Tak terasa satu semester ini hampir selesai. Itu artinya mimpi buruk ! Kalian tahu kenapa? Karena pasti para dosen akan memberikan tugas akhir yang ‘luar biasa’. Aku dan Flora tak henti-hentinya mengeluh akan tugas akhir yang sudah diberikan oleh separuh dosen pengajarku. Baru separuh saja sudah membuat kami berdua hampir setiap hari begadang. Apalagi kalau semua?!
“Karet!”
Shit! Aku mengumpat dalam hati sambil memejamkan mata karena panggilan barusan yang terdengar tepat di telingaku.
“Nggak usah ngagetin bisa?” ucapku perlahan sambil melihat Dafa yang hanya menaikan kedua bahunya tidak peduli dan memilih duduk di sampingku.
Oh astaga, sial. Kenapa sekarang dia suka sekali duduk di sampingku sih?
“Lo aja yang lagi nggak konsen makanya kaget.”
“Ngelesnya agak lumayan lama juga ya lo.” balasku sengit dan kali ini Dafa membalas dengan kekehan kecil lalu kembali fokus dengan bukunya.
Omg, kenapa sekarang orang ini juga sering tertawa seperti itu? Sialan, ini bisa membuatku semakin rentan terhadap Dafa.
“Good morning, everybody!”
“Good morning, Sir.”
“So, today, I will give you all a very special assigment.”
Mendengar hal itu membuat seluruh mahasiswa di kelas berteriak mengeluh. Namun, Mr.Taylor hanya tersenyum dan kembali melanjutkan perkataannya, “Ya ya, I know that all of you are very excited. So, here is your final assigment.” kata Mr.Taylor yang mengacungkan beberapa lembar kertas.
“But I will give you all special thing. You can do this with your partner. So, come here and take your assigment.”
Aku dan Dafa menengok secara bersamaan lalu aku langsung menyuruh Dafa untuk maju dengan isyarat mata. Setelah Dafa mendapatkan tugas tadi, kami berdua langsung berdiskusi dan menentukan pembagian tugas kami.
“Ok, lo ngerti kan tugas lo?” tanya Dafa di akhir pembagian yang aku balas dengan anggukan.
“Ketemu hari Sabtu sore jam 4 bisa?”
“Bisa. Mau dimana?”
“Di kafe yang waktu itu aja.” ucap Dafa yang sekali lagi aku balas dengan anggukan.
“Ok. See you at Saturday then. Ati ati pulangnya, Karet.” pamit Dafa saat Mr.Taylor baru saja keluar.
Aku mengangguk lalu membalas, “You too, Daf.”
Selanjutnya, Dafa segera berbalik dan bergegas meninggalkan kelas.
~~~~~~~~~~
“Hooaam”
Gue melirik kembali ke arah Aretha yang sudah beberapa kali menguap dari tadi.
“Kebanyakan job nyulik anak apa gimana lo?” tanya gue akhirnya.
Aretha memandang gue sekilas lalu menjawab, “Lo tahu sendiri kan kalo semester mau selesai, tugas akhirnya gila gilaan.”
“Aaah. Pantes mata lo jadi begitu.” ucap gue sambil menunjuk kantung matanya yang tampak menghitam. Aretha tidak membalas perkataan gue dan memilih untuk meregangkan badannya.
“Gue udah mau selesai, nih. Tunggu ya.” kata Aretha kemudian yang gue balas dengan anggukan.
“Gue tinggal bentar.” pamit gue kepada Aretha.
Setelah mendapat balasan berupa gumaman, gue langsung berdiri dan beranjak menuju kasir. Sebenernya, minum gue masih ada. Tapi ngeliat tu bocah satu ngebuat gue nggak tega. Gimana gimana juga gue pernah ngalamin hal kayak gitu. Saat lo harus ngerjain semalaman suntuk tugas-tugas akhir semester. Gue sampe pernah ketiduran waktu lagi jalan, man.
Ck, gue hanya bisa menghela napas panjang kalo inget kejadian itu. Untung aja gue udah mau kelar kuliah disini.
“Can I help you, Sir?”
“Ah yes. I want a hot cafe mocha and an ice mix berries, please.”
Setelah menyebutkan dan membayar pesanan, gue pun menunggu mereka untuk gue bawa ke meja. Sambil menunggu, gue melihat sekitar cafe yang ternyata sudah lebih ramai dari pada saat gue datang tadi. Ah, gue lupa kalau hari ini malam minggu. Pantes banyak banget orang pacaran.
