5. Komitmen

1147 Kata
Siska : Andra mengajakku berkeliling kota Bali. Mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal, menyicipi beberapa wisata kuliner dan tentu saja, membelikan baju juga cinderamata. Lelaki berkemeja putih dan bercelana jeans pendek itu nampak santai bahagia, ada tawa yang selalu menghiasi wajahnya. Bahkan tak sungkan menggandeng dan menggengam tanganku beberapa kali, dan parahnya aku pun seakan menikmati moment itu. Hari hampir petang, saat Andra mengajakku kembali ke hotel. Kubuka kembali semua barang yang dia berikan. Andra hanya tersenyum, lalu duduk di kursi balkon. Kuhampiri dia, duduk di sebelahnya. "Mas Andra, terima kasih. Aku senang, enggak pernah terbayang ini semua bisa terjadi sama aku. Bahkan kadang aku takut ini cuma mimpi." "Sekarang percaya, 'kan?" tanyanya disertai senyum tipis. "Percaya, dong!" Aku tertawa. "Eh, kapan kita pulang?" "Besok pagi, ya. Enggak apa, 'kan?" "Enggak apa," sahutku semringah, lalu aku teringat sesuatu. "Kenapa?" Andra menatapku intens. "Ada masalah?" Aku meringis. "Itu ... soal obrolan semalam. Aku lupa belum izin sama kamu." "Izin apa?" "Boleh enggak, kalau aku keluar apartement--" "Mau ngapain?" Nada suaranya terdengar tak suka. Aku terdiam. Melihat perubahan sikapnya hanya dalam hitungan detik. "Mau kerja di luar lagi, hah?" "Eng-enggak," jawabku takut. Andra mengangkat daguku. "Atau kamu punya pacar, yang harus kamu temui?" Aku mencebikkan bibir, berusaha lepas dari tangannya. "Pacar apaan? Teman cowok aja enggak ada," sahutku pelan. "Terus?" "Aku mau nerusin kuliah aku. Sekarang aku 'kan dapat gaji dari kerja sama kamu!" cetusku. "Kamu kuliah?" "Iya. Ya, walau udah beberapa bulan ini bolos, gara-gara ... hehehe, kerjaan aku di kafe itu." Aku meringis. "Ya udah, pulang dari sini nanti kamu urus masalah kuliah kamu. Tapi, ada syaratnya." Aku tertegun. Menoleh ragu ke arahnya. "Apa?" tanyaku takut. Andra tersenyum. "Pulang pergi dijemput Dicky. Kecuali kalau dia benar-benar sibuk, baru kamu pergi sendiri." "Oke, setuju!" Andra tertawa kecil. "Oya, jadi berapa gaji aku sebulan?" Andra mengernyitkan kening. "Iya, gaji. Aku 'kan jadi pembantu kamu. Aku harus tau gaji aku berapa, biar bisa atur untuk kuliah, bayar hutang sama kirim orang tua aku." Andra tersenyum miring. "Kamu bener-bener mau kerja sama aku?" "Loh, iya 'kan? Sesuai kesepakatan kita semalam." Aku terdiam, memikirkan uang-uang yang sudah dikeluarkan Andra selama seminggu ini. Uang yang diberikan pada Mami Lidya, ATM, belum barang-barang ini. Apa? "Kenapa diam?" Andra seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan. Aku memalingkan wajah. "Berapa tahun aku harus kerja sama dia?" gumamku. "Hei!" Aku menoleh. "Aku enggak butuh pembantu." "Terus?" "Kamu cukup turuti apa perintahku." "Apa?" Aku terperanjat. "Why? Kamu pikir aku sama seperti si Roni itu?" "Eng-enggak, sih. Bukan itu maksud aku ... cuma ...." "Kamu tinggal di apartemen aku, kamu kuliah, kamu temenin aku jalan-jalan, dan semua kebutuhan kamu aku yang penuhi. Sepakat?" Aku menatap tangannya yang mengajak berjabat. "Kok, aneh?" "Aneh kenapa?" "Masa ...." Andra menurunkan tangannya. "Aku hanya butuh teman. Itu saja." "Enggak ada yang lain, 'kan?" "Kalau aku punya niat buruk sama kamu, udah aku lakuin dari kemarin-kemarin. Berapa jam kamu pingsan dan tidur di kamarku?" Aku memutar bola mata. "Hei, mau tau kenapa?" "Apa?" "Karena aku suka melihatmu tertawa." "Hah?" "Pertama kali aku melihatmu, saat pengawal-pengawal itu membawamu masuk ke dalam hotel. Ada gurat sedih yang kamu pendam. Hanya saja aku enggak terlalu peduli, karena aku pikir kamu memang perempuan panggilan." Aku memiringkan kepala, mendengarkan seksama ceritanya. Ini pertama kalinya dia berbicara banyak. "Aku kembali ke meja, dan di situlah aku mendengar percakapan Roni bersama teman kami yang lain. Dia bilang, semalaman itu akan menikmati seorang gadis belia. Aku sudah tau kelakuan bejadnya dari dulu, hanya saja untuk malam itu entah kenapa aku merasa tertarik untuk mencari tau. Ya, hingga akhirnya aku mencoba mengikuti dia saat masuk kamar. Karena itulah kita bertemu." Aku tertegun. "Aku merasa, aku harus menolongmu. Dan setelah mendengar kisah hidupmu, aku semakin ...." Andra menggantung ucapannya. "Kasihan?" tanyaku ragu. Andra tersenyum canggung. "Maaf ...." Satu tangannya menepuk pundakku. "Setidaknya kini aku tau apa makna hidup. Kemarin-kemarin aku terlalu sibuk dengan duniaku, dan mengabaikan sekeliling. Setelah bertemu kamu, aku merasa hidup kembali." Aku merunduk. "Ayolah, jangan tersinggung. Aku benar-benar tulus membantumu, tak ada niat buruk sedikit pun." "Janji?" "Janji!" Aku menjabat tangannya. "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?" tanyanya kemudian. "Hah, belum tau nama aku?" "Waktu aku ke kamar kos kamu, aku ambil dompet sama sim card kartu kamu. Tapi aku enggak sempat baca." Aku mendesah. "Baiklah. Jadi kita berkenalan setelah seminggu lebih bertemu." Aku berdehem. "Hai, kenalkan. Nama aku Siska Aulia Lestari, putri sulung dari pasangan suami istri bernama Bapak Dindin dan Ibu Susi. Aku punya dua adik, namanya Doni dan Sinta. Umm, apalagi, ya? Oh, aku lupa. Umurku sembilan belas tahun. Giliran kamu, Mas!" Andra melepas jabatan tangan. "Kamu udah tau siapa nama aku, 'kan?" "Rey ... Rey ... Reyan--" "Reyandra Pratama Wirata. Umurku dua puluh tujuh tahun, I'm CEO." "Wow, CEO? Pantas ...." "Pantas apa?" "Uangnya banyak, hehehe." Andra tersenyum. "Ini yang aku suka dari kamu. Beda sama perempuan yang ada di sekitarku." "Perempuan-perempuan kaya biasanya jaga image." Aku berdiri. "Berjalan anggun." Memperagakan jalan ala model. "Menatap sinis." Aku meliriknya dengan tatapan tajam. "Tidak peduli dengan sekitar." Aku mengibaskan rambutku. "Hei, kamu! Cepat buatkan s**u pelangsing buatku!" ucapku seakan memerintah Andra, dan itu berhasil membuat Andra tertawa. "Kamu lucu, Siska!" ujarnya sambil tertawa memegangi perut. "Aku 'kan pernah kerja di restoran. Aku tau seperti apa mereka." Aku kembali duduk. "Ya, dan mereka itu membosankan. Semua obrolannya seputar liburan ke luar negeri, tas bermerek, sepatu keluaran terbaru. Ah, menjemukan!" "Makanya kamu kabur dari pertunangan?" Andra mengangguk. "Kadang kalau sedang sendiri, aku berharap ini hanya mimpi. Dan terbangun di tengah keluarga sederhana, hidup bahagia dan saling memperhatikan." Aku terenyuh dengan nada bicaranya. Bisa kulihat beban berat di wajah tampan itu. "Makanya aku nolong kamu. Aku merasa kamu adalah kebalikan dari aku." Aku tersenyum. "Baiklah, kalau begitu aku janji akan membuat Mas Andra selalu tertawa dan bahagia!" "Hei, boleh minta sesuatu?" "Apa?" "Jangan panggil, Mas. Andra aja." "Oke, siap Mas ... eh, An-dra!" *** Pukul sepuluh siang kami sampai di Jakarta. Terlihat Andra menelepon Dicky yang ternyata sudah menunggu kedatangan kami. "Wah, yang udah liburan! Shoping banyak, nih?" Dicky menatapku. "Andra yang maksa. Katanya liburan itu harus beli banyak barang," sahutku. Dicky menatap Andra sambil tersenyum, lalu beralih menatapku. "Apa aku bilang?" Aku hanya meringis. "Eh, tapi kamu enggak diapa-apain 'kan sama Andra?" seloroh Dicky kemudian, membuat aku tersipu. "Aku masih bujangan tulen, Brother!" Suara Andra terdengar kesal. Kami pun tertawa sambil berjalan beriringan menyusuri lantai bandara. *** Esoknya, aku dibantu Dicky mengurus semua keperluan untuk kembali kuliah. Beberapa teman terkejut saat melihat kedatanganku, terutama melihat penampilanku yang berubah 180 derajat. "Kamu beli baju ini di butik mana?" "Ya ampun, Sis. Ini 'kan tas keluaran terbaru. Pasti harganya masih mahal!" "Sepatu kamu import, ya?" Lalu .... "Kerja apa?" "Bisnis online shop," jawabku. Ya, tak apalah berbohong. Itu juga yang aku katakan pada orang tua di kampung. Tidak mungkin aku mengatakan kalau aku bekerja sebagai pembantu di apartemen seorang CEO yang kaya dan tampan, 'kan? *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN