Andra :
Suara bel yang berdentang berulang kali membuat mataku terjaga. Tubuh mungil dalam pelukan bergerak, melepas lingkaran tanganku.
"Siapa?" tanyaku saat melihat Siska turun dari ranjang.
"Kayaknya Dicky. Semalam aku minta dibeliin sesuatu," sahutnya sambil mengikat rambut.
"Oh ...." Aku kembali membenahi diri, lalu teringat sesuatu. "Siska!" Kuangkat kepala, melihat ke arahnya.
Tangannya yang hampir menarik handel pintu tertahan. "Apa?" tanyanya polos.
"Baju ...," ucapku agak pelan.
Siska melihat tubuhnya sendiri yang masih berbalut lingerie coklat transparan, memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya. "Oh, iya. Lupa!" Dia tertawa. Kemudian meraih kemeja biru di balik pintu. Sempat dia melambaikan tangan sebelum akhirnya keluar kamar.
Terdengar dia berkata lantang meminta Dicky untuk bersabar. Sepertinya ayah dari tiga anak itu sudah terlalu kesal.
Aku berusaha memejamkan mata, tapi kenapa tidak bisa? Padahal tadi niatku ingin melanjutkan tidur. Pikiranku malah tertuju pada tawa nyaring Siska dan Dicky. Sial! Mengganggu konsentrasi saja!
Aku bangkit segera. Masih memakai boxer dan bertelanjang d**a.
"Morning Sunday, Tuan Andra!" sapa Dicky saat melihatku keluar dari kamar.
"Morning," sahutku dengan langkah gontai.
"Tampaknya Tuan Andra merasa terganggu karena kedatanganku?" seloroh Dicky.
"Kau mengganggu tidurku," tandasku.
Dicky tertawa menanggapinya.
Aku menyandarkan pinggul di sandaran sofa ruang tengah. Sementara Dicky masih berdiri di dapur bersama Siska yang sedang sibuk memeriksa isi belanjaan. Wajahnya terlihat semringah sekali.
Kuangkat dagu sebagai isyarat.
"Katanya ini hari Minggu, dan kuliah libur. Jadi semalam Siska menelepon, memesan banyak belanjaan," sahut Dicky.
"Tau sendiri kalau hari Minggu," celetuk Siska. "Susah keluar," sambungnya dengan wajah tak acuh.
"Tentu saja keluar," timpalku. "Hanya saja keluarnya di dalam," kelakarku.
Siska mencebikkan bibir, lalu berbalik. Memasukkan kantong belanjaan ke dalam kulkas. Dicky berjalan menghampiriku dengan membawa tawa, tentu saja melihat kelakuan Siska.
"Sehat?" Dicky menepuk pundakku.
Kurangkul tubuhnya. "Sehat. Gimana yang di rumah?" tanyaku sambil melepas pelukan.
"Sehat. Cuma ya gitu, anak-anak nanyain kamu terus."
Aku tersenyum. "Nanti kalau sempat aku tengok mereka."
"Sibuk?" Dicky mengangkat satu alis.
"Lumayan."
"Tambah sibuk sejak ada Siska." Dicky mengedipkan mata.
Aku tertawa. Memalingkan wajah saat mendengar senandung lirih dari perempuan yang sedang berjalan sambil melompat-lompat kecil. "Hei!" Kutarik pinggangnya ketika dia lewat di depanku.
"Apa, sih?" ketusnya.
"Jangan keseringan nelepon Dicky, entar istrinya marah," tuturku.
"Cuma nitip belanjaan, doang!" Siska berontak. Berusaha melepas lingkarang tanganku. "Ih, lepasin. Mau mandi juga!" pekiknya.
"Oke, tapi jangan keluar dulu sebelum aku menyusulmu." Kucium pipinya. Lalu melepas perlahan tubuhnya.
"Ih, ganjen!"
"Cuma sama kamu!"
Siska mengerucutkan bibir, kemudian berjalan ke kamar.
Kugerakkan kepala menyuruh Dicky duduk. Lalu melangkah ke arah kulkas, mengambil dua botol kopi dingin. Berjalan kembali ke ruang tengah, mengempaskan tubuh di samping Dicky. Kuberikan satu botol padanya.