Pandangan gue akhirnya sampai ke Aretha. Cewek itu tampaknya sudah menyelesaikan tugasnya dan memilih untuk memejamkan mata sejenak. Dia menyandarkan badan ke kursi dan menengadahkan kepala ke atas. Melihatnya, membuat gue menggelengkan kepala prihatin. Yah, mahasiswa dan tugas akhir semester.
”Your order, Sir.” ucap pelayan yang memberikan pesanan gue di meja.
“Thankyou.” gue segera mengambil kedua pesanan gue tadi dan membawanya ke meja.
Aretha belum menyadari kehadiran gue dan masih enak memejamkan matanya. Hal itu membuat ide jahil muncul. Dengan perlahan gue mendekati Aretha dan setelah berada tepat di sampingnya, gue langsung menyentil keningnya.
“AAWWW” teriak Aretha yang membuat hampir seluruh pengunjung memandangi kami. Gue kembali ke tempat duduk gue sambil tertawa ngakak.
“Sialan ya lo! Kapan sih lo nggak nyebelin?!” ucap Aretha sengit sambil mengelus keningnya.
“Hahahaha, sorry sorry. Abisnya lo kayak udah nyenyak banget sampe ngiler gitu.”
“Haha, gue nggak bakal ketipu lagi.”
“Ooo ada yang sudah belajar dari pengalaman di sini. Nih.” kata gue sambil menyodorkan hot cafe mocha ke arahnya. Aretha mengernyit heran sebelum akhirnya mengambilnya juga.
“Lo nggak kasih racun kan ke minuman ini?” tanyanya dengan mata curiga.
“Gue kasih pipis kecoa di situ.” balas gue cuek yang membuat Aretha mendelik sebal. Namun,akhirnya minuman itu di minum juga oleh cewek itu.
“Oh my god, this is sooo good.” gumam Aretha yang menikmati minuman itu pada tegukan pertamanya.
“Thanks.” ucap Aretha saat membuka matanya dan menatap gue. Gue hanya mengangguk lalu mengambil laptop Aretha. Gue mengecek pekerjaannya dan mengedit beberapa bagian yang menurut gue kurang sempurna. Setelah selesai gue langsung menyuruh Aretha untuk mengirim file itu ke email gue.
“Udah masuk.” ucap gue saat menerima email dari si Karet. Gue segera membukanya dan langsung menggabungkan bagiannya dengan bagian gue. Selesai dengan edit sana sini, gue langsung mengirimkan soft file tugas kami ke email Mr.Taylor.
“Gantian lo ya yang nyetak tugasnya.” kata Aretha saat gue sudah mematikan laptop.
“Heloo Miss Karet, gue kan senior lo.”
“Please Daf, tugas gue masih banyak nih. Ya ya yaaa?” rengek Aretha yang membuat gue menghela napas.
“Ok karena gue baik nan ganteng, nggakpapa gue yang nyetak.” ucap gue selanjutnya yang membuat cewek di depan gue ini mencibir.
“Eh nggak boleh protes, ntar lo lho yang gue suruh nyetak.” akhirnya Aretha memilih diam dan membereskan barang bawaannya.
Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, gue menyandarkan diri ke punggung kursi sambil meminum minuman gue yang ternyata seger juga. Sekali lagi gue memandang sekitar cafe dan ternyata jumlah pasangan di sini luar biasa sekali. Hanya dua orang saja yang datang sendirian, sedangkan yang lain berpasangan.
“Banyak juga ya yang malmingan.” celetuk Aretha. Gue pun kembali menghadap ke depan dan berkata, “Kenapa? Iri? Dasar jomblo.”
“Yeee, sapa juga yang iri. Lo kali. Cih, cakep cakep kok jomblo.” balas Aretha yang membuat gue tersenyum dan mencondongkan tubuh ke depan.
“Ooo sudah mengakui kalo gue cakep ya.” kata gue sambil menaik turunkan kedua alis gue.
“Salah omong kayaknya. Tapi gue penasaran sih, Daf. Lo beneran nggak punya pacar?” tanya Aretha dengan wajah yang kental akan rasa penasaran. Gue kembali tersenyum.
“Beneran. Kenapa? Mau nyalon jadi pacar gue?”
Aretha mendecih sambil memutar bola matanya sebal lalu berkata, “Oh c’mon, setim buat tugas aja udah kesel banget gue. Apalagi jadi pacar lo.”
“Kalo jadi pacar, gue nggak nyebelin kok. Yah, cuma rada resek aja haha.”
“See?!”
“Udah lah, cabut yok. Udah laper gue. Lo yang traktir.” ajak gue ke Aretha yang langsung dianggukinya dengan pasrah.
Gue membawa tas ransel gue lalu menghadap Aretha yang sudah siap dengan bawaannya. Gue pun segera melangkah keluar yang diikuti oleh Aretha.
~~~~~~~~~~
Angin musim gugur semakin berhembus kencang di malam hari. Aku merapatkan mantelku dan memasukan kedua tanganku ke dalam saku. Meskipun cuaca dingin, namun jalanan Cambridge malam ini luar biasa ramai. Yah, jalanan di sini memang selalu ramai apapun cuacanya kecuali jika ada badai.
“Karet, mau makan apaan?” tanya seseorang yang berjalan di sampingku.
“Nama gue Aretha ya, bukan Karet.” balasku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Iya iya, Ret. Karet haha.” sahut Dafa yang hanya aku balas dengan helaan napas.
“Jadi, mau makan apa?”
Aku mengedikkan bahu sebagai jawabannya dan kali ini Dafa yang gantian menghela napas.
“Selalu ya, cewek dimana mana pasti kalo ditanyain makan dimana, pasti nggak ada jawaban.” keluh Dafa yang ternyata juga memasukan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya.
“Kalian kaum cowok kan harus bisa memutuskan sesuatu. Kita sebagai cewek juga nguji kalian lho. Bisa nggak membuat keputusan.”
“Seriously? Jadi selama ini kalian cuma nguji kita?”
“Yah nggak juga sih. Kalo gue emang karena bener bener nggak tahu harus makan apa.”
“Wait. Kayaknya enak tuh, antrinya banyak.” ucap Dafa kemudian sambil menarik tanganku ke arah barisan panjang sebuah street food.
“Fish & cips, sounds good for dinner.” ucapku setelah membaca nama yang tertera di atas kedai berupa kontainer.
“Aaa, gue baru inget. Gue, Gala sama Bara pernah makan ini waktu pertama kali dateng ke sini.” kata Dafa yang masih menatap lurus ke depan.
“Dulu begitu sampe ke sini, kita bertiga sering banget wisata kuliner. Sampe hampir kuliner satu kota kita udah cicipin. Tapi begitu udah mulai dapet tugas bejibun, kita jadi nggak punya waktu buat keliling lagi.” cerita Dafa yang membuatku tersenyum saat menatapnya.
“Bentar lagi kan lo mau lulus, udah santai juga kuliahnya. Kenapa nggak ngelakuin hal itu lagi sebelum lo ninggalin Cambridge?” kali ini Dafa menolehkan kepalanya ke arahku lalu tersenyum. Damn, jantungku, tenanglah. Dia cuma senyum.
“BRAVOOO. Gue bakal nyeret tu dua cecurut buat keliling lagi.” ucap Dafa dengan bahagia.
“Oh iya btw Daf, Gala sama Bara ngapain kalo lo tinggal gini?” tanyaku penasaran.
“Pacaran paling.” balas Dafa cuek yang membuatku menganga.
“Mereka saling suka?” tanyaku yang langsung membuat Dafa tertawa.
“Astagaaa, bikin ngakak. Bukan. Bara biasanya skype sama pacarnya. Mereka udah pacaran dari SMA. Kalo Gala ma, dia sukanya cicip cicip bule di sini. Katanya rugi kalo nggak nyicip produk luar, padahal ada di tempat asalnya.”
“Jadi lo doang yang jomblo?”
“Right.”
“Lo kan bisa dapet pacar dengan mudah, Daf. Kenapa nggak mau?” tanyaku penasaran.
“Well, yah karena gue nggak mau aja. Gue mikir kalo duit aja belum bisa nyari sendiri, masak udah pacaran. Ntar mungkin waktu balik ke Indo.” jawaban Dafa membuatku mengangguk-angguk mengerti.
“Kalo lo? Kenapa milih jomblo? Jangan bilang nggak ada yang mau haha.” ucap Dafa yang aku balas dengan delikan tajam.
