Andra :
Kugenggam tangannya erat. Dia tersenyum bahagia. Menambah pesona kecantikannya. Namun, tiba-tiba tangan itu terlepas. Ada jarak membentang di antara kami, bahkan semakin jauh. Hingga akhirnya bayang itu hilang ditelan kegelapan.
"Siska ...!"
Hah, mimpi ternyata. Kupalingkan wajah. Dia tidak ada!
Aku turun dari ranjang, melangkah lebar menuju dapur. Tidak ada?
"Siska! Siska!"
Ke mana dia? Ini masih terlalu pagi untuk pergi kuliah. Aku melirik meja makan. Sarapan sudah tersedia. Ada nasi putih dan omlet sayur, beserta jus dan s**u vanila. Ternyata ada sebuah catatan di bawahnya.
"Maaf, Tuan Andra. Aku tidak tega mengganggumu hanya untuk meminta izin. Aku pergi ke klub aerobik setelah beberapa minggu libur. Tidak lama, hanya sampai jam tujuh," tulisnya.
Akhirnya aku duduk menikmati sarapan, sendirian. Sambil mengingat kembali, mimpi itu. Kenapa, seakan itu sebuah pertanda jika aku akan kehilangan Siska? Ah, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh kehilangan dia. Kusandarkan punggung, menikmati segelas jus tomat.
Jujur aku akui, selama ini memang masih banyak keresahan yang aku sembunyikan dari Siska. Tentu ini perihal hubungan kami. Entah sampai kapan kami hidup seperti ini? Tinggal di satu apartemen, tidur sekamar, melewati banyak malam panas di ranjang yang sama. Meski pun kami sering jalan-jalan, tapi aku masih menjaga wujudnya dari dunia luar. Terutama, orang tuaku. Bukan tak mungkin, jika Mami pasti akan marah besar mengetahui hidupku seperti ini. Namun, di sisi lain egois masih menguasaiku. Aku tidak ingin kehilangan Siska, atau mungkin jangan sampai.
Sarapan selesai. Aku kembali ke kamar, teringat belum mengecek ponsel. Ada beberapa pesan. Kupilih dari Rosi lebih dulu.
"Maaf, Pak Rey. Saya ingin memberitahukan jika hari ini jam tiga sore ada rapat penting dengan Pak Soni. Apa Anda ingin mengundurnya?"
Ini pasti karena kejadian kemarin. Aku tidak datang ke kantor sama sekali. Kuputuskan meneleponnya.
"Halo, Pak!"
"Halo, Rosi. Aku ke kantor setelah jam makan siang, tidak usah di undur. Terima kasih."
"Baik, Pak."
Kusimpan kembali ponsel. Mataku tertuju pada meja di sudut kamar, tempat Siska menyimpan buku-buku kuliahnya. Ada laptop yang tampaknya baru dia gunakan. Apa dia punya tugas?
Kuambil laptop itu, ternyata dia belum mematikannya. Bahkan masih berada pada aplikasi galeri. Oh, ternyata Siska baru saja mengirimkan foto-foto kami selama jalan-jalan di Puncak juga Dufan tempo hari. Pantas dia meminta aku mengirimkan foto-foto itu semalam.
Kulihat satu-persatu. Jelas terlihat wajahnya penuh kebahagiaan. Senyumnya yang mengembang, menambah aura kecantikannya. Pesona itu, seakan menyihirku semakin dalam. Semua fotonya berisi liburan kami. Ada juga foto pribadinya yang sedang sendiri. Hingga ada satu foto yang cukup menarik perhatianku. Sebuah foto kapal pesiar.
"Berlayar Bersamamu." Siska menuliskan caption itu di bawahnya. Apa maksudnya?
Terdengar pintu depan terbuka. Segera kututup dan mematikannya saja. Cepat aku berjalan menuju pintu kamar, berdiri melipat tangan di d**a.
"Hai, udah sarapan?" sapanya saat masuk kamar. Lalu melempar handuk ke keranjang cucian, kemudian berbalik, menahan satu kakinya di atas kursi untuk melepas sepatu.
Kupeluk dia dengan posisi yang ... ya, cukup menggoda. "Udah, aku habisin semua omeletnya," bisikku.
"Andra ... aku belum mandi. Tubuhku penuh keringat," elaknya.
"Kenapa? Aku suka keringat kamu," dalihku.
Siska selesai melepas sepatu. Dia berdiri tegak lalu memutar tubuh.
"Kenapa pergi? Lain kali aku enggak mau bangun tidur tanpa ada kamu di samping aku," ucapku. Lalu kuciumi lehernya. Aroma parfum yang bercampur dengan keringatnya, memberi sensasi tersendiri untukku.
"Maaf, tapi aku udah enggak kuat. Lihat ini!" Dia melepas pelukanku, mengusap perutnya. "Ini salah kamu! Kemarin ngajak aku kuliner banyak banget."
Aku merunduk, lalu berjongkok. Menepuk perutnya. Ada apa? Tersenyum saat menyadari ketakutannya. "Kamu takut gendut?" Aku menahan tawa. Lucu. Padahal aku melihat perutnya itu rata, pinggangnya juga masih ramping seperti biasa.
"Emang kamu mau aku gendut?" Dia memukul-mukul pelan dadaku saat aku sudah berdiri.
"Aku atau kamu yang takut gendut?" Aku genggam tangannya. Menatap lekat mata yang menyimpan kekesalan. "Kamu tetep cantik di mataku." Kukecup keningnya lama.
"Tapi tetep aja aku takut."
"Takut apa?" tanyaku heran.
"Aku takut kamu enggak bilang aku seksi lagi," lirihnya. Lalu merunduk, dengan bibir mencebik.
Astaga! Aku hanya bisa tertawa. Kuangkat dagunya, memberi seulas senyum. Kulumat bibir itu penuh gairah yang terpendam sedari tadi.
"You always be my sexy," bisikku.
Dia tersenyum malu. "Enggak ngantor hari ini?" tanyanya dengan tangan bermain lembut di d**a telanjangku.
"Entar aja habis makan siang, kebetulan ada rapat jam tiga. Kamu ke kampus jam berapa?"
"Jam sepuluh," ucapnya dengan suara sedikit manja.
"Aku anter, ya. Kita makan siang bareng." Kucubit gemas pipinya.
"Kamu mau nungguin aku, gitu?"
"Hmm."
"Makasih." Lalu dia mencium pipiku.
"So?"
"So ... what?"
"Keringetan lagi, yuk?" Aku bawa tubuhnya ke atas ranjang. "Seksiku." Kuhujani dia dengan ciuman.
Siska hanya tertawa, tapi tidak berusaha menolak sedikit pun.
***
"Aku tunggu di cafe seberang, ya?"
"Oke. Kalau gitu aku masuk dulu."
"Hei, ada yang tertinggal!"
Siska mengurungkan niatnya membuka pintu. "Apa?"
Kugunakan telunjuk, memintanya lebih dekat. Kusesap pink merona itu. Manis dan lembut. Rasanya tak pernah puas meski semalaman dan sepanjang pagi menikmati waktu bersamanya.
"Udah?" Dia mengusap bibirnya yang basah.
Kuberi anggukan kepala.
Siska melambaikan tangan lalu keluar dari mobil.
-
Cukup banyak pekerjaan yang tertinggal selama dua hari aku tidak masuk kantor. Ditambah lagi hari ini ada meeting yang cukup penting.
Aku buka laptop, memeriksa beberapa berkas. Masih ada waktu menyelesaikan pekerjaan yang tertunda sampai jam makan siang. Tidak masalah. Aku cukup handal dalam menyelesaikan pekerjaan. Setidaknya itu yang orang-orang katakan, bukan menurutku saja. Sebuah keberuntungan bagiku terlahir dari keluarga berada, tapi aku lebih bersyukur karena dianugerahi otak yang cukup cerdas, atau mungkin memang cerdas.