"Tampaknya gadis itu udah bikin kamu berubah, Dra!" Dicky membuka suara seraya menerima botol di tanganku.
Aku tersenyum sebentar. "Ya, kamu bener. Sejak ada dia di hidupku, rasanya isi otakku kini terbagi. Antara pekerjaan, dan dia." Kutunjuk dinding yang dipenuhi banyak foto Siska.
"Syukurlah. Sekarang aku yakin kamu bisa move on dari aku."
Kutonjok bahunya pelan. "Kamu tetep sahabat terbaik aku."
"Ya, aku percaya. Walau kadang ada rasa cemburu sama Siska." Dicky tertawa lalu meneguk isi botolnya.
"Hei, jangan seperti itu. Kamu yang lebih dulu mencampakkanku!"
"Terpaksa. Aku pun butuh belaian wanita, tak bisa terus-terusan bersamamu!"
Kami tertawa bersama.
"Tapi yang jelas kamu nyaman, 'kan, sama dia?" Dicky berubah serius. Menyimpan botol di atas meja.
Kutanggapi dengan senyum lebar. "Aku nyaman. Melihat dia bertingkah aneh, kadang kekanak-kanakan, polosnya, lugunya, bicaranya yang mendadak dewasa. Terutama senyumnya, seakan jadi candu bagiku."
"Baguslah. Tapi jujur aja, Dra. Kadang ada satu hal yang selalu aku takutkan."
Aku menyimpan botol dengan raut heran. "Apa?" tanyaku penasaran.
"Aku takut ... kamu ... terjerat pasal penyalahgunaan anak-anak di bawah umur." Dicky menahan tawa.
Kutonjok lagi bahunya. "Gila! Umurnya hampir dua puluh satu."
"Oke-oke. Kita pastikan dia udah dewasa, dan yang pasti ... berpengalaman." Dicky menekan kata terakhirnya.
Aku berdecak mendengar gurauannya dari tadi.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu. Aku tidak mau berlama-lama menganggu quality time kamu." Dicky berdiri, membenahi jas di tubuhnya.
Aku ikut berdiri. Memeluknya sebentar, lalu mengantarnya hingga ambang pintu.
Melamun sebentar di ruang tengah, menatap foto Siska yang sedang berdiri di balkon apartemen. Sial! Kenapa jadi memikirkan candaan Dicky?
Benarkah aku sekejam itu. Menjadikan Siska pelampiasan nafsu selama setahun ini?
Aku tidak sejahat itu!
Dia ... segalanya bagiku. Walau pun kami belum tahu pasti, akan dibawa ke mana hubungan ini. Aku mendesah, mengusap wajah hingga belakang kepala. Aku tidak mau kehilangan dia. Itu yang aku tahu.
Setelah cukup berargumen dengan diri sendiri, kulangkahkan kaki menuju kamar. Lebih tepatnya kamar mandi, di mana ada makhluk dunia serupa bidadari surga di sana.
"Kenapa enggak bilang kalau mau luluran?" tanyaku dengan langkah yang semakin dekat dengannya. "Aku 'kan bisa bantu," lanjutku sambil memeluknya. Menahan wajah di atas pundaknya, membuatnya menggeliat karena ciumanku di leher jenjangnya.
"Kamu kalau udah ngobrol sama Dicky suka lama," cetusnya, dengan tangan yang masih bergerak membalurkan lulur ke lengan kirinya.
"Sini, aku bantu." Kuraih mangkuk bulat di samping wastafel.
"Seneng banget lulurin aku?"
Kulirik wajahnya, lalu mulai mengoleskan lulur di lengan kanannya. "Ini salah satu kesenangan aku, dan kamu enggak bakal bisa nolak."
"Jangan-jangan kamu juga suka luluran?"
Kutatap wajahnya dari bayang cermin wastafel. "Aku cowok maskulin, masih suka nge-gym," bisikku di samping telinganya.
Siska tertawa. "Ih, Abang sewot aja!"
"Buka handuknya," pintaku.
