8. Only You

1376 Kata
Andra : "I need you," bisikku lembut. "I'll be there for you," jawabnya. Kulepas pelukan, menangkup wajah putih bersih dengan rona merah di pipinya. Siska ikut menyentuh kedua tanganku, lalu memiringkan kepalanya. "Will holiday in the monday?" "Where?" "Dufan!" Aku menautkan alis. "Sure?" "Ya-ya-ya?" rajuknya. "OK!" Siska tersenyum lebar, lalu melepas wajahnya dari tanganku. "Ayo, cepet! Bentar lagi jam makan siang!" teriaknya sambil berlari menuju pintu penumpang. "Kenapa Dufan?" tanyaku saat duduk di belakang kemudi. "Jangan yang jauh-jauh, ini bukan libur panjang." Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Gemas melihat tingkah lakunya. Baiklah, ke mana pun kamu mau, akan aku kabulkan. Kurang dari satu jam kami sudah masuk di dalam area tempat tujuan kami. "Yes, akhirnya. We will have fun!" Siska bersorak menatap semua penampakkan di depannya. Lagi-lagi aku harus tertawa melihat kelakuannya. "Andra! Beli baju dulu, ya. Masa aku pake baju gini?" Dia bergelayut di lengan kananku. "Everything for you," sahutku. "Ayo!" pekiknya girang. Kami masuk ke sebuah toko dengan pakaian lengkap untuk pria dan wanita. Kurasakan getar dalam saku celana. "Kamu yang pilih, ya?" pintaku.  Sempat Siska menampakkan raut kesal melihat ponsel di tangan kanan. Tak urung dia berlalu, sibuk memilih baju. "Halo, Rosi!" "Halo, Pak Rey! Anda di mana?" "Hari ini aku agak kurang enak badan. Ada jadwal penting yang tak bisa ditunda hari ini?" "Kebetulan tidak ada yang terlalu penting. Hanya jadwal makan siang dengan beberapa kolega." "Baiklah. Kamu bisa tangani semua sendiri, 'kan?" "Tentu. Saya usahakan sebaik mungkin." "Terima kasih." Kututup sambungan. Menatap beberapa notifikasi lain. Hah, Mami! "Andra! Sini!" Siska menarik lenganku. Lalu berhenti di ruang ganti. "Ganti bajunya!" perintahnya. "OK!" sahutku. "Bentar. Sini hapenya!" Siska menadahkan tangan. "Buat apa?" "Aku sita dulu," ucapnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku hanya bisa pasrah. Memilih masuk ke ruang ganti, memakai baju yang Siska berikan ; celana pendek coklat, kaos putih dan sepatu kets simpel berawarna coklat muda. Setelah selesai, gantian Siska yang berganti baju. Ternyata dia memilih baju couple. Aku berdecak. Ada-ada saja tingkahnya. "Let's start!" ajak Siska. "Go!" sahutku. Senin. Identik dengan kesibukan, sedangkan kami malah tertawa dan bersenang-senang di arena permainan. Siska tak ada bosannya mengajakku, kami hampir mencoba semuanya. Mungkin jika bukan petang yang menghentikan, dan tentu saja saat dia mengeluh lapar. "Mau makan di mana?" tanyaku. "Pantai, yuk! Sambil lihat senja." Aku mengangguk, kembali berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan. "Kapan terakhir kali ke Dufan?" tanyaku saat duduk di kursi. "Udah lama, waktu kerja di restoran. Itu juga bonus dari si bos. THR," sahutnya dengan mimik datar. Lalu tertawa saat melihatku yang sedang menatapnya. "Ih, jangan lihatin gitu juga kali!" Aku tertawa. Menyadari perempuan di depanku ini benar-benar berbanding terbalik denganku. Aku, lahir di tengah keluarga berada tapi kekurangan kasih sayang. Sedang dia, lahir dari keluarga sederhana tapi penuh keceriaan. "Eh, lihat. Senjanya bagus!" teriaknya. "Ayo, ke sana!" Siska berdiri, menarik tanganku. "Makan dulu." "Nanti aja, bisa ditunda. Bu, simpan dulu, ya?" pintanya pada penjual kedai. "Ya ampun, Siska!" Aku berjalan tergesa mengikuti langkahnya. Benar saja. Dia melompat-lompat di ujung dermaga. Pemandangan senja dengan langit merahnya, begitu indah terlihat. "Foto aku, ya?" Dia menyerahkan ponsel. "Heh, siapa tuannya di sini?" Sayang dia tak menggubris, malah bergaya dan memerintahku kembali. Astaga! Setelah puas berfose dengan berbagai macam gaya. Dia kembali berlari menghampiriku. "Bagus enggak?" Tangannya merebut ponsel dalam genggamanku. Aku hanya diam, memperhatikan ekspresi wajahnya. Kadang tersenyum, tertawa sebentar, kadang cemberut sendiri. "Tinggal satu!" teriaknya. "Foto lagi?" tanyaku kaget. "Ayo, selfie!" Dia mengangkat ponsel ke atas. Aku masih diam. "Ayolah, Andra! senyum dikit. Suatu hari nanti kita akan mengenang moment ini." Siska lebih merapatkan tubuhnya, dengan kepala bersandar di pundakku. Moment? Moment apa memang? Kenapa seolah kebersamaan ini hanyalah sementara? "Ayo!" Siska kembali memberi instruksi. "Chiisss!" Aku menarik sudut bibir. "Lagi!" Aku ikuti gayanya yang mengerucutkan bibir. "Sekali lagi!" Kali ini aku tersenyum lebar. Hampir konsentrasiku buyar, saat Siska mencium pipiku dengan cepat. *** Dia tertawa. Dia berteriak. Dia melompat. Lalu kini dia diam. Siska ... Siska. Dasar ratu tidur. Kutatap wajahnya yang terbuai mimpi, dengan posisi meringkuk di atas jok. Ya, kami masih berada di perjalanan menuju apartemen. Terjebak lampu merah. Sesampainya di apartemen, mau tak mau kugendong tubuhnya. Tak tega jika harus membangunkannya. Beruntung security membantu membuka pintu lobby. "Selamat malam, Pak Rey. Tampaknya ini hari melelahkan untuk Mbak Siska." Aku tersenyum. "Ya, terima kasih." "Kembali," sahutnya. Sedikit kesulitan saat membuka pintu apartemen. Walau akhirnya bisa terbuka lebar dan kututup kembali dengan dorongan kaki. Kubawa tubuh mungil itu ke kamar, membaringkannya penuh kasih sayang. Tak lupa melepas tas dan sepatunya agar lebih nyaman. Teringat ponsel yang disita. Kuambil segera. Cukup kaget saat melihat banyak missed call dan pesan. Kemudian mataku tertuju pada ponsel milik Siska. Kuraih. Membuka galeri foto. Tersenyum melihat beberapa fotonya. Tergerak hati untuk mengirimnya pada ponselku. Setelah selesai, kubuka aplikasi pesannya. Isinya hanya dari aku, Dicky dan beberapa teman kuliah. Setelah merasa cukup, kusimpan kembali. Segera mengganti pakaianku. "Selamat tidur, bidadari kesayangan." Kukecup keningnya. Lalu bergegas keluar kamar. Pulang ke rumah. *** Derap sepatu menyentuh anak tangga mengisi keheningan. Terlihat Mami dan Papi duduk menikmati sarapannya. "Pagi, Mi! Pagi, Pi!" sapaku sambil mengempaskan tubuh di atas kursi. "Pagi!" sahut Papi. Aku meraih gelas berisi jus jeruk. Meneguknya perlahan. "Ke mana kamu kemarin?" Mami membuka suara. Aku tak menjawab. Memilih menyimpan gelas di meja. "Mami khawatir, Andra. Ke mana saja kamu selama seminggu ini?" Papi bertanya dengan suara lebih lembut dibanding Mami. "Ada, Pi. Lagi banyak kerjaan aja--" "Reyandra Pratama Wirata, jawab pertanyaan Mami! Ke mana saja kamu selama beberapa hari ini? Selalu menghilang tanpa sebab." Kali ini Mami terlihat menahan emosinya. "Andra udah bilang, Andra lagi sibuk." Aku ambil satu roti isi selai coklat. "Andra! Jangan buat Mami kesal!" Nada suara Mami semakin tinggi. "Mami!" Papi terlihat memberi peringatan. Aku simpan roti yang baru kugigit. Meneguk sisa jus di gelas. "Apa saya harus membuat laporan untuk setiap kegiatan yang saya lakukan, Nyonya Dela?" Mami terdiam dengan napas tersengal. "Lalu apakah Nyonya sendiri selalu memberitahukan ke mana Anda pergi selama berhari-hari pada putra semata wayangmu ini?" Mami mengerlingkan mata, memalingkan wajah. Aku berdiri. "Andra duluan, Pi!" pamitku. Cepat mengambil langkah. Terdengar sentakan-sentakan Papi pada Mami. Hingga akhirnya Papi memanggilku berkali-kali.  "Andra! Tunggu!" Bisa kulihat Papi berdiri di ambang pintu. Aku yang sudah duduk di dalam mobil, lebih memilih melajukan kendaraan keluar dari area kediaman Wirata.  *** Mobil hampir mendekati apartemen, saat kulihat mobil Dicky keluar dari sana. Ah, terlambat. Sudahlah. Tak mungkin aku menyuruh Siska bolos hanya demi menemaniku. Kuputuskan melanjutkan tujuan. Masuk ke dalam apartemen meski tidak ada Siska. Membuka pintu rumah kedua, yang selalu kujadikan tempat menyendiri. Kini, kadang merasa malah menjadi rumah utamaku dalam mencari kenyamanan. Kupandangi fotonya yang terpajang hampir di seluruh ruangan, tingkah konyolku beberapa bulan lalu. Saat Siska pulang kampung dan aku merasakan rindu yang amat sangat. Hingga akhirnya aku lakukan ini untuk mengobati rindu. Banyak foto yang terpampang di dinding, dan satu foto ukuran jumbo di atas ranjang kamar. Foto saat kami di Lombok, dan aku mengambil gambarnya yang saat itu mengenakan pakaian pantai seksi bermotif bunga. Angin pantai yang bertiup membuat rambutnya tergerai indah, juga posisi tangannya yang berusaha menutupi rok yang nyaris tersingkap. Senyumnya merekah bahagia, membuatku gila bila sehari tak melihatnya. Aku membaringkan tubuh di atas kasur, berusaha mencium aroma tubuhnya yang tertinggal di bantal. "Only you, Siska ...," bisikku. Dengan pikiran menerawang. Mengingat awal pula pertemuan kami di hotel Laruna. Malam perayaan ulang tahun salah satu relasi bisnis. Waktu itu aku baru saja keluar dari toilet. Terlihat beberapa lelaki bertubuh tinggi tegap dengan seragam serba hitam menggiring perempuan muda bergaun merah. Kupikir tamu undangan, tapi saat melihat naik ke dalam lift .... Entah dorongan dari mana, kuikuti langkah mereka hingga menyuruh gadis itu masuk ke dalam kamar. Apa mungkin perempuan panggilan? Ya, bisa jadi. Tidak aneh. Di jaman sekarang banyak perempuan mencari cara mudah agar mendapat uang. Akhirnya aku kembali menuju meja. Di mana ada beberapa lelaki duduk-duduk santai. Sama sepertiku, tamu undangan. "Pestaku tak akan usai sampai di sini." "Maksud Anda?" "Malam ini aku akan menikmati pesta sesungguhnya." "Anda memang ahlinya." Terdengar gelak tawa. Aku hanya duduk mendengarkan dengan tangan sibuk memegang ponsel. "Dia cantik?" "Tentu saja. Untuk apa kalau tak cantik? Bahkan sekarang dia sudah menunggu saya di salah satu kamar, di hotel ini." Kembali terdengar tawa. Apa mungkin perempuan itu? *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN