Siska :
Entah sudah berapa jam aku menatapnya. Layar laptop. Foto aku dan Andra yang sedang meminum air kelapa muda. Baru aku tahu, jika Andra sedang menatapku.
Ah, Siska. Kamu terjebak dalam permainan hatimu. Kupikir tak akan sedalam ini perasaan yang tercipta. Karena yang kutahu, Andra hanya membutuhkanku sebagai pemuas nafsu semata. Nyatanya, kini perhatian yang dia berikan mampu menciptakan titik-titik asa yang semakin hari semakin besar. Lalu menguasai hati.
Semua yang dia berikan, dia tunjukkan padaku. Perlahan meruntuhkan keteguhan hati. Bodoh! Harusnya aku sadar diri. Sejak awal Andra sudah mengatakan, jika dia ingin membantuku. Harusnya aku tidak terbawa arus ini.
Kuraih ponsel, membaca kembali pesan Dicky. "Kabarnya malam ini Andra tunangan sama Yolanda, jam tujuh. Di hotel Sandaria," tulisnya.
Itu adalah jawaban, atas permintaanku agar dia mencari tahu kabar tentang Andra. Karena sejujurnya, beberapa hari ini aku tidak berani mengangkat teleponnya. Aku cemburu, saat dia meneleponku dan kudengar suara perempuan memanggil namanya. Aku yakin, seperti apa sosok perempuan itu. Pasti cantik, berkelas, pintar dan berasal dari keluarga kaya.
Tanpa terasa air mataku menetes. Membayangkan Andra sudah memakai cincin pertunangan di jarinya. Jangan terlalu berharap, Siska.
Aku membenahi diri, berniat tidur. Percuma terjaga pun, Andra tak akan datang di akhir pekan ini. Baru saja akan membaringkan tubuh, terdengar pintu diketuk. "Ya, sebentar!" Aku berseru sambil melangkah di ruang tengah. Kubuka pintu.
"Ada paket untuk Nona Siska!" Suara di balik buket mawar merah merekah.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Seseorang yang merindukanmu."
Aku tertegun, menyadari suara siapa itu. "Andra ...."
Dia menggeser buket bunga ke samping wajahnya, lalu tersenyum.
"Andra!" pekikku. Kupeluk tubuhnya. Air mata malah semakin deras. "Andra ... kamu ...."
"Kamu apa?"
"Aku ... kangen," bisikku.
"Serius?"
Astaga! Aku jadi malu sendiri. Kulepas pelukanku, berbalik lalu berjalan menuju kamar.
"Hei, apa ada yang salah?" teriaknya.
Tak kuacuhkan. Aku duduk di tepian ranjang. Menyadari tingkah konyolku. Siapa aku? Berani-beraninya bersikap seperti itu pada Andra. Bukankah semalam pun aku sudah merutuki kebodohanku yang akhir-akhir ini bersikap manja pada Andra.
Pintu kamar tertutup. Andra masuk, melangkah pelan ke arahku. Dia merundukkan badan, melihat layar laptop yang belum sempat kututup. Aku malu. Lupa belum menyimpan laptop kembali ke tempatnya. Andra mengambilnya, lalu memindahkan ke atas nakas.
"Aku sudah bilang, aku rindu," ucapnya. Lalu menurunkan setengah badan, hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Andra menyesap bibirku lembut, melumatnya penuh gairah. Sayang, aku terlalu malu untuk merespon
Akhirnya dia berdiri tegak kembali, membuka jas lalu melemparnya ke atas kursi. Aku tatap dia yang sedang berusaha melepas dasi. Tunggu! Mana cincin pertunangannya?
Aku berdiri, menarik kedua tangannya. "Mana cincinnya?"
"Cincin apa?" tanyanya terheran.
"Kamu ... tunangan, 'kan?"
"Hampir, tapi hasilnya seperti biasa. Gagal lagi," terangnya.
"Kamu kabur lagi?"
"Bukain dulu dasinya, entar aku kasih tau," pintanya.
Aku lepas dasinya. Terasa tangan Andra memegang pinggangku. Baru saja dasi terlepas tangan itu bergerak semakin ke bawah, Andra menaikkan tubuhku, lalu berputar dan mengempaskan tubuhnya di kasur. Membuatku ikut terduduk di atas pahanya.
Andra mengusap pipiku. "Kenapa harus menangisi sesuatu yang tak pasti terjadi?"