“Takut kalo balik balik nggak perawan.” kataku cuek. Dafa langsung terbahak mendengarnya dan membuatku gemas lalu memukul lengannya keras.
“Apanya yang lucu sih? Orang tua gue wanti wanti banget waktu gue mau ke sini. Apalagi papa gue. Beliau selalu bilang buat hati hati sama cowok bule. Kalian ma cowok enak, udah nggak perjaka, berkali-kali ngelakuin juga nggak bakal keliatan. Nah, cewek, kalo sekali aja dimasukin, pasti keliatannya. Cowok kalo masih perjaka dibilang cupu, cewek kalo udah nggak perawan dibilang p*****r. Diskriminasi gender memang masih ada.” ucapku panjang lebar.
Aku menunggu Dafa berkomentar namun usapan lembut di kepalaku menjadi tanggapan pertamanya.
“Yah, gue akuin kalo kaum gue itu emang b******k. Dirinya udah nggak kesegel tapi tetep maunya yang kesegel, masih baru. Tapi balik ke pribadi masing-masing, sih ya. Kalo gue sih nggak masalah sama masalah ‘keperawanan’. Siapa tahu, waktu kehilangan itu, tu cewek dipaksa. Kalo karena tu cewek memang mau mau aja waktu ngelepasinnya, ya udah. Gue bisa apa?” ucap Dafa begitu menurunkan tangannya dari kepalaku. Sekali lagi aku mengangguk mengerti.
Dafa sudah menolehkan kepalanya kembali ke depan. Namun, kepalaku masih terpaku memandang Dafa. Dibalik sikap menyebalkannya, ternyata dia bisa berpikir dewasa juga. Hal itu membuatku tanpa sadar tersenyum saat aku memindahkan pandanganku ke arah yang sama dengan Dafa.
~~~~~~~~~~
Selesai menyantap makan malam, aku dan Dafa kembali menelusuri jalanan Cambridge untuk pulang.
“Eh itu apaan ya Daf, kok rame banget.” ucapku ke Dafa sambil menahan tangan lelaki itu.
“Kayaknya sih penyanyi jalanan gitu. Mau lihat?” tawar Dafa yang langsung aku balas dengan anggukan penuh semangat. Dafa langsung menarikku ke kerumunan tadi dan membuat kami berdua mendapatkan posisi di tengah.
Kelompok penyanyi jalanan itu terdiri dari tiga orang. Satu laki-laki memainkan gitar dan laki-laki yang lain beserta seorang perempuan bertugas bernyanyi. Suara mereka, luar biasa. Meski hanya penyanyi jalanan, namun pertunjukan mereka patut diacungi jempol. Dan sepertinya penonton yang lain juga berpendapat sama denganku. Tepukan riuh selalu diberikan setiap mereka selesai menyanyikan satu lagu.
“And this is our last song.” ucap penyanyi laki-laki yang langsung membuat para penonton melenguh kecewa, termasuk aku.
“Sorry for saying that, but don’t worry. We will back again tomorrow.”
“So here, Dear God.”
Kami semua langsung bersorak begitu mendengar judul lagu yang begitu populer di jamannya itu. Sepanjang lagu, semua penonton mengangkat kedua tangan dan menggerakannya ke kanan dan kiri. Aku bersenandung mengikuti lagu itu.
Saat reff terakhir, aku berencana untuk menyanyi keras keras. Namun rencana itu tak aku lakukan begitu mendengar suara Dafa yang ikut bernyanyi.
Dear God the only thing I ask of you is
To hold her when I'm not around
When I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I'd stayed
'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again oh no
Once again
Tanpa sadar, selama Dafa bernyanyi, aku terus memandanginya seolah terhipnotis. Suara Dafa memang tidak sebagus penyanyi di tengah-tengah kerumunan ini. Namun, entah kenapa suaranya terdengar begitu dalam dan merdu di telingaku.
Nyanyian Dafa, membuat jantungku kembali berdetak cepat. Aku memegang d**a kiriku berusaha untuk meradakan detakannya. Yah, meskipun aku tahu itu tidak akan membantu.
Pandanganku akhirnya beralih saat para penonton bertepuk tangan dengan riuh.
“Udah yuk balik.” ajak Dafa setelah meletakkan beberapa koin untuk penyanyi jalanan tadi.
Aku pun mengangguk dan mengikuti tarikan Dafa pada tanganku.
“Lo nggak usah nganterin gue balik, Daf. Udah malem.” kataku saat Dafa hendak mengikuti langkahku yang berbelok ke kanan.
“So what? Nggakpapa, gue kan laki-laki. Lagian katanya lo takut kalo nggak perawan lagi waktu balik.” canda Dafa yang membuatku memukul lengannya.
“Sialan lo. Beneran nggakpapa. Gue lagi pengen jalan sendirian.” ucapku yang membuat Dafa memandang dengan pandangan menyipit.
“Are you sure?” tanya Dafa meyakinkan dan langsung aku balas dengan anggukan mantap.
“Ya udah kalo gitu. Gue nggak mau ganggu perenungan diri lo. Kalo ada apa apa hubungin gue.”
“Hubungin polisi lah, ngapain hubungin lo. Ntar yang ada nambah masalah.” candaku yang membuat Dafa menyentil keningku. Aku langsung mengaduh dan mengusap-usap kening.
“Udah sana, ati-ati. Jangan nyulik bayi lho ya.”
“NGGAK BAKAL.” teriakku yang dibalas dengan, “Astaga gue jadi inget sesuatu.” lalu dengan tiba-tiba Dafa mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Karet jangan mencuri, Karet jangan mencuri.”
Karena jarak kami yang begitu dekat, membuatku tanpa sadar menahan napas. Aku tidak fokus mendengarkan candaan Dafa dan malah fokus untuk menyembunyikan detak jantungku yang memburu.
“Teruuus, terusin aja ngehina gue. Udah ah balik, bye.” pamitku yang langsung berbalik untuk menyembunyikan wajahku yang aku yakin sudah memerah.
“BYE KARET SI PENCURI.” teriak Dafa yang masih bisa ku dengar. Aku memilih untuk tidak menghiraukannya dan mempercepat langkahku agar semakin menjauh dari Dafa.
Semakin menjauh dari pengacau hatiku.
~~~~~~~~~~
“Ciee, akhirnya ada yang habis malmingan.” ucap Bara begitu gue memasuki tempat tinggal kami. Gue hanya mengedikan bahu cuek dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.
“AKHIRNYAAA BAAR, DAFA MELEPAS STATUS JOMBLONYA.” teriak Gala heboh sambil berloncat-loncat gembira. Gue hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Kenapa ya gue bisa temenan sama tu makhluk satu.
“Gue cuma ngerjain tugas kali.”
“Iya iyaa yang dari jam 4 pergi baru balik jam stengah 10.”
“Gue tebak pasti lo udah makan.” kata Gala yang gue balas dengan anggukan pelan. Hal itu membuat kedua teman gue itu bertos ria.
“Udahlah fix. Dafa dan Aretha, cocok uga.” ucap Bara yang sudah mendaratkan bokongnya ke sofa. Gue langsung menoyor kepalanya lalu loncat untuk duduk di sebelah Bara.
“Serah lo pada dah. Yang jelas gue biasa aja sama Aretha.”
“Yakin lo nggak ada rasa sama Aretha?” tanya Gala yang berdiri di sebelah gue.
“Lo nyadar nggak, Daf. Untuk pertama kalinya, lo bisa sampe tahap sejauh itu sama seorang cewek. Lo bisa ngobrol sampe makan dan jalan bareng, that’s your first time.” timpal Bara.
“Biasanya paling pol juga lo ngobrol di kampus.”
“Hm, maybe karena gue nganggep dia adek?” kata gue seolah bertanya.
“Godness¸ya ya whatever. Makan tu adek kakak.” ucap Gala lalu berbalik dan kembali menuju ke tv untuk bermain game.
“Coba telaah perasaan lo baik baik. Inget, bentar lagi mau balik.” pesan Bara sambil menepuk-nepuk bahu gue. Gue hanya bisa menghela napas lalu memilih untuk bersandar dan memejamkan mata sejenak.
Setelah merenung sesaat, yang gue temuin cuma satu. Gue nyaman sama si Karet, cuma kalo perasaan menuju ke arah ‘suka’ kayaknya belum.
Ah, sebodo amat lah. Pusing gue entar kalo mikirin beginian. Ini nih makanya gue males pacaran.
Mikirin hal kayak gini itu ribet.
~~~~~~~~~~