Siska :
Terdengar pintu diketuk. Aku melangkah cepat untuk membukanya.
"Hei!
Dia hanya tersenyum sambil melonggarkan simpul dasi. Kubuka pintu lebar agar dia bisa masuk.
"Harum. Kamu masak lagi?" tanyanya, lalu mengempaskan tubuh di sofa ruang tamu.
Kututup pintu. Baru duduk di sofa lainnya. "Iya. Kebetulan tadi minta Dicky anter belanja lagi." Aku meringis. "Enggak apa, 'kan?"
Andra menggelengkan kepala.
"Aku juga mau izin ...."
"Izin apalagi?"
Aku mengatur posisi duduk. "Selama empat bulan tinggal di sini, sarapan-makan siang-malam hasil dari restoran ... aku benar-benar bosan. Setelah mencoba memasak kemarin, aku ketagihan. Aku pikir, besok juga aku mau masak lagi."
Andra mendelik. "Bisa to the point."
"Maksud aku, aku masak tiap hari. Jadi aku belanja dulu gitu sepulang kuliah. Boleh?"
"Terserah. Yang penting jangan minta pindah dari apartemen ini. Ingat perjanjiannya, kamu harus rawat apartemen aku." Andra melepas jas.
"Oh, jelas tidak!" Aku memberi tanda hormat.
"Masak apa sekarang? Sop ayam lagi?" Andra melongokkan kepala ke atas meja makan.
"Ini lebih mantap!" Aku menautkan jempol dan telunjuk. "Sayur asam, tempe goreng, ikan asin, lalapan dan ... sambal." Aku mengusap perut.
"Dengernya aja aku udah lapar, ya?"
"Ayo, makan!"
Andra mengangguk antusias. Kuisi piringnya dengan nasi, menawarkan sayur beserta lauk pauk lain. Andra tampak lahap menikmati.
Ah, padahal inilah alasan sesungguhnya. Aku ingin memasak, karena senang melihatnya begitu menikmati masakan rumah. Dia bilang selama ini jarang makan di rumah, kebanyakan di restoran. Untuk itulah aku berinisiatif untuk memasakkan makanan khas daerah.
"Tambah lagi tempenya!" seruku sambil menambahkan sepotong tempe goreng ke atas piringnya.
Andra hanya mengangguk-anggukan kepala dengan mulut penuh.
"Enak?"
"Hmm ...."
Aku tersenyum senang. Selepas makan Andra menyandarkan punggungnya di sofa ruang tengah.
"Terakhir kali makan sambal sama lalapan itu ... setahun lalu. Di rumah Dicky, istrinya yang masak."
"Sama masakan aku, enak mana?"
Andra tampak berpikir. "Kamu lah!"
Aku tersipu.
"Lain kali masakin lagi, ya!"
"Siap!"
"Aku mau mandi dulu. Oya, aku nginep ya, malam ini?" ujarnya sambil masuk ke kamar.
"Ya!" sahutku masih dengan tangan sibuk membereskan meja makan.
-
Bulan tampak menggantung di atas sana, saat aku terbangun untuk melihat Andra. Membuka pintu kamar pelan, melihatnya yang tertidur di sofa.
Pembantu macam apa yang tidur di kamar, sementara sang tuan malah terlelap di sofa?
Ya, memang bukan hal aneh Andra menginap di apartemen. Dua atau tiga kali seminggu. Kadang menghabiskan akhir pekan dengan menyelesaikan pekerjaannya di sini. Dan di situlah dia membutuhkan tenagaku. Untuk sekadar membuatkan kopi, menyediakan camilan, mengobrol di sela kesibukannya, hingga akhirnya membereskan sisa kekacauan yang dia buat karena pekerjaannya itu. Juga sarapan dan pakaian untuk bekerja esok hari.
Hanya saja selalu seperti ini kondisinya.
Perlahan aku melangkah lebih dekat. Membereskan kertas-kertas yang berserakan, menutup laptopnya. Lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.
Kutatap wajah itu. Lelaki tampan yang telah menjelma menjadi malaikatku. Ada desir halus, setiap melihat wajahnya. Hanya saja kutepis semua. Mengingat aku ... tidaklah pantas untuknya.
Selamat tidur, Andra.
***
Sarapan sudah tersaji. Untuk hal ini aku menyiapkan makanan yang simpel dan mudah, seperti nasi goreng, roti bakar atau pancake sederhana.