Siska menurut. Dia melepas handuk dan menyimpannya di samping wastafel. Aku berpindah ke belakang tubuhnya. Mengoleskan lulur alpukat di punggungnya hingga kaki. Sengaja kusisakan bagian depan. Biasanya itu jadi pekerjaan terakhir.
"Berbalik." Aku mengerlingkan mata saat melihat penampakan tubuh bagian depannya. Tampaknya Siksa mengerti. Dia berkacak pinggang dengan mata melotot.
"No problem, aku bisa menahannya," ujarku. Akhirnya kuoles bagian dadanya. Sedikit meremas di atas dua bukit menantang itu, membuat Siska mendesah kesal. "Temen aku buka salon, bagi-bagi voucher buat open day. Mau? Biar bisa perawatan maksimal."
"Enggak usah, males."
"Kenapa?"
"Memang perawatan rumahanku selama ini kurang?" lirihnya.
Aku berdiri tegak, menatap wajah muramnya. "Kata siapa? Justru kamu makin ... seksi." Kulumat bibir menggairahkan itu. "Aku cuma coba nawarin." Kulanjutkan mengoles bagian perutnya.
"Malu, Andra. Dipegang-pegang sama orang lain. Risih!"
Aku mendongkak. "It's OK." Kuberi seulas senyum, menatap kembali pemandangan di depan mata.
"Kalau enggak sanggup, biar aku aja!"
Aku terkekeh. Sepertinya dia tahu apa yang ada dalam otakku. "No. Kali ini akan aku selesaikan," ucapku meyakinkan. Kucium sebentar bagian bawah pusarnya, semakin bawah ... bawah ... dan ....
"Andra!"
Aku tertawa melihat raut wajahnya. Demi tidak melihat kekesalannya, kulanjutkan mengoles hingga benar-benar tuntas.
"Berapa menit lagi menuju waktu mandi?"
"Lima belas menit cukup," sahutnya sambil memandang seluruh tubuhnya dari bayang cermin.
"Lama."
"Itu karena kamu enggak pernah membiarkan aku selesai."
Aku cium pipinya gemas. Lalu membersihkan kedua tangan. Kemudian keluar dari kamar mandi.
Kuraih tas di atas meja. Mengambil kotak kecil berwarna merah. Sebuah kalung berwarna silver dengan gantungan berbentuk setetes air berkilauan tertimpa cahaya matahari. "Semoga kamu suka, Siska," gumamku. Kututup kembali.
Hampir berbalik untuk mengambil langkah, kuurungkan saat mendengar suara dering ponsel di atas nakas. Aku meraihnya. Mami?
Kuabaikan. Melempar ponsel ke atas kasur. Lebih baik bersenang-senang bersama Siska daripada mendengar celotehannya itu.
"Udah lima belas menit?" tanyaku setelah berdiri di belakangnya.
"Sebentar lagi. Baru juga lima menit," keluhnya.
Aku ulurkan tangan kananku ke hadapannya, lalu tangan kiri membuka kotak beludru.
Matanya membulat sempurna. "Cantik!"
"Secantik sang pemiliknya." Kucium telinganya lembut. Tak menunda waktu, kupakaikan segera di leher penuh pesona kenikmatan itu.
"Buat aku?" tanyanya dengan suara parau.
"Siapa lagi memang?"
Siska berbalik, memelukku erat. "Makasih."
"Everything for you," ucapku setelah dia melepas pelukan.
Siska berputar kembali, menatap kalung itu dari bayang cermin. Bibirnya tersenyum dengan satu tangan meraba liontinnya. Aku ikut melihat ekspresinya. Ada rasa bahagia melihatnya bahagia.
Namun, mungkin rasa bahagiaku kini didominan oleh rasa lain. Kurapatkan tubuhku pada punggungnya, menahan kedua lengan pada pinggiran wastafel. Membuat Siska terpenjara. Aku mencium pipinya, mengulum telinganya.
"Andra ...." Siska berbisik diiringi desahannya yang membuatku semakin tak kuasa menahan gejolak ini.
"Sekarang, ya?" tanyaku dengan suara parau.