Saat SD dan SMP Mami memasukkanku ke sekolah swasta, sekolah untuk kalangan atas. Lama-kelamaan aku bosan, hampir semua teman-teman tak ada yang membuatku nyaman. Kebanyakan dari mereka hanya membicarakan tentang kesehariannya ; perbandingan uang jajan, mainan mahal, barang-barang bermerek, kursus dan les. Juga liburan akhir pekan dan semua hal lain yang membuatku muak. Aku kerap menyendiri.
Hingga menumbuhkan niatku untuk bisa masuk sekolah SMA Negeri, dan hasilnya tentu saja Mami menentang habis-habisan. Namun, beruntung Papi bisa memaksa Mami agar menyetujui keinginanku. Cukup dengan memberi syarat agar nilaiku tidak menurun apalagi sampai jelek. Tentu saja aku setuju.
Di sanalah aku bertemu Dicky. Dia yang mengajarkanku cara melewati hidup sebagai remaja normal. Walaupun dia berasal dari keluarga sederhana, tapi sikap dan perilakunya baik juga sopan. Dia tak pernah membawaku pada pergaulan negatif, justru dia mengajarkanku banyak hal positif.
Sayang, pertemanan kami hanya tiga tahun saja. Aku melanjutkan kuliah dan dia bekerja di pabrik. Saat beberapa bulan kemudian kudatangi rumahnya, dia sudah pindah kontrakan. Dari situ aku mulai kesepian lagi, dan salah satu teman kampus mengajarkanku bagaimana cara melewati masalah ; mabuk dan merokok.
Romi, dia yang membawaku. Hanya saja beruntung aku masih menerapkan batas, tidak mengikuti caranya bersenang-senang dengan perempuan nakal. Jujur saja aku terlalu takut untuk hal itu, dan yang paling penting aku harus menjaga kehormatanku sebagai pewaris Wirata. Hingga saat aku di Jerman, terdengar kabar jika Romi meninggal karena sakit HIV. Aku semakin menghindar dari godaan perempuan.
Sayangnya itu tidak berlaku ketika Siska datang di hidupku. Pertahananku runtuh.
"Andra ...." Terdengar panggilan diiringi sentuhan di wajah yang berlanjut ke pundak, dan sebuah ciuman di pipi.
Aku hanya menoleh sebentar, dan kembali fokus pada layar laptop. "Udah beres?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.
"Udah," sahutnya pendek.
Aku tahu dia menatapku, tapi aku tak menghiraukannya karena memang belum bisa.
"Kalau udah depan laptop, aku dicuekin," keluhya.
Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku mau tak mau tersenyum. Kuluangkan waktu menatap wajahnya.
"Penting mana, aku apa kerjaan?"
Ah, dia menantangku. "Aku bekerja demi kamu," sahutku.
Siska tersenyum kecil. Entah dia mengerti maksudku atau tidak. Kuraih tangannya, menggenggamnya demi menciumnya sekejap. Lalu kembali fokus pada laptop. Bisa kurasakan jika dia sedang tersenyum.
"Mau makan apa?" tanyanya kembali.
"Apa aja," jawabku singkat.
"Enggak mau pilih sendiri?"
"Kamu aja yang pilihin."
Siska mendengkus. Tak urung dia memanggil pelayan. "Nasi ramen dua, minumnya lemon tea, ya!"
Dia tak menggangguku lagi, tampaknya lebih memilih memainkan ponsel di tangannya. Hingga pelayan datang menyajikan pesanan. Siska tak menunda waktu, melahapnya sampai habis.
"A, buka mulutnya!" Tahu-tahu Siska memberi perintah, bersamaan sendok yang berada di depan mulutku.
Awalnya ingin mengelak. Rasanya seperti anak kecil yang disuapi ibunya. Namun, aku juga merasa tak enak hati melihat niat tulus Siska. Akhirnya, sepiring nasi ramen tandas berkat suapan dari tangan perempuan manis di sampingku.
Ponsel berdering. Tak menunda waktu, segera kuangkat setelah melihat nama Rosi. "Ya, Rosi?"
"Halo, Pak Rey. Saya ingin mengabarkan jika rapat jam tiga ini diundur sekitar setengah jam. Pak Soni masih di Yogyakarta."
"Baik, tidak apa. Terima kasih infonya."
"Sama-sama."
Kututup telponnya.
"Kenapa?" Siska bertanya dengan raut penasaran.
"Rapatnya diundur setengah jam, klienku masih di luar kota," ucapku sambil membereskan laptop.
"Terus kerjaannya udah beres? Kok, diberesin."
"Tentu saja. Memangnya kenapa? Aku tidak akan berhenti sebelum pekerjaanku selesai, 'kan?"
"Aku tau, Tuan Andra. Kau memang pekerja keras." Dia bicara dengan ekspresi mengejek.
"Jangan mengejekku, aku sudah membuktikannya bukan? Hanya dalam lima tahun aku bisa membangun perusahaanku dari titik nol, sampai seperti ini."
"Ya, kau terlalu hebat dalam segala hal, Tuan Andra." Siska mencolek daguku.
"Kalau bukan di tempat umum, sudah kuhabisi kamu," desisku menatapnya, dan dia hanya tertawa.
Selesai melakukan pembayaran, kuajak Siska pergi.
"Kamu mau anterin aku pulang?" Siska mengempaskan diri di jok mobil.
Kulirik jam Rolex di pergelangan tangan kiri. "Masih ada waktu untuk shopping. Mau?"
-
Kami masuk ke sebuah mal, tanpa berjalan-jalan lebih dulu. Langsung menuju toko yang kutuju.
"Kok, toko perhiasan?" Siska terheran.
"Sesuai janjiku semalam, pilih yang kamu suka," pintaku.
"Buat apa? Aku enggak butuh beginian, Andra. Lagi pula buat apa kamu kerja keras, demi memberiku--"
Aku simpan telunjuk di bibirnya. "Ya sudah, kalau enggak mau pilih. Aku pilihin." Akhirnya kutelusuri beberapa kalung. Hingga pilihanku jatuh pada kalung dengan liontin berbentuk love sebagai gantungannya. Pelayan mengambil dan memberikannya padaku. "Sini, coba dulu." Kusibak rambut Siska yang terurai.
"Tapi, Andra--"
"Waw, cantik!" pujiku. "Saya ambil ini, Mbak." Kuberikan kartu ATM pada pelayan sebagai mode pembayaran.
Kami keluar dari toko, kembali berjalan bergandengan tangan.
"Ini terlalu bagus, Andra. Lagi pula, semalam aku benar-benar menyesal--"
"Jangan menolak pemberian dariku," selaku.
Siska mendesah. Kemudian terdiam. Saat sedang asyik melihat-lihat baju dari kaca depan butik, Siska menarik tanganku.
"Kenapa?"
"Pria itu," desisnya ketakutan.
Aku berhenti, menahan lengannya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, sampai bisa kulihat ada seseorang tak asing sedang duduk di food counter. Pak Roni, lelaki yang dulu hampir 'menikmati'nya. Lelaki paruh baya itu pun kini tengah bermesraan bersama perempuan muda.
"Pulang," rajuknya. Dengan mata yang sudah berlinang air mata.
Aku mengangguk. Tak sanggup melihatnya seperti ini. "Kenapa?" tanyaku di sela perjalanan pulang. Melihat dia terdiam terus, rasanya aneh.
"Maaf, Andra. Hanya saja aku selalu ketakutan setiap kita berada di tempat umum. Aku takut ada orang yang mengenaliku dulu waktu kerja di kafe."
Aku mengangguk, mengerti maksudnya.
"Aku takut membuatmu malu di depan umum."
"Hust, enggak usah ngomong gitu. Itu 'kan dulu," pungkasku.
Suasana kembali hening. Hingga mobil berhenti di parkiran apartemen. Aku turun, lalu membuka pintu untuk Siska. Dia masih duduk dengan raut sedih.
"Ayo, turun!" Kuulurkan tangan, dan dia pun meraihnya.
"Aku enggak mau lelaki itu lihat kamu sama aku. Kamu pasti malu ...."
"Udah, cukup. Ini udah berakhir, oke?" Kutarik kepalanya, mendekap dalam d**a. Menciuminya beberapa saat. Ternyata, dia memiliki ketakutan yang sama denganku. Hanya saja, aku berusaha tidak memperlihatkannya pada Siska. Takut jika dia merasa tersinggung. Lalu kini, kulihat kecemasannya itu. Dia, mencemaskanku. "Jangan sedih lagi, ya?"
Siska mengangguk. Kulepas pelukanku, menatapnya sambil tersenyum. Siska menarik sudut bibirnya perlahan.
"Kamu suka kalungnya?"
"Suka. Makasih," sahutnya.
"Aku mau ke kantor. Kamu naik sendiri enggak apa, 'kan?"
"Mmm, enggak apa-apa. Hati-hati."
Kusempatkan mencium bibirnya beberapa detik. Lalu memberinya isyarat agar masuk ke dalam gedung. Siska berjalan, tapi berputar kembali saat baru beberapa langkah. "Andra, boleh aku minta sesuatu?"
Aku mengangkat alis.
"Selesaikan masalahmu."
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Pertunangan kamu," ujarnya. Lalu memalingkan wajah ke sana ke mari. Terlihat kegugupan dari sorot matanya.
"Percayalah. Tidak ada satu pun perempuan yang ingin hidup dengan lelaki yang dicintainya. Perempuan hanya ingin hidup dengan lelaki yang mencintainya." Siska tersenyum, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Aku masih memperhatikannya, hingga dia naik ke atas lobby gedung. Sempat dia berbalik, melambaikan tangan. Kemudian melangkah lagi. Apa maksudnya?
***
Kuhempaskan tubuh di sofa ruangan kantor, walaupun meeting hanya satu setengah jam tapi cukup menguras tenaga dan energi. Aku memejamkan mata, ingin rileks sebentar. Namun, entah kenapa malah wajah Siska yang terbayang. Perkataannya itu terus mengganggu pikiran, beruntung aku bisa mengendalikannya sewaktu rapat. Terdengar pintu diketuk. "Masuk." Aku bangkit dan duduk dengan tegak.
"Maaf, Pak Rey. Apa ada yang Bapak perlukan lagi?" Rosi berdiri di hadapanku.
"Tidak ada, Rosi. Pulanglah, ini sudah telat satu jam. Maaf."
"Tidak apa. Ini pekerjaan saya. Kalau begitu, saya permisi, Pak Rey."
"Rosi, tunggu!"
Rosi yang sudah berputar untuk melangkah, berbalik kembali. "Iya, Pak."
"Kamu mencintai suamimu?"
"Tentu saja."
"Suamimu ... apa dia juga mencintaimu?"
Rosi tersenyum. "Kami saling mencintai. Kalau seandainya suami saya tidak mencintai saya, saya pun tidak mau menikah dengannya," paparnya.
Aku mengganggukkan kepala. "Terima kasih. Silakan pulang. Titip salam untuk suamimu."
Rosi kembali berpamitan. Aku pun berdiri, berjalan menuju meja untuk membereskan berkas hasil rapat. Terdengar pintu kembali terbuka.
"Apa ada yang tertinggal, Rosi?"
"Mami mau kamu pulang, Reyandra!"
***
Makan malam di sebuah restoran bersama keluarga Yolanda. Mami berhasil membujukku ... bukan, sebenarnya aku yang sedang malas berdebat. Mengingat perkataan Siska tentang 'selesaikan masalahmu.'
Yolanda memang cantik, anggun dan ramah. Dia terus melirik, mencuri tatap wajah. Sedang aku lebih banyak diam, hanya akan berbicara jika ada yang bertanya.
"Gimana kerjaan kamu, Rey. Aman?" Om Beni--ayahnya Yolanda--bertanya.
"Baik, Om." Kuberi seulas senyum.
"Tante denger pertunangan kamu yang sebelumnya udah dua kali batal. Benar itu, Rey?" Tante Yeni--ibunya Yolanda--ikut menimpali.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Membuat Tante Yeni menggelengkan kepala.
"Sebenarnya Andra cuma belum siap aja, kok. Mudah-mudahan kali ini semua berjalan lancar, ya?" Mami membuka suara, yang di-aamiinkan oleh semuanya, kecuali aku.
"Andra izin dulu sebentar, Om, Tante," pamitku.
"Andra, mau ke mana?" Mami berusaha mencegah, tapi tak kuhiraukan.
"Paling juga ke toilet, Mi." Masih kudengar suara Papi yang berusaha menenangkan.
Aku berdiri di balkon, menatap kerlap kerlip lampu kota. Wajahnya lagi-lagi muncul di pelupuk mata. Kuputuskan untuk meneleponnya. "Hai, lagi apa?"
"Hai, juga. Mmm, ini aku lagi ngerjain tugas akhir semester. Kamu lagi ngapain?"
"Aku lagi--"
"Rey, sedang apa?"
Sial! Yolanda malah berdiri di sampingku.
"Lagi sama siapa?" Nada suara Siska berubah ketus.
"Nanti aku telepon lagi, ya. Bye!" Kututup sambungan. "Hai, Yola. Duduklah!"
"Makasih." Yola mengempaskan tubuh di kursi kosong.
Hening. Aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Rasanya tidak biasa.
"Rey, aku dengar kamu kuliah di Jerman? Gimana kehidupan di sana?" Yola mulai membuka topik.
"Iya, aku kuliah di Jerman. Ya, kehidupannya sama seperti biasa."
Yola tersenyum samar menanggapi jawaban dinginku. "Oh, gitu. Kalau aku baru lulus, aku kuliah di Sidney. Aku--"
"Apa kamu cinta sama aku?" Aku memotong kata-katanya. Bertanya tanpa basa-basi lebih dulu.
"Apa maksudmu?" Dia bertanya heran.
"Kamu tau, dua kali aku gagal bertunangan. Aku kabur, dari pertunangan itu."
"Kenapa?"
"Aku bukan boneka. Setidaknya aku bisa memilih jalan hidupku, termasuk calon istri. Iya, 'kan?"
"Kamu benar, aku juga kurang yakin sama pertunangan ini. Aku ...." Yola tampak kebingungan.
"Kamu punya pacar?"
Dia menggangguk. "Ya, sejak SMA malah. Dan ternyata sampai sekarang dia masih menungguku," lirihnya.
"Lalu kamu mau saja disuruh tunangan sama aku? Kamu mau ngorbanin perasaan kamu?"
Yolanda bergeming.
"Pikirkan lagi soal pertunangan ini."
***
Sabtu, pukul tujuh malam. Di Hotel Sandaria, sebuah hotel mewah. Aku berdiri di atas panggung, semua mata menatap. Tamu undangan yang kebanyakan terdiri dari kalangan pengusaha dan relasi Papi juga Om Beni saling berkomentar. Entah itu pujian atau ejekan. Pertunangan antara dua keluarga pengusaha. Tentu saja tujuannya sudah jelas. Memperluas jaringan bisnis.
"Andra, Mami senang akhirnya kamu sadar."
Aku menoleh.
"Kali ini kamu tidak mempermalukan Mami. Mami bangga." Perempuan bergaun hitam itu memelukku.
Ya, aku sadar. Di pertunangan pertama, aku sengaja terlambat datang. Saat itu Mami berhasil menemukanku di salah satu rumah sakit, dan dia nyaris pingsan. Lalu keluarga Hani, tentu saja mereka malu. Sampai sekarang kudengar mereka masih belum bisa menerima insiden itu.
Kemudian bersama Karla, aku berhasil kabur sesaat sebelum MC memanggilku. Di waktu semua orang bersorak dan lengah, aku menyelinap keluar. Itulah alasan aku kabur bersama Siska ke Bali, dengan memakai identitas Dicky agar Mami tidak mengetahui jejakku.
Sekarang yang ketiga, Yolanda. Mana dia, belum menampakkan diri sejak acara dimulai. Terlihat Tante Yeni yang gelisah dan terus berbisik-bisik dengan Om Beni. Sesekali mereka berjalan ke belakang, berbicara dengan seorang pria berpakaian serba hitam.
"Enggak nyangka ya, Jeung Yen, kita mau besanan!" Mami merangkul Tante Yeni.
"I-iya Jeung Dela, saya juga seneng," sahut perempuan yang gaunnya nyaris sama dengan Mami itu. Dia tersenyum, hanya saja tampak dipaksakan.
"Mari kita sambut Tuan Reyandra Pratama Wirata, dan Nona Yolanda Agnesia Kusuma. Beri tepuk tangan yang meriah!" MC memberi sambutan.
Kulangkahkan kaki semakin depan.
"Loh, mana Nona Yolanda-nya? Wah sepertinya dia malu, mari beri tepuk tangan meriah sekali lagi!" seru MC.
Tak ada tanda-tanda Yolanda datang. Aku masih diam menyaksikan semuanya. Om Beni berbisik pada MC, dan akhirnya sang MC berbicara kembali. "Baiklah, para hadirin sekalian. Berhubung ada sedikit masalah, silakan lanjutkan jamuannya. Selamat menikmati." MC menutup acara.
Aku turun, langsung menuju bagian belakang panggung. Di sana Mami sedang memeluk Tante Yeni yang menangis. Di tangannya ada secarik kertas.
Om Beni mengambilnya dan menghampiriku. "Maafin anak Om, Rey," ujarnya sambil memberikannya padaku.
Aku mengangguk, lalu meraihnya.
Mami, Papi. Maafkan Yola. Yola memang setuju bertunangan dengan Rey, tapi di hari ulang tahun kemarin Yola mendapat hadiah kejutan dari orang yang Yola sayangi, dan dia sangat mencintai Yola. Itu membuat Yola sadar. Maaf, sekali lagi. Yola tidak bisa memaksakan hati. Faris melamar Yola, dan Yola putuskan menerimanya walau tanpa persetujuan Mami dan Papi. Saat Mami dan Papi menerima surat ini, mungkin Yola sudah tidak ada di Jakarta. Yola ikut Faris ke Surabaya, kami akan menikah di rumah neneknya. Maafkan, Yola.
Salam sayang dari Yola, untuk Mami dan Papi.
Aku ingin terlihat kaget, tapi sayangnya tidak bisa. Karena sebenarnya aku lebih dulu tahu jika ini akan terjadi. Beberapa jam sebelum acara ini dimulai, Yola sudah menelepon, dan mengatakan kalau aku tak usah merasa khawatir, pertunangan ini tidak akan terjadi.
Aku pergi meninggalkan isak tangis mereka dengan hati senang, yang kusembunyikan.
"Andra!"
Aku yang akan membuka pintu mobil berbalik seketika. "Mami?"
Perempuan anggun itu berjalan cepat menghampiriku. "Apa yang kamu lakukan sampai pertunangan ini gagal? Mami yakin kamu ada di balik semua ini," tukasnya dengan wajah berapi-api.
Namun, aku tak terlalu memikirkannya. Toh, memang benar. Jika aku punya andil atas semua kejadian ini. "Baguskan, Mi. Yolanda sudah bisa berpikir cerdas. Gadis mana yang mau dijadikan boneka orang tuanya demi keuntungan bisnis?" elakku tanpa beban sedikit pun.
Plak ....
"Mami! Apa-apaan ini?"
Aku tersenyum, mengusap pipi kanan. "Sudahlah, Pi. Biarkan Mami meluapkan semua amarahnya sama Andra. Silakan, Mami tampar aku sepuasnya. Aku bosan jadi mainan Mami, bosan jadi boneka Mami!" teriakku.
Lalu .... sebuah tamparan kembali melayang. Aku kembali tersenyum. Sesakit apa pun tamparan ini, akan mengalahkan rasa bahagiaku atas batalnya pertunangan ini. Akhirnya, gagal lagi.
*****