Seperti pagi ini, kubuatkan dia omelet isi sayur dan segelas jus jeruk.
"Waw, harumnya!" Dia duduk di kursi dengan wajah cerah.
"Selamat menikmati!" Aku duduk di hadapannya.
"Hei, hari ini aku mau berangkat ke Riau. Mau titip sesuatu?"
Aku menelan makanan dalam mulut, sambil berpikir. "Enggak, ah."
"Kenapa?"
"Sayang uangnya. Jangan terlalu boros untuk membeli oleh-oleh."
Andra tersenyum tipis. "Ya sudah, kalau enggak mau. Oya, uang bulanan orang tuamu sudah aku kirim kemarin."
Aku tersenyum sambil menepuk lengannya. "Makasih."
"Sama-sama."
Sebenarnya aku malu. Bahkan uang untuk bapak ibu juga dia yang kirim. Rasanya sekadar ucapan terima kasih pun tak akan bisa membalas kebaikannya.
"Berangkat ke kampus jam berapa?"
Aku terenyak. "Oh, jam sembilan."
"Dicky bisa jemput?"
"Bisa."
Andra mengangguk kembali.
Setelah acara sarapan selesai Andra berangkat. Aku menatap kepergiannya dari pintu, dengan tangan menggenggam segepok uang untuk jajan bulan ini. Dia bilang ... gaji, tapi jumlahnya terlalu besar untukku.
Kini aku sadar, tentang apa yang dikatakan Dicky. Sama sepertinya, Andra terlalu baik. Membuat kita enggan menolak permintaannya, apalagi melihatnya bersedih. Dan itu sering aku lihat dari wajahnya. Raut lelah ditambah beban pekerjaan.
-
Malam belum terlalu larut saat aku terjaga mendengar suara pintu dan langkah kaki. Segera ke luar kamar.
"Astaga! Andra!" Aku melangkah cepat melihat tubuhnya ambruk.
"Siska ...," lirihnya.
"Iya, ini aku." Aku berjongkok di depannya. Lalu meraba kening Andra. "Ya ampun, panas! Ayo, bangun. Aku bantu."
Setelah berhasil membawanya ke sofa, segera kulepas sepatu juga jas di tubuhnya. Mengambil segelas air hangat untuk diminumnya.
"Kenapa bisa gini?" tanyaku cemas.
Andra bergeming. Air mukanya terlihat tak nyaman, pasti dia kesakitan.
Bergegas aku ambil bantal dan selimut. Tak lupa mengompres keningnya dengan air hangat.
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas, saat suhu tubuhnya sudah lebih baik.
Tanpa terasa, aku terlelap di sampingnya. Dengan kepala di atas sofa sementara tubuh di lantai berlapis karpet beludru.
***
Desah napas terasa menerpa wajah. Kubuka mata perlahan, seraut wajah tepat di depan mata. Semakin dekat, mengikis jarak. Aku yang masih didera kantuk, hanya terdiam ketika bibir itu ... menciumku lembut.
Aku mundur perlahan. "Andra?"
"Kenapa? Kamu enggak suka," bisiknya.
Kusentuh bibirku. "Kamu?" Lalu aku bangkit, dan berlari menuju kamar.
Apa maksudnya?
-
Suara bel pintu membuatku harus melangkah gontai menuju ruang tamu. Ketika pintu terbuka lebar, Dicky berdiri dengan raut cemas.
"Sakit apa Andra?"
"Demam."
"Ya ampun!" Dicky menerobos masuk. "Dra!"
"Hei, Bro." Terdengar suara serak menyahuti.
"Maaf, semalem hape aku dicharg. Semua pesan sama telepon kamu aku enggak tau. Baru pagi ini--"
"It's OK. Ada Siska yang rawat aku."
Aku menutup pintu. Melangkah ke dapur. Membuatkan segelas kopi untuk Dicky dan segelas s**u untuk Andra.
"Siska!"
"Ya?"
"Kamu kenapa?"
Aku tersenyum tipis. Memindahkan gelas dari nampan ke atas meja.
"Mungkin dia kecapean, semalaman jagain aku," timpal Andra.
"Ya udah, enggak usah kuliah dulu. Kamu istirahat temenin Andra," pinta Dicky.
Aku mengangguk. Kembali menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku berencana memasak nasi goreng kecap dan jus strawberry.
