok aja sama udara musim dingin.” aku hendak kembali melanjutkan langkahku, namun sesuatu yang dingin tiba-tiba menempel di keningku. Ternyata itu tangan Dafa.
“Lo demam. Ayo ke klinik.” ajak Dafa sambil menarik tanganku.
“Nggak usah, Daf. Ntar gue minum obat aja kalo udah sampe apart.” tolakku yang membuat Dafa menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku.
“Ck, emangnya dari sini ke apart lo terbang? Bisa aja di perjalanan nanti lo tambah parah and boom, terus lo pingsan.”
“Gue pulang sama Flora, Daf. Kalo gue kenapa napa, ada Flora nanti.” tolakku lagi.
“Flora itu cewek, Ret. Emangnya nanti dia bisa gendong lo?” balas Dafa yang sudah berkacak pinggang menatapku.
“Gue yakin gue kuat dan nggak bakal sampe pingsan nanti. Udah ah, gue mau ke kantin beli minuman anget.” ucapku meyakinkan Dafa.
“Aretha, listen to me. Lo sakit. Demam lo tinggi, lo butuh penanganan. Nggak usah ngeyel dan ikut gue.” sahut Dafa dengan suara yang mengeras dan tegas. Aku terdiam sesaat dan hendak menolak Dafa lagi. Namun, laki-laki dihadapanku ini memberikan tatapan yang entah kenapa membuatku takut untuk tidak menurutinya.
Hal selanjutnya yang terjadi, Dafa melakukan hal yang sama sekali tidak terduga. Dia melepaskan syal yang terikat di lehernya lalu melingkarkan syal itu di leherku.
Sebelum aku sempat melontarkan protesku, Dafa sudah melototiku dan berkata, “Nggak usah protes, ayo cepet ikut gue.”
Akhirnya, aku hanya bisa pasrah mengikuti tarikan Dafa yang entah hendak membawaku ke mana.
~~~~~~~~~~
“Excuse me, Sir. Sorry for disturbing your class. May I meet Bara Angkasa for a second, please? I have something urgent.” pinta gue kepada dosen yang sedang mengajar kelas Bara.
“Sure, go ahead.” setelah mendapatkan ijin dari sang dosen, gue langsung memanggil Bara dengan lambaian tangan. Bara yang melihat gue langsung berjalan ke depan lalu keluar kelas bersama gue.
“Kenapa?”
“Kunci mobil lo.” pinta gue yang membuat Bara melongo tidak mengerti.
“Udah cepetan.”
“Buat a-, oooooo Aretha.” kata Bara sambil mengeluarkan kunci mobil di kantongnya setelah sekilas melirik Aretha.
“Bilang dong mau pacaran.”
“Pacaran pacaran, pala lo berambut. Mau nganter ke klinik, demam dia.” jelas gue yang sudah memasukan kunci mobil Bara ke dalam saku.
“Uhuk, khawatir nih ceritanya.” goda Bara yang hanya gue balas dengan gelengan kepala.
“Udah sono masuk kelas, gue tahu lo sengaja lama lama di luar kan.” Bara meringis lalu meninju bahu gue sekilas.
“Tahu aja lo, bro. Iye iyee gue masuk. Aretha, cepet sembuh ya. Ntar Dafa khawatir kalo lo nggak sembuh sembuh.” ucap Bara yang langsung gue balas dengan tabokan di kepalanya.
“Kagak usah ngaco, udah gue pergi.” tanpa menunggu balasan dari Bara, gue langsung berbalik dan kembali menarik Aretha menuju luar kampus.
~~~~~~~~~~
“See, lo bahkan harus diinfus buat nurunin demam. Masih ngeyel tadi buat minum obat waktu pulang, hm?” omel gue kepada Aretha yang kini sudah berbaring dengan infus di tangan kirinya.
“Udah diem aja, gue kan sakit. Butuh ketenangan.”
“Ck, dasar Karet. Udah tidur sana, masih sejam lagi baru infusnya abis.”
“Jadi cerewet ya lo sekarang.” balas Aretha yang gue balas dengan pelototan sebal.
“Gara gara lo yang udah lama nggak ketemu terus waktu ketemu ternyata sakit.”
”Sorry sorry. Lo kalo mau balik nggakpapa, Daf. Gue bisa nyuruh Flora ke sini ntar. Makasih ya.”
“Ngusir gue ceritanya?” balas gue jengkel sambil berdiri dari kursi.