"Belum lima belas ... ahh!" Siska memekik saat aku menggendong tubuhnya. Membawanya ke bawah shower.
"Sexy ...," bisikku.
Kutelusuri setiap lekuk tubuh itu, menuntaskan semua hasrat. Bergumul, b******a. Di bawah kucuran air yang membasahi kami.
***
Satu proposal selesai kuperika. Aku kembali mengambil yang lain di atas meja. Kedua mata terlalu fokus, bahkan telinga pun seperti tuli. Hingga tak menyadari ada seseorang masuk ke dalam ruangan.
"Mami?" tanyaku heran saat dia sudah duduk di depanku. Lalu melanjutkan kembali membuka lembar demi lembar map di tangan.
"Kenapa? Merasa terganggu?" Nada suaranya terdengar kesal.
"Tidak. Ada apa?" sahutku tanpa melihatnya.
"Tentang Yola. Kamu enggak lupa 'kan, undangan ulang tahunnya?"
"Tentu saja tidak. Aku udah tunjukkin nota-nya sama Mami, 'kan?"
"Kamu pikir hanya dengan menunjukkan nota seperti itu, bisa membohongi Mami, hah?"
Aku alihkan perhatian. Melayangkan pandangan ke arah jendela.
"Yola bilang kamu enggak ada di pestanya semalam, Andra!"
Shit! Perempuan itu mengadu. Kusimpan map dengan gerakan setengah terpaksa. Mengerlingkan mata, kemudian menatap perempuan di hadapanku. "Kita bicarakan lagi di rumah," anjurku.
"Rumah? Rumah yang mana? Sudah seminggu ini kamu tidak pulang ke rumah kita. Apa mungkin kamu memang mempunyai rumah yang lain?" cercanya dengan intonasi tinggi.
Aku mengusap wajah. Hilang sudah kesabaranku. Aku berdiri, berjalan ke arah pintu.
"Mau ke mana?"
Tak kupedulikan. Aku terus berjalan ke arah lift meski dia berulang kali memanggil namaku. Aku sudah terlalu muak dengan teori-teorinya itu, termasuk dalam hal mencari pasangan.
"Cari gadis terhormat dari keluarga terpandang, berpendidikan, cantik, anggun dan sederajat dengan kita."
-
Mobil melaju, membelah jalanan kota Jakarta. Tidak terlalu padat, mungkin karena memang masih jam kerja.
Ke mana? Dicky pun pasti masih di supermarket. Siska ....
Hanya bersama dia aku bisa melupakan sejenak kepelikkan hidup. Tak menunda waktu, segera kutekan kontaknya.
"Halo, Andra!"
"Di mana?"
"Di kantin, masih nungguin Dicky jemput. Katanya lagi ada keperluan dulu."
"Biar aku yang jemput kamu."
"Emang enggak kerja?"
"Aku lagi di jalan. Kamu telepon aja Dicky sekarang!" perintahku. Lalu menutup sambungan.
Aku memarkirkan mobil di tempat yang sekiranya bisa Siska lihat dengan mudah. Sambil menunggu, kuambil sebatang rokok lalu menyulutnya. Menyandarkan punggung, membuang kekesalan atas kejadian di kantor tadi.
Gadis mana lagi yang harus aku temui demi memenuhi keinginan Mami? Aku berdecak sambil menggelengkan kepala.
"Andra?"
Aku menoleh. Keluar dari mobil. "Hai!"
Siska menatapku. Dari atas ke bawah, lalu mengernyitkan kening. "Why?" tanyanya dengan satu tangan meraih rokok di sela jemari. Dengan seulas senyum Siska menjatuhkan lalu menginjak rokok itu.
"Siska ...." Kupanggil dia pelan.
Dia mengangkat wajahnya. Kulihat ada kelembutan di sinar matanya, kehangatan di senyum bibirnya itu. Aku mendekatkan wajah, hampir saja menciumnya.
"Ini tempat umum," peringatnya.
Aku tertawa kecil. Kurangkul tubuh berbalut dress berwarna kuning lembut itu. "I need you," bisikku.
*****