"Makanya, kalau kerja itu jangan terlalu diforsir, Dra. Inget, tubuh juga butuh perhatian."
"Akhir-akhir ini kerjaan emang lagi numpuk, d**k. Banyak ajakan kerja sama yang menjanjikan juga. Sayang kalau dilewatkan," sahut Andra.
Aku yang mendengarkan, masih berlagak fokus dengan pisau dan bawang.
Apa jangan-jangan, Andra terlalu sibuk bekerja gara-gara ....?
"Aww!" Aku meringis. Melepas pisau, menatap jari yang sudah meneteskan darah.
"Siska! Kenapa?" Tahu-tahu Andra sudah ada di sampingku.
"Kenapa?" Dicky ikut mendekat.
"Kena pisau," lirihku.
"Astaga! Berdarah seperti ini!" teriak Andra. "Sini, obatin dulu!" Andra menarik lenganku. Gerak tubuhnya cepat mengambil kotak P3K.
Sesekali aku melirik Andra, kemudian melirik Dicky.
"Makanya hati-hati! Kalau gini caranya mending kamu enggak usah masak!" Andra berkata dengan nada tinggi.
Aku tergugu. Entahlah, kenapa dia yang sakit tapi malah aku yang dia khawatirkan.
Kulirik Dicky yang juga sedang menatapku. Dia mengangkat satu alisnya sebagai kode, aku menautkan alis. Akhirnya dia tersenyum kecil.
"Ya udah, aku mau ke kantor dulu!" Dicky bangkit setelah meneguk kopi di meja. "Makasih kopinya, Sis!"
"Iya." Kujawab dengan tatap malu.
Andra membersihkan darah, meneteskan obat merah lalu membalut lukaku dengan plester. Baru setelah selesai dia berdiri menatap Dicky.
"Pesenin sarapan sekalian, d**k!" Dia hendak merogoh dompet di saku belakang celana.
"Udah, enggak usah. Aku traktir kalian sarapan pagi ini. Biar nanti aku titip OB. Aku pamit." Dicky menepuk pundak Andra, lalu tersenyum ke arahku.
Kenapa?
***
Kondisinya belum baik. Aku yakin. Tapi dia masih tertidur di sofa. Aku belum berani mendekatinya lagi setelah insiden ciuman tadi pagi. Bahkan sarapan pun kami lakukan di tempat berbeda. Aku di ruang tengah, dia ruang tamu. Sesekali dia melirik, hanya saja aku abaikan.
Kenapa dia tega melakukan itu? m*****i hubungan yang dia sebut teman dengan ....
Suara benda terjatuh membuatku terenyak.
"Andra! Mau ngapain?" tanyaku saat melihatnya berdiri miring di dekat meja makan, dengan kedua tangan bertumpu pada tepiannya.
"Bikin teh hangat," sahutnya pelan.
"Kamu masih lemes. Kenapa enggak panggil aku? Biasanya juga suruh aku." Kubantu dia melangkah menuju sofa lagi.
"Kamu lagi marah sama aku, 'kan?" tanyanya sambil membaringkan tubuh.
Aku melengos dari tatap sendunya. "Aku siapin tehnya."
"Enggak usah. Aku mandi saja, badanku lengket."
Aku menganguk. Lalu masuk ke kamar mandi menyiapkan air hangat untuk Andra. "Udah. Mau mandi sekarang?" tawarku.
Andra mengangguk.
"Aku bantu." Kembali kupapah tubuh yang sepertinya lima belas kilo lebih berat dariku. "Bisa mandi sendiri, 'kan?" tanyaku ragu.
"Tolong bukain kemejanya dulu," pintanya.
Aku menurut, melepas satu persatu kancing kemeja.
"Tolong handuknya, ya?"
Aku mengangguk dan meninggalkannya. Keluar dari kamar mandi, kuambil handuk bersih di lemari. Lalu menunggu resah di balik pintu.
Hening. Entah dia sudah mulai mandinya apa belum? Aku malu jika harus masuk. Hingga samar terdengar panggilan.
"Siska ...."
"Ya?"
"Handuknya."
"Ah, ya."
Kubuka pelan pintu. Andra berdiri di balik tirai. Terlihat garis dan lekuk tubuh telanjangnya, membuat dadaku berdebar. "Ini ...." Kujulurkan tangan sambil membelakanginya.