“Bukan ngusir, Daf. Gue nggak mau ngerepotin lo aja. Satu jam bisa lo gunain buat ngerjain sesuatu yang berguna dari pada nungguin gue kan.”
“Nungguin orang sakit juga berguna, Karet. Itu namanya berbuat kebaikan. Udah ah, gue mau beli cemilan dulu dari pada dengerin omongan lo yang aneh aneh.” ucap gue kemudian yang hanya bisa dibalas oleh senyuman lemah Aretha.
Gue hendak berbalik, namun suatu hal mengusik gue. Entah sejak awal atau dari kapan, selimut Aretha turun sampai ke pinggangnya. Gue berdecak sebal lalu menaikan selimut itu sampai ke leher cewek itu. Setelah merasa puas, gue pun segera berbalik dan keluar dari klinik untuk membeli cemilan dan minuman hangat.
~~~~~~~~~~
Sepeninggal Dafa, aku hanya bisa terdiam. Aku mencoba memahami apa yang barusan terjadi.
Dafa membenarkan letak selimutku.
Mungkin untuk seseorang yang tidak memiliki perasaan apapun dengan Dafa, itu adalah hal biasa. Tapi aku, aku yang notabene menyukai Dafa, melihat kejadian barusan sebagai sesuatu yang salah. Salah karena hal itu bisa berakibat buruk. Buruk bagi diriku yang sedang mencoba menghilangkan perasaan suka terhadap laki-laki itu.
Kalau begini, bagaimana bisa aku melupakan Dafa?
Aku memejamkan mataku dan kembali mengingat perhatian Dafa dimulai sejak dirinya yang menyadari kondisiku. Bahkan teman sekelasku saja tidak ada yang bertanya atau mungkin menyadari kalau aku sedang tidak enak badan.
Namun, seorang Dafa bisa menyadari itu.
Hal selanjutnya, dia memberikan syalnya dan mengikatkannya di leherku. Kenapa dia harus melakukan itu? Aku yakin dia juga kedinginan, lalu kenapa malah memberikan syalnya untukku?
Dafa bahkan sampai memasuki kelas Bara, temannya untuk meminta kunci mobil dan mengantarku. Padahal aku sudah berkali kali membujuknya untuk naik taksi saja. Tapi dia malah menolak dan berkata, “Naik taksi kasian supirnya, Karet. Ntar kalo ketularan lo gimana? Kasian kalo tu supir nggak bisa kerja besoknya.” Alasan yang konyol kan. Sejak kapan demam bisa menular? Kecuali jika penyakitku adalah flu atau batuk.
Aku mendesah sebal karena jantungku yang kembali berdetak cepat akibat kelakuan Dafa.
Ingat Aretha, Dafa akan lulus sebentar lagi. Itu artinya dia akan kembali ke Indonesia dan kamu tidak akan melihatnya lagi.
Aku terus menekankan pemikiran itu sampai akhirnya tanpa sadar aku terlelap.
~~~~~~~~~~
Ketika aku terbangun, hal pertama yang aku temukan adalah Dafa yang tertidur. Dia bersandar di single sofa yang terletak di samping ranjangku.
Hal itu membuatku tanpa sadar tersenyum. Aku jadi teringat saat pertama kali Dafa membuatku jengkel. Dia yang datang terlambat saat mengerjakan tugas pertama kami lalu malah tertidur di sofa perpustakaan.
Aku memiringkan tubuhku ke samping agar bisa melihat Dafa lebih jelas. Aku mengambil kesempatan ini untuk mengingat wajah laki-laki pertama yang aku sukai di Cambridge ini. Karena aku tidak tahu pasti kapan aku bisa bertemu dengannya lagi.
Aku jadi penasaran, bagaimana rupa kedua orang tua Dafa, ya? Mirip ayahnya kah, atau ibunya? Atau mungkin keduanya? Haah, entahlah, yang pasti aku yakin kalau orang tua Dafa pastilah menawan. Lihat saja anaknya.
Ah sial, jantungku kembali berulah.
“Lo kayaknya suka banget ya ngeliatin gue?” ucap Dafa dengan mata yang masih terpejam. Aku terlonjak kaget dan langsung kembali membalikan badan.
“Percuma Karet, lo udah ketahuan.” tambah Dafa yang membuatku semakin merutuki diri.
“Infusnya udah abis dan demam lo udah turun. Lo mau nginep di sini apa pulang?” tanya Dafa yang ternyata sudah berdiri di samping kasur.
“Udah abis sejak kapan infusnya?”
“Satu jam yang lalu.” sahut Dafa yang membuatku melotot kaget.