Aku merunduk, menggigit bibir. Andra mengangkat daguku. Mengecup beberapa kali, hingga membuatku tak tahan. Kubalas ciumannya, membuat Andra semakin liar. Sebelah tangannya melepas kancing kemejaku satu persatu. Memberi isyarat agar aku melepasnya dari tubuh.
Setelah kemeja putih itu jatuh, kedua tangannya mulai bermain di dadaku. Ada geraman lembut dari bibirnya yang masih terus mengulum bibirku. Tangannya berpindah ke belakang, melepas kancing bra. Kuturunkan kembali tangan yang sedang asyik memainkan kedua telinganya, memudahkan lelaki yang sudah digulung berahi ini menarik bra.
Nafasnya memburu, seiring dadanya yang naik turun. Satu persatu kulepas kancing kemeja Andra. Meraba d**a bidangnya, lalu turun semakin bawah. Membuka sabuk kulit di pinggangnya. Kutarik, menjatuhkannya di lantai. Hanya sekali sentak, kancing celana pun sudah terlepas. Tanganku mulai menyusup ke balik celana bahannya, di mana ada benda yang sudah tegang sedari tadi.
"Hhmmm ...." Andra melenguh.
Ciuman terlepas karena gerakan tubuh yang mulai tak terkontrol. Andra membaringkan tubuhnya. Aku pun turun, berdiri melepas hot pants dengan gerakan menggoda. Membuat kedua mata lelaki itu semakin meronta. Meminta agar segera dipuaskan.
Kutarik celana Andra yang sudah melorot. Menjatuhkannya asal. Kemudian, semua terjadi atas kendaliku. Andra memekikkan namaku diakhir desah kenikmatannya.
-
Usai sudah pergumulan. Tubuh yang masih telanjang sempurna terbaring lelah. Saling memeluk, seolah takut kebersamaan ini akan berakhir begitu saja. Andra memelukku secara posesif, dengan satu tangan yang kujadikan alas kepala. Kutelusuri setiap inci wajahnya dengan jemari. Terkagum, atas pesona makhluk yang sanggup meluluhlantahkan jiwa ragaku.
"Kamu kabur lagi?" tanyaku ragu. Masih merasa penasaran atas kedatangannya malam ini.
"Aku enggak kabur. Bukannya kamu yang minta aku buat menyelesaikan masalah itu."
Kukecup bibirnya. "Maaf. Aku sempat merasa egois ...."
"Hust ... toh, aku juga enggak mau tunangan sama dia." Andra menyimpan telunjuknya di bibirku. "Kamu tau, kali ini bukan aku yang kabur. Tapi Yolanda yang kabur," ucap Andra. Lalu terkekeh sendiri.
"Masa? Kok, bisa?"
"Hm, inget waktu aku telepon kamu terus dia panggil aku?"
Aku mengangguk.
"Habis itu aku ngobrol sama dia. Aku tanya, apa dia yakin sama perjodohan ini? Ternyata, dia juga udah punya pacar. Faris udah nungguin dia sejak lulus SMA. Mungkin dia berpikir ulang." Andra tersenyum. "Tadi pagi aku sempat merasa frustasi, gelisah. Sampai akhirnya sehabis makan siang Yolanda telepon, bilang kalau dia lagi di jalan menuju Surabaya sama Faris."
"Serius dia kabur?"
"Iya. Makanya aku berani datang ke pesta pertunangan, karena aku tau Yolanda enggak bakal datang. Katanya sih, dia mau nikah sama Faris meski Tante Yeni dan Om Beni enggak merestui."
"Loh, kenapa?"
"Denger-denger Faris anak yatim, dia cuma karyawan biasa. Tinggal di Jakarta juga di rumah paman bibinya. Makanya mereka pergi ke Surabaya, mau nikah di rumah nenek Faris."
"Mm, setidaknya mereka bisa memperjuangkan cinta mereka," lirihku.
Andra membelai wajahku, mengecup kening agak lama.
"Andra, kenapa selalu seperti itu?"
"Apanya?"
"Kenapa kalian para anak orang kaya selalu mencari pasangan dari keluarga yang sepadan?" Aku menahan desakan air mata yang hampir keluar.
Andra tersenyum kecut. "Enggak semua, kok. Ada yang nikah sama orang biasa, sederhana dan bukan pengusaha."
Aku tersenyum menanggapinya.
"Hey, kenapa jadi melankolis gini? Mana seksiku yang selalu tertawa?"
Aku tersenyum. Merasa malu sendiri.
"Jadi, kapan libur semesternya?" Andra memainkan jemari di bahu telanjangku.
"Hari Senin harusnya udah mulai libur, tapi kemarin aku enggak ketemu dosen pembimbing buat ngasih tugas, jadi mesti masuk kampus lagi."
"Will holiday? I want to surprise you," bisiknya.
"Surprise?"
"Ya, tapi malam ini kamu harus membuatku kembali melayang."
Aku tersenyum. Mengecup bibirnya. "Akan kulakukan."
***
Andra menghentikan mobil di depan rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas. Mataku langsung menangkap sosok dua anak berlarian. Umurnya sekitar lima tahun dan yang satu lagi tiga tahunan.
"Rumah siapa?" Aku bertanya saat Andra membukakan pintu.
"Bentar lagi juga tau," sahutnya tak acuh.
Aku turun, berdiri di samping Andra. Tak lama dua anak itu berlari menghampiri saat menyadari kehadirannya.
"Angkel Anda ...!" teriak mereka.
Andra berjongkok, merangkul kedua bocah itu. Tampaknya mereka memang sudah sangat akrab.
"Deren, Darka! Jangan manja sama Uncle Andra!" Kali ini teriakan terdengar di teras rumah.
Seorang perempuan berdiri, memakai daster khas rumahan. Tampaknya lebih tua dariku. Terlihat sedikit kesulitan dengan bayi dalam gendongannya.
"Enggak apa-apa! Aku juga udah kangen sama mereka. Lama enggak ketemu sama jagoan-jagoan ini." Andra mencium pipi dua anak lelaki itu bergantian. Kemudian menggendong anak yang lebih kecil, sedang yang lebih besar terlihat menggenggam tangan Andra. Lalu mereka berjalan bersama menuju teras rumah.
Aku? Andra mengabaikanku begitu saja. Aku masih berdiri. Menatap kepergian mereka. Memikirkan, untuk apa Andra membawaku ke sini?
Apa dia ingin menunjukkan alasannya membatalkan pertunangannya?
Andra sudah memiliki istri dan tiga anak?
"Kenapa masih di sini? Ayo, masuk!" Andra menarik tanganku.
Aku hanya bisa membisu, menuruti keinginannya.
"Lan, kenalin. Siska." Andra memperkenalkanku pada perempuan itu sesampainya kami di teras.
"Ya-ya-ya. Aku bisa tau hanya dengan sekali melihat. Pantas Tuan Andra hampir gila dibuatnya." Perempuan itu tertawa, lalu mengulurkan tangannya. "Hai, Siska! Aku Wulan."
Aku membalas jabatan tangannya.
"Duduk dulu. Aku ambil minum," ujarnya, masuk ke dalam rumah. "Deren, panggilin Ayah!" lanjutnya.
Anak yang lebih besar berlari ke belakang rumah. Rupanya itu yang bernama Deren.
"Andra ... rumah siapa?" tanyaku pelan.
Andra tersenyum. Saat hendak bicara, ponselnya berdering. Dia menurunkan anak kecil di pangkuannya, lalu berdiri dan menjawab telepon.
"Waah, kedatangan tamu agung rupanya! Ada angin apa Tuan Andra sampai mengunjungiku, hah?" Seseorang muncul tiba-tiba.
Dicky? Wulan? Astaga aku lupa!
Andra memberi isyarat tangan pada Dicky karena belum selesai menelepon. Akhirnya Dicky menghampiriku.
"Siska, gimana kabar kamu?" Dicky duduk di kursi lain.
"Mmm, baik ...," jawabku agak malu.
"Darka, jangan gitu, Sayang! Malu, lihat itu ada Uncle sama Aunty!" Wulan meluar membawa nampan berisi dua gelas sirop jeruk. Anak kecil yang satunya tadi ternyata bernama Darka. Dia terlihat merajuk, menarik-narik baju Wulan.
"Kenapa jagoan Ayah? Sini!" Dicky meraih Darka dan mendudukkannya di pangkuan.
"Biasa, berebut mainan sama kakaknya," sahut Wulan.
"Hei, kenapa jagoan kecil? Sini sama Uncle!" Andra berseru sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas bagian dalam.
Andra duduk, membuat Darka langsung berpindah pangkuan. "Darka kangen enggak sama Uncle?" Andra mencium pipi tembam Darka.
"Kangen," sahut Darka pelan.
"Kok, belum cium Uncle?" Andra menyodorkan pipinya. Darka segera menciumi pipi kanan dan kiri Andra.
Ah, kenapa rasanya indah sekali melihat Andra bercengkerama dengan anak kecil. Ternyata dia bisa bersikap dewasa. Dia yang kukira selalu bersikap egois, sekarang tampak seperti seorang ayah saja.
"Kenapa, Sis? Enggak sangka, ya, Andra bisa jadi papable?" Dicky mengentak lamunanku.
Aku terkesiap. "Papable?" tanyaku heran.
"Ayah, pake istilah segala. Itu loh, Sis. Maksudnya bisa bersikap kayak seorang papa." Wulan mengusap pundakku, lalu duduk.
Aku merunduk, tersenyum malu.
"Dinda mana, Bu?" Dicky bertanya pada Wulan.
"Udah tidur, Yah," sahut perempuan berlesung pipit itu.
Dicky dan Wulan. Baru kali ini aku bertemu Wulan, setelah satu tahun lebih mengenal Dicky. Mereka pasangan yang serasi, dengan dua anak laki-laki dan satu bayi perempuan. Mendadak aku merasa iri melihat kehidupan mereka. Bahagia bersama, dalam sebuah ikatan pernikahan.
Aku melirik Andra. Apa mungkin suatu hari nanti, aku pun bisa seharmonis mereka?
Andra berdehem. Nyatanya dia memberi kode pada Dicky.
"Bu, ajak Siska berkeliling, ya? Ini kunjungan pertamanya, biar enggak bosen." Dicky memberi perintah.
"Ayo, Sis! Kita ngobrol sambil berkeliling," ajak Wulan.
Aku mengerti. Mungkin Andra dan Dicky mau berbicara serius. Kuikuti langkah Wulan.
Rumah sederhana dengan tiga kamar tidur, dapur, ruang keluarga dan ruang tamu. Namun, luas halamannya hampir dua kali lipat dari ukuran rumah. Sejuk sekali memandang pekarangan belakang. Ada pohon dan bunga, juga rumput yang memenuhi tanah.
Setelah puas berkeliling Wulan mengajak ke taman belakang, di mana ada sebuah ayunan dan perosotan. Di sana ada Deren dan Darka sedang bermain-main.
"Udah berapa lama tinggal di sini, Mbak?" tanyaku memulai obrolan.
"Baru beberapa bulan sebenarnya. Tadinya aku juga enggak mau, aku maunya ngumpul sama mertua, tapi karena hamil anak ke 3 Dicky berpikir kami harus mulai mandiri," papar Wulan.
Aku mengangguk. "Sejuk banget, Mbak. Mataku serasa dimanjain," pujiku sambil duduk di sebuah bangku panjang di sebelah pohon mangga, angin sepoi-sepoi terasa membelai wajah.
"Pasti. Coba di apartemen, susah lihat hehijauan." Wulan ikut duduk di sebelahku.
Aku tersenyum dan meliriknya, menampakkan wajah tanda tanya.
"Dicky sering menceritakan tentang Andra, dan kamu."
Aku melengos, dan menunduk. Jujur, aku malu. Aku kira hanya Dicky yang mengetahui kehidupan kami.
"Enggak apa, aku sudah kenal Andra sejak lama, aku tau siapa dia." Wulan mengusap pundakku.
"Oya?" tanyaku penasaran.
"Iya, kami satu SMA. Aku adik kelas mereka."
"Waw, benarkah? Coba ceritakan tentang persahabatan mereka? Aku salut banget sama persabahatan mereka, bener-bener melebihi saudara," pintaku antusias.
"Ya, bukan hanya kamu Siska. Aku pun sama. Bahkan seluruh penghuni SMA 1 penasaran dengan mereka, kami menyangka mereka kembar." Wulan tertawa.
Aku pun ikut tertawa membayangkannya.
"Aku cukup sering bertemu mereka, kebetulan satu eskul. Kamu tau, mereka pernah dimarahi karena tidak bisa menggojlok adik kelas baru. Mereka terlalu baik. Hahaha! Oya, mereka juga punya predikat TwoBoy, ke mana-mana pasti berdua. Bahkan ke kamar mandi pun berdua. Kalau mereka lewat, semua mata siswi akan menatap, pesona mereka seperti hipnotis."
"Waw, pasti seru banget waktu itu?" Aku ikut terbahak.
"Ya, tentu. Banyak gadis yang patah hati, saat mereka mengumumkan komitmen No Women No Cry. Konyolkan? Tapi soal prestasi jangan salah, tiga tahun berturut-turut mereka menjadi TOP School. Andra lulus dengan nilai tertinggi, dan Dicky kedua. Tidak ada yang tidak kagum sama TwoBoy itu." Wulan tertawa sampai mengeluarkan air mata, aku pun juga.
"Sayang, selepas SMA mereka berpisah. Andra sibuk kuliah, dan Dicky bekerja sebagai buruh pabrik. Itulah perbedaan mereka, dari situ semua orang melihat jarak antara langit dan bumi. Suatu hari Andra datang ke sekolah mencari tau keberadaan Dicky, sayang sejak lulus Dicky enggak pernah datang ke sekolah." Wulan berubah sedih.
"Mm, ternyata Andra enggak bisa lupa sama Dicky, walau pun punya banyak teman kuliah. Pasti persahabatan mereka kuat banget. Terus, gimana ceritanya, Mbak, ketemu sama Dicky?" Aku kembali bertanya.
"Ah, itu. Selepas SMA aku kerja di pabrik. Ternyata Dicky kerja di situ juga. Aku kasih tau dia kalau Andra sempet nyari. Kamu tau, Dicky sampai nangis. Kayak pacar inget mantan gitu! Sejak itu kami mulai dekat, terus aku bilang kalau aku udah suka sama dia sejak dulu. Apa yang dia bilang, dia kira aku suka sama Andra? Hahaha, bener-bener konyol." Wulan tertawa kembali.
"Kami pun pacaran, dan memutuskan menikah. Sayangnya, bagian HRD tau, dan menegur. Tidak boleh ada karyawan yang memiliki keterikatan dan bekerja di satu perusahaan yang sama. Dicky berani mengambil resiko untuk keluar. Tapi aku melarangnya, dengan alasan sulit mencari kerja untuk lulusan SMA. Aku mengalah, aku berhenti dari kerjaanku. Hasilnya, orang tuaku menentang habis-habisan. Ditambah beberapa bulan kemudian pabrik mengalami kemunduran dan mem-PHK banyak karyawan, Dicky salah satunya. Kami diusir dari kontrakan, dan tinggal dengan orang tua Dicky. Sampai suatu hari dia pulang membawa selembar koran, dia berlari sambil tertawa. Dia menunjukan pada kami, Andra sudah pulang dari Jerman dan membuka sebuah perusahaan baru. Dia bilang akan melamar ke sana, karena perusahaan membutuhkan banyak karyawan. Aku tanya, memang kamu mau jadi OB, Dicky malah menjawab, enggak apa, asal aku bisa lihat Andra." Wulan tersenyum kecil.
"Dan ternyata hanya sebulan, mereka lalu bertemu. Andra langsung memecat Dicky. Sorenya Andra datang ke kontrakan kami. Dia menangis melihat keadaan kami, ayah menganggur, Dicky menganggur. Kami hanya mengandalkan penghasilan dari kuli mencuci baju. Esoknya, Dicky membawa kami semua pindah. Waktu itu aku sedang mengandung Deren. Dan sejak hari itu Andra benar-benar mengubah hidup kami. Dia membeli sebuah minimarket untuk Dicky kelola. Ya, dan inilah kami sekarang. Semua karena Andra."
Aku menghela napas. Aku tahu maksud obrolan Wulan, dia ingin menegaskan kalau Andra itu baik. "Mbak, apa Mbak ... mengganggap aku hina?" Aku menunduk. Tak terasa air mata menetes begitu saja.
"Tapi hubungan kalian didasari cinta, 'kan?" tanya Wulan intens.
Aku menoleh, lalu menggelengkan kepala. "Andra tidak pernah memberi kepastian atas hubungan kami selama ini."
"Itu menurut kamu. Kalau memang dia tidak pernah mengucapkannya, tapi kamu bisa lihat dari apa yang sudah dia berikan sama kamu." Wulan menegaskan.
"Ya, dia beri aku semuanya. Kemewahan, uang, kesenangan, hanya satu yang belum dia berikan. Harapan."
"Percayalah, dia sedang memperjuangkan harapan itu. Dia masih berusaha." Wulan menepuk pundakku.
"Sampai kapan?"
"Sampai dia benar-benar yakin, harapan yang dia beri tidak akan membuatmu kecewa. Lihat aku dan Dicky, sampai sekarang orang tuaku belum menerima kehadiran cucu mereka. Tapi Dicky tak pernah putus asa, dia selalu berusaha menunjukan kalau dia pantas untukku. Ya, meskipun karna bantuan Andra." Dia tersenyum. "Kamu tau, aku sempet cemburu melihat kedekatan mereka. Apa-apa Andra, ke mana-mana Andra. Tapi sekarang aku tau bagaimana sebenarnya Andra, pantas Dicky begitu sayang sama Andra, seperti kakak menyayangi adiknya."
Kami tertawa, larut dalam obrolan. Sampai tidak merasakan kehadiran Andra.
"Hei, kau apakan kesayanganku, Wulan? Tampaknya dia sangat senang, sampai wajahnya bertambah cantik karena tertawa terus." Andra memeluk bahuku dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundakku.
Aku mencubit pipi Andra, karena wajahnya yang tepat berada di pipiku. "Apaan, sih?" Aku berusaha menyembunyikan pipiku yang terasa panas.
Dicky menghampiri. Membawa bayi perempuan dalam gendongannya. "Kesayanganku juga bertambah. Lihatlah princess kecilku!"
"Hmm, aku tak percaya Dicky bisa menghasilkan putri secantik ini?" Andra melepas pelukannya dan mendekati Dicky, lalu menciumi pipi bayi itu.
"Owh, jangan salah, Tuan Andra. Dia sudah belajar banyak hal sekarang." Wulan menimpali.
"Boleh kugendong?" Aku mendekat.
Dicky menggangguk, memberikan Dinda padaku.
"Aku pernah melakukannya, aku harap aku belum lupa." Aku meraihnya perlahan. Setelah berhasil kugendong, kuciumi dia dengan gemas.
"Siska, kamu cocok jadi mamih muda!" Wulan menggodaku.
Sontak aku tersenyum malu.
"Wah, kayaknya kapan-kapan kita mesti bikin jadwal liburan bareng nih! Kita, kalian, dan jangan lupa ajak ayah ibu." Andra mendekat, memeluk pinggangku. "Kesayanganku mulai betah sama baby Dinda." Lalu dia mencium pipiku.
"Andra, malu ada anak kecil!" pekikku. Aku melihat Deren dan Darka yang tertawa melihat kami.
"OK, my princess, sorry I disturb you. We must lets go!" Andra memberi kode.
Aku menoleh tak percaya saat Andra memanggilku my princess.
"Buru-buru banget, makan siang dulu, Andra?" Wulan mendekat, dan memberi isyarat untuk mengambil Dinda.
Kuberikan tubuh mungil berpipi merah itu setelah menciumnya lagi.
"Sorry Wulan, kita lagi buru-buru. We will holiday. Yes, Honey?" Andra merangkulku lebih erat.
"Hah?" Aku menatapnya penuh tanda tanya.
"Hey, come on. I promised, I will give you surprise, do you remember?" Andra menatap lekat wajahku, lalu mengangkat daguku.
Aku masih belum mengerti.
"Ayo, kita ke kampus kamu. Berikan tugas itu, dan kita segera pergi dari Jakarta!"
"Kamu enggak ke kantor?"
"Halo, Nona Siska! Buat apa Tuan Andra bekerja keras kalau dia harus hidup di bawah telunjuk orang lain." Dicky berseru.
"Ah, thats right, My Brother!" Andra mengacungkan jempolnya. "Bisa-bisa Nyonya Dela Agusti Wirata menghabisiku!" Andra terbahak, Dicky ikut tertawa.
Kami pun berpamitan. Aku memeluk Deren dan Darka, juga Dinda. Dan mereka menghadiahiku beberapa ciuman di pipi.
"Cini agi onti!" ucap Darka.
"Sama angkel Anda," lanjut Deren.
"Pasti, nanti kami ke sini lagi." Aku mencubit lembut pipi mereka.
Berat rasanya meninggalkan rumah. Bocah-bocah ini sungguh menggemaskan. Deren, Darka, Dinda.
-
"Kenapa senyum-senyum terus?" tanya Andra di sela kesibukannya menyetir.
"Mereka lucu-lucu, Andra. Aku seneng banget kamu ajak main ke rumah Dicky!"
"Maaf, baru sempet ngajak. Terakhir kali ke rumah Dicky waktu acara aqiqah Dinda, itu juga enggak lama. Cuma numpang makan siang." Andra tertawa.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum.
"Kayaknya kamu cocok ngobrol ama Wulan, ngobrolin apa aja?" sambungnya.
Agak terheran sebenarnya. Kenapa dia tidak memanggilku lagi dengan kata kesayangan, atau honey?
"Banyak, ngobrolin TwoBoy," sahutku berusaha tampak biasa.
"Apa? Ah, dia sudah merusak pencitraanku!" Andra menahan tawanya.
*****