"Thanks."
"Ya," jawabku gugup. "Aku siapin baju kamu dulu."
Kupilihkan celana joger panjang dan kaos putih. Andra keluar dengan langkah lesu, kemudian duduk di tepi ranjang.
"Masih sakit?" tanyaku ketika melihatnya meringis memegang kepala.
"Agak pusing."
Kuraih celana dan kaos, memberikan padanya. "Kamu istirahat di kamar aja, Andra. Biar aku di luar."
Andra mengerjap pelan, lalu mengangguk. Saat aku hendak melangkah, dia menahanku tanganku. "Siska ...."
"Ada lagi yang lain?"
"Maaf. Jika perbuatanku tadi pagi ... menyinggungmu."
Aku tersenyum kecil, bergegas meninggalkannya.
-
Semangkuk bubur telah tersaji. Bertabur ayam suwir, bawang goreng dan seledri. Tak lupa kerupuk terpisah di toples. Agak ragu membawanya ke kamar. Memikirkan wajah sendu itu meminta maaf.
Kulirik jam dinding, sudah sore. Tadi Andra melewatkan makan siang dengan alasan masih ingin tidur. Apa mungkin sekarang dia masih lelah?
Ah, sudahlah. Bukankah ini sudah jadi kewajibanku, mengurusnya yang sedang sakit. Kalau bukan aku, siapa lagi?
Kudorong pintu perlahan. Andra tidak ada di kasur. Ke mana?
Aku panik, melangkah cepat ke kamar. "Andra!" Menyimpan nampan di atas meja, mengecek kamar mandi. Tidak ada. Kubuka pintu balkon, Andra sedang duduk, menatap kosong gedung-gedung yang menjulang memenuhi hiruk pikuk kota.
"Andra! Kamu masih sakit!" seruku penuh kecemasan. Berjongkok di depannya, meraba kening dan lengannya. Dingin.
"Memang kenapa?"
"Nanti sakitnya makin parah!"
"Memang siapa yang peduli sama aku?"
Aku genggam kedua tangannya. "Aku peduli sama kamu, Andra. Dicky juga!"
Andra menatapku. Melepas tangannya dari genggamanku. Tangan dinginnya meraba pipiku, lalu tersenyum.
"Di dalam, ya. Aku udah siapin bubur."
Andra mengangguk lemah.
Kusuapi Andra dengan lembut. Membersihkan noda di sekitar bibirnya. "Istirahat lagi, ya?" Kubenahi selimutnya.
"Siska ...." Andra menahan lenganku.
"Ya?"
"Bisa temenin aku?"
Aku mengangguk. "Aku simpan mangkuknya dulu."
Kurasa, ini fase terendah dalam hidup Andra selama beberapa bulan mengenalnya. Aku pernah bertanya pada Dicky, tentang kehidupan Andra. Katanya, Andra memang sering begitu. Mungkin dulu memang Dicky sering menemaninya, hanya saja seiring waktu Dicky pun sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya. Mungkin itu yang membuat Andra terlalu tenggelam dalam dunianya. Dia kesepian.
Aku kembali masuk ke dalam kamar. Andra sudah tidur. Syukurlah. Aku mengambil buku, membaca materi kuliah sebagai pengisi waktu luang. Lalu duduk di samping Andra, di atas ranjang yang sama.
Entah karena terlarut dalam tulisan-tulisan di buku, atau aku yang kurang konsentrasi. Tahu-tahu aku ikut tertidur.
Aku terjaga. Membuka mata perlahan. Membulatkan mata saat sadar ... Andra sedang menatapku dalam jarak dekat. Tadinya ingin menghindar, tapi aku takut dia tersinggung. Kuberi sebuah senyum untuknya. "Masih pusing?" tanyaku berusaha tidak gugup.
Andra menggeleng.
"Butuh sesuatu?"
Andra menggeleng kembali. "Cukup melihatmu seperti ini. Aku sudah merasa nyaman, Siska."
Aku tersenyum, menahan degub jantung tak beraturan.
"Siska. Pernah merasa kesepian, hidupmu hampa, lalu kehilangan tujuan hidup?"
"Aku sering kesepian, tapi aku masih memiliki tujuan hidup. Karena masih banyak yang belum aku raih selama ini."
Andra tersenyum. Lalu ... tangan itu mengusap pipiku. "Siska, tolong beri aku semangat untuk menjalani hidup?"
Hening. Kedua mata kami saling bertatapan. Aku menggigit bibir, semakin gugup. Andra masih mengusap pipiku, dengan wajah yang semakin mendekat. Hidung kami sudah saling bersentuhan.
Jujur saja. Tak bisa kupungkiri jika rasa ini memang ada. Perasaan nyaman dan tenang saat berada di sampingnya. Tapi ....
"Aku ... cuma gadis biasa, Andra. Sedang kamu? Aku merasa kita enggak--"
Bibirku terkatup. Andra membungkamku dengan ciumannya. Hanya lima detik. Sebuah ciuman manis untukku yang masih belum berpengalaman.
"Aku hanya tau ... aku ... ingin ... memilikimu. Entah ... bagaimana pun ... kamu, Siska."
Ada desir halus di sana, dalam d**a. Meminta untuk diam dan menunggu. Diam atas perlakuannya, dan menunggu ... apa lagi yang akan dia lakukan?
Mataku refleks terpejam saat Andra kembali menautkan ciuman. Desah napas memburu dari hidungnya. Bahkan bisa kurasakan dadanya mulai tersengal.
Andra bergerak, mengangkat tubuhnya. Membuatku ikut memutar tubuh. Andra semakin agresif setelah berada di atas tubuhku. Satu tangannya membuka kancing piyama. Sempat kutahan, tapi Andra menepisnya. Entah setan mana yang akhirnya menyuruhku untuk diam.
Pagutan bibir kami terlepas saat Andra menarik tubuhnya. Dia terduduk melepas kaos yang sudah basah, dadanya dipenuhi peluh. Kedua tanganya kembali bergerak melepas piyamaku dari lengan.
"Andra ...," lirihku.
Tak ada sahutan. Dia semakin larut dalam nafsu yang menguasainya, menarik celana panjangku. Bisa kulihat jakunnya bergerak naik turun saat melihatku hanya memakai bra dan celana dalam.
Andra kembali menciumku, dengan satu tangan bergerak liar melepas pengait bra di belakang punggung. Melemparnya, sama seperti nasib baju tidurku. Kemudian menarik kain terakhir di tubuhku. Aku menggeliat saat dia meraba daerah sensitif itu.
"Emmhh ...." Tanpa sadar aku melenguh. Merasakan sensasi luar biasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Tangannya mulai naik ke atas, meraba dadaku yang sudah bertalu semakin kencang. Perlahan dia melepas ciuman bibir, berganti menciumi leher ... lalu p******a. Kakiku menggelinjang, saat bibirnya itu mengulum dan menggigit pelan putingku. Kuremas rambutnya, menekan semakin dalam. Menyebabkan Andra mendesah semakin liar. Hingga akhirnya dia melepas permainan bibirnya. Kembali mengecup bibirku lembut.
"Wanna it?" bisiknya parau.
Aku menggigit bibir, lalu ... mengangguk pelan.
Atas dasar apa, aku tak pernah tahu. Yang aku tahu, aku terlalu menikmati malam ini dengan sentuhan Andra di sekujur tubuh. Hingga akhirnya, aku memekik menahan sakit. Saat pergumulan hebat ini mencapai puncaknya.
Desau angin menjadi selimut. Malam pekat menjadi saksi. Atas terjalinnya hubungan terlarang antara aku dan Andra.
Kuberikan kehormatan yang selama ini aku jaga. Hal yang membuatku menahan godaan laki-laki di luar sana, juga lelaki di hotel itu. Tapi, justru karena usahaku mempertahankan kesucian inilah, hingga akhirnya kini semua berakhir bersama ... Andra.
***
Suara pintu terbuka, lamunanku tentang masa lalu menguar. Lelaki itu kini sudah berdiri di hadapanku. Aku tersenyum, melambaikan tangan.
Andra berjongkok di sampingku. "Masih lama?"
"Kenapa?" Kubelai wajahnya lembut.
"Aku mau mandi," sahutnya dengan suara parau.
"Sini ... mandi bareng," ajakku.
Dia tersenyum, berdiri kembali. Melepas kaos dan celana di tubuhnya. Memasukkan satu persatu kaki ke dalam bath up.
Aku menarik tubuh untuk duduk tegak di depannya.
"Do it again, baby!" perintahnya.
*****