Aku langsung merubah posisiku menjadi duduk dan menatap Dafa lalu memprotes, “Kenapa nggak bangunin gue?”
“Kata ibu gue sih ya, kalo orang sakit lagi tidur, jangan diganggu. Biar makin cepet sembuhnya.” aku hanya melongo mendengar jawaban Dafa lalu memutuskan untuk tidak membalasnya dan memilih untuk bersiap.
“Ini obat lo, udah gue beliin. Abisin.” kata Dafa yang menyodorkan plastik berisi obat kepadaku.
“Berapa, Daf? Gue ganti.” balasku sambil membuka tas untuk mencari dompet.
“Nggak usah, kata ayah gue, nggak baik terima uang dari cewek. Nggak gentle.” tolak Dafa yang membuatku kembali melongo.
“Kalo gitu kenapa waktu itu lo minta traktir ke gue?”
“Itu ma beda, kan kalo traktir lo nggak ngasih uang ke gue.” balas Dafa yang membuatku berdecak jengkel.
Astaga, kenapa aku bisa menyukai orang seperti ini.
“Serah dah. Makasih ya, Daf. Udah nganterin, nungguin bahkan beliin obat buat gue.” ucapku tulus kepada Dafa yang sedang memandangku.
Dafa menggangguk santai lalu berkata, “Gantinya traktir gue lagi ya.”
“Cih, katanya nggak baik terima uang dari cewek.”
“Kan udah gue bilang kalo traktir beda.” balas Dafa yang tidak aku gubris.
Selanjutnya, aku berjalan meninggalkan ruangan dan menemui sang dokter klinik untuk mengucapkan terima kasih. Setelahnya, kami berdua pun keluar dan memasuki mobil.
~~~~~~~~~~
“Sekali lagi makasih ya, Daf. Kalo ketemu lagi gue traktir, deh.” ucap Aretha saat kami sudah sampai di depan gedung tempat tinggalnya.
“Beneran lho ya, awas lo sampe nolak traktir gue.”
Aretha terkekeh lalu membalas, “Iya iya. Dasar cowok suka traktiran.”
“Inget obatnya diabisin. Kalo keluar pake jaket yang tebel. Pake selimut kalo perlu.” pesan gue kepada si Karet yang dibalas dengan kekehan geli.
“Dikira orang gila ntar, udah ah. Sana balik, cepet lulus ya. Jangan lupa makan makannya.” kata Aretha sambil membuka pintu mobil.
“Iye Karet. Lo juga yang bener kuliahnya, cepet lulus.” Aretha mengangguk lalu kali ini dia keluar dan menutup pintu mobil.
Gue sudah bersiap untuk menekan pedal gas, namun pintu mobil kembali terbuka.
“Kenapa lagi?” tanya gue ke Aretha sambil menghadapkan badan ke arahnya.
Aretha masuk kembali ke dalam mobil dan berkata, “Diem bentar.”
Ternyata Aretha mengembalikan syal gue. Dan tanpa gue duga dia mengikatkan kembali syal itu ke leher gue.
Jarak gue dan Aretha yang begitu dekat, entah kenapa membuat gue tidak bisa bernapas dengan benar. Wangi shampoo Aretha yang tercium, membuat gue semakin aneh. Entah karena aroma rambut Aretha atau karena apa, gue menjadi menikmati momen ini.
“Nah, selesai. Makasih ya udah minjemin syal lo tadi.” ucap Aretha yang sudah memundurkan badannya sambil tersenyum.
“Bau anggur.” gumam gue spontan.
“Apa?” tanya Aretha tidak mengerti.
“Nggakpapa. Ya udah sana masuk, ntar demam lagi lama lama di luar.”
“Gue nggak selemah itu juga kali. Ati ati ya. See you.”
“See you.”
Setelah memastikan Aretha masuk ke dalam gedung, gue langsung menekan pedal gas dan mengendarai mobil menuju apartment.
Selama perjalanan pulang, gue terus berpikir. Kenapa gue tadi begitu ya? Kok gue aneh ya tadi. Kenapa gue jadi nggak bisa napas waktu Aretha masangin syal? Perasaan, gue nggak ada riwayat penyakit napas deh. Apa gue perlu tanya Ibu ya?
Masak gue grogi, sih? Nggak mungkin deh kayaknya. Gue desek-desekan sama banyak cewek di bus aja nggak kenapa napa.
Ah, gue tahu kenapa.
Shit, kayaknya gue emang kelamaan jomblo.
~~~~~~~~~~