Andra :
Baik. Sebutlah aku gila!
Awalnya aku hanya ingin menolong dia, melepaskannya dari cengkeraman g***o itu. Namun setelah dia bercerita tentang kehidupannya, aku merasa terdorong untuk membantunya, bahkan lebih. Satu yang membuatku terpesona. Dia terlihat lebih memikat, ketika tertawa. Sungguh, aku tidak bohong. Sinar mata itu, rona cahayanya. Semua yang ada padanya membuatku terpesona.
Kuipikir, ini karena kemolekan tubuhnya. Tentu saja, aku ini pria normal. Aku sudah dewasa. Sebisa mungkin kutepis semua hasrat menggoda alam bawah sadarku. Ditambah lagi, ejekan-ejekan Dicky yang seolah menggodaku untuk jujur padanya. Pasti dia bisa melihat semua kegilaanku. Apalagi setelah aku mengajak Siska ke Bali.
"Dia berhasil menghipnotismu, hanya dalam kurun waktu seminggu, Tuan Andra," tukasnya.
"Aku belum menyentuhnya, d**k!" sanggahku.
"Belum, untuk hari ini. Entah untuk hari esok." Dicky terlihat lebih serius. "Aku tau, dia perempuan pertama yang kamu bawa ke apartemen. Dia juga perempuan pertama yang berhasil membuatmu menguras ratusan juta uang tabungan. Dia perempuan pertama, yang membuatku yakin, kalau kamu ... bisa jatuh cinta."
Aku memalingkan wajah. Jatuh cinta? Aku tak percaya. Aku hanya memintanya tinggal di apartemen dan menemaniku sewaktu-waktu, bahkan Siska menganggap dirinya pembantu. Kupikir, dia bersikap baik dan lembut padaku karena hutang budi.
Hingga waktu itu tiba. Siska berhasil meluluhkan hatiku. Saat aku sakit, bisa kulihat kecemasan dan ketakutan di wajahnya. Nyatanya, perasaan rasa ingin memiliki hati kalah dengan dorongan untuk menguasai raganya. Aku ... merenggut kehormatannya. Masih kuingat, tangisannya malam itu. Menyembunyikan wajah di balik selimut.
"Maaf ...," bisikku. Lalu kucium pundak telanjangnya. Bahkan hingga pagi menjelang, aku tak berani menatap wajahnya. Siska pun, seolah mendiamkanku.
Sarapan tersaji. Roti bakar dan jus buah naga. Dicky datang berkunjung, menengok jikalau aku masih sakit. Tentu dia melihat keanehan dari situasi dingin kami.
"Kenapa?" Dicky bertanya selepas Siska masuk ke kamar. "Kemarin waktu aku ke sini, Siska juga terlihat banyak diam. Apa dia juga sakit?" tanyanya intens.
"Mungkin," sahutku berlagak tak peduli.
Dicky mencondongkan tubuh, menatapku dengan mimik serius."Andra, apa yang terjadi?"
Aku membalas tatap matanya, lalu menyandarkan punggung, mengusap wajah gelisah. "Sepertinya dia marah," ucapku berat. "Semalam ... aku ... merusak kehormatannya, Dick."
"Apa?" Dicky terkejut. "Sudah kuduga ini akan terjadi, tapi kamu terus mengelak. Berdalih bisa menguasai diri. And now, see! Kamu m*****i kesucian seorang gadis. Ough, Andra. I can't trust it!" Dia menggerakkan kedua tangan seolah geram mengetahui kelakuan bejadku.
"Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
"Pikirkan sendiri. Ini semua ulahmu, kamu yang memulainya. Sekarang, kamu juga yang harus menyelesaikannya." Dicky berdiri. "Aku pamit. Banyak kerjaan di supermarket," ketusnya.
Kuanggukkan kepala. Mengantarnya hingga pintu. Sahabatku saja marah. Setelah Dicky pergi, aku beranikan diri untuk masuk ke kamar. Melihat Siska yang duduk di tepian ranjang.
"Siska, kamu marah?" tanyaku, duduk di sampingnya.
Siska bergeming. Bisa kulihat air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Bagaimana aku harus meminta maaf?"
Masih tetap diam.
"Baiklah. Aku tau, aku pria jahat. Tapi sungguh, ini aku lakukan atas kesadaranku, Siska. Aku ...."
Dia menoleh, menggigit bibirnya. "Aku mau pulang," lirihnya.
***
Esoknya gadis itu pergi. Membawa luka hatinya, tanpa dia tahu jika aku pun sama terlukanya. Setiap malam aku kesepian. Duduk sendiri di balkon apartemen, padahal biasanya dia akan menemaniku sepanjang malam. Menceritakan semua kisah yang dia tahu. Terkadang saat fokus bekerja, aku lupa jika dia tak ada. Aku berteriak memanggil namanya, meminta dia membuatkanku secangkir kopi. Nyatanya, hingga bermenit kemudian tak ada yang menghampiriku.
Bodoh! Aku bodoh. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh. Akhirnya, kulampiaskan semua kegilaanku, pada minuman.
-
"Gila kamu, Dra!"
Aku mengedipkan mata. Menatap bayang samar di depan. "Di mana?" tanyaku.
"Apartemen kamu. Memalukan. Mabuk sampai enggak bisa pulang. Kamu tau, pelayan klub meneleponku menyuruh menjemput kamu? Pantas aku teleponin kamu enggak diangkat!" Dicky mengoceh dengan raut emosi.
Aku mengerling malas.
"Apa ini gara-gara Siska?"
Aku berpaling.
"Halo, Siska!" Dicky terlihat menempelkan ponselnya di telinga. Dia menelepon Siska. Untuk apa?
-
Aku menutup mata, merasakan sinar matahari menerpa wajah. Sudah pagi rupanya. Kutarik tubuh, bersandar pada sisi ranjang. Masih tersisa pening di kepala, mabuk semalam benar-benar berat. Kutajamkan pendengaran saat mendengar ada suara-suara ....
Mungkinkah?
Cepat aku turun dari ranjang, berlari menuju dapur. Harum bawang goreng tercium. Bau khas, yang selalu menemaniku selama beberapa bulan ini. Tampak tubuh mungil itu berdiri di depan kompor, dengan tangan sibuk mengaduk isi wajan.
"Siska ...," panggilku tak percaya.
Dia berbalik. "Hei, morning!" sapanya dengan senyum menghiasi wajah.
Aku melangkah perlahan. Menatap wujudnya dari atas kepala hingga ujung kaki. "Apa aku mimpi? Atau ... masih mabuk?" gumamku.
Siska berputar. Melepas apron di tubuhnya. Melangkah ke arahku. "Ini aku," ucapnya sambil menarik tanganku, lalu mengusapkan pada wajahnya.
Kutangkup wajah itu. Dia tersenyum, walau kutahu ada sedikit rona kesedihan di wajahnya.
"Jangan pergi, Siska," pintaku.
Siska mengangguk. "Jangan mabuk lagi seperti itu, Andra."
"Asal ada kamu, aku bisa ...." Kuraih tubuhnya, memeluk erat seolah memberi isyarat agar jangan pergi lagi.
Hari itu, aku bawa dia jalan-jalan. Berbelanja banyak kebutuhan dapur bahkan beberapa peralatan masak. Ada kelegaan melihat wajahnya yang kembali tertawa dan meminta ini itu.
"Apa lagi?" tanyaku setelah keluar dari supermarket.
"Aku mau ke pasar," sahutnya.
"Ada yang kurang? Kita masuk lagi--"
"Enggak bakal ada di sana," cegahnya.
Aku menautkan alis tak percaya.
-
Mataku melotot, tubuh bergidik. Melihatnya memakan ceker ayam semangkuk besar. "Itu yang kamu beli di pasar tadi?" tanyaku kaget.
"Heem, ini. Mau?" Dia mengulurkan satu ceker.
"Enggak. Makasih," tolakku.
Siska mengedikkan bahu. "Hei, bisa bukain botol jus ini?" pintanya.
"Masih belum bisa buka tutup botol?" ejekku.
"Tanganku licin!" dalihnya.
Aku tertawa. Tak apa, biarlah dia bertingkah konyol seperti ini. Asalkan dia selalu ada di sampingku. Karena dalam tawanya, ada kebahagiaan yang tak bisa kuungkap.
*****
Siska :
"Hei, Nona!"
"Ya?" Aku menyimpan ponsel ke dalam tas menyadari mobil memasuki area apartemen.
"Itu mobil Andra, 'kan?"
Aku menengok ke arah yang ditunjuk Dicky. "Iya. Tumben enggak nelepon."
"Apa lagi yang terjadi pada Tuan Andra, sehingga dia lebih memilih apartemen daripada kantor?" Dicky menghentikan mobil.
"Entahlah. Sejak pulang dari Ausie, dia tampak ... bermasalah," sahutku pelan.
"Sekarang kamu sudah tau seperti apa dia, 'kan?"
Aku menoleh. Tersenyum kecil. Kenapa terasa seperti ada beban yang Dicky tanyakan padaku?
"Dia sudah seperti adik bagiku. Hanya saja kamu tau, aku enggak bisa setiap saat ada buat dia. Cuma kamu yang bisa, Siska."
"Enggak apa, Dicky. Aku ngerti. Lagi pula, aku menyadari sepenuhnya posisiku sekarang. Toh, aku dan Andra sama-sama saling membutuhkan."
"Baiklah. Cepat temui dia, sebelum semuanya kacau."
"Mmm, aku turun!" pamitku. Hampir tanganku membuka pintu, kuurungkan. "Dicky, apa mungkin Andra dijodohkan lagi?"
"Bisa jadi, tapi Andra belum cerita apa-apa sama aku."
Aku berpaling, menyembunyikan mata yang mulai terasa panas. Kubuka pintu, turun dari mobil.
"Siska!"
Aku menurunkan kepala, melihat Dicky dari kaca jendela yang terbuka.
"Andra sudah jadi milikmu. Percayalah!"
Aku tersenyum samar.
"Bersiaplah. Dia pasti akan mengajakmu kabur lagi!" lanjutnya.
Aku tertawa kecil.
"Aku pergi dulu. Dah!" pamitnya.
Kulambaikan tangan. Kemudian bergegas masuk ke dalam gedung apartemen. Sesampainya di ruang apartemen, aku menuju kamar. Memastikan keadaan Andra. Nyatanya, dia sedang tertidur. Tampak pulas sekali.
Andra, kamu pasti sering kelelahan. Dengan pekerjaan, atau mungkin kehidupanmu sendiri. Kulepas sepatunya, tapi dia malah menggeliat. Apa mungkin dia merasakan sentuhanku?
"Kapan pulang?" tanyanya serak. Suara khas bangun tidur.
"Lumayan lama," jawabku sambil duduk di sampingnya.
"Bisa peluk aku?" Andra merentangkan tangan.
Aku tersenyum melihat raut wajahnya, seolah meminta digendong oleh ibunya. Kurundukkan badan, menaikkan kedua kaki ke atas kasur, kemudian memeluknya dari samping dengan kepala di atas d**a bidangnya. Detak jantungnya yang selalu membuatku merasa nyaman. Harum tubuh khas lelaki, yang membuatku tak bisa jauh darinya.
"Andra, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyaku
"Aku baik. Kenapa?"
Kuangkat kepala, menahan dagu di atas dadanya. "Kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu?"
"Apa?" Satu tangannya membelai kepalaku.
"Melihat sikapmu akhir-akhir ini, aku merasa kalau kamu ...."
Andra menautkan alis. Ekspresi penasaran.
"Kamu mau dijodohkan lagi?"
Andra tersenyum. "Kenapa memang?"
Aku berpaling. Merasa tertohok dengan pertanyaannya. Tentu saja itu benar. Kenapa memangnya kalau Andra dijodohkan?
Bukankah, aku dan Andra tidak mempunyai hubungan yang serius. Menurutku. Kendati Dicky sering menceritakan perihal seberapa berartinya aku bagi Andra, tapi lelaki di hadapanku ini tidak pernah memberi status jelas.
"Aku minta maaf jika terlalu ingin tau," tandasku.
Andra melepas pelukannya, lalu tersenyum. "Makan siang di luar, yuk?"
"Ke mana?"
"Up to you. Aku ikut ke mana pun kamu pergi."
Aku berpikir sejenak, mencari tempat yang nyaman untuk kami. Bukankah ini yang selalu aku inginkan? Melewati banyak waktu bersama Andra. "Aku mau ke Puncak. Ada banyak wisata kuliner di sana," putusku.
Andra tertawa.
"Kenapa?"
"Lucu. Kenapa tiap aku ajak kamu jalan itu, pilihannya pantai, Dufan, supermarket, sekarang Puncak. Kenapa enggak minta Malaysia, Singapura atau Australia?"
"Mau ngapain ke negara orang? Di negara sendiri juga masih bisa."
Andra bangkit sambil tertawa, membuatku ikut bangun juga. Kami duduk berhadapan.
"Kenapa enggak pernah minta yang lebih?" tanyanya lebih serius.
Aku merunduk. "Karena aku tau, udah terlalu banyak yang kamu korbankan untuk aku, Andra."
Andra mengangkat daguku. "Hei, itu wajar. Bukankah aku sudah berjanji untuk memenuhi semua keinginanmu?"
Tentu saja. Itu yang membuatku berada di sini. Karena aku tahu, licik rasanya jika aku tiba-tiba pergi dari hidup Andra, sementara dia begitu menginginkan aku untuk selalu berada di sini.
Aku ingat, saat kepergianku karena merasa marah atas kejadian malam itu. Di mana dia dengan sadarnya merebut kesucianku. Aku pergi, mengatakan ingin pulang. Andra mengizinkannya.
Selama di kampung, aku benar-benar teringat Andra. Tidak bisa makan enak dan tidur nyenyak. Kucoba hubungi Dicky, tapi sahabatnya itu seakan marah atas pilihanku. Hingga suatu hari ada pesan masuk. "Hebat kamu, Siska. Berhasil membuat Andra kacau!" tulis Dicky.
Aku meneleponnya, bertanya tentang keadaan Andra. Dicky bilang setiap hari dia pergi ke klub malam dan pulang dalam keadaan mabuk. Akhirnya, kuputuskan untuk kembali ke Jakarta. Dan tak pernah lagi berpikir untuk meninggalkannya.
"Siska ...."
Aku tersadar. "Makasih," ucapku menutupi lamunan.
"Terima kasih untuk apa?"
"Kamu selalu memberi banyak hadiah buat aku, juga ... memanjakan aku."
"Bukankah aku selalu bilang, everything for you." Andra mendekatkan wajahnya. "Selama kamu ada di sampingku, aku beri semuanya," bisiknya. Lalu mengecup bibirku. "Ayo, siap-siap. Sebelum keputusanku berubah," lanjutnya. Lalu mengedipkan mata.
Ah, aku tahu apa itu.
-
Andra benar-benar membawaku ke Puncak. Mengunjungi banyak tempat kuliner, padahal aku hanya ingin sate kelinci.
"Ayo, makan yang banyak! Aku suka melihatmu makan!" ucapnya.
"Ih, Andra!" Kupukul lengannya pelan. Tak urung kami tertawa.
Hingga malam mulai merangkak naik, kami masih beristirahat sehabis jalan-jalan mengunjungi tempat wisata.
"Mau pulang jam berapa?" tanyaku.
"Baru juga jam sembilan." Andra datang membawa kelapa muda siap minum.
"Besok kamu kerja, aku juga kuliah," tandasku.
Andra tak menjawab, malah mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya. "Selfie?" ajaknya sambil mengangkat ponsel.
"Hah, sejak kapan kamu suka selfie?" selorohku.
"Ayolah, sambil barengan minum kelapa muda ini, pasti lucu!"
"Hahaha, baiklah. Tunggu bentar," aku memberi isyarat tangan. "Mas-mas! Bisa minta tolong fotoin?" Aku memanggil pelayan warung.
Pelayan itu mendekat dan menggangguk, lalu mengambil ponsel di tangan Andra. Kami berfose beberapa kali. Andra tampak menikmatinya, begitu pun aku.
"Mas ama Mbak serasi banget. Buat foto prewedd, ya?" tanya pelayan itu.
Kami hanya tersenyum.
"Makasih." Andra mengangguk, pelayan itu membalas anggukan setelah memberikan kembali ponsel Andra.
Aku tersenyum mengingat kata prewedd. Mungkinkah?
Andra masih belum mengajak pulang, dia malah memintaku menemaninya menikmati angin malam puncak. Beruntung aku tidak lupa membawa jaket tebal. Kami duduk di dop mobil, mengamati kerlap kerlip lampu jalanan.
"Dingin?" tanya Andra saat melihatku mengeratkan pelukan pada tubuh sendiri.
Aku mengangguk. Andra merapatkan tubuhnya, merangkul pinggangku. Akhirnya aku pun menyandarkan kepala pada bahu kokohnya.
"Kamu senang, Siska?"
"Tentu aku senang," sahutku.
"Aku suka lihat kamu tertawa."
"Aku juga suka lihat kamu tertawa."
Andra tertawa lagi. "Ke mana lagi?"
"Ke mana lagi apa?"
"Ke mana selanjutnya? Sabtu ini aku harus kabur dari acara pertunangan."
"Jadi bener, kamu dijodohin lagi?"
"Dan perasaanku masih sama. Aku enggak mau."
"Siapa gadis itu, Andra?"
"Entahlah, Holanda ... atau Yolanda. Aku lupa. Mami pernah mengajaknya makan malam di rumah, tapi aku malas menemaninya."
"Pasti dia cantik, kaya, berpendidikan, terus--"
"Yang jelas aku tidak pernah mau dengan perempuan pilihan Mami," selanya. "Bahkan untuk datang ke pesta ulang tahunnya pun aku enggak mau."
"Kenapa?"
"Malas. Ketemu orang-orang dalam lingkup seperti itu. Hah, membosankan. Lebih baik aku kasih hadiahnya sama kamu."
Hadiah? Apa jangan-jangan ...?
"Maksud kamu ... kalung ini?" Aku meraba leher.
"Hmm, lebih indah kalau kamu yang pakai."
Entah kenapa, mendadak kebahagiaan yang Andra ciptakan menguap begitu saja. "Kenapa kamu kasih kalungnya sama aku?" lirihku.
"Lalu sama siapa lagi? Cuma kamu--"
"Tapi kamu awalnya beli ini buat dia!"
Andra menatapku dengan raut tanda tanya. "Apa masalahnya?"
Masalahnya, aku seolah hanya pelarian buat kamu. Ah ....
Aku lepas tangannya dari tubuhku. "Aku mau pulang!" Lalu turun dari dop mobil, berpindah ke dalam. Sepanjang jalan aku terdiam. Memikirkan perkataannya tadi. Tunangan? Ulang tahun? Kalung?
"Siska, kamu marah?" tanya Andra di sela perjalanan.
Aku bergeming. Masih merasakan detak yang entah apa namanya. Sesampainya di apartemen aku langsung masuk berjalan mendahuluinya. Di dalam lift pun kami berdiri berjauhan.
Andra membuka pintu. Segera aku masuk ke kamar. Melepas jaket, sepatu, melempar tas ke atas ranjang. Kemudian masuk ke kamar mandi. Mengisi bak dengan air hangat. Kubenamkan tubuh dalam air beraroma melati. Meredam emosi yang terpendam.
Kenapa aku harus sekesal ini? Apa hak-ku?
Entahlah, tapi sisi egoisku mengatakan aku tidak ingin Andra menjadikan aku pelarian. Walau kenyataannya, aku memang pelarian nafsunya. Namun, untuk hadiah seistimewa ini, aku ingin berasal dari ketulusan hatinya. Kutarik kalung di leher, melemparnya begitu saja. Saat itulah, pintu kamar mandi terbuka. Andra berdiri, menatap kalung yang tergeletak di lantai.
Aku terkesiap. Menyadari tingkah burukku. Kupikir dia tidak akan masuk. Andra menatapku sebentar, lalu berbalik kembali keluar kamar mandi. Dadaku tiba-tiba bergemuruh, tertekan rasa malu dan takut. Bagaimana kalau dia marah?
Aku bangkit segera, meraih piyama handuk. Memakainya dengan terburu-buru. Benar saja. Terdengar pintu kamar terbuka. Tergesa aku menyusulnya yang hampir membuka pintu apartemen. "Andra!"
Dia menoleh, menurunkan tangan dari handel pintu.
"Mau ke mana?" tanyaku sambil berjalan menghampirinya. Kupeluk dia, sebagai isyarat jangan pergi. "Maaf ... harusnya aku enggak seperti itu. Kalung itu pasti mahal."
Andra terkekeh. "Enggak apa. Aku ngerti. Besok kita beli yang baru, kamu bebas pilih sendiri." Dia mengecup kepalaku.
"Jangan pergi," lirihku.
Andra melepas pelukan. "Aku mau ke kolam renang apartemen. Mau ikut?"
"Mau ngapain ke kolam renang?"
"Mandi," sahutnya singkat.
Kulepas pelukan. Meraba wajah tampannya. Lalu kucium bibirnya lembut. "Mandi sama aku aja, ya?"
Andra tersenyum, kemudian membalas mencium bibirku. "Everything for you." Lalu mengangkat tubuhku menuju kamar mandi. "You are mine